Rabu, 12 Agustus 2015

Pemberontakan Petani Banten 1888

Edisi Rangkuman Buku I[1]
Pemberontakan Petani Banten 1888
Prof. Sartono Kartodirdjo


Seperti judul bukunya Pemberontakan Petani Banten 1888 yang ditulis oleh Prof.Sartono Kartodirjo ini merupakan hasil Disertasi beliau untuk mendapatkan gelar Doktor Ilmu Sejarah di Universiteit Van Amsterdam tahun 1966. Judul asli Disertasi beliau adalah The Peasants’ Revolt Of Banten In 1888 : Its Conditions, Course And Sequel, A Case Study Of Social Movements In Indonesia. Disertasi yang dijadikan buku ini diterbitkan oleh Komunitas Bambu di Depok pada bulan Februari 2015 dengan tebal halaman 424. Rangkuman buku ini tidak akan memuat semua Bab yang dalam buku namun lebih menekankan kepada intisari, serta pengetahuan-pengetahuan yang menurut penulis penting untuk dituliskan kembali.

Prakata

Tujuan utama kajian ini adalah membahas aspek-aspek tertentu dari gerakan sosial yang melibatkan sejumlah lapisan luas rakyat biasa di Indonesia. Dalam histografi Indonesia, pembahasan pokok persoalan semacam ini masih jarang. Satu-satunya contoh yang luar biasa adalah analisis Schrieke mengenai Komunisme di Pantai Barat Sumatera (Schrieke, 1959, hlm.85-166). Seperti Schrieke, saya membatasi pembahasan saya pada satu gerakan spesifik di satu daerah spesifik. Saya telah mempelajari pemberontakan Banten tahun 1888 dengan latar belakang masyarakat Banteng abad Ke-19 dan, terkait dengan kebangkitan kembali agama yang dibahas dalam Bab V, di dalam kerangka gerakan keagamaan pada umumnya di Jawa abab Ke-19. Di harapkan karya ini hanya akan menandai awal kegiatan study semacam ini dan mungkin akan digunakan sebagai contoh dalam riset gerakan sosial dimasa-masa mendatang. Dengan demikian, kita berharap bisa mendapatkan pemahaman lebih baik mengenai berbagai implikasi di bidang ekonomi, sosial, politik dab budaya dari dampak dominasi Barat terhadap masyarakat tradisonal Indonesia disatu pihak, dan mengenai peran rakyat biasa dalam pembentukan sejarah Indonesia di pihak lain.

Bab I Pengantar

Pemberontakan pada 1888 yang dibahas dalam studi ini terjadi di distrik Anyer, ujung barat Pulau Jawa. Pemberontakan ini hanyalah salah satu diantara serentetan pemberontakan yang terjadi di Banten selama abad Ke-19.

Sebagai pergerakan sosial, semua pemberontakan yang terjadi di Jawa tidak menunjukan ciri-ciri modern, seperti organisasi, ideologi-ideologi modern, dan agitasi seluruh Negeri. Sebagian besar pemberontakan petani bersifat lokal dan tak terkait satu sama lain. Para petani tidak mengetahui apa yang mereka perjuangkan. Mereka mempunyai keinginan yang samar untuk mengulingkan pemerintah, tetapi tidak sadar bahwa mereka sedang mengambil bagian di dalam suatu pergerakan sosial yang revolusioner.

Istilah “pemberontakan petani” (Peasant Revolt) memerlukan beberapa penjelasan. Istilah ini tidak berarti bahwa para partisipannya terdiri dari petani semata-semata. Sepanjang sejarah pemberontakan petani, pemimpinnya jarang sekali berasal dari petani biasa. Mereka berasal dari kelompok penduduk pedesaan yang lebih berada dan lebih terkemuka. Mereka adalah pemuka agama, anggota-anggota kaum ningrat atau orang-orang yang termasuk golongan penduduk desa yang terhormat. Jadi, status mereka meringankan beban tujuan suatu pergerakan dan dapat berfungsi sebagai pusat identifikasi simbolis. Akan tetapi tidaklah benar untuk menyimpulkan bahwa kaum tani tidak memainkan peran apapun dalam sejarah Indonesia. Dan tidak benar bahwa mereka bersikap masa bodoh, selalu penurut dan pasrah kepada nasib. Huru-hara dan pemberontakan petani terjadi berulang-ulang menjadi endemis sosial dalam sejarah Jawa abab Ke-19. Hal ini memberikan bukti tentang peranan historis yang dimainkan oleh kelompok petani.

