Minggu, 29 Juli 2012

Tidak Cukup Hanya Lewat Pesan Singkat (SMS)


Biarkan malam selalu menemaniku dalam mencari sesuatu yang ingin kucari, akan kubiarkan jari-jari ini melatunkan melodi tik, tak, tok dalam penyatuan antara isi pikiran menjadi sebuah bacaan. Semua diawali dengan pertanyaan, lalu pertanyaan harus menemukan sebuah jawaban. Pertanyaan itu muncul karena adanya praktek walaupun terkadang pertanyaan itu adalah sebuah ilusi yang diadakan-adakan. Bertanya adalah langkah awal untuk mencapai sesuatu kebenaran, dengan bertanya pula kita akan tahu apa yang seharusnya dilakukan.

Masih berbicara dinimika dunia perkampusan, menilisik lebih dalam serta membiarkan nalar merangkum sebuah kejadian. Satu pertanyaanku untuk malam hari ini mengapa mahasiswa engan ikut dalam aktivitas sebuah organisasi dengan anti thesa tidak cukup lewat pesan singkat (SMS). Tulisan ini dipersembahkan kepada kawan-kawan yang tampa kenal lelah memilih jalan untuk menyadarkan temanya lainya dalam sebuah gerakan perjuangan.

“ Saya sudah mengsms semuanya bang, untuk mengingatkan bahwa malam hari ini ada diskusi”, sepenggal kalimat yang selalu dilontarkan kepada saya tentang tangapan mengapa yang ikut diskusi rutin hanya muka-muka itu saja”. “ Semua ini adalah seleksi alam, mereka yang benar-benar ingin belajar pasti akan mau datang ikut dalam diskusi dan serangkaian aktivitas organisasi yang telah dicanangkan” suatu kisah lain mengenai pemaknaan terhadap kawan-kawan yang aktif dan bagi mereka yang tidak aktif mereka tidak lulus dalam seleksi alam. Dua hal yang berbeda satu bait pertama menjabarkan tentang upaya mengajak dan bait kedua adalah bentuk reaksi terhadap keadaan yang terjadi.

Kawan-kawanku yang budiman, tingkat kesadaran itu berbeda-beda melihat daya serap serta adanya dorongan dari dalam dirinya sendiri satu indikasi untuk melihat tingkat kesadaran itu sendiri. Dua kalimat diatas adalah ungkapan mereka yang sadar akan fungsi serta perannya, bahkan sengaja menawarkan diri bahwa “ nanti saya akan mengsms mereka semua bang”. Jangan jatuh kan vonis kepada mereka yang tidak bersalah, jika itu terjadi maka anda telah berbuat aniayaya (lanjutkan membaca)

Ada 3 (tiga) tahapan tingkat kesadaran yaitu : terbelakang, setengah maju dan maju. Penulis akan mengajak pembaca yang budiman untuk menguliti ketiga komponen kesadaran tersebut dimulai pada tingkatan yang paling atas yaitu kesadaran pada level maju. Pada level kesadaran tingkat maju biasanya seseorang akan berprilaku untuk selalu mengerakkan kawan-kawan yang lain, selain aktivitas penyadaran seseorang yang pada tatanan level maju selalu akan mengevaluasi praktek-praktek yang sudah di kerjakan. Seseorang yang levelnya maju akan terus menurus belajar dari pengalaman, merumuskan sesuatu untuk di selesaikan jika ada permasalahan yang selalu terulang. Pada tingkatan level maju mereka tidak lagi harus disuruh mengenai apa yang seharusnya dilakukan. Tahapan ini memang sulit karena dasar teorinya memang tidak ada untuk menegaskan bahwa posisi seseorang tersebut pada level maju atau yang lain (evaluasi dirimu sudah pada level mana, teruskan membaca). Bagaimana membuat anda bisa menjadi level maju yaitu dengan berpraktek sebanyak-banyaknya dan hasil dari praktek itu pula yang melahirkan aplikasi yang dapat digunakan orang lain.

Level setengah maju, secara sederhana saya akan menjabarkan bahwa level setengah maju adalah level kesadaran yang bimbang/galauisme, masih banyak mengeluh, masih banyak mengunakan asumsi dari pada menganalisis data-data kongkrit. Level setengah maju masih belum berani untuk bereksperimen tentang tugas yang sudah digariskan. Pada level setengah maju jika tidak dievaluasi secara baik maka akan melahirkan sifat subyektivisme dimana sifat yang mengandalkan kerja sendiri. Pengaruh yang sering terjadi pada level setengah maju lebih mengarah pada sebuah gerak robotik, hanya bergerak jika remote kontrol itu di onkan. Tentunya kesadaran level setengah maju sudah mempunyai kesadaran yang bagus namun perlu dibimbing agar tidak terserang penyakit subyektivisme lalu prustasi. Berani mengambil langkah dengan persiapan yang matang serta terbuka kepada kawan-kawan yang lain untuk membantu pencampaian langkah tersebut. Bertangung jawab atas pembagian kerja yang sudah digaris maka secara terus-terus motede-motede ini selalu dijalankan maka tingkat kesadaran akan semakin meningkat.

Level kesadaran terbelakang, dimana kesadaran ini bertitik tolak pada tingkatan ikut-ikutan, sekedar mencari sesuatu kondisi yang berbeda dan hanya sebatas simpati. Tidak mau terikat pada garis kerja, masih berpedoman semaunya sendiri berdasarkan perasaan, jika keadaan perasaan lagi senang dia akan ikut, jika keadaannya lagi tidak senang maka ia tidak ikut. Level kesadaran terbelakang lebih mengarah kepada hanya sekedar ingin tahu, tanpa harus memastikan tujuan ikut terlibat dikarenakan apa. Tentunya pada level seperti  ini penangananya pun secara berbeda, ibarat tingkatan umur meraka masih bayi yang masih banyak memerlukan kasih sayang dan perhatian yang sangat ekstra.

Tanpa membatasi ruang nalar agar berkerja secara efektif maka bacaan mengenai tingkat level kesadaran diatas dapat menjadi sebuah objek study/belajar, apakah benar realitasnya seperti itu. Kita harus tahu dan mengerti dengan benar tingkat kesadaran seseorang agar mudah melakukan indetifikasi atau melakukan upaya penanganan. Tujuan identifikasi tingkat kesadaran adalah untuk memastikan bahwa pengelolaan secara managemen organisasi harus berbeda pula. Tujuan yang lain adalah agar tidak mevonis seseorang secara brutal dan rata. Point terpenting adalah sampai dimana tingkat kesadaran teman kita dan bagaimana cara mengelolanya.

