Senin, 09 Januari 2017

BERAS


Oleh ; Sarwoto Kertodipoero

Tulisan ini berdasarkan pada tulisan yang dibuat oleh Sarwoto Kertodipoero, BA dengan judul bukunya Kaharingan Religi di Pehuluan Kalimantan, yang diterbitkan oleh Sumur Bandung, tahun 1963. Secara khusus Kertodipoero menuliskan mengenai Beras pada Bab II Ps.2 di halaman 45-49. Penulisan ini berinteraksi di masyarakat Suku Dusun, Barito Utara. 

Selamat membaca dengan gembira.

Pada waktu itu manusia ini masih selalu mendapatkan beras dari langit.

PADA SUATU HARI, Kilip Tamun Tau Uma Dajai Lekan Pandai- dewa pencipta setan-setan mencari-mencari manusia dibumi ini. Setelah lama membegawan, disuatu kampung yang bernama Neten Pali bertemu ia dengan sekelompok manusia. Adapun pemimpin dari kelompok manusia ini adalah Mahadji. Kilippun segera berkenalan dan bercakap-cakap dengan pemimpin manusia ini. 

Kebetulan