Bab II. Latar Belakang Sosio-Ekonomi
Daerah peristiwa dan Faktor-Faktor Ekologis yang relevan

Banten terletak di bagian paling barat Pulau Jawa memiliki 114 mil persegi. Keadaan penggarapan tanah berkaitan dengan kepadatan penduduk yang kemudian sangat bergantung pada lingkungan fisik. Banten dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu selatan dan utara.

Kesultanan Banten didirikan pada 1520 oleh kolonis dari kerajaan Demak di Jawa Tengah dan dihapuskan oleh Daendels pada 1808 meliputi area pesisir utara sebagai pusat daerahnya, sedangkan Bogor dan Jakarta, serta Lampung di Sumatera bagian selatan. Sunda-Bantam sebagai disebut oleh para pengelana Portugis-sejak zaman dahulu menjadi pusat perdagangan lada. Daerah ini berkembang setelah Malaka direbut oleh orang-orang Portugis pada 1511, tetapi memudar dengan cepat sebagai pusat perdangangan sejak Belanda mendirikan Batavia 1619.

Struktur Sosial dan Ekonomi Agraria

Sudah umum diketahui bahwa dalam masyarakat Agraris, tanah menjadi sumber utama produksi dan kekayaan, dan pemilikan tanah berarti prestise yang tinggi. Oleh sebab itu, klasifikasi tradisonal penduduk desa didasarkan kepada pemilikan tanah. Hak dan kewajiban ditentukan atas dasar yang sama. Generalisasi ini memang berlaku disebagian besar pulau Jawa pada abad Ke-19, tetapi di Banten kaitannya diragukan dalam periode yang disoroti dalam studi ini. Selain pemilikan tanah, terdapat berbagai faktor ekologis dan historis yang ikut berperan sehingga perkembangan masyarakat pedesaan didaerah  persawahan dataran rendah yang statis khususnya cara penggunaan tanah organisasi sosial khas Jawa tidak sampai kaku. Ada yang mengatakan bahwa Banten “tidak mengenal pembedaan kelas”. Tentu saja ungkapan itu lebih seperti stereotip daripada penilaian suatu situasi yang dapat dipercaya. Akan tetapi, stereotip tersebut mungkin memiliki dasar dalam realitas. Mari kita perhatikan lebih seksama struktur sosial Banten pada abad Ke-19 dan ciri-ciri latar belakang agrarisnya.

Di Banten dengan ekonomi agrarisnya, para penduduk desa bercocok tanam dan menanam padi, entah sebagai pemilik tanah atau penggarap bagi hasil. Namun, hal yang mencolok adalah sejumlah besar penduduk desa mencari nafkah dengan menjadi pedagang, nelayan atau tukang, atau sebagai pengusaha Industri. Pada umumnya, sumber-sumber penghasilan alternatif telah dikembangkan secara tradisonal. Contoh nyatanya adalah apa yang dikenal dengan migrasi musiman ke Batavia atau lampung yang didorong oleh adanya kekurangan tenaga kerja ditempat-tempat itu dan perhubungan yang baik.

Seperti di kebanyakan masyarakat agraris, ada dua fakta penting mengenai keadaan yang menentukan kehidupan dan tenaga kerja didaerah pedesaan, yaitu yang menyangkut pemilikan tanah dan penyewaan tanah disatu pihak, dan yang berkaitan dengan teknik bertani dipihak lainya. Faktor-faktor itu sangat penting karena pada akhirnya faktor-faktor tersebut menentukan siapa yang akan melakukan pekerjaan yang diperlukan dan berapa besar bagian yang akan mereka peroleh hasilnya. Sistem hak atas tanah di Banten pada Ke-19 berasal dari zaman kesultanan meskipun sistem tersebut sudah mengalami banyak perubahan akibat gangguan pemerintahan kolonial.