SMS (tanpa kepanjangan) adalah salah satu bentuk “keyamanan” dalam hal mengajak orang lain untuk aktif bersama kita. Siapa yang melarang sms, tentunya tulisan ini tidak pada ranah itu, namun tulisan ini akan menjadi sebuah indikasi pengukur apakah dengan ajakan melalui sms itu bisa menjadi efektif dalam hal kerja penyadaran. Realitasnya banyak yang masih mengeluh bahwa sms tidak membuat kawan kita bergeming sesuai isi sms kita. Jalan sms adalah jalan sekunder dan jalan primernya adalah bertemu langsung. Bukankah yang kita sms itu adalah teman kita, bahkan teman satu kampus sampai tempat tinggalnyapun kita ketahui. Mengapa tidak waktu bertemu dikampus kita ajak diskusi mereka, daripada harus “memaksa” datang kesekre untuk mengikuti diskusi rutin atau masuk kedalam organisasi. Apakah kita tidak boleh diskusi dibarak/kos teman kita dengan tema-tema sosial seputaran kampus dan lain-lain. Mengapa kantin kampus tidak dijadikan ajang diskusi ilmiah, untuk mengubah pola diskusi yang kebiasaanya hanya berbicara seputar game dll (namun jangan lama-lama dikantin apalagi tidak membeli sesuatu bisa melayang itu mangkok oleh paman/bule kantin).

Pola-pola praktek yang sudah kita jalankan harus memberikan gambaran kritis mengapa ini tidak bisa mengapa yang lain bisa. Bila tulisan malam kemaren dalam baitnya menyatakan tentang menjadi murid dulu sebelum menjadi guru, maka kita harus belajar kepada massa yang disebut mahasiswa. Sibuk apa kawan-kawan sekarang, lagi menjalani rutinas apa sekarang itu harus muncul dalam benak awal sebelum mengajak. Manusia adalah makhluk yang kompleksitas namun manusia juga makhluk sosial yang bisa diajak untuk bicara. Tulisan tidak berbicara kawan-kawan yang berbicara itu mulut, maka dengan mulutlah kita memulai pertanyaan-pertanyaan itu mengapa organisasi mahasiswa sekarang banyak yang krisis kader, mengapa organisasi mahasiswa sekarang selalu mempunyai alasan kuat untuk hal internalnya saja.

Mengapa dan bagaimana dua hal yang harus nyangkut secara otomatis dibenak kita, teringat pesan seorang mentor pada waktu yang lalu, bahwa aktivis kampus itu selayaknya seorang sales, yang selalu menawarkan sesuatu. Jika kita sepakat bahwa kita adalah seorang sales yang mengajak pada nilai-nilai ajaran positif maka kita harus memastikan cara kita kita untuk mengajak orang. Pomeo lama tidak kenal maka tidak sayang, maka setelah sayang jangan dibuang. Jangan salah kan orang lain namun lihatlah sebab akibatnya yang telah muncul akibat praktek kita!

Bersabar dan selamat bereksperimen, kampus adalah miniatur sebuah negara/masyarakat, problem kampus adalah problem kita selaku mahasiswa.

Sahabatmu, selalu berbagi @Aryo Sang Penggoda
1:01, Senin, 30/07/2012

Sabtu, 28 Juli 2012

Siapa Sebenarnya Mahasiswa Lalu Apa Tugasnya?


Siapa sebenarnya mahasiswa ? pertanyaan yang harus kita ajukan sebagai refleksi tehadap kondisi objektif yang ada pada dunia kemahasiswaan khususnya di Kota Palangka Raya. Walau saya sudah tidak mahasiswa lagi namun keinginan untuk melanjutkan kestudy yang lebih lanjut itu masih saya simpan rapat pada harapan untuk masa depan. Setahu saya mahasiswa itu hanya ada di Indonesia dan dinegara lain mahasiswa disebut dengan student/ pelajar, tulisan ini tidak akan membicarakan tentang mengapa harus mahasiswa bukan pelajar, namun tulisan ini dimuat untuk bahan refleksi atas semua kejadian pengalaman yang telah terjadi selama saya menjadi seorang mahasiswa, terakhir kali setahun yang lalu. Seperti tulisan status facebook saya pada malam ini tentang Mengapa mahasiswa jauh dari rutinitasnya, diskusi ilmiah, penelitian ilmiah, engan masuk organisasi, kurang peka dengan keadaan sosial, terkesan mencari aman dari hal-hal yang sebenarnya tidak adil, apakah benar mahasiswa itu apatis, lebih banyak mengandrungi hedonisme”.

Mengajak untuk membuat mahasiswa sesuai dengan khitohnya/garis gerak, memang tidak mudah ditengah arus “kenyamanan” ini semakin masif. Bangsa ini mempunyai sejarah panjang mengenai mahasiswa serta peranya, kisah heroik-heroik ini mudah sekali untuk diakses atau dapat dibaca kembali naskahnya dari tahun yang satu ke tahun yang lain lewat bantuan google. Namun entah tidak menarik atau kurang tertarik dengan imbuhan berbagai macam alasan, sehingga kisah heroik itu hanya menjadi sejarah yang kian hampa tanpa makna. 

Kembali kekontek pertanyaan tulisan facebook saya, mengapa mahasiswa asing dengan dunia keilmiahanya karena dasar serta bangunan itu tidak ada, walau ada sangat rapuh sekali, mahasiswa sering diskusi ilmiah pada saat presentase makalahnya atau sekedar membuat saja atas nama tugas dari Dosen. Namun ruang lingkup diskusi ilmiah disini tidak dilaksanakan secara berkelanjutkan dan tanpa dilandasi dengan sikap kritis sebagai seorang mahasiswa. Kontek diskusi disini lebih dekat dengan kenyataan bahwa hanya sekedar untuk memenuhi  kewajiban tugas. Dari pengalaman pribadi dan hasil  diskusi yang pernah dilakukan sebagian besar tugas makalah, paper dan segala macamnya kebanyakan tidak didiskusikan dan ujung pena dosenlah yang akan menilai karya seorang mahasiswa itu layak atau tidak. Berarti tesisnya adalah sistem ajar kampus atau Universitas yang membuat mahasiswa asing dengan diskusi ilmiahnya.

