Sejarah Perkembangan Masyarakat Kalimantan Tengah
Merupakan Puzzle Yang Harus Dilengkapi.
Oleh * Aryo Nugroho Waluyo
Membaca dan menuliskan ulang tentang sejarah
Kalimantan Tengah merupakan suatu hal yang sangat menyenangkan. Menelusuri
kembali masa lampau dan masuk kedalam alam pikiran sang penulis merupakan
bagian dari kenikmatan sendiri. Dorongan akan Jas Merah (jangan lupakan
sejarah) ungkapan api dari Bung Karno selalu menjadi penyulut. Disisi lain
bahwa sejarah akan membawa informasi tentang penentuan kondisi masa sekarang,
sehingga memposisikan sejarah pada tempatnya itu hal yang penting. Saya yakin sangat
banyak tulisan mengenai sejarah Kalimantan Tengah walaupun tulisan-tulisan
tersebut sangat sulit untuk didapatkan. Dari pengalaman dan bukan seorang
pembaca buku yang baik, bahwa membaca dan menuliskan ulang sejarah Kalimantan
Tengah bagai menyusun puzzle. Mengapa
demikian karena dari masing-masing wilayah yang ada di Kalimantan Tengah
mempunyai sejarahnya tersendiri. Dari berbagai macam literatur yang coba
dikumpulkan kebanyakan mengulas hanya satu suku saja dan tidak bisa
mengambarkan secara keseluruhan.
Iteraksi saya beberapa tahun ini juga membuat saya
selalu ingin belajar. Dimana pada kenyataanya berbicara khususnya perkembangan
masyarakat di Kalimantan Tengah tidak saja membahas satu pulau ini. Seperti
iteraksi saya dengan masyarakat yang ada di Kecamatan Delang, Kabupaten
Lamandau, bahwa berdasarkan penuturan masyarakat, sejarah mereka tidak lepas
daripada hadirnya seorang Patih dari wilayah Sumatera yaitu Patih Nan Sebantang
dari Kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Sisi lain dorongan untuk menulis melihat
metodelogi-metodelogi apa yang diterapkan oleh penulis lainya (baca: penelitian
yang terdahulu). Metodelogi secara sederhana saya memahaminya sebagai
pendekatan untuk menuliskan sesuatu. Seperti yang saya akan tuliskan ulang,
mengenai sejarah di Kalimantan Tengah dengan mengcopy paste (dalam istilah Victor T.King dalam Bukunya
Kalimantan Tempo Doeloe, Nukilan)
dari sumber dua buku. Buku Pertama tulisan seorang Guru Besar Fakultas Ekonomi
UGM Mubyarto beserta tim dengan judul bukunya Desa-Desa Kalimantan: Studi Bina
Desa Pendalaman Kalimantan Tengah. Buku Kedua Masih (Kah) Indonesia, Editor
Budi Susanto, S.J yang ditulis oleh beberapa orang Peneliti salah satunya Kisno
Hadi.
Terkait dengan konteks sejarah perkembangan masyarakat
Kalimantan Tengah kedua buku ini mengunakan pendekatan Budaya lisan. Budaya
lisan ini begitu kuat terjaga sampai sekarang walaupun pernyataan ini perlu
diuji lebih lanjut. Budaya Lisan merupakan sebuah metedologi yang bisa
digunakan untuk memotret masa lalu. Begitu pula di Kalimantan Tengah Seperti
yang di tulis oleh Mihing dalam Mubyarto menyebutkan budaya yang berkembang
dalam masyarakat Dayak adalah budaya lisan. Masyarakat Dayak tidak memiliki
budaya tulis menulis. Oleh karena itu mereka tidak memiliki susunan abjad dan
peninggalan tertulis mengenai masa lampau (Mihing dkk, 1980:1). Lebih lanjut
Kisno Hadi bagian penulis Buku Masih (Kah) Indonesia menyebutkan tentang Kajian
postkolonial yang memberikan ruang bagi pemanfaatan tradisi lisan untuk menulis
sejarah. Metode penilitian tersebut adalah oral
history, berupa sejarah lisan yang memang menjadi cara atau metode bagi
masyarakat Dayak untuk menyejarahkan sejarahnya. Metode ini digunakan untuk
melengkapi studi literatur hasil penelitian terdahulu maupun penelitian atau
tulisan-tulisan lainnya yang memiliki korelasi. Lebih lanjut Kisno Hadi juga
memfokuskan pada metode mikrohsitory yang deterministik, yang akan
menggambarkan suara-suara lain kaum minoritas (subaltern studies) dari pedalaman, lain seperti suara pemerintah
yang sangat elitis.
Kedua Buku ini secara garis besar berbeda objek
potretnya, dimana tulisan Mubyarto lebih memotret terkait dengan transformasi
masyarakat dengan adanya politik Desa sedangkan Kisno Hadi memotret tentang
transformasi kelembagaan adat. Mubyarto mengambil lokasi penelitian ditiga
Kabupaten di Kalimantan Tengah yaitu Barito Utara, Kapuas dan Kotawaringin
Barat. Sedangkan Kisno Hadi meneliti di tiga wilayah Kedamangan, yaitu
Kedamangan Dusun Selatan, Kedamangan Paku Karau dan Kedamangan Padju Sepuluh. Ketiganya
merupakan refrentasi dari Komunitas masyarakat adat Dayak yang berada di
wilayah Barito Selatan dan Timur yaitu masyarakat adat Dayak Dusun: Kedamangan
Dusun Selatan, masyarakat adat Dayak Lawangan: Kedamangan Paku Karau, dan
masyarakat adat Ma`anyan: Kedamangan Padju Sepuluh.
Penulisan ulang ini akan dibatasi pada dua pembahasan
yaitu :
- Buku Pertama mengambil tentang sejarah Persebaran Suku Dayak
- Buku Kedua mengambil tentang Pasak Adat : Embrio Indonesia pendalaman Kalimantan Kepala Adat dan Pengembaraan di Rimba Barito.
Semoga tulisan singkat ini menjadi pembuka untuk kita
semua dalam menemukan puzzle-puzzle
mengenai sejarah perkembangan masyarakat adat Dayak yang ada di Kalimantan
Tengah. Sehingga kita bisa melihatnya secara utuh.
Persebaran Suku Dayak
Penduduk “Asli” Kalimantan Tengah adalah suku Dayak,
yang nenek moyangnya berasal dari daratan Asia. Mereka telah tinggal di pulau
Kalimantan selama beberapa ribu tahun sebelumnya masehi. Ketika datang di
Kalimantan mereka tidak lagi hidup dalam zaman batu, tetapi telah mengenal alat
yang terbuat tanah maupun besi.
Salah satu faktor yang menyebabkan suku Dayak menyebar
ke seluruh Kalimantan adalah timbulnya peperangan di kalangan suku Dayak
sendiri. Oleh sebab itu mereka mencari tempat-tempat yang aman dari
serangan-serangan musuh dan mengisolasikan diri dari pergaulan dengan suku-suku lain. Akibatnya lahirlah belasan
bahkan puluhan subkultur Dayak. Tjilik Riwut dalam bukunya Kalimantan Membangun
membedakan Suku Dayak kedalam 7 sub suku, yaitu Ngaju, Apu Kayan, Iban, Klemantan, Murut, Punan dan Ot Danum. Ketujuh sub suku tersebut terbagi
menjadi lagi dalam 18 sub suku yang lebih kecil (anak suku), dan sub suku yang
lebih kecil terbagi lagi dalam 405 sub suku kecil-kecil (Riwut, 1979:214-232). Implikasi
terbatasnya mobilitasnya sub suku kecil-kecil tersebut adalah, wawasan mereka
menjadi “sempit” atau “spasial”, yakni hanya terbatas pada “kampung halaman”mereka
saja.
Dilihat dari tempat tinggalnya, suku Dayak di
Kalimantan Tengah tersebar disepanjang sungai-sungai besar seperti Dayak Ngaju tinggal di sepanjang sungai
Kapuas, Kahayan, Manuhin, Barito dan Katingan. Tempat kediaman suku Dayak Ot-Danum di sepanjang hulu sungai
Kahayan, Rungan, Barito dan Kapuas, dan di hulu sungai-sungai di Kalimantan
Barat seperti sungai Melawi (anak sungai kapuas dari Kalimantan Barat). Sedangkan
Dayak Ma`anyan dan Lawangan tersebar di berbagai bagian
dari Kabupaten Barito Selatan yaitu di tepi timur Sungai Barito, terutama di
antara anak-anak sungainya seperti Patai, Telang, Karau dan Dayu
(Koentjaraningrat, 1980:199).
Ketika jumlah penduduk semakin bertambah dan orang
Dayak mulai mendiami daerah pesisir atau muara sungai, mulailah mereka
melepaskan diri dan hidup bersama dalam rumah panjang betang. Rumah-rumah keluarga banyak didirikan dan kontak dengan
dunia luar semakin meningkat.
Secara genelogis orang Dayak umumnya menganut garis
keturunan ayah dan ibu (ambilineal). Namun
dalam hal ini tempat tinggal setelah menikah, seorang wanita yang telah kawin
akan tetap tinggal bersama orang tuanya, sedangkan seorang laki-laki yang sudah
kawin akan mengikuti istrinya sehingga harus keluar dari keanggotaan rumah
panjang (betang). Kenyataan ini
menimbulkan adanya keluarga-keluarga besar (jalaban)
dengan solidaritas yang semakin luas. Baboban
menunjuk pada kelompok keluarga dengan penekanan pada asal (klen atau
marga) sedangkan istilah ungkup merujuk
pada kesatuan menunjuk pada kesatuan yang lebih besar lagi, seperti kesamaan
suku, daerah, atau agama (Depdikbud, 1979:60).