Dikatakan bahwa kolonisasi yang dipimpin oleh para penakluk muslim dari Demak dan Cirebon itu mengunakan tekhnikk bertani yang baru secara besar-besaran, yakni menanam padi disawah. Adapun  sawah-sawah yang dinamakan sawah negara sepertinya merupakan sawah-sawah yang paling tua. Petani-petani yang menggarap sawah negara atau tanah milik Sultan terbagi mejadi dua katagori : Mardika, orang – orang yang diberi status sebagai orang merdeka karena telah menyatakan tunduk kepada kepada kaum penakluk dan memeluk agama Islam, dan Abdi, yang ditaklukan dengan kekerasan dan dijadikan budak.

Sawah negara sebenarnya adalah semua sawah yang dibuka atas perintah sultan atau pemilik lungguh dan yang dimiliki oleh sultan. Meskipun demikian, bagi sultan, memiliki tanah saja tidak cukup. Tanah itu tidak menghasilkan keuntungan, kecuali jika digarap. Oleh karena itu, ia lalu menghadiahkan tanah atau hak penggunaanya sebagai imbalan atas tenaga kerja. Sawah negara yang dibagikan kepada petani dengan syarat mereka harus menggarapnya dan membayar upeti kepada sultan sebesar sepersepuluh dari hasilnya.

Karena fungsi sultan sebagai pelindung menyebabkan ia memiliki kendali ekonomi, mobilisasi produksi digunakan untuk menunjang rumah tangganya, keluarganya dan para pejabat negara. Mereka mengandalkan pendapatan mereka tidak hanya kepada pungutan pajak perdagangan, tetapi juga kepada hasil pertanian didaerah-daerah pedesaan. Tampaknya ada suatu kebiasaan lama yang dapat dijumpai dinegara-negara birokratis agraris : pembagian tanah diantara para pelayan pribadi sang raja, pejabat-pejabat rumah tangga, kerabat, orang-orang kesayangan selalu terjadi setelah penaklukan sebuah daerah dan pembentukan sebuah negara.

Pembagian tanah (hibah) dinamakan sawah ganjaran atau pusaka laden atau pecaton. Istilah yang dipakai berbeda-beda sesuai dengan orang yang menerima hadiah itu, seperti :

  1. Kawargaan, jika tanah yang diberikan kepada anak-anak sultan dari istri-istrinya yang sah;
  2. Kanayakan, apabila tanah yang diberikan kepada anak-anak sultan dari selir-selirnya atau kepada orang kesayangan sultan;
  3. Pangawulaan, tanah yang dihadiahkan kepada pejabat-pejabat yang mengunakan hasilnya untuk mebiayai hidup mereka selama masa jabatan mereka.

Adapula disebut dengan sawah yasa, tanah-tanah bukaan baru dimana ini lakukan oleh mereka yang mendapatkan tanah hibah dari sultan dengan cara kerja bakti. Pembukaan tanah ini tidak saja dipandang sebagai peningkatan pendapatan mereka namun untuk memperoleh tanah sebagai hak milik penuh. Bagi petani biasa juga bisa menggarap sawah yasa karena adanya keuntungan dari menggarap sawah.

Pendorong lainya mungkin terletak pada kenyataan bahwa para penggarap sawah yasa harus menyerahkan upeti kepada sultan atau orang yang dihadiahi tanah itu sebagai tanda pengabdian. Upeti ini dinamakan pakukusut dan jumlahnya lebih sedikit daripada lelanjan yang dipunggut dari penggarap sawah negara.

Pada 1808, Daendels menghapuskan tanah-tanah milik sultan serta kerja wajib yang melekat pada tanah-tanah itu, lalu memunggut seperlima bagian dari hasil panen sebagai pajak tanah untuk seluruh dataran Banten. Beberapa tahun kemudian, Raffles menjadikan sewa tanah sebagai satu-satunya pajak tanah. Para pemegang hak tanah pusaka menerima ganti rugi atas kehilangan pendapatan dari upeti dan kerja wajib, sedangkan para pemilik sawah yasa tetap berhak atas pakukusut mereka. Meskipun demikian, ketentuan tersebut memicu terjadinya kesewenang-wenangan yang serius. Seiring berjalanya waktu, hak warisan atas sawah negara, baik pusaka maupun pecaton dan sawah yasa menjadi sumber korupsi dan penyelewengan di kalangan pamong praja.

Jelaslah bahwa para kerabat sultan dan pejabat kesultanan pihak yang paling diuntungkan oleh sistem lama cenderung menghendaki kembalinya kebiasaan tradisional dan karena itu berusaha mempertahankan hak-haknya meskipun sudah mendapatkan ganti rugi. Selain itu orang-orang yang telah dihibahkan tanah oleh sultan dengan gigih menentang diberlakukannya ketentuan yang ditetapkan Daendels karena hal itu juga akan membuat mereka kehilangan banyak pengaruh politik. Akibanya, ketentuan-ketentuan tersebut telah menimbulkan banyak rasa tidak puas, dan itulah yang dianggap sebagai kerusuhan di Banten sampai 1830.

Sejak semula, pemerintah (Baca: pemerintahan belanda) dihalang-halangi untuk memperoleh informasi yang sebenarnya perihal keadaan tanah-tanah kesultanan sehingga para penerima hibah tanah dapat terus mengutip upeti tradisional. Dengan demikian, rakyat mendapat kesan bahwa pemungutan berganda itu telah mendapat persetujuan pemerintah. Akibatnya, timbul satu situasi dimana segala kesalahan dilimpahkan kepada pemerintah. Sebenarnya ada satu peluang lain untuk memanfaatkan ketidaktahuan rakyat biasa. Seiring berjalanya waktu, rakyat sulit mengetahui apakah tanah yang telah dibuka dengan kerja wajib itu diperuntukan bagi negara atau penerima hibah tanah.

Sawah yang dianggap sebagai sawah negara oleh para penggarapnya, diakui sebagai sawah yasa oleh para penerima hibah tanah dengan segala hak yang melekat padanya. Sesudah kekuasaan beralih ketangan Belanda, hak milik sawah negara dipegang oleh penggarapnya, tetapi upeti yang tadinya dipungut oleh sultan atau para penerima hibah tanah kemudian dipungut oleh pemerintah dalam bentuk sewa tanah. Sementara itu, pihak yang memegang hak milik atas sawah yasa berhak untuk mengutip pakukusut dari penggarapnya. Di sini timbul konflik kepentingan yang mencekam masyarakat Banten sampai meletusnya pemberontakan. Beberapa kasus akan menjelaskan situasi konflik yang berlangsung lama itu. Laporan mengenai hak atas tanah di Banten pada 1870 memberikan gambaran yang jelas mengenai kasus-kasus di Banten Utara.

Konflik Mengenai Hak Tanah

Sebuah contoh mengenai pemilikan secara tidak sah atas sawah negara oleh pamong praja atau kerabat mereka.

Kasus Kubanglaban Kidul, Kliwon serang berdalih telah menerima sawah pusaka dari ayahnya Raden Saca dan menuntut hak mengukutip pakukusut, namun tidak ada bukti untuk memperkuat tuntutanya. Pada 1866 tanah tersebut sebagai sawah yasa sedangkan catatan sebelumnya sebagai sawah negara. Untuk menghindari konflik, Bupati Serang memerintahkan para penggarap sawah untuk membayar pakukusut.

Kasus Desa Klangan beberapa kerabat kliwon tetap mempunyai hak untuk mengutip pakukusut dari penggarap sawah tertentu yang diakui sebagai sawah yasa milik para kerabat Kliwon.

Kasus Badamusalam, pada 1826, sekitar 25 bau dari 90 bau sawah negara digarap oleh penduduk desa, sedangkan sisanya ditelantarkan karena banyak yang sudah meninggal dan lainya telah meninggalkan desa. Dari sawah yang digarap sebanyak 5 bau sudah diberikan kepada jaro dan pengiwa selama hampir 30 tahun. Pada tahun 1858, ayah jaksa kepala, Aria Nitidiwiria, menyatakan bersedia menggarapnya atas dasar bagi hasil dengan mereka. Alasanya adalah bahwa ia hendak memanfaatkan tanah yang terlantar itu untuk sementara waktu, selama rakyat belum mampu menggarapnya sendiri. Enam tahun kemudian, permintaan rakyat agar tanah itu dikembalikan kepada mereka ditolak mentah-mentah oleh jaksa kepala. Akhirnya, seorang demang dengan seizin bupati Serang, mengambil alih 30 bau. Karena alasan yang bersifat takhayul 15 bau dibiarkan terlantar.

Kasus Pangeran Khalzie, selama periode kesultanan rakyat Tras diwajibkan membayar upeti kepada sultan sebanyak dua sanga untuk tiap caeng. Pangeran Khalzie yang bertindak sebagai kuasa sultan mencoba mengukutip dua sanga untuk tiap bau, tetapi rakyat hanya bersedia membayar dua sanga untuk dua belas bau. Setelah Pangeran Khalzie meninggal rakyat tidak lagi membayar pungutan itu karena dua hal : pertama sewa tanah sementara itu sudah diberlakukan dan kedua peungutan tersebut merupakan hak yang diberikan oleh sultan kepada Pangeran pribadi. Bupati Serang, RA.Mandura Raja Jayanegara menawarkan untuk menyediakan sejumlah bibit dan kerbau yang diperlukan untuk menggarap sawah itu, serta untuk membayar sewa tanahnya, dengan syarat ia menerima separuh dari hasil panennya. Rakyat menerima tawaran itu untuk jangka waktu tiga tahun dengan alasan bahwa mereka tidak mempunyai biaya untuk mengarap tanah mereka meningat daerah itu sedang dilanda kekurangan makanan. Selain itu mereka juga takut kepada Bupati Serang, RA.Mandura Raja Jayanegara kemudian digantikan oleh R.A.A.Condronegoro yang menuntut pungutan sebanyak separuh hasil panen karena ia menganggap sawah-sawah itu sebagai milik pribadinya. Pada tahun 1865 istrinya menjual sawah-sawah itu kepada Demang Trumbu. Hal ini mengakibatkan penduduk desa sejak itu menolak setiap tuntutan diajukan oleh bupati. Sebenarnya rakyat hanya mengakui dua belas bau sebagai pemilik pribadi Pangeran Khalzie. Lagipula menurut silsilah Banten ahli waris sultan yang paling langsung adalah sultan Alih dan bukan istri Bupati, Ratu Siti Aminah.

Penjelasan mengenai kasus-kasus diatas mengungkapkan beberapa aspek perubahan terjadi dalam perekonomian agraris Banten. Pertama : hubungan dengan kaum petani dan elite sudah dibumbui dengan sejumlah konflik dan bentrokan kepentingan. Kedua hal itu sering terjadi dan timbul akibat pembaruan-pembaruan yang diadakan dalam perekonomian agraris. Kedua : perpecahan sosial itu diperburuk oleh beberapa persoalan lainya yang berhubungan dengan kerja wajib dan melekat pada perekonomian tradisional serta tidak dapat dipisahkan dari pemilikan tanah. Ketiga : efek-efek yang mengganggu dari penetrasi ekonomi uang sudah mulai dirasakan, serta mengakibatkan pemindahan dan pemusatan pemilikan tanah.

Belum usai....



[1] Ditulis ulang oleh Aryo Nugroho dengan tujuan mempelajari sejarah serta menjadi wujud dukungan yang mendalam tentang sejarah masyarakat Indonesia sebagai bahan studi maupun pemantapan Ideologi gerakan.