Penelitian ilmiah adalah penyelidikan tentang kondisi objektif/realitas sosial dengan objek yang berbeda-beda untuk mendapatkan suatu deskripsi/gambaran umum dalam ranah sosial dan sedangkan dalam ranah ilmu esakta lebih mengarah kepada pengamatan terhadap gerak mekanik atau pengembangan dari ilmu tersebut. Objek penelitian ilmiah yaitu manusia dan alam yang ada disekitar, sedangkan tujuannya merubah keadaan kearah yang lebih maju/baik. Mahasiswa melakukan penelitian ilmiah hanya pada masa pembuatan tugas akhir dengan waktu ± 6 (enam) bulan. Setelah mahasiswa itu lulus hasil kajiannya pun terkadang hanya menjadi panjangan di lemari bedampingan dengan buku-buku yang tersusun rapi. Tentunya dari sini dapat dilihat bagaimana mahasiswa akan banyak melakukan penelitian ilmiah jika kesadaran itu hanya berupa paksaan dari pihak kampus untuk mendapatkan gelar sarjana. Namun apakah kesadaran menentukan keadaan atau keadaan menentukan kesadaran, maka seharusnya keandaan menentukan kesadaran dimana keadaan yang sedimikan rupa, yang saya nilai sebagai langkah kemunduran produktifnya mahasiswa disebabkan oleh keadaan yang ada internal diri mahasiswa itu sendiri dan keadaan eksternalnya. Bagi mereka yang sadar mempunyai tangung jawab tentang mereka yang belum sadar atas kondisi objektif yang ada sekarang, banyak sekali manfaat dari penelitian ilimiah tidak hanya sebagai sumbangan pemikiran untuk dunia pendidikan namun juga sebagai tangung jawab moral sebagai seorang yang memperlajari ilmu-ilmu yang ada di Universitas atau kampuas.  Tridarma perguruan tinggi hanya sebagai semboyan tanpa makna sehingga kesan intelektual itu menjadi buram. Seharusnya penelitian ilmiah bersumber dari semangat Tridarma Perguruan Tinggi, maka penelitian ilmiahpun diperuntukan untuk membantu masyarakat.

Engan masuk organisasi, hanya bisa dihitung dengan jari para mahasiswa yang aktif didalam organisasi,  sebagian besar sibuk dengan dunia teoritik ilmiahnya yaitu tugas kampus pada tatanan copy paste tekstual. Organisasi kampus baik ekstra maupun intra bukanya tidak ada namun prakteknya masih jauh dari kontek yang seharusnya. Sorotan tajam pada organisasi didalam kampus kita bisa melihat apa sifat keilmiahanya yang sudah dilakukan yaitu hanya pada tingkatan seminar, selain seminar kebanyakan aktivitas organiasi internal kampus lebih kearah berkaitan dengan penyaluran hobby (musik parkir, foot ball cup) dll. Kegiatan diskusi  memang diadakan secara rutin namun sering mengalami keterkendalaan karena tidak adanya persamaan misi atau tidak adanya kesabaran dalam hal menyadarkan mereka yang belum sadar akan penting diskusi ilmiah dalam organisasi. Organisasi intra kampus belum menjadi organisasi penyokong keilmiahan ilmu pengetahuan yang didapatkan para anggota organisasi tersebut. Diskusi seyogyanya lebih banyak membahas dunia kampus yaitu meliputi, prilaku mahasiswa yang ada dikampus, materi kuliah yang ada dikampus, masalah sistem ajar, masalah fasilitas kampus dan kesemuan itu tujuanya adalah mendekatkan mahasiswa dengan rutinitasnya.

Sedangkan organisasi diluar kampus lebih banyak menyoroti didunia luar kampus dari pada dalam kampusnya sendiri, aksi untuk hal problem diluar kampus sangat sering dilakukan namun untuk melakukan kegiatan aksi yang ada didalam kampus sendiri tidak pernah dilakukan. padahal organisasi ekstra kampus itu juga wadah mahasiswa, mengapa hanya menyoroti diluar tidak menyoroti rumah sendiri, ini menandakan mahasiswa mengasingkan dirinya sendiri dengan mahasiswa yang lain. Kesan organisasi mahasiswa ekstra kampus itu bersifat inklusif hanya untuk kader-kadernya saja, beda organisasi mereka adalah musuh dengan artian yang luas. Ketidaksatuan antara organisasi satu dengan organisasi yang lain membuat tubuh organisasi tersebut menjadi rapuh. Seharusnya gerakan mahasiswa ekstra kampus harus bersatu dengan organisasi internal kampus untuk memahasiswakan mahasiswa.

Mahasiswa tidak tertarik masuk kedalam organisasi dikarenakan beberapa faktor, secara umum : faktor  pertama karena tidak ada minat dan faktor  kedua karena melihat para kader organisasi yang tidak mencerminkan kebaikan dalam hal prilaku, kedisiplinan,  kepemimpinan, kekritisan dan lain-lainya, sehingga mereka engan untuk ikut diperparah dengan adanya streotip bahwa ikut kedalam organisasi serta aktif mengikutinya bisa mengakibatkan tergangunya perkuliahan. Masuk organisasi dapat menganggu kuliah bisa mejadi bahan diskusi untuk mengubah keadaan ini dan menghilangkan streotip itu.

Kurang peka dengan keadaan sosial, ada mahasiswa yang mengebu-gebu berteriak  mengenai penolakan bahan bakar minyak (BBM) yang akan  dinaikan, ada mahasiswa yang aktif dalam berkampanye menolak RUU penguruan tinggi yang sekarang telah disahkan menjadi sebuah unndang-udanng, namun ada mahasiswa yang tidak memusingkan hal itu semua bahkan mencemooh teman yang lain “ Untuk apa melakukan aksi penolakan padahal tidak akan didengar juga”. Kurang peka inilah yang menyebabkan tingkat pemikiran ditingkat mahasiswa pun terbagi. Pemikiran dipengaruhi oleh kesadaran maka kita akan mencek pola-pola penyadaran itu berlangsung ditatanan kampus. Penyadaran pada massa kampus masih minim sekali, penyadaran ini sering disebut propanganda. Faktanya mahasiswa secara keseluruhan tidak mengikuti aksi atas penolakan-penolakan yang ada diatas namun seharusnya mahasiswa yang bersangkutan harus tahu atau mengerti mengapa penolakan itu dilakukan. Kurang peka bahasa ini pun masih terbuka lebar untuk didiskusikan benarkah mahasiswa itu kurang peka atau sebenarnya mereka peka namun tindakan ekpresinya berbeda. Kesadaran itu tidak datang dari langit namun berasal dari proses, dan proses itu adalah praktek.

Terkesan mencari aman dari hal-hal yang sebenarnya tidak adil, ada kegiatan jual beli nilai, skripsi dapat dibikinkan oleh orang lain, penempatan KKN bisa di setting. Gambaran semacam itu membuat mahasiswa yang diam atau ikut dalam lingkaran tersebut sering sekali disebut dengan pengecut atau cari aman. Terlepas mereka cari aman dengan dalih mereka dapat membayarnya supaya nilai kuliahnya baik dengan artian lanjut kuliahpun tidak terbengkalai sesuai dengan target yang telah dituliskan. Namun jangan kira semua mahasiswa mengamini praktek-praktek semcam itu mahasiswa yang memborontakpun banyak walaupun lagi ekspresinya berbeda hanya pada tingkat ngedumel/mengerutu.

Apakah benar mahasiswa itu apatis, apatis adalah acuh tak acuh tidak perduli, masa bodoh dan lain-lainya. Tentunya bahasa ini tidak dapat dipakai bahkan dijadikan justifikasi bahwa mahasiswa itu apatis. Pertanyaan mendasar adalah apa yang membuat mereka apatis, sudahkah kita mengajak diskusi mereka, sudahkah kita melakukan penyadaran itu secara terus menurus tanpa kenal lelah. Asumsi sering sekali mengerogoti pemikiran para aktivis kampus mengangap bahwa mahasiswa itu benda mati seperti batu yang tidak bisa dirubah kondisinya. Bukankah batu sekalipun akan berlubang jika kena tetes air secara terus-menerus. Belajarlah menjadi murid terlebih dahulu sebelum menjadi guru, investigasi dulu mengapa mahasiswa terkesan apatis lalu menganilisisnya. Evaluasi pergerakan harus selalu dijalankan serta ivestigasi, karena tidak ada hak bicara tanpa investigasi/data.

Lebih banyak mengandrungi hedonisme, hedonisme adalah pandangan yang mengangap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama hidup. Label ini tentunya harus diuji lagi apakah benar mahasiswa itu lebih mengandrungi hedonisme, dengan kata lain tujuan kuliah hanya sekedar hanya untuk mencari materi (uang/PNS) dan masa bodoh dengan keadaan sekitar. Sebelum menunjuk, tunjuklah diri kita terlebih dahulu mengapa kita bisa aktif diorganisasi mereka tidak, apa bedanya anda, saya dan dia. Tidak ada yang tidak mungkin apalagi ini kita berbicara pada ranah kongrit yaitu makhluk yang disebut mahasiswa. Kata kuncinya adalah pola penyadaran itu sendiri, karena dengan kesadaranlah perbuatan kita berjalan tanpa paksaan.

Tulisan ini dipastikan tidak akan detail berbicara tentang dunia mahasiswa, tulisan ini sifatnya umum dan yang paling benar adalah kondisi yang pembaca rasakan disekiling anda sekarang. Mari menjadi seorang penggerak atau pelopor penyadaran dengan prinsip-prinsip yang relevan yaitu tidak boleh melampaui kesadaran massa, tidak boleh menyakiti hati massa dan tidak boleh membahayakan massa. Massa itu siapa yaitu kita, kita itu siapa yaitu mereka dan siapa mereka yaitu kita sendiri tergantung dari sudut mana anda melihatnya.

Menyadarkan, mengorganisasikan dan menggerakan adalah tugas pokok kita bagi yang sadar, bagi yang belum sadar harus disadarkan oleh yang sudah sadar. Praktek --- pengetahuan---praktek.

Selalu berbagi sahabatmu Aryo Sang Penggoda !
1;39, Minggu 29/07/2012

Kamis, 26 Juli 2012

Maoisme atau Pemikiran Mao Zedong


Maoisme atau Pemikiran Mao Zedong (Hanzi sederhana: 泽东思pinyin: Máo Zédōng Sīxiǎng), adalah varian dari Marxisme-Leninisme berasal dari ajaran-ajaran pemimpin komunis Cina Mao Zedong (Wade-Giles Romanization: "Mao Tse-tung").

Perlu dicatat bahwa istilah Pemikiran Mao Zedong lebih disukai oleh Partai Komunis Cina (PKT) dan bahwa istilah Maoisme tidak pernah dipergunakan dalam terbitan-terbitan bahasa Inggrisnya kecuali dalam penggunaan peyoratif. Demikian pula, kelompok-kelompok Maois di luar Cina biasanya menyebut diri mereka Marxis-Leninis dan bukan Maois. Ini mencerminkan pandangan Mao bahwa ia tidak mengubah, melainkan hanya mengembangkan Marxisme-Leninisme. Namun demikian, beberapa kelompok Maois, percaya bahwa teori-teori Mao telah memberikan tambahan berarti kepada dasar-dasar kanon Marxis, dan karena itu menyebut diri mereka "Marxis-Leninis-Maois" (MLM) atau "Maois" saja.

Di RRT, pemikiran Mao Zedong adalah bagian dari doktrin resmi Partai Komunis Cina, namun sejak 1978, permulaan pembaruan Deng Xiaoping yang berorientasi ekonomi pasar, dengan konsep tampilnya ke barisan depan "sosialisme dengan ciri khas Cina" dalam politik, diberlakukanlah pembaruan ekonomi Cina, dan definisi resmi serta pernaan ideologi asli Mao di RRT secara radikal telah diubah dan dikurangi (lihat Sejarah Cina). Di luar RRT, istilah Maoisme digunakan sejak 1960-an, biasanya dalam pengertian yang negatif, untuk menggambarkan partai-partai atau orang-orang yang mendukung Mao Zedong dan bentuk komunismenya. Sejak kematian Mao dan pembaruan oleh Deng, kebanyakan partai yang secara tegas menyebut dirinya "Maois" telah lenyap, namun berbagai kelompok komunis di seluruh dunia, khususnya yang bersenjata seperti Partai Komunis India (Maois), Partai Komunis Nepal (Maois) dan Tentara Rakyat Baru di Filipina, terus memajukan gagasan-gagasan Maois dan memperoleh perhatian pers karenanya. Kelompok-kelompok ini biasanya berpendapat bahwa gagasan-gagasan Mao telah dikhianati sebelum sempat sepenuhnya atau dengan semestinya diterapkan.

Maoisme dan turunannya dengan kuat mendukung Uni Soviet dari era pra-Nikita Khruschev dan menganggap perkembangan dari Bahasa Rahasia telah memulai "revisionisme" dan "imperialisme-sosial" negara itu. Biasanya orang menganggap bahwa kaum Maois mengambil garis politik yang anti-revisionis dan yang umumnya lebih militan daripada "ko-eksistensi damai" yang diajukan oleh Soviet dan para pengikutnya setelah 1956. Biasanya kebanyakan Maois menganggap Joseph Stalin sebagai pemimpin sosialis sejati terakhir dari Uni Soviet.
Daftar isi
Teori Maois

Berbeda dengan bentuk-bentuk Marxisme-Leninisme yang lebih awal, di mana kaum proletar perkotaan dianggap sebagai sumber utama revolusi, dan daerah pedesaan pada umumnya diabaikan, Mao memusatkan perhatian pada kaum buruh-tani sebagai kekuatan revolusioner yang utama, yang, menurutnya, dapat dipimpin oleh kaum proletari dan pengawalnya, PKT. Model untuk ini adalah for perang rakyat berkepanjangan yang dilakukan oleh komunis Cina di pedesaan pada 1920-an dan 1930-an, yang akhirnya mengantarkan PKT ke tampuk kekuasaan. Lebih jauh, berbeda dengan bentuk-bentuk Marxisme-Leninisme lain di mana pembangunan industri besar-besaran dipandang sebagai suatu kekuatan positif, Maoisme menjadikan pembangunan pedesaan keseluruhan sebagai prioritasnya. Mao merasa bahwa strategi ini masuk akal di masa tahap-tahap awal sosialisme di sebuah Negara di mana kebanyakan rakyatnya adalah buruh-tani.

Berbeda dengan kebanyakan ideology politik lainnya, termasuk ideologi sosialis dan Marxis, Maoisme mengandung doktrin militer yang integral dan secara eksplisit menghubungkan ideologi politiknya dengan strategi militer. Dalam pemikiran Maois, "kekuasaan politik berasal dari moncong senapan " (salah satu kutipan ucapan Mao), dan kaum buruh-tani dapat dimobilisasi untuk melakukan "perang rakyat" dalam perjuangan bersenjata yang melibatkan perang gerilya dalam tiga tahap.

Tahap pertama melibatkan mobilisasi dan pengorganisasian kaum buruh-tani. Tahap kedua melibatkan pembanugnan wilayah basis di pedesaan dan peningkatan koordinasi di antara organisasi-organisasi gerilya. Tahap ketiga melibatkan transisi ke perang konvensional. Doktrin militer Maois menyamakan pejuang gerilya dengan ikan yang berenang di sebuah lautan yang penuh dengan buruh tani, yang memberikan dukungan logistik.

Maoisme menekankan "mobilisasi massa yang revolusioner " (secara fisik memobilisasi sebagian besar penduduk dalam perjuangan demi sosialisme), konsep tentang Demokrasi Baru, dan Teori Angkatan Produktif sebagaimana yang diterapkan dalam industri-industri tingkat desa yang tidak tergantung dengan dunia luar (lihat Lompatan Jauh ke Depan). Dalam Maoisme, pengorganisasin yang cermat atas kekuatan militer dan ekonomi yang besar adalah perlu untuk mempertahankan wilayah revolusi dari ancaman luar, sementara sentralisasi menjaga agar korupsi dapat terus diawasi, di tengah-tengah kontrol yang kuat, dan kadang-kadang perubahan, melalui kaum revolusioner di ranah seni dan ilmu pengetahuan.

Mao Zedong dan Korban 70 juta Jiwa


Coen Husain Pontoh Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)
DALAM buku Understanding the Venezuelan Revolution, Martha Harnecker mengajukan pertanyaan kepada presiden Venezuela Hugo Chavez, “….faktor apa dalam hidup anda yang memberikan inspirasi secara politik dan apa visi anda bagi gerakan kiri Venezuela?” Chavez menjawab pertanyaan itu agak panjang, mulai ketika ia menjejakkan kakinya ke akademi militer pada 1970 serta keunikan sistem pendidikan militer Venezuela. Di akhir jawaban ia menutupnya dengan kalimat, “saya sangat suka tulisan-tulisan Mao dan saya mulai membaca karya-karyanya lebih banyak lagi.”
 Menurut Chavez, setelah membaca karya-karya Mao, ia sampai pada beberapa kesimpulan yang sangat mendasar. Salah satu yang paling penting dan paling diyakininya dari Mao adalah pengibaratan hubungan rakyat dengan tentara seperti keberadaan air bagi ikan. Air akan terus eksis tanpa ikan, sebaliknya ikan tak bisa hidup tanpa air. “Saya selalu percaya itu dan terus mencoba untuk menerapkannya…. Saya melihat kebutuhan yang kuat akan hubungan antara rakyat dan tentara,” ujar Chavez.
Pengaruh Mao Zedong (Mao Tse Tung) pada Chavez hanyalah satu contoh, bagaimana ajaran dan teladan Mao melintasi daratan Cina. Pada masa Perang Dingin, pengaruh itu jauh lebih besar lagi. Partai Komunis Indonesia (PKI), partai terbesar ketiga di dunia saat itu, bahkan membangun aliansi dengan Partai Komunis Cina (PKC) dalam bentuk Poros Jakarta-Peking. Secara teoritik, pengaruh Mao diduga memengaruhi analisa ekonomi-politik PKI tentang struktur masyarakat Indonesia, yang menyimpulkan masyarakat Indonesia adalah “setengah feodal, setengah kolonial.”
Pada 1968, ketika gerakan mahasiswa bergolak di jalan-jalan utama Perancis, banyak aktivisnya yang sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Mao. Ilmuwan politik Ellen Meiksins Wood mengatakan, strukturalisme Althusser yang anti humanis dan kalangan post-Marxis yang menolak pendekatan kelas dalam analisa sosial, salah satunya berakar pada Maoisme ini. Pengaruh Mao juga tampak pada Alan Badiou, salah satu filsuf kiri Prancis terkemuka saat ini.

Kalau kita mengikuti sejarah pemikiran dan praktek politik dari lelaki yang lahir di kota Saoshan, provinsi Hunan, 26 Desember 1893, maka pengaruhnya yang melintasi tembok Cina sangatlah wajar. Pria yang akrab disapa Paman Mao oleh pengikutnya itu, adalah pemimpin revolusi Cina dan kemudian menjadi pemimpin tertinggi Republik Rakyat Cina pada 1949. Sepanjang karir revolusionernya, Mao sarat dengan kontroversi. Dan tidak ada yang paling kontroversial selain tuduhan bahwa akibat program dan ambisi pribadinya akan kekuasaan yang tak terbatas, Mao telah membiarkan puluhan juta rakyat Cina mati kelaparan. Merayakan 117 tahun kelahirannya, tulisan ini akan menyoroti kontroversi itu.
Lompatan Jauh ke Depan
Pada Desember 1957, Mao mendeklarasikan program pembangunan ekonomi yang disebut “The Great Leap Forward” atau “Lompatan Jauh Ke Depan.” Menurut ekonom Minqi Li, cerita konvensional soal program Lompatan Jauh ke Depan dan seluruh kegagalannya, karena Mao memaksakan versi utopian komunisnya kepada para pemimpin partai. Melalui program-program yang tak ada justifikasi ilmiah dan bukti historis, Mao telah memaksa para pemimpin partai di tingkat provinsi dan lokal untuk memenuhi target produksi besar-besaran yang tidak realistis kepada para petani. Tidak adanya komunikasi yang efektif dan desentralisasi yang tidak masuk akal telah menyebabkan aktivitas ekonomi nasional mengalami kekacauan dan terjadi misalokasi sumberdaya yang luar biasa. Sementara itu rangsangan kepada petani untuk berproduksi semakin menurun akibat penentuan level pendapatan secara besar-besaran melalui sistem komune.
Hal-hal ini kemudian menyumbang pada gagalnya hasil produksi pertanian pada 1959 hingga 1962. Situasi gagal panen ini makin memburuk ketika pemerintah pusat mengambilalih produk pertanian kacang-kacangan dari daerah pedesaan, guna memenuhi kekurangan produksi kacang-kacangan secara nasional dari perkiraaan semula.
Akibat paling buruk dari gagalnya program Lompatan Jauh ke Depan ini, terjadi kemiskinan dan kelaparan massal yang luar biasa di seluruh Cina. Kemiskinan dan kelaparan ini adalah sesuatu yang terbesar dalam sejarah Cina, bahkan diklaim terbesar dalam sejarah umat manusia. Dan ini bukan kemiskinan biasa, melainkan kemiskinan yang mematikan dengan jumlah korban yang mendirikan buluroma. Para intelektual liberal dan pemimpin Cina pasca Mao, mengeluarkan angka-angka yang berbeda mengenai jumlah penduduk yang meninggal akibat kelaparan itu.
Pemerintah Cina di bawah Deng Xiaoping, dalam rangka pembabatan warisan Mao, terutama berkaitan dengan Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan, mengeluarkan laporan resmi bahwa jumlah penduduk yang mati akibat kemiskinan dan kelaparan tersebut mencapai 16,5 juta orang. Para peneliti Amerika, mengajukan angka yang lebih besar lagi, 30 juta orang. Jung Chang dan John Halliday, dalam buku larisnya Mao: the Unknown Story, muncul dengan angka 70 juta, dan buku terbaru dari sejarahwan Frank Dikötter, Mao’s Great Famine, menyebutkan angka sebesar 45 juta orang.
Validitas data
Munculnya beragam angka yang menyebutkan tingkat kematian itu, mungkin tidak begitu penting bagi sebagian kalangan selama ini. Toh kampanye yang dituju telah tercapai, “Mao telah membiarkan rakyatnya mati akibat kemiskinan dan kelaparan.” Tetapi, bagi mereka yang ingin menegakkan kebenaran ilmiah, jumlah angka yang berbeda-beda itu menimbulkan pertanyaan serius menyangkut validitas dan akurasi dari mana dan bagaimana angka itu diperoleh?
Berhadapan dengan kontroversi itu, kita mesti melampaui metode perhitungan statistik. Saya ingin mengajak anda untuk melihat perkembangan ekonomi dan sosial pada masa penerapan program Lompatan Jauh ke Depan. Demografer Judith Banister, salah satu pendukung tesis “the great death toll” mengatakan, dilihat dari segi tingkat harapan hidup pada tahun 1973-1975, maka posisi Cina lebih baik dari negara-negara Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, dan banyak negara Amerika Latin. Pada tahun 1981, Banister bersama S. Preston, menulis tentang “hasil luar biasa” yang dicapai pemerintah RRC berkaitan dengan pengurangan tingkat kematian, dengan tingkat harapan hidup diperkirakan mencapai 1,5 per tahun per kalender sejak negara komunis itu memerintah pada 1949. Tingkat angka harapan hidup meningkat dari 35 pada 1949 menjadi 65 pada 1970, saat dimana Mao masih berkuasa hingga ajal menjemputnya.
Data yang dikeluarkan oleh rejim Deng Xiaoping, juga menunjukkan angka pertumbuhan yang positif. Misalnya, produksi industrial meningkat sebesar 11,2 persen per tahun dari 1952-1976 (bertumbuh 10 persen per tahun selama periode revolusi kebudayaan yang dituduh sebagai periode terkelam dalam sejarah Cina). Pada tahun 1952, sumbangan sektor industri terhadap pendapatan nasional bruto sebesar 36 persen. Pada 1975, sumbangan sektor industri meningkat menjadi 75 persen, sementara sumbangan sektor pertanian sebesar 28 persen. Data lain dari Guo Shutian, mantan direktur kebijakan dan hukum kementrian pertanian Cina di masa Mao menyebutkan, benar bahwa produksi pertanian menurun dalam periode 1949-1978, karena “bencana alam dan kesalahan dalam praktek.” Namun demikian, ia mengatakan antara 1949-1978 jumlah produksi pangan biji-bijian meningkat sebesar 145,9 persen dan total produksi pangan meningkat sebesar 169,6 persen. Selama periode ini, penduduk Cina bertumbuh sebesar 77,7 persen. Berdasarkan data ini, menurut Shutian, produksi pangan per kapita Cina meningkat dari 204 kg menjadi 328 kg dalam periode tersebut.
Menyimak data-data di atas, menjadi aneh jika melihat jumlah puluhan juta orang yang meninggal akibat kelaparan dan kemiskinan. Dimana rasionalisasinya? Jika asumsinya tampilan ekonomi yang positif itu hanya terkonsentrasi pada segelintir elit partai, hal itu tidak sesuai dengan kenyataan bahwa pada masa Mao tingkat kesenjangan sosial masyarakat Cina adalah yang terbaik sepanjang sejarahnya. Berhadapan dengan keanehan ini, maka kita punya dua pilihan: pertama, percaya buta bahwa memang pada masa Lompatan Jauh ke Depan ada puluhan juta orang yang mati; atau kedua, kita menganggap angka-angka puluhan juta itu tak lebih sebagai propaganda murahan kalangan yang anti revolusi Cina. Namun demikian, pandangan hitam putih ini tidak memberikan banyak manfaat dalam melihat lebih jernih kontroversi tersebut, kecuali sikap ya tidak, ya tidak.
Ekonom Minqi Li memberikan penjelasan yang menarik soal itu. Menurut Li, data kasar tingkat kematian adalah 11.98, 14.59, dan 14.24 per seribu untuk tahun 1958, 1959, dan 1961. Sementara data kasar tingkat kematian untuk tahun 1960 adalah 25.43 per seribu. Tetapi, jika dibandingkan dengan tahun 1936 dan 1938, dimana data kasar tingkat kematian sebesar 28 pe seribu, padahal tahun-tahun itu bukanlah tahun-tahun yang miskin, lalu mengapa tahun 1960 disebut tahun kemiskinan? Boleh jadi alasannya, demikian Li, bahwa jumlah sebesar itu terjadi karena tahun 1936 dan 1938 adalah tahun perang dan pemerintah nasional juga tidak bisa mengontrol seluruh wilayah. Jika logika ini dipakai, maka pemerintah nasional tentu hanya bisa mengoleksi data dari wilayah yang bisa dikontrolnya, yang secara komparatif tentu lebih aman dan secara ekonomi lebih baik. Demikian juga, jika dibandingkan dengan rata-rata angka kasar tingkat kematian di seluruh dunia yang mencapai 18.5 per seribu pada 1950, maka angka kasar tingkat kematian di Cina pada tahun tersebut hanya sebesar 18 per seribu. Patut diketahui bahwa tahun 1950 adalah tahun pertama yang paling damai sejak Cina di bawah pemerintahan PKC. Dengan perbandingan ini, dimana tahun yang paling parah adalah 1960, maka menurut perhitungan Li, jumlah penduduk yang mati pada masa Lompatan Jauh ke Depan adalah sebesar 4.9 juta atau 0.7 persen dari total populasi Cina.
Tanggung jawab Mao?
Siapa yang harus bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan itu? Setelah program Lompatan Jauh ke Depan usai, pemerintah Mao menerbitkan laporan yang menyebutkan bahwa tragedi itu disebabkan oleh 70 persen akibat bencana alam dan 30 persen akibat kesalahan manusia. Tetapi, setelah rejim Deng Xiaoping berkuasa, komposisi itu dibalik: 70 persen akibat kesalahan manusia dan 30 persen akibat bencana alam. Dan 70 persen itu bebannya ditanggung oleh Mao Zedong.
Selama beberapa dekade, para intelektual liberal di Cina maupun di Barat, terus-menerus menabuh gendang yang sama, bahwa Maolah satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab atas kematian jutaan orang tersebut. Tuduhan ini didasarkan pada asumsi bahwa kekuasaan Mao terhadap partai dan negara adalah absolut. Asumsi ini sebenarnya sangat lemah. Studi-studi yang dilakukan para sinolog seperti William Hinton, menunjukkan bahwa para elite PKC tidaklah monolitik dan kekuasaan Mao tidaklah absolut. Hinton mengatakan, sejak kemenangan revolusi 1949, elite PKC terbelah menjadi dua faksi, yakni antara mereka yang menganut pendekatakan Politics in Command (PiC) atau penganut jalan sosialis yang berpusat pada figur Mao dan penganut pendekatan Technique in Command (TiC) atau penganut jalan kapitalis dengan tokoh sentralnya Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping. Kedua faksi ini terus-menerus memperebutkan pengaruhnya di kalangan birokrasi partai, negara, dan tentara. Dan dalam beberapa situasi historis tertentu, Mao menemukan posisinya sangat minor di kalangan pimpinan partai.
Dengan mengerti adanya faksionalisasi ini, maka tuduhan bahwa Mao adalah sosok yang paling bertanggung jawab atas peristiwa kematian massal tersebut adalah sebuah lelucon. Studi yang dilakukan generasi baru intelektual Cina, seperti Cheng Zhidan dengan jelas membantah tuduhan para intelektual kanan tersebut. Ilmuwan politik Dongping Han, yang keluarganya menjadi korban dalam peristiwa tersebut, setelah melakukan riset mendalam di wilayah-wilayah yang paling parah menderita kelaparan menemukan bahwa penduduk usia lanjut di daerah tersebut tidak pernah menyalahkan Mao atas tragedi itu.
Kalau bukan Mao, lalu siapa yang mesti bertanggung jawab? Ceritanya, seiring perubahan kepemimpinan politik di Uni Sovyet pasca kematian Stalin, Mao yang saat itu berusia 63 tahun mulai mengajukan gagasan untuk kepemimpinan baru di PKC pada kongres kedelapan partai yang berlangsung dari tanggal 12-27 September 1956. Kongres dilaksanakan ketika kondisi kesehatan Mao tengah memburuk, dan ia tidak ingin jika kematian menjemputnya terjadi pertarungan kekuasaan di partai, sebagaimana yang terjadi di Uni Sovyet pasca Stalin. Setelah kongres 1956 itu, Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping menjadi figur “garis depan” yang menangani urusan dalam negeri partai sehari-hari. Liu kemudian menempati posisi kedua tertinggi dalam partai dan selanjutnya menjadi pimpinan PKC setelah 1959. Sementara Deng menjadi sekretaris jenderal partai, yang kedudukannya nomor empat setelah Mao, Liu, dan Zhou Enlai. Mao secara bertahap mundur ke “garis kedua” dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengelola masalah hubungan luar negeri dan pertahanan nasional.
Menurut Li, dalam periode Juni hingga Oktober 1958, adalah Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping yang paling bertanggung jawab atas kebijakan Lompatan Jauh ke Depan, komune penduduk, produksi industrial, serta propaganda. Dengan fakta-fakta ini, Zhang Hongzhi secara terang-terangan mengatakan,
“Adalah Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping, sebagai tokoh yang paling bertanggung jawab atas Lompatan Jauh ke Depan, gerakan komune penduduk, dan gerakan produksi baja besar-besaran; Lebih dari itu, Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping, adalah orang yang paling “menentukan” (sekaligus pengawas) dalam propaganda. Pada saat itu, fakta-fakta ini, dari pimpinan tertinggi hingga pejabat terendah partai, semuanya mengerti dan mengetahui hal ini dalam hatinya.”
Kepustakaan:

Dongping Hang, “Farmers, Mao, and Discontent in China
From the Great Leap Forward to the Present, Monthly Review, Desember 2009.
Ellen Meiksins Wood, "Retreat From Class: A New 'True' Socialism," Verso, 1999.

Joseph Ball, “Did Mao Really Kill Millions in the Great Leap Forward?” Monthly Review, September 2006.

Minqi Li, “The Rise of China and the Demise of the Capitalist World Economy,” Monthly Review Press, 2008.

Marta Harnecker, “Understanding the Venezuelan Revolution Hugo Chavez Talks to Marta Harnecker,” Monthly Review Press, 2005.

William Hinton, “Turning Point in China: An Essay on the Cultural Revolution,” Monthly Review Press, 1972.

  
Tambahan :

Ada beberapa pandangan yang tak bisa terlewatkan dalam pembahasan revolusi kebudayaan di Cina. Pertama adalah sosok Mao yang sangat ideologis. Kedua, revolusi kebudayaan Cina merupakan sebuah langkah untuk mengembalikan RRC pada landasan sosialis komunis. Ketiga, revolusi kebudayaan Cina merupakan penghancuran modernisasi kapitalis yang sudah merasuk ke dalam pemerintahan Cina.Revolusi kebudayaan yang terjadi di RRC tidak diartikan sebatas perubahan dalam bidang seni, sastra, dan budaya saja. Revolusi kebudayaan merupakan tindakan Mao dan pengikutnya yang ingin mengembalikan RRC pada garis sosialis yang telah dibangun sejak RRC merdeka.    
         
Garis politik dan ideologi sosialis Mao terbentuk setelah membaca tiga buku penting, yaitu Manifesto Komunis terjemahan Chen Wang-tao, Pertarungan Kelas oleh Karl Kautsky dan Sejarah Sosialisme oleh Kirkupp. Pandangan-pandangan Mao sangat berpengaruh terhadap gerakan komunis di Cina. Saat menjadi pemimpin negara Cina, dia merupakan arsitek negara yang baru terbentuk tersebut. Dia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa RRC yang baru terbentuk merupakan negara yang bisa melebihi Eropa. Tak hanya itu, Mao dengan Cina yang baru terbentuk itu juga ingin mengubah cara pandang dunia internasional terhadap bangsa Cina. Hal ini karena, Cina pada waktu itu dipandang sebagai bangsa yang miskin, bodoh, dan terbelakang.

Pemikiran Mao tentang negara sosialis menjadi sebuah paham yang disebut dengan Maoisme. Dia tidak hanya meluapkan ide tentang cara pandang proletariat, tapi dia juga mengikuti jejak Lenin dalam mendirikan sebuah negara komunis Uni Soviet. Maoisme juga dipandang sebagai keluwesan dalam menerapkan komunisme yang disesuaikan dengan situasi objektif negeri Cina. 

Terkait dengan pembentukan sosialis komunisme di Cina, seperti dalam teori Marxis ortodoks, sebuah negara yang ingin melakukan revolusi sosialis proletariat harus melalui tahapan industri bourjois. Hal ini berdasarkan konsep materialisme dialektis. Di mana sintesis merupakan hasil pertentangan antara tesis dan antitesis. Cina dipandang tidak melalui tahapan industri bourjois terlebih dahulu. Dalam hal ini, intelektual di Amerika Latin berpendapat, bahwa bisa saja negara langsung menuju tahapan revolusi sosialis tanpa melalui tahapan industri bourjois.

Penerapan modernisasi klasik ataupun modernisasi baru merupakan bagian dari ideologi Barat kapitalis untuk mengeksploitasi sumber daya negara dunia ketiga semacam Cina pada waktu itu. RRC di bawah komunis bukanlah negara yang bergantung pada negara maju, meskipun pada waktu itu RRC dikatakan masih negara berkembang atau negara Dunia Ketiga.

Mao menginginkan Cina menjadi negara yang mandiri. Negara Dunia Ketiga bisa dikatakan sebagai negara yang menentang hegemoni ekonomi, politik, budaya, dan intelektual dari negara maju. Menurut saya, tindakan Mao dalam melakukan revolusi kebudayaan sebagai langkah untuk menghalang kaum intelektual kapitalis yang melakukan hegemoni Cina dalam berbagai bidang. 

Pada dekade 1960-an, sebuah pendekatan dependensi muncul di Amerika Latin untuk menjawab persoalan bangsa negara Dunia Ketiga karena hegemoni negara maju. Ketidakmampuan negara maju dalam menyelesaikan persoalan ekonomi pada negara dunia ketiga telah mengakibatkan ketidakpercayaan para cendikiawan kiri. Konsep pembangunan ekonomi di Cina pun diperkuat dengan melakukan modernisasi tanpa meninggalkan landasan dan ideologi komunisme. Model pembangunan Cina menjadi daya tarik bagi negara dunia ketiga yang lain.