Pasak Adat : Embrio Indonesia di
Pedalaman Kalimantan
Kepala Adat dan Pengembaraan di Rimba
Barito
Ada beberapa versi yang diutarakan
oleh para responden yang ditemui di
lapangan dalam menuturkan keberadaan masyarakat adat Dayak, baik secara komunal
maupun para kepala adatnya , dalam hal ini, versi Dayak Dusun, Dayak Ma`Anyan dan
Dayak Lawangan dirangkum menjadi satu, sehingga bisa terpaparkan seperti dalam
hasil penelitian ini. Di sini perkembangan kepala adat dayak sebagai pasak adat
tidak bisa dilepas dari sejarah perkembangan masyarakat adat Dayak itu sendiri,
begitu sebaliknya. Kepada Adat, yang dulunya merupakan bagian dalam struktur
pemimpin tertinggi dalam struktur komunitas adat. Istilah damang dalam kamus bahasa Indonesia tidak dikenal, yang hanya ada demang, yaitu kepala distrik atau wedana
pada masa pemerintahan kolonial belanda. Gelar damang mulai digunakan sebagai kepala adat mulai tahun 1938, yakni
saat pemerintahan kolonial belanda mengeluarkan sebuah kebijkan untuk mengatur
keberadaan komunitas-komunitas adat Dayak di pedalaman, dan gelar para kepala
adat pun secara keseluruhan diseragamkan, yaitu damang. Sebelum kemunculan gelar damang sebagai kepala adat, komunitas adat bergelar dambung. Dambung selain sebagai pemimpin pemerintahan adat sehari-sehari, ia
juga sebagai pelaksana hukum adat dan hakim pengadilan adat untuk menyelesaikan segala sengketa kehidupan
masyarakat. Jabatannya dipegang berdasarkan hierarki. Setelah diganti dengan damang oleh pemerintah kolonial belanda,
perlahan, perannya mulai meredup. Ia dibatasi mengurusi adat istiadat semata,
damang juga mulai langsung dipilih langsung oleh masyarakat.
Dalam sejarah lisannya, terdapat
sembilan tahap perpindahan tempat kehidupan orang Dayak di Kalimantan (Tengah)
sehingga sampai ditempat seperti sekarang. Yang Pertama : merupakan asal Allahtala mula Allah di tane tipak sulau, langit rakun kabus, gumpal riwut mula, ranu gunung madu rahu, lumut
turu tumeng, piyuyan turu tingkat, lisat lende niuy jongkong, paken tueng kola
jaro, yakni tempat terjadinya manusia (Dayak) pertama seorang laki-laki
bernama Datu Mula Manta Maharaja Mula Ulun, dari Datu ini kemudian di ambil
oleh Allahtala Mula Allah satu tulang
rusuknya, lalu dibuat seorang perempuan bernama Dara Mula Lapik Saribu Hengkang
Ulun. Kedua : adalah di tumpuk lalung
kuwung. Ketiga : ditumpuk pupur
matung. Keempat : di tumpuk sida
matung. Kelima : di mereka berpisah menjadi suku Dusun, Ma`anyan, Lawangan,
Bijaju dan Siang (Ot Danum) dan ketujuh : di
tumpuk gunung rumung gumi ipah bawai. Kedelapan : di tumpuk patai, dan Kesembilan : adalah tumpuk-tumpuk seperti sekarang, seperti padju epat, padju sapuluh, dayu dan banua lima.
Sejarah lisan yang juga merupakan
sumber ajaran lisan dalam Teologi Kaharingan di DAS Barito ini, yang diketahui
tempatnya hanya mulai dari keenam, yakni di Tumpuk Sani Sarunai, saat ini
bekasnya ada di Tamak Sapala (Danau Panggang), Kabupaten Barito Kuala, daerah
muara sungai Barito, Kalimantan Selatan. Di Tumpuk Sani Sarunai ini, yang oleh
Charles Hose disebut-sebut sebagai tempat pendaratan pertama orang Dayak
(Kahayan) di Kalimantan Tengah (dan sebagian Selatan) dari dataran Irawadi,
Burma, yang memiliki kebudayaan unik berupa budaya rumah panggung memanjang,
yang biasanya dibangun ditepi-tepi sungai: dipimpin oleh Datu Nini Punyut
Maharaja Etuh Mula. Tamak Sapala sendiri menurut Raden Kutar Suta Uno (71
tahun) merupakan makam Nini Puyut yang berada persis ditengah danau panggang,
dan membentuk pulau kecil ditengah danau itu. Setelah Nini Punyut meninggal
lalu dimakamkan, masyarakat Sani Sarunai gempar karena mendapat serangan (yang
pertama) dari kerajaan Majahpahit.
Setelah Sarunai hancur, maka
masyarakat Sani Sarunai yang hanya berjumlah seratus orang itu pergi menyusuri
sungai Nagara, anak sungai Barito, guna mencari tempat baru. Pilihan kemudian
jatuh pada sebuah dataran pegunungan di tepi sungai Nagara, sekitar lereng
pegunungan Meratus saat ini. Di tempat baru ini mereka yang kemudian dikenal
dengan sebutan masyarakat adat pangunraun
jatuh di Negeri Gunung Rumung Gumi Ipah Bawai, membangun dan mengembangkan
kebudayaannya. Yang diyakini sebagai tonggak awal sejarah perkembangan
keberadaan dan perkembangan adat, kebudayaan dan tradisi masyarakat Dayak di
Kalimantan Tengah dan sebagian selatan masa kini. Saat mencapai puncak
kejayaannya, datang lagi serangan (yang kedua) dari kerjaan Majahpahit yang
dipimpin Patih Gadjah Mada dan memaksa pembauran antara peraturan adat istiadat
yang mereka miliki dengan ajaran Hindu, yaitu :
- Masyarakat adat Pangunraun Jatuh masih berhak mengatur tata kehidupan mereka.
- Masyarakat adat Pangunraun Jatuh diharuskan membayar upeti setiap tahun ke negeri seberang.
- Agama Hindu harus diperkenankan berbaur dengan pengaturan adat.
- Ajaran agama Hindu di bidang tata kenegaraan harus diterima oleh masyarakat adat.
- Pangunraun Jauh.
- Pengaturan kehidupan berbentuk Kerajaan, tapi di bawah kerajaan negeri seberang, pengaturan dibagi tiga, yaitu di bidang agama dan adat istiadat sehari-hari diatur dan dipimpin oleh dambung, pertanahan dan keamanan diatur dan dipimpin oleh tamanggung, serta bidang sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan hidup serta lain-lain dipimpin patinggi.
Sejak serangan Majahpahit yang kedua
ini masyarakat adat (Dayak) memiliki pola kepemimpinan semacam itu dan dijabat
oleh keturunannya masing-masing, serta juga mengenal kehidupan berkasta, yakni
adanya Putak Amau (golongan tinggi:
bangsawan, petapa, pendeta, pemangku adat, guru), Putak Manrama`an atau Maratawan
(golongan menengah: pedagang, petani) dan Putak
Walah (Golongan Rendah: Buruh, budak/kuli, pesuruh, tahanan perang). Karena
peraturan tersebut tidak sesuai dengan peraturan masyarakat adat, seperti
diinjaknya hak azasi budak golongan
budak oleh bangsawan, dipaksanya ajaran agama Hindu ke dalam peraturan adat
istiadat, maka lama kelamaan masyarakat adat tersebut pergi ke daerah pedalaman
sehingga akhirnya negeri masyarakat adat
itu tidak berpenghuni sama sekali.
Adapun dambung, tamanggung dan patinggi
yang berakhir memegang pimpinan dalam masyarakat adat Pangunraun Jatuh adalah
Dambung Mangkurap, Tamanggung Jaya Sungkat dan Patinggi Tambing Baya Raya. Setelah
membubarkan diri, masayarakat negeri Pangunraun Jatuh ini lebih memilih menjadi
rakyat biasa, yakni membangun Desa-Desa di pedalaman yang hanya di Pimpin oleh
kepala adat, yaitu dambung. Dambung Mangkurap sendiri pergi ke Martapura,
memilih bergabung dengan Kerajaan Daha Dipa, yang merupakan cikal bakal
Kesultanan Banjar. Dia kemudian sebagai orang Dayak pertama yang masuk Islam
dan menjadi raja Kerajaan Banjar yang kesohor sebelum Pangeran Antasari, kini
namanya diabadikan menjadi nama sebuah Universitas negeri di Banjarmasin, yang
dalam lekison Melayu disebut Lambung Mangkurat. Sementara gugusan pegunungan Pangunraun Jatuh, yang dalam lekison Melayu
disebut pengunungan Meratus, di masa-masa perang dengan suku lain terutama
wilayah timur digunakan sebagai pembatas agar musuh tidak dapat masuk kedalam
wilayah adat mereka, sedangkan pembatas di wilayah barat adalah hutan rimba
antara sungai Barito dan Sungai Kapuas dengan puncak tapal batas sungai Barito
yang lebarnya mencapai 300 meter dan panjanganya 300 km dari laut Jawa sebelah
selatan (hilir) sampai gugusan pegunungan Muller di sebelah utara (hulu).
Kepala Adat dan Organisasi Keadatan
Menurut seorang narasumber yang
merupakan keturunan langsung seorang tamanggung
(Layani 78 tahun, cicit Tamanggung Jay
Dauk), sebelum terkooptasi oleh kebijakan Majahpahit mereka sudah mengenal hadat sebagai pengelola kehidupan, yakni
dinamakan karakatan hadat, pipakatan
hadat atau juga karapatan hadat
yang didalamnya terdapat 3 bidang yang dikelola oleh 3 orang sebagai pemangku
jabatannya, ketiga pejabat formal itu adalah penanggungjawab di bidangnya
masing-masing. Saat satu kampung terpecah dan membentuk beberapa kampung baru,
maka masing-masing pemimpin tersebut bisa jadi sekaligus sebagai pemimpin atau
penguasa dalam komunitas adatnya masing-masing, mereka adalah :
1
|
Patinggi/Patih
|
:
|
Pemimpin pemerintahan adat (unsur eksekutif) atau
Datu.
Pemimpin tertinggi Karakatan atau Pipakatan
Hadat
|
2
|
Dambung
|
:
|
Pemimpin Pengadilan Adat (unsur yudikatif).
Pelaksana penuh Hukum Hadat Karakatan disini Dambung
di bantu oleh sebuah dewan untuk bersama-sama berunding mengenaikehidupan
Karakatan, Dewan itu disebut Dewan Mantir
|
3
|
Patis/Pamakal
|
:
|
Pemilih atau perwakilan adat (unsur legislatif). Pengurus
kesejahteraan dan ketentraman masyarakat, merupakan wakil masyarakat untuk
menyampaikan aspirasi kepada Patinggi dan Dambung, berkenaan dengan
pengelolaan kehidupan karakatan tersebut.
|
Karena dalam satu rumah terdiri atas
beberapa kepala keluarga, maka satu rumah dipimpin oleh satu orang patis, sementara dambung dan patinggi atau patih menjadi pemimpin dalam satu komunitas adat yang lazim disebut
karakatan hadat tersebut, bukan
membentuk hubungan hierarki, melainkan sejajar, kesemuanya berdiri sendiri dan
bekerja diwilayah domestik masing-masing dengan tetap dikoordinatori patinggi sebagai koordinator atau
pimpinan karakatan hadat. Tujuanya
adalah untuk mencapai harmoni kehidupan, yakni menyelaraskan kehidupan antar
manusia itu sendiri, manusia dengan alam sekitar (flora dan fauna) serta
manusia dengan Roh-roh nenek moyang mereka. Dua jabatan paling atas meruapakan
hasil pemilihan dalam sebuah musyawarah adat oleh para patis sebagai wakil masyarakat adat.
Sementara patis sendiri dipilih langsung oleh masyarakat adat untuk mewakili
masyarakat adat karena keahliannya mengatur kesejahteraan dan ketentraman
masyarakat. Patis ini merupakan ketua
rumah panjang (lewu hante) yang
dihuni oleh puluhan keluarga, karena dalam satu komunitas adat terdiri atas
beberapa rumah besar, maka seberapa banyak jumlah rumah dalam komunitas adat
tersebut, sebanyak itu pula jumlah patisnya.
Setelah mengalami beberapa kali
perubahan, akhirnya di masa-masa pemerintahan kolonial Belanda berlangsung pada
paruh abad 19, dalam satu komunitas adat yang sekarang lazim disebut
kedamangan, sebelum dikooptasi oleh peraturan pemerintah kolonial Belanda,
dipimpin oleh dambung. Ia di bantu
oleh para penasehat ahli yang memberikan masukan dan pandagan, tatkala dambung
hendak memutuskan suatu keputusan adat berkenaan dengan pelaksanaan hukum adat,
dalam hal ini para penasehat akan memberikan pandangannya yang berhubungan
dengan keahlian dan fungsinya masing-masing, atas beberapa orang yang khusus
bertugas di setiap tumpuk atau Desa dalam satu kedamangan untuk mewakili
dambung sebagai pelaksana hukum adat di tingkat Desa. Para mantir ini terdiri
dari : (1).Pangulu adat, yaitu
pemimpin tata laksana hukum adat ditingkat tumpuk
atau Desa, (2). Wakil Pangulu Adat,
merupakan wakil atau pembantu pangulu
adat, (3).Juru Kamung, yaitu
sejenis notulen yang merangkum dan atau merekam jalannya suatu sidang adat
untuk kemudian di laporkan kepada damang, (4).Panata Hukum Tumpuk, merupakan wakil atau pembantu pekerjaan kamung, (5). Pangirak, yaitu sejenis pemungut pajak/cukai dari masyarakat adat,
yang hasilnya untuk membiayai pengelolaan dan pelaksanaan hukum adat : seperti
beras, lauk-pauk, buah-buahan dan sebagainya, yang nantinya akan dikonsumsi
saat melaksanakan Sidang Adat yang biasanya memakan waktu beberapa hari, (6). Kepala Padang, yaitu petugas atau
pengawas pemakaian tanah adat serta pemberi arahan kepada masyarakat adat agar
pemakaian tanah adat tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam hukum adat, dan (7). Alim-Ulama,
yaitu mantir yang mewakili agama atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat
adat bisa dimasukkan perwakilannya sebanyak 3 orang untuk mengakomodir
kepentingan dan kebutuhan agamanya.
Seberapa banyak jumlah Desa dalam
satu Komunitas adat, maka sebanyak 7 orang atau lebih pula mantir adatnya. Umumnya setiap komunitas adat yang memiliki minimal
50 jiwa, komunitas itu wajib memiliki dambung
sebagai kepala adat, dan juga semua tokoh-tokoh adat yang berpengaruh diwilayah
adat tersebut, seperti tamanggung, patih,
patinggi wajib tergabung dalam let
adat sebagai penasehat ahli, lalu juga wajib memiliki mantir adat sebagai staffnya. Kemudian apabila dalam suatu Desa
terdapat paling tidak 20 orang atau lebih yang bukan dari suku Dayak, maka
warga tersebut wajib memiliki pangulu
adat yang akan mengakomodir kepentingan serta kebutuhan mereka, dengan
tetap berkoordinasi dengan pangulu adat
dari suku Dayak, serta masuk dalam kepengurusan mantir adat.
Mantir adat
melakukan sidang peradilan hadat pada
tingkat pertama ditingkat Desa, bila suatu kasus pelanggaran hukum adat tidak
diselesaikan, maka sipelanggar diajukan oleh mantir adat ketingkat komunitas adat, disini kasusnya diserahkan
kepada dambung. Dambung berhak memutuskan suatu keputusan setelah mendengar
nasehat-nasehat dan masukan-masukan dari let
adat, termasuk juga pandangan-pandangan dari mantir adat. Ditingkat komunitas adat, asosiasi para mantir adat atau gabungan dari para mantir data dari seluruh Desa dalam
komunitas adat tersebut membentuk sebuah dewan, yang lazim dinamakan dewan mantir, mereka melakukan sidang
adat manakala terjadi permasalahan dalam kehidupan keseharian di wilayah adat
tersebut yang tidak bisa diselesaikan oleh dambung
seorang diri, termasuk sidang adat saat dambung
memutuskan suatu keputusan yang berkenaan dengan pelanggaran hukum adat,
yang kemudian disampaikan kepada dambung sebagai
bahan masukan.
Pada prinsipnya peran dan fungsi
seorang dambung sebagai kepala adat
adalah pengkoordinir tugas-tugas para mantir
adat dalam satu komunitas adat, yang khusus mengelola dan mengatur hukum
adat, entah hukum adat yang mengatur kehidupan (manusia hidup dan lingkungan
hidup), maupun hukum adat yang mengatur kematian (yang berhubungan dengan
penghormatan kepada leluhur).
Selain para pemangku adat formal itu,
dalam tataran non formal juga ada pemangku adat penting lainya, yaitu wadian (laki-laki dan perempuan), Dewa (perempuan), Deder (perempuan), Panutui
kanen Diau (perempuan) dan Penyampir
(laki-laki dan perempuan), mereka tergolong kedalam wadian hadat yakni sebagai ahli ajaran Kaharingan yang memberi
masukan dan pandangan pada saat pemimpin formal menemui kendala dalam
menuntaskan suatu permasalahan, yang berkenaan dengan hukum adat. Pejabat non
formal ini selain bertugas sebagai ahli ajaran Kaharingan, entah upacara
kehidupan maupun kematian. Bersama mantir
adat (bila ditingkat desa), para pemangku adat non formal ini bahu membahu
menuntun masyarakat agar menjalani kehidupan sesuai adat istiadat yang berlaku
serta yang telah diatur dalam hukum adat. Dikatakan sebagai pemangku adat non
formal, karena keberadaan mereka tidak termasuk dalam unsur kepala adat yang
meliliki kekuasaan “Resmi”, baik tataran komunitas adat maupun pada tataran tumpuk atau Desa. Mereka hanya berkuasa
terbatas pada tataran religius Kaharingan, terutama sebagai pemimpin
ritual-ritual ajaran Kaharingan.
Sejak tahun 1938, oleh pemerintah
kolonial Belanda jumlah kepala adat dalam satu komunitas adat hanya berjumlah 1
orang, dan diberi gelar damang,
kemudian nama komunitas adat dinamakan kedamangan.
Awalnya, untuk mengatur dan menyeragamkan nama damang dan kedamangan diwilayah
pesisir selatan, pada tanggal 28 oktober 1938 dibuat sebuah peraturan, yaitu Besluit Residen Kalimantan Selatan dan
Timur, nomor :349/C.7-1. Tentang penunjukan (Aanwijzing) dari kedamangan-kedamangan (damang schapen), yaitu Dayak Hilir (Beneden Dayak), Dayak Hulu (Boven
Dayak) dan Sampit. Beberapa bulan kemudian, untuk mengatur dan
menyeragamkan pemilihan damang diwilayah
pedalaman, pada tanggal 15 Februari 1939 ditetapkan Besluit Residen Der Zuider en Oosterafdeeling van Borneo Nomor :
53/C.7-1 tentang Pemilihan, Pemecatan dan Kedudukan Para Damang Daerah Kapuas
dan Barito.
Sejak tahun 1983 pula, kepala adat
tidak ada lagi mempunyai let adat
sebagai penasehat ahli dan khusus memberikan nasehat atau juga arahan saat
kepala adat hendak mengambil suatu keputusan hukum adat, karena let adat yang terdiri dari para
bangsawan yang ahli dibidangnya masing-masing dalam tataran komunitas adat
telah dihapus oleh pemerintah kolonial. Meskipun di beberapa komunitas adat, let adat masih ada, namun mereka
bukanlah orang-orang yang memiliki spesifikasi keahlian, melainkan orang-orang
atau warga kebanyakan yang diangkat oleh kepala adat: nasehat merekapun belum
tentu didengar, karena umumnya mereka tidak memliki “Pengaruh” dalam komunitas
adat.
Dalam perkembangan berikutnya, dalam
struktur kedamangan oleh pemerintah
kolinial Belanda, selain jabatan damang sebagai
kepala adat, juga ada jabatan formal baru, yaitu pamakal. Pamakal berperan
dan berfungsi menjadi pemimpin resmi pemerintah Desa, yang dibilih langsung
oleh masyarakat adat di desa atau ditumpuk bersangkutan. Hanya saja, kalau damang sebagai kepala adat berperan dan
berfungsi untuk mengelola adat istiadat dalam satu komunitas adat, maka pamakal berperan dan berfungsi menjadi
pemimpin pemerintahan resmi di tingkat Desa dalam wilayah komunitas adat
tersebut. Dengan demikian di tingkat desa ini, pamakal bermitra dengan mantir adat, yang merupakan wakil damang di
tingkat desa.
Bila menyangkut urusan pemerintahan
sehari-hari seperti bergotong royong membangun jalan desa maka masyarakat desa
di pimpin oleh pamakal, sementara
bila menyangkut permasalahan adat istiadat berarti di pimpin oleh mantir adat
di desa bersangkutan. Pada titik ini, oleh pemerintah kolonial, pamakal atau kepala desa masuk dalam
struktur mantir adat, dan menjadi
bagian dalam mantir adat sebagai
pembantu damang ditingkat desa. Menurut
Sikoer Patus, pemerintahan desa merupakan wilayah administratif pemerintah
kolonial baik secara vertikal atau juga secara desentralisasi otonomi, dan
berada langsung di bawah pengawasan demang
atau wedana sebagai kepala distrik. Bersama seorang wakilnya, pamakal atau kepala desa juga menjadi “bendaharawan”
desa untuk mengurus sarana dan prasarana pembangungnan di setiap desa.
Pada tanggal 30 Maret 1953 sampai 1
April 1953, di Kuala Kapuas selama 2 hari para kepala adat bergelar damang berkumpul untuk mengadakan musyawarah hadat mengenai tanah adat dan
batas-batas wilayah adat terutama yang ada diwilayah pesisir selatan kemudian
sampai ke pedalaman Barito, Kapuas dan Kotawaringin yang saat itu masih menjadi
bagian dalam Karesidenan Kalimantan Selatan. Sebelumnya masalah tanah adat dan
batas-batas wilayah adat memang pernah di musyawarahkan di Kuala Kapuas oleh
para kepala adat seluruh Kapuas, Kahayan, Rungan dan Manuhing pada tanggal 3
September 1928 bersama Pemerintah Hindia Belanda, namun karena dalam keputusannya
intervensi pemerintah kolonial dinilai sangat kental, dan keputusan itu hanya
menyangkut wilayah adat di Daerah Kapuas, Kahayan, Rungan dan Manuhing saja, maka setelah Indonesia
merdeka, kembali para kepala adat berkumpul dan bermusyawarah di Kuala Kapuas.
Dalam musyawarah tersebut, para damang memutuskan hutan sebagai :
- Sampaking : yaitu tanda yang dibuat untuk menyatakan maksud membuka hutan untuk berladang, kemudian hak sampaking menjadi hilang setelah satu tahun tanda yang dikapling dengan sampaking itu tidak digarap.
- Belukar: diperoleh karena membuka hutan dan bila hanya ditanami beberapa pohon buah-buahan atau tidak merupakan kebun atau ladang, dan akan hilang hak kepemilikanya setelah lima tahun tidak dikerjakan.
- Pali : merupakan hutan atau belukar yang dilarang oleh (hukum) adat untuk digarap, pali menjadi berakhir setelah dilaksanakan upacara adat untuk membebaskannya dari larangan itu.
- Rintisan : merupakan tanda perhelatan atau persambitan satu tanah dengan tanah lain yang ada di kanan kiri-depan belakang, apabila satu tahun lokasi tanah yang dirintis itu tidak dikerjakan dengan membuat ladang atau kebun maka hak seseorang atas rintisan itu dinyatakan hilang.
- Tatah: merupakan parit yang digali mengelilingi tanah yang dimiliki, boleh juga parit ini, bagi yang dalam, dijadikan tempat berternak ikan, dan hak tatah menjadi hilang apabila setelah lima tahun tidak digarap atau dipelihara.
- Sungai dan Danau : merupakan suatu lokasi perairan lengkap beserta kekayaanya, yang boleh dimiliki seseorang secara individu berdasarkan jasanya terhadap komunitas adat dan masyarakat adat, dalam hal ini orang-orang tertentu terutama para pemangku adat baik dalam tataran formal maupun non formal berpeluang besar untuk mendapatkan penguasaan sebuah sungai atau danau beserta kekayaannya. Hak penguasaannya akan hilang selama enam bulan tidak dipelihara sebagaimana mestinya, dan apabila ada anggota masyarakat yang lain hendak memungut kekayaan danau atau sungai itu, maka 10 persen dari hasilnya menjadi bagian orang punya, dan
- Andel: merupakan parit induk yang digali keliling ladang atau sawah yang baru digarap, penggaliannya di lakukan di perbatasan kana kiri-depan belakang tanah tersebut dengan tanah yang dimiliki pihak lain atau orang lain. Hak penguasaan andel akan hilang setelah tiga tahun tidak dipelihara atau dibersihkan.
Selain 7
keputusan tersebut, musyawarah hadat
itu juga memutuskan hak ulayat, yakni
seukuran 5 km (sepukang bunyi gong)
dari pinggir kiri-kanan sungai tempat pemukiman penduduk untuk dijadikan tempat
masyarakat berusaha, atau dengan kata lain, minimal sejauh 5 km (sepukang bunyi gong) dari pemukiman
penduduk, suatu tempat atau tanah baru bisa dijadikan tempat berladang,
berkebun atau kegiatan usaha lainya. Hak
ulayat disini meliputi : Hak
tanggeran (hak memiliki sebatang pohon di tengah hutan yang menjadi sarang
lebah), hak rotan pantung (hak
memiliki pohon ditengah hutan: sejenis pohon karet yang menghasilkan getah
kayu), hak beje (hak membuat kolam
untuk berternak ikan di sebidang tanah yang belum dimiliki orang lain), hak sapinang (mencirikan suatu tempat
dengan sebuah piring, bahwa tempat tersebut akan digarap menjadi ladang atau
kebun lainnya), hak sapukang (hak
memukul gong disuatu tempat bahwa tempat tersebut telah ada penghuninya), hak bahu talien (hak memiliki kayu ulin
untuk membuat rumah), hak bahuma (hak
berladang), hak petak rotan (hak
kepemilikan tanah tempat menanam rotan) dan hak
pahewan (hak memiliki suatu tempat yang dikeramatkan oleh orang
bersangkutan). Secara berturut-turut hak-hak tersebut akan hilang kalau 3-5
tahun tidak digarap serius atau bila tidak dipelihara.
Catatan Penulis
Para pembaca yang budiman bahwa
mengulas sejarah terkadang akan membawa perdebatan tersendiri, apalagi
diperkuat dengan data-data serta fakta. Begitu pula dengan metodelogi apa yang
digunakan. Salah satu perdebatan yang tidak pernah usai di negara tercinta kita
ini adalah peristiwa G 30 September 1965. Biarpun demikian seperti yang telah
saya tulis diatas bahwa sejarah harus diposisikan dengan tepat. Sejarah tidak
muncul begitu saja, bim sala bim
muncul secara gaib dihadapan kita. Bahwa khususnya mengenai sejarah hukum adat
harus ditenemukan, hal ini seperti yang disampaikan oleh C.Van Vollenhoven,
bahwa walaupun hukum adat bangsa Indonesia itu sendiri telah berumur panjang,
namun adanya hukum tersebut dan nilainya merupakan hal baru saja disadari. Walau
aneh kedengarannya, akan tetapi hukum adat tersebut harus ditemukan, dan penemuanya
memerlukan waktu dan upaya (C.van Vollenhoven, 1987:1).
Tulisan hasil copy paste dua buku inipun akan dirasakan sangat minim informasi
bagi pembacanya. Karena Puzzle inipun
terfokus pada persebaran suku Dayak dan Kelembagaan Adat. Namun seminimalnya
tulisan ini saya angkat untuk mengambarkan sebuah proses. Proses perubahaan
baik dari tataran internal mau eksternal. Kalau dikontekskan dengan hari ini
maka pesebaran suku Dayak sudah semakin rumit untuk menulusurinya. Bahwa tempo
hari yang lalu setelah saya mengupload sebuah foto tentang peta persebaran suku
Dayak, lalu mendapatkan komentar bahwa peta tersebut telah tidak relevan di
karenakan semakin banyak konsesi-konsesi perusahaan mengepung pulau Borneo ini.
Bertalian erat dengan proses kelembagaan adat, dimana setiap rezim
mentrasformasikan eksistensi dari masyarakat hukum adat itu sendiri. Jika hari
ini ada sebuah pertanyaan dimana wilayah adat masyarakat hukum adat secara
ekplisit, maka akan kesusahan untuk menjawabnya.
Sebuah interaksi singkat juga
menginformasikan apa yang menjadi topik dua tulisan ini terutama mengenai kata dambung. Interaksi pertama dengan
masyarakat adat di Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau bahwa konsep kepimpinan
adat mereka di pimpin oleh dambung. Begitupula
hasil interaksi saya dengan seorang teman yang merupakan keturunan dari
Kesultanan Kutaringin, yaitu Gusti Samudera yang kini mendiami Astana Al-nusari
di Kecamatan Kutaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat. Bahwa menurut beliau
sejarah Kesultanan Kutaringin tidak lepas dengan adanya peran dambung.
Mengenai hasil musyawarah hadat di Kuala Kapuas, hal ini juga sering dijumpai
istilah-istilah adat yang masih dapat di konfirmasi sampai sekarang. Jika
pembaca berkunjung atau berinteraksi dengan masyarakat yang ada di Kabupaten
Pulang Pisau dan Kapuas maka istilah seperti andel, dan hak-hak ulayat
itu masih mudah ditemukan penyebutanya. Walaupun kini yang menjadi soal dimana
letak hutan adat bagi masyarakat adat bisa dikatakan tidak ada. Tahun 2005
masyarakat adat di Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau
mendeklarasikan Hutan Adat Kalawa. Tetapi Hutan Adat inipun berganti menjadi
Hutan Desa dikarenakan pengakuan yang diberikan oleh pemerintah tidak
memberikan pelaksana teknisnya pada saat itu. Pilihan Hutan Desa merupakan
pilihan yang paling realistis pada waktu itu untuk membendung ekspansi
perkebunan besar kelapa sawit yang kian membabi buta.
Memposisikan sejarah pada tempatnya
juga sangat penting, walau pada dasarnya setiap tulisan ilmiah harus sangat
terbuka dengan kritik. Menyangkut sejarah masyarakat adat khususnya di
Kalimantan Tengah ini merupakan sebuah jalan untuk memahami tentang identitas
diri. Maka jika tidak ditempatkan pada posisinya akan menyebabkan luka secara
perasaan bagi sang pemilik indentitas.
Akhirnya sampai pada tulisan
terakhir, bahwa dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Adat istiadat
merupakan sebuah identitas yang harus dihormati. Menuliskan sejarah masyarakat
Kalimantan Tengah merupakan menuliskan sebuah identitas dimana puzzle-puzzle ini harus di lengkapi.
Rezim/Pemerintah hari ini harus menyusun Puzzle
tersebut sebelum membuat program bagi masyarakat adat di Kalimantan Tengah.
Rekomendasi Rujukan
Mubyarto,
dkk, 1993,” Desa-Desa Kalimantan Studi
Bina Desa Pedalaman Kalimantan”, Aditya Media, Yogyakarta.
............2007, Masihkah (Kah) Indonesia, Kanisius, Editor
Budi Susanto, S.J, Yogyakarta.
Vollenhoven,
1987, Penemuan Hukum Adat, Karangan
Terjemahan Koninklijk Istituut Voor Taal-,Land-en Volkendunde (KITLV) Bersama
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Djambatan, Jakarta.
Riwut,
Tjilik, 1979, Kalimantan Membangun, Palangka Raya.
Mihing,
Teras, dkk 1980/1981, sejarah pendidikan
Daerah Kalimantan Tengah, proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah.
Koentjaraningrat,
1980, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,
Djambatan, Jakarta.
King,
Victor.T, 2013, Kalimantan Tempo Doeloe, The
Best Of Borneo Travwl (New York:Oxford University Prees), Komunitas Bambu,
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar