Rabu, 09 November 2016

Sejarah Perkembangan Masyarakat Kalimantan Tengah



Sejarah Perkembangan Masyarakat Kalimantan Tengah
Merupakan Puzzle Yang Harus Dilengkapi.
Oleh * Aryo Nugroho Waluyo

Membaca dan menuliskan ulang tentang sejarah Kalimantan Tengah merupakan suatu hal yang sangat menyenangkan. Menelusuri kembali masa lampau dan masuk kedalam alam pikiran sang penulis merupakan bagian dari kenikmatan sendiri. Dorongan akan Jas Merah (jangan lupakan sejarah) ungkapan api dari Bung Karno selalu menjadi penyulut. Disisi lain bahwa sejarah akan membawa informasi tentang penentuan kondisi masa sekarang, sehingga memposisikan sejarah pada tempatnya itu hal yang penting. Saya yakin sangat banyak tulisan mengenai sejarah Kalimantan Tengah walaupun tulisan-tulisan tersebut sangat sulit untuk didapatkan. Dari pengalaman dan bukan seorang pembaca buku yang baik, bahwa membaca dan menuliskan ulang sejarah Kalimantan Tengah bagai menyusun puzzle. Mengapa demikian karena dari masing-masing wilayah yang ada di Kalimantan Tengah mempunyai sejarahnya tersendiri. Dari berbagai macam literatur yang coba dikumpulkan kebanyakan mengulas hanya satu suku saja dan tidak bisa mengambarkan secara keseluruhan.

Iteraksi saya beberapa tahun ini juga membuat saya selalu ingin belajar. Dimana pada kenyataanya berbicara khususnya perkembangan masyarakat di Kalimantan Tengah tidak saja membahas satu pulau ini. Seperti iteraksi saya dengan masyarakat yang ada di Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, bahwa berdasarkan penuturan masyarakat, sejarah mereka tidak lepas daripada hadirnya seorang Patih dari wilayah Sumatera yaitu Patih Nan Sebantang dari Kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Sisi lain dorongan untuk menulis melihat metodelogi-metodelogi apa yang diterapkan oleh penulis lainya (baca: penelitian yang terdahulu). Metodelogi secara sederhana saya memahaminya sebagai pendekatan untuk menuliskan sesuatu. Seperti yang saya akan tuliskan ulang, mengenai sejarah di Kalimantan Tengah dengan mengcopy paste (dalam istilah Victor T.King dalam Bukunya Kalimantan Tempo Doeloe, Nukilan) dari sumber dua buku. Buku Pertama tulisan seorang Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM Mubyarto beserta tim dengan judul bukunya Desa-Desa Kalimantan: Studi Bina Desa Pendalaman Kalimantan Tengah. Buku Kedua Masih (Kah) Indonesia, Editor Budi Susanto, S.J yang ditulis oleh beberapa orang Peneliti salah satunya Kisno Hadi.

Terkait dengan konteks sejarah perkembangan masyarakat Kalimantan Tengah kedua buku ini mengunakan pendekatan Budaya lisan. Budaya lisan ini begitu kuat terjaga sampai sekarang walaupun pernyataan ini perlu diuji lebih lanjut. Budaya Lisan merupakan sebuah metedologi yang bisa digunakan untuk memotret masa lalu. Begitu pula di Kalimantan Tengah Seperti yang di tulis oleh Mihing dalam Mubyarto menyebutkan budaya yang berkembang dalam masyarakat Dayak adalah budaya lisan. Masyarakat Dayak tidak memiliki budaya tulis menulis. Oleh karena itu mereka tidak memiliki susunan abjad dan peninggalan tertulis mengenai masa lampau (Mihing dkk, 1980:1). Lebih lanjut Kisno Hadi bagian penulis Buku Masih (Kah) Indonesia menyebutkan tentang Kajian postkolonial yang memberikan ruang bagi pemanfaatan tradisi lisan untuk menulis sejarah. Metode penilitian tersebut adalah oral history, berupa sejarah lisan yang memang menjadi cara atau metode bagi masyarakat Dayak untuk menyejarahkan sejarahnya. Metode ini digunakan untuk melengkapi studi literatur hasil penelitian terdahulu maupun penelitian atau tulisan-tulisan lainnya yang memiliki korelasi. Lebih lanjut Kisno Hadi juga memfokuskan pada metode mikrohsitory yang deterministik, yang akan menggambarkan suara-suara lain kaum minoritas (subaltern studies) dari pedalaman, lain seperti suara pemerintah yang sangat elitis.

Kedua Buku ini secara garis besar berbeda objek potretnya, dimana tulisan Mubyarto lebih memotret terkait dengan transformasi masyarakat dengan adanya politik Desa sedangkan Kisno Hadi memotret tentang transformasi kelembagaan adat. Mubyarto mengambil lokasi penelitian ditiga Kabupaten di Kalimantan Tengah yaitu Barito Utara, Kapuas dan Kotawaringin Barat. Sedangkan Kisno Hadi meneliti di tiga wilayah Kedamangan, yaitu Kedamangan Dusun Selatan, Kedamangan Paku Karau dan Kedamangan Padju Sepuluh. Ketiganya merupakan refrentasi dari Komunitas masyarakat adat Dayak yang berada di wilayah Barito Selatan dan Timur yaitu masyarakat adat Dayak Dusun: Kedamangan Dusun Selatan, masyarakat adat Dayak Lawangan: Kedamangan Paku Karau, dan masyarakat adat Ma`anyan: Kedamangan Padju Sepuluh.

Penulisan ulang ini akan dibatasi pada dua pembahasan yaitu :

  1. Buku Pertama mengambil tentang sejarah Persebaran Suku Dayak
  2. Buku Kedua mengambil tentang Pasak Adat : Embrio Indonesia pendalaman Kalimantan Kepala Adat dan Pengembaraan di Rimba Barito.


Semoga tulisan singkat ini menjadi pembuka untuk kita semua dalam menemukan puzzle-puzzle mengenai sejarah perkembangan masyarakat adat Dayak yang ada di Kalimantan Tengah. Sehingga kita bisa melihatnya secara utuh.

Persebaran Suku Dayak

Penduduk “Asli” Kalimantan Tengah adalah suku Dayak, yang nenek moyangnya berasal dari daratan Asia. Mereka telah tinggal di pulau Kalimantan selama beberapa ribu tahun sebelumnya masehi. Ketika datang di Kalimantan mereka tidak lagi hidup dalam zaman batu, tetapi telah mengenal alat yang terbuat tanah maupun besi.

Salah satu faktor yang menyebabkan suku Dayak menyebar ke seluruh Kalimantan adalah timbulnya peperangan di kalangan suku Dayak sendiri. Oleh sebab itu mereka mencari tempat-tempat yang aman dari serangan-serangan musuh dan mengisolasikan diri dari pergaulan dengan  suku-suku lain. Akibatnya lahirlah belasan bahkan puluhan subkultur Dayak. Tjilik Riwut dalam bukunya Kalimantan Membangun membedakan Suku Dayak kedalam 7 sub suku, yaitu Ngaju, Apu Kayan, Iban, Klemantan, Murut, Punan dan Ot Danum. Ketujuh sub suku tersebut terbagi menjadi lagi dalam 18 sub suku yang lebih kecil (anak suku), dan sub suku yang lebih kecil terbagi lagi dalam 405 sub suku kecil-kecil (Riwut, 1979:214-232). Implikasi terbatasnya mobilitasnya sub suku kecil-kecil tersebut adalah, wawasan mereka menjadi “sempit” atau “spasial”, yakni hanya terbatas pada “kampung halaman”mereka saja.

Dilihat dari tempat tinggalnya, suku Dayak di Kalimantan Tengah tersebar disepanjang sungai-sungai besar seperti Dayak Ngaju tinggal di sepanjang sungai Kapuas, Kahayan, Manuhin, Barito dan Katingan. Tempat kediaman suku Dayak Ot-Danum di sepanjang hulu sungai Kahayan, Rungan, Barito dan Kapuas, dan di hulu sungai-sungai di Kalimantan Barat seperti sungai Melawi (anak sungai kapuas dari Kalimantan Barat). Sedangkan Dayak Ma`anyan dan Lawangan tersebar di berbagai bagian dari Kabupaten Barito Selatan yaitu di tepi timur Sungai Barito, terutama di antara anak-anak sungainya seperti Patai, Telang, Karau dan Dayu (Koentjaraningrat, 1980:199).

Ketika jumlah penduduk semakin bertambah dan orang Dayak mulai mendiami daerah pesisir atau muara sungai, mulailah mereka melepaskan diri dan hidup bersama dalam rumah panjang betang. Rumah-rumah keluarga banyak didirikan dan kontak dengan dunia luar semakin meningkat.

Secara genelogis orang Dayak umumnya menganut garis keturunan ayah dan ibu (ambilineal). Namun dalam hal ini tempat tinggal setelah menikah, seorang wanita yang telah kawin akan tetap tinggal bersama orang tuanya, sedangkan seorang laki-laki yang sudah kawin akan mengikuti istrinya sehingga harus keluar dari keanggotaan rumah panjang (betang). Kenyataan ini menimbulkan adanya keluarga-keluarga besar (jalaban) dengan solidaritas yang semakin luas. Baboban menunjuk pada kelompok keluarga dengan penekanan pada asal (klen atau marga) sedangkan istilah ungkup merujuk pada kesatuan menunjuk pada kesatuan yang lebih besar lagi, seperti kesamaan suku, daerah, atau agama (Depdikbud, 1979:60).

Pasak Adat : Embrio Indonesia di Pedalaman Kalimantan
Kepala Adat dan Pengembaraan di Rimba Barito

Ada beberapa versi yang diutarakan oleh para  responden yang ditemui di lapangan dalam menuturkan keberadaan masyarakat adat Dayak, baik secara komunal maupun para kepala adatnya , dalam hal ini, versi Dayak Dusun, Dayak Ma`Anyan dan Dayak Lawangan dirangkum menjadi satu, sehingga bisa terpaparkan seperti dalam hasil penelitian ini. Di sini perkembangan kepala adat dayak sebagai pasak adat tidak bisa dilepas dari sejarah perkembangan masyarakat adat Dayak itu sendiri, begitu sebaliknya. Kepada Adat, yang dulunya merupakan bagian dalam struktur pemimpin tertinggi dalam struktur komunitas adat. Istilah damang dalam kamus bahasa Indonesia tidak dikenal, yang hanya ada demang, yaitu kepala distrik atau wedana pada masa pemerintahan kolonial belanda. Gelar damang mulai digunakan sebagai kepala adat mulai tahun 1938, yakni saat pemerintahan kolonial belanda mengeluarkan sebuah kebijkan untuk mengatur keberadaan komunitas-komunitas adat Dayak di pedalaman, dan gelar para kepala adat pun secara keseluruhan diseragamkan, yaitu damang. Sebelum kemunculan gelar damang sebagai kepala adat, komunitas adat bergelar dambung. Dambung selain sebagai pemimpin pemerintahan adat sehari-sehari, ia juga sebagai pelaksana hukum adat dan hakim pengadilan adat  untuk menyelesaikan segala sengketa kehidupan masyarakat. Jabatannya dipegang berdasarkan hierarki. Setelah diganti dengan damang oleh pemerintah kolonial belanda, perlahan, perannya mulai meredup. Ia dibatasi mengurusi adat istiadat semata, damang juga mulai langsung dipilih langsung oleh masyarakat.

Dalam sejarah lisannya, terdapat sembilan tahap perpindahan tempat kehidupan orang Dayak di Kalimantan (Tengah) sehingga sampai ditempat seperti sekarang. Yang Pertama : merupakan asal Allahtala mula Allah di tane tipak sulau, langit rakun kabus, gumpal riwut mula, ranu gunung madu rahu, lumut turu tumeng, piyuyan turu tingkat, lisat lende niuy jongkong, paken tueng kola jaro, yakni tempat terjadinya manusia (Dayak) pertama seorang laki-laki bernama Datu Mula Manta Maharaja Mula Ulun, dari Datu ini kemudian di ambil oleh Allahtala Mula Allah satu tulang rusuknya, lalu dibuat seorang perempuan bernama Dara Mula Lapik Saribu Hengkang Ulun. Kedua : adalah di tumpuk lalung kuwung. Ketiga : ditumpuk pupur matung. Keempat : di tumpuk sida matung. Kelima : di mereka berpisah menjadi suku Dusun, Ma`anyan, Lawangan, Bijaju dan Siang (Ot Danum) dan ketujuh : di tumpuk gunung rumung gumi ipah bawai. Kedelapan : di tumpuk patai, dan Kesembilan : adalah tumpuk-tumpuk seperti sekarang, seperti padju epat, padju sapuluh, dayu dan banua lima.

Sejarah lisan yang juga merupakan sumber ajaran lisan dalam Teologi Kaharingan di DAS Barito ini, yang diketahui tempatnya hanya mulai dari keenam, yakni di Tumpuk Sani Sarunai, saat ini bekasnya ada di Tamak Sapala (Danau Panggang), Kabupaten Barito Kuala, daerah muara sungai Barito, Kalimantan Selatan. Di Tumpuk Sani Sarunai ini, yang oleh Charles Hose disebut-sebut sebagai tempat pendaratan pertama orang Dayak (Kahayan) di Kalimantan Tengah (dan sebagian Selatan) dari dataran Irawadi, Burma, yang memiliki kebudayaan unik berupa budaya rumah panggung memanjang, yang biasanya dibangun ditepi-tepi sungai: dipimpin oleh Datu Nini Punyut Maharaja Etuh Mula. Tamak Sapala sendiri menurut Raden Kutar Suta Uno (71 tahun) merupakan makam Nini Puyut yang berada persis ditengah danau panggang, dan membentuk pulau kecil ditengah danau itu. Setelah Nini Punyut meninggal lalu dimakamkan, masyarakat Sani Sarunai gempar karena mendapat serangan (yang pertama) dari kerajaan Majahpahit.

Setelah Sarunai hancur, maka masyarakat Sani Sarunai yang hanya berjumlah seratus orang itu pergi menyusuri sungai Nagara, anak sungai Barito, guna mencari tempat baru. Pilihan kemudian jatuh pada sebuah dataran pegunungan di tepi sungai Nagara, sekitar lereng pegunungan Meratus saat ini. Di tempat baru ini mereka yang kemudian dikenal dengan sebutan masyarakat adat pangunraun jatuh di Negeri Gunung Rumung Gumi Ipah Bawai, membangun dan mengembangkan kebudayaannya. Yang diyakini sebagai tonggak awal sejarah perkembangan keberadaan dan perkembangan adat, kebudayaan dan tradisi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah dan sebagian selatan masa kini. Saat mencapai puncak kejayaannya, datang lagi serangan (yang kedua) dari kerjaan Majahpahit yang dipimpin Patih Gadjah Mada dan memaksa pembauran antara peraturan adat istiadat yang mereka miliki dengan ajaran Hindu, yaitu :


  1. Masyarakat adat Pangunraun Jatuh masih berhak mengatur tata kehidupan mereka.
  2. Masyarakat adat Pangunraun Jatuh diharuskan membayar upeti setiap tahun ke negeri seberang.
  3. Agama Hindu harus diperkenankan berbaur dengan pengaturan adat.
  4. Ajaran agama Hindu di  bidang tata kenegaraan harus diterima oleh masyarakat adat.
  5. Pangunraun Jauh.
  6. Pengaturan kehidupan berbentuk Kerajaan, tapi di bawah kerajaan negeri seberang, pengaturan dibagi tiga, yaitu di bidang agama dan adat istiadat sehari-hari diatur dan dipimpin oleh dambung, pertanahan dan keamanan diatur dan dipimpin oleh tamanggung, serta bidang sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan hidup serta lain-lain dipimpin patinggi.

Sejak serangan Majahpahit yang kedua ini masyarakat adat (Dayak) memiliki pola kepemimpinan semacam itu dan dijabat oleh keturunannya masing-masing, serta juga mengenal kehidupan berkasta, yakni adanya Putak Amau (golongan tinggi: bangsawan, petapa, pendeta, pemangku adat, guru), Putak Manrama`an atau Maratawan (golongan menengah: pedagang, petani) dan Putak Walah (Golongan Rendah: Buruh, budak/kuli, pesuruh, tahanan perang). Karena peraturan tersebut tidak sesuai dengan peraturan masyarakat adat, seperti diinjaknya hak azasi  budak golongan budak oleh bangsawan, dipaksanya ajaran agama Hindu ke dalam peraturan adat istiadat, maka lama kelamaan masyarakat adat tersebut pergi ke daerah pedalaman sehingga akhirnya negeri masyarakat  adat itu tidak berpenghuni sama sekali.

Adapun dambung, tamanggung dan patinggi yang berakhir memegang pimpinan dalam masyarakat adat Pangunraun Jatuh adalah Dambung Mangkurap, Tamanggung Jaya Sungkat dan Patinggi Tambing Baya Raya. Setelah membubarkan diri, masayarakat negeri Pangunraun Jatuh ini lebih memilih menjadi rakyat biasa, yakni membangun Desa-Desa di pedalaman yang hanya di Pimpin oleh kepala adat, yaitu dambung. Dambung Mangkurap sendiri pergi ke Martapura, memilih bergabung dengan Kerajaan Daha Dipa, yang merupakan cikal bakal Kesultanan Banjar. Dia kemudian sebagai orang Dayak pertama yang masuk Islam dan menjadi raja Kerajaan Banjar yang kesohor sebelum Pangeran Antasari, kini namanya diabadikan menjadi nama sebuah Universitas negeri di Banjarmasin, yang dalam lekison Melayu disebut Lambung Mangkurat. Sementara gugusan pegunungan Pangunraun Jatuh, yang dalam lekison Melayu disebut pengunungan Meratus, di masa-masa perang dengan suku lain terutama wilayah timur digunakan sebagai pembatas agar musuh tidak dapat masuk kedalam wilayah adat mereka, sedangkan pembatas di wilayah barat adalah hutan rimba antara sungai Barito dan Sungai Kapuas dengan puncak tapal batas sungai Barito yang lebarnya mencapai 300 meter dan panjanganya 300 km dari laut Jawa sebelah selatan (hilir) sampai gugusan pegunungan Muller di sebelah utara (hulu).

Kepala Adat dan Organisasi Keadatan

Menurut seorang narasumber yang merupakan keturunan langsung seorang tamanggung (Layani 78 tahun,  cicit Tamanggung Jay Dauk), sebelum terkooptasi oleh kebijakan Majahpahit mereka sudah mengenal hadat sebagai pengelola kehidupan, yakni dinamakan karakatan hadat, pipakatan hadat atau juga karapatan hadat yang didalamnya terdapat 3 bidang yang dikelola oleh 3 orang sebagai pemangku jabatannya, ketiga pejabat formal itu adalah penanggungjawab di bidangnya masing-masing. Saat satu kampung terpecah dan membentuk beberapa kampung baru, maka masing-masing pemimpin tersebut bisa jadi sekaligus sebagai pemimpin atau penguasa dalam komunitas adatnya masing-masing, mereka adalah :

1
Patinggi/Patih
:
Pemimpin pemerintahan adat (unsur eksekutif) atau Datu.
Pemimpin tertinggi Karakatan atau Pipakatan Hadat
2
Dambung
:
Pemimpin Pengadilan Adat (unsur yudikatif).
Pelaksana penuh Hukum Hadat Karakatan disini Dambung di bantu oleh sebuah dewan untuk bersama-sama berunding mengenaikehidupan Karakatan, Dewan itu disebut Dewan Mantir
3
Patis/Pamakal
:
Pemilih atau perwakilan adat (unsur legislatif). Pengurus kesejahteraan dan ketentraman masyarakat, merupakan wakil masyarakat untuk menyampaikan aspirasi kepada Patinggi dan Dambung, berkenaan dengan pengelolaan kehidupan karakatan tersebut.

Karena dalam satu rumah terdiri atas beberapa kepala keluarga, maka satu rumah dipimpin oleh satu orang patis, sementara dambung dan patinggi atau patih menjadi pemimpin dalam satu komunitas adat yang lazim disebut karakatan hadat tersebut, bukan membentuk hubungan hierarki, melainkan sejajar, kesemuanya berdiri sendiri dan bekerja diwilayah domestik masing-masing dengan tetap dikoordinatori patinggi sebagai koordinator atau pimpinan karakatan hadat. Tujuanya adalah untuk mencapai harmoni kehidupan, yakni menyelaraskan kehidupan antar manusia itu sendiri, manusia dengan alam sekitar (flora dan fauna) serta manusia dengan Roh-roh nenek moyang mereka. Dua jabatan paling atas meruapakan hasil pemilihan dalam sebuah musyawarah adat oleh para patis sebagai wakil masyarakat adat.

Sementara patis sendiri dipilih langsung oleh masyarakat adat untuk mewakili masyarakat adat karena keahliannya mengatur kesejahteraan dan ketentraman masyarakat. Patis ini merupakan ketua rumah panjang (lewu hante) yang dihuni oleh puluhan keluarga, karena dalam satu komunitas adat terdiri atas beberapa rumah besar, maka seberapa banyak jumlah rumah dalam komunitas adat tersebut, sebanyak itu pula jumlah patisnya.

Setelah mengalami beberapa kali perubahan, akhirnya di masa-masa pemerintahan kolonial Belanda berlangsung pada paruh abad 19, dalam satu komunitas adat yang sekarang lazim disebut kedamangan, sebelum dikooptasi oleh peraturan pemerintah kolonial Belanda, dipimpin oleh dambung. Ia di bantu oleh para penasehat ahli yang memberikan masukan dan pandagan, tatkala dambung hendak memutuskan suatu keputusan adat berkenaan dengan pelaksanaan hukum adat, dalam hal ini para penasehat akan memberikan pandangannya yang berhubungan dengan keahlian dan fungsinya masing-masing, atas beberapa orang yang khusus bertugas di setiap tumpuk atau Desa dalam satu kedamangan untuk mewakili dambung sebagai pelaksana hukum adat di tingkat Desa. Para mantir ini terdiri dari : (1).Pangulu adat, yaitu pemimpin tata laksana hukum adat ditingkat tumpuk atau Desa, (2). Wakil Pangulu Adat, merupakan wakil atau pembantu pangulu adat, (3).Juru Kamung, yaitu sejenis notulen yang merangkum dan atau merekam jalannya suatu sidang adat untuk kemudian di laporkan kepada damang, (4).Panata Hukum Tumpuk, merupakan wakil atau pembantu pekerjaan kamung, (5). Pangirak, yaitu sejenis pemungut pajak/cukai dari masyarakat adat, yang hasilnya untuk membiayai pengelolaan dan pelaksanaan hukum adat : seperti beras, lauk-pauk, buah-buahan dan sebagainya, yang nantinya akan dikonsumsi saat melaksanakan Sidang Adat yang biasanya memakan waktu beberapa hari, (6). Kepala Padang, yaitu petugas atau pengawas pemakaian tanah adat serta pemberi arahan kepada masyarakat adat agar pemakaian tanah adat tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum adat, dan (7). Alim-Ulama, yaitu mantir yang mewakili agama atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat adat bisa dimasukkan perwakilannya sebanyak 3 orang untuk mengakomodir kepentingan dan kebutuhan agamanya.

Seberapa banyak jumlah Desa dalam satu Komunitas adat, maka sebanyak 7 orang atau lebih pula mantir adatnya. Umumnya setiap komunitas adat yang memiliki minimal 50 jiwa, komunitas itu wajib memiliki dambung sebagai kepala adat, dan juga semua tokoh-tokoh adat yang berpengaruh diwilayah adat tersebut, seperti tamanggung, patih, patinggi wajib tergabung dalam let adat sebagai penasehat ahli, lalu juga wajib memiliki mantir adat sebagai staffnya. Kemudian apabila dalam suatu Desa terdapat paling tidak 20 orang atau lebih yang bukan dari suku Dayak, maka warga tersebut wajib memiliki pangulu adat yang akan mengakomodir kepentingan serta kebutuhan mereka, dengan tetap berkoordinasi dengan pangulu adat dari suku Dayak, serta masuk dalam kepengurusan mantir adat.

Mantir adat melakukan sidang peradilan hadat pada tingkat pertama ditingkat Desa, bila suatu kasus pelanggaran hukum adat tidak diselesaikan, maka sipelanggar diajukan oleh mantir adat ketingkat komunitas adat, disini kasusnya diserahkan kepada dambung. Dambung berhak memutuskan suatu keputusan setelah mendengar nasehat-nasehat dan masukan-masukan dari let adat, termasuk juga pandangan-pandangan dari mantir adat. Ditingkat komunitas adat, asosiasi para mantir adat atau gabungan dari para mantir data dari seluruh Desa dalam komunitas adat tersebut membentuk sebuah dewan, yang lazim dinamakan dewan mantir, mereka melakukan sidang adat manakala terjadi permasalahan dalam kehidupan keseharian di wilayah adat tersebut yang tidak bisa diselesaikan oleh dambung seorang diri, termasuk sidang adat saat dambung memutuskan suatu keputusan yang berkenaan dengan pelanggaran hukum adat, yang kemudian disampaikan kepada dambung sebagai bahan masukan.
Pada prinsipnya peran dan fungsi seorang dambung sebagai kepala adat adalah pengkoordinir tugas-tugas para mantir adat dalam satu komunitas adat, yang khusus mengelola dan mengatur hukum adat, entah hukum adat yang mengatur kehidupan (manusia hidup dan lingkungan hidup), maupun hukum adat yang mengatur kematian (yang berhubungan dengan penghormatan kepada leluhur).

Selain para pemangku adat formal itu, dalam tataran non formal juga ada pemangku adat penting lainya, yaitu wadian (laki-laki dan perempuan), Dewa (perempuan), Deder (perempuan), Panutui kanen Diau (perempuan) dan Penyampir (laki-laki dan perempuan), mereka tergolong kedalam wadian hadat yakni sebagai ahli ajaran Kaharingan yang memberi masukan dan pandangan pada saat pemimpin formal menemui kendala dalam menuntaskan suatu permasalahan, yang berkenaan dengan hukum adat. Pejabat non formal ini selain bertugas sebagai ahli ajaran Kaharingan, entah upacara kehidupan maupun kematian. Bersama mantir adat (bila ditingkat desa), para pemangku adat non formal ini bahu membahu menuntun masyarakat agar menjalani kehidupan sesuai adat istiadat yang berlaku serta yang telah diatur dalam hukum adat. Dikatakan sebagai pemangku adat non formal, karena keberadaan mereka tidak termasuk dalam unsur kepala adat yang meliliki kekuasaan “Resmi”, baik tataran komunitas adat maupun pada tataran tumpuk atau Desa. Mereka hanya berkuasa terbatas pada tataran religius Kaharingan, terutama sebagai pemimpin ritual-ritual ajaran Kaharingan.

Sejak tahun 1938, oleh pemerintah kolonial Belanda jumlah kepala adat dalam satu komunitas adat hanya berjumlah 1 orang, dan diberi gelar damang, kemudian nama komunitas adat dinamakan kedamangan. Awalnya, untuk mengatur dan menyeragamkan nama damang dan kedamangan diwilayah pesisir selatan, pada tanggal 28 oktober 1938 dibuat sebuah peraturan, yaitu Besluit Residen Kalimantan Selatan dan Timur, nomor :349/C.7-1. Tentang penunjukan (Aanwijzing) dari kedamangan-kedamangan (damang schapen), yaitu Dayak Hilir (Beneden Dayak), Dayak Hulu (Boven Dayak) dan Sampit. Beberapa bulan kemudian, untuk mengatur dan menyeragamkan pemilihan damang diwilayah pedalaman, pada tanggal 15 Februari 1939 ditetapkan Besluit Residen Der Zuider en Oosterafdeeling van Borneo Nomor : 53/C.7-1 tentang Pemilihan, Pemecatan dan Kedudukan Para Damang Daerah Kapuas dan Barito.

Sejak tahun 1983 pula, kepala adat tidak ada lagi mempunyai let adat sebagai penasehat ahli dan khusus memberikan nasehat atau juga arahan saat kepala adat hendak mengambil suatu keputusan hukum adat, karena let adat yang terdiri dari para bangsawan yang ahli dibidangnya masing-masing dalam tataran komunitas adat telah dihapus oleh pemerintah kolonial. Meskipun di beberapa komunitas adat, let adat masih ada, namun mereka bukanlah orang-orang yang memiliki spesifikasi keahlian, melainkan orang-orang atau warga kebanyakan yang diangkat oleh kepala adat: nasehat merekapun belum tentu didengar, karena umumnya mereka tidak memliki “Pengaruh” dalam komunitas adat.

Dalam perkembangan berikutnya, dalam struktur kedamangan oleh pemerintah kolinial Belanda, selain jabatan damang sebagai kepala adat, juga ada jabatan formal baru, yaitu pamakal. Pamakal berperan dan berfungsi menjadi pemimpin resmi pemerintah Desa, yang dibilih langsung oleh masyarakat adat di desa atau ditumpuk bersangkutan. Hanya saja, kalau damang sebagai kepala adat berperan dan berfungsi untuk mengelola adat istiadat dalam satu komunitas adat, maka pamakal berperan dan berfungsi menjadi pemimpin pemerintahan resmi di tingkat Desa dalam wilayah komunitas adat tersebut. Dengan demikian di tingkat desa ini, pamakal bermitra dengan mantir adat, yang merupakan wakil damang di tingkat desa.

Bila menyangkut urusan pemerintahan sehari-hari seperti bergotong royong membangun jalan desa maka masyarakat desa di pimpin oleh pamakal, sementara bila menyangkut permasalahan adat istiadat berarti di pimpin oleh mantir adat di desa bersangkutan. Pada titik ini, oleh pemerintah kolonial, pamakal atau kepala desa masuk dalam struktur mantir adat, dan menjadi bagian dalam mantir adat sebagai pembantu damang ditingkat desa. Menurut Sikoer Patus, pemerintahan desa merupakan wilayah administratif pemerintah kolonial baik secara vertikal atau juga secara desentralisasi otonomi, dan berada langsung di bawah pengawasan demang atau wedana sebagai kepala distrik. Bersama seorang wakilnya, pamakal atau kepala desa juga menjadi “bendaharawan” desa untuk mengurus sarana dan prasarana pembangungnan di setiap desa.

Pada tanggal 30 Maret 1953 sampai 1 April 1953, di Kuala Kapuas selama 2 hari para kepala adat bergelar damang berkumpul untuk mengadakan musyawarah hadat mengenai tanah adat dan batas-batas wilayah adat terutama yang ada diwilayah pesisir selatan kemudian sampai ke pedalaman Barito, Kapuas dan Kotawaringin yang saat itu masih menjadi bagian dalam Karesidenan Kalimantan Selatan. Sebelumnya masalah tanah adat dan batas-batas wilayah adat memang pernah di musyawarahkan di Kuala Kapuas oleh para kepala adat seluruh Kapuas, Kahayan, Rungan dan Manuhing pada tanggal 3 September 1928 bersama Pemerintah Hindia Belanda, namun karena dalam keputusannya intervensi pemerintah kolonial dinilai sangat kental, dan keputusan itu hanya menyangkut wilayah adat di Daerah Kapuas, Kahayan, Rungan  dan Manuhing saja, maka setelah Indonesia merdeka, kembali para kepala adat berkumpul dan bermusyawarah di Kuala Kapuas.

Dalam musyawarah tersebut, para damang memutuskan hutan sebagai :

  1. Sampaking : yaitu tanda yang dibuat untuk menyatakan maksud membuka hutan untuk berladang, kemudian hak sampaking menjadi hilang setelah satu tahun tanda yang dikapling dengan sampaking itu tidak digarap.
  2. Belukar: diperoleh karena membuka hutan dan bila hanya ditanami beberapa pohon buah-buahan atau tidak merupakan kebun atau ladang, dan akan hilang hak kepemilikanya setelah lima tahun tidak dikerjakan.
  3. Pali : merupakan hutan atau belukar yang dilarang oleh (hukum) adat untuk digarap, pali menjadi berakhir setelah dilaksanakan upacara adat untuk membebaskannya dari larangan itu.
  4. Rintisan : merupakan tanda perhelatan atau persambitan satu tanah dengan tanah lain yang ada di kanan kiri-depan belakang, apabila satu tahun lokasi tanah yang dirintis itu tidak dikerjakan dengan membuat ladang atau kebun maka hak seseorang atas rintisan itu dinyatakan hilang.
  5. Tatah: merupakan parit yang digali mengelilingi tanah yang dimiliki, boleh juga parit ini, bagi yang dalam, dijadikan tempat berternak ikan, dan hak tatah menjadi hilang apabila setelah lima tahun tidak digarap atau dipelihara.
  6. Sungai dan Danau : merupakan suatu lokasi perairan lengkap beserta kekayaanya, yang boleh dimiliki seseorang secara individu berdasarkan jasanya terhadap komunitas adat dan masyarakat adat, dalam hal ini orang-orang tertentu terutama para pemangku adat baik dalam tataran formal maupun non formal berpeluang besar untuk mendapatkan penguasaan sebuah sungai atau danau beserta kekayaannya. Hak penguasaannya akan hilang selama enam bulan tidak dipelihara sebagaimana mestinya, dan apabila ada anggota masyarakat yang lain hendak memungut kekayaan danau atau sungai itu, maka 10 persen dari hasilnya menjadi bagian orang punya, dan
  7. Andel: merupakan parit induk yang digali keliling ladang atau sawah yang baru digarap, penggaliannya di lakukan di perbatasan kana kiri-depan belakang tanah tersebut dengan tanah yang dimiliki pihak lain atau orang lain. Hak penguasaan andel akan hilang setelah tiga tahun tidak dipelihara atau dibersihkan.

Selain 7 keputusan tersebut, musyawarah hadat itu juga memutuskan hak ulayat, yakni seukuran 5 km (sepukang bunyi gong) dari pinggir kiri-kanan sungai tempat pemukiman penduduk untuk dijadikan tempat masyarakat berusaha, atau dengan kata lain, minimal sejauh 5 km (sepukang bunyi gong) dari pemukiman penduduk, suatu tempat atau tanah baru bisa dijadikan tempat berladang, berkebun atau kegiatan usaha lainya. Hak ulayat disini meliputi : Hak tanggeran (hak memiliki sebatang pohon di tengah hutan yang menjadi sarang lebah), hak rotan pantung (hak memiliki pohon ditengah hutan: sejenis pohon karet yang menghasilkan getah kayu), hak beje (hak membuat kolam untuk berternak ikan di sebidang tanah yang belum dimiliki orang lain), hak sapinang (mencirikan suatu tempat dengan sebuah piring, bahwa tempat tersebut akan digarap menjadi ladang atau kebun lainnya), hak sapukang (hak memukul gong disuatu tempat bahwa tempat tersebut telah ada penghuninya), hak bahu talien (hak memiliki kayu ulin untuk membuat rumah), hak bahuma (hak berladang), hak petak rotan (hak kepemilikan tanah tempat menanam rotan) dan hak pahewan (hak memiliki suatu tempat yang dikeramatkan oleh orang bersangkutan). Secara berturut-turut hak-hak tersebut akan hilang kalau 3-5 tahun tidak digarap serius atau bila tidak dipelihara.

Catatan Penulis

Para pembaca yang budiman bahwa mengulas sejarah terkadang akan membawa perdebatan tersendiri, apalagi diperkuat dengan data-data serta fakta. Begitu pula dengan metodelogi apa yang digunakan. Salah satu perdebatan yang tidak pernah usai di negara tercinta kita ini adalah peristiwa G 30 September 1965. Biarpun demikian seperti yang telah saya tulis diatas bahwa sejarah harus diposisikan dengan tepat. Sejarah tidak muncul begitu saja, bim sala bim muncul secara gaib dihadapan kita. Bahwa khususnya mengenai sejarah hukum adat harus ditenemukan, hal ini seperti yang disampaikan oleh C.Van Vollenhoven, bahwa walaupun hukum adat bangsa Indonesia itu sendiri telah berumur panjang, namun adanya hukum tersebut dan nilainya merupakan hal baru saja disadari. Walau aneh kedengarannya, akan tetapi hukum adat tersebut harus ditemukan, dan penemuanya memerlukan waktu dan upaya (C.van Vollenhoven, 1987:1).

Tulisan hasil copy paste dua buku inipun akan dirasakan sangat minim informasi bagi pembacanya. Karena Puzzle inipun terfokus pada persebaran suku Dayak dan Kelembagaan Adat. Namun seminimalnya tulisan ini saya angkat untuk mengambarkan sebuah proses. Proses perubahaan baik dari tataran internal mau eksternal. Kalau dikontekskan dengan hari ini maka pesebaran suku Dayak sudah semakin rumit untuk menulusurinya. Bahwa tempo hari yang lalu setelah saya mengupload sebuah foto tentang peta persebaran suku Dayak, lalu mendapatkan komentar bahwa peta tersebut telah tidak relevan di karenakan semakin banyak konsesi-konsesi perusahaan mengepung pulau Borneo ini. Bertalian erat dengan proses kelembagaan adat, dimana setiap rezim mentrasformasikan eksistensi dari masyarakat hukum adat itu sendiri. Jika hari ini ada sebuah pertanyaan dimana wilayah adat masyarakat hukum adat secara ekplisit, maka akan kesusahan untuk menjawabnya.

Sebuah interaksi singkat juga menginformasikan apa yang menjadi topik dua tulisan ini terutama mengenai kata dambung. Interaksi pertama dengan masyarakat adat di Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau bahwa konsep kepimpinan adat mereka di pimpin oleh dambung. Begitupula hasil interaksi saya dengan seorang teman yang merupakan keturunan dari Kesultanan Kutaringin, yaitu Gusti Samudera yang kini mendiami Astana Al-nusari di Kecamatan Kutaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat. Bahwa menurut beliau sejarah Kesultanan Kutaringin tidak lepas dengan adanya peran dambung.

Mengenai hasil musyawarah hadat di Kuala Kapuas, hal ini juga sering dijumpai istilah-istilah adat yang masih dapat di konfirmasi sampai sekarang. Jika pembaca berkunjung atau berinteraksi dengan masyarakat yang ada di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas maka istilah seperti andel, dan hak-hak ulayat itu masih mudah ditemukan penyebutanya. Walaupun kini yang menjadi soal dimana letak hutan adat bagi masyarakat adat bisa dikatakan tidak ada. Tahun 2005 masyarakat adat di Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau mendeklarasikan Hutan Adat Kalawa. Tetapi Hutan Adat inipun berganti menjadi Hutan Desa dikarenakan pengakuan yang diberikan oleh pemerintah tidak memberikan pelaksana teknisnya pada saat itu. Pilihan Hutan Desa merupakan pilihan yang paling realistis pada waktu itu untuk membendung ekspansi perkebunan besar kelapa sawit yang kian membabi buta.

Memposisikan sejarah pada tempatnya juga sangat penting, walau pada dasarnya setiap tulisan ilmiah harus sangat terbuka dengan kritik. Menyangkut sejarah masyarakat adat khususnya di Kalimantan Tengah ini merupakan sebuah jalan untuk memahami tentang identitas diri. Maka jika tidak ditempatkan pada posisinya akan menyebabkan luka secara perasaan bagi sang pemilik indentitas.

Akhirnya sampai pada tulisan terakhir, bahwa dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Adat istiadat merupakan sebuah identitas yang harus dihormati. Menuliskan sejarah masyarakat Kalimantan Tengah merupakan menuliskan sebuah identitas dimana puzzle-puzzle ini harus di lengkapi. Rezim/Pemerintah hari ini harus menyusun Puzzle tersebut sebelum membuat program bagi masyarakat adat di Kalimantan Tengah.

Rekomendasi Rujukan

Mubyarto, dkk,  1993,” Desa-Desa Kalimantan Studi Bina Desa Pedalaman Kalimantan”, Aditya Media, Yogyakarta.

............2007, Masihkah (Kah) Indonesia, Kanisius, Editor Budi Susanto, S.J, Yogyakarta.

Vollenhoven, 1987, Penemuan Hukum Adat, Karangan Terjemahan Koninklijk Istituut Voor Taal-,Land-en Volkendunde (KITLV) Bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Djambatan, Jakarta.

Riwut, Tjilik, 1979, Kalimantan Membangun, Palangka Raya.

Mihing, Teras, dkk 1980/1981, sejarah pendidikan Daerah Kalimantan Tengah, proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Koentjaraningrat, 1980, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta.

King, Victor.T, 2013, Kalimantan Tempo Doeloe, The Best Of Borneo Travwl (New York:Oxford University Prees), Komunitas Bambu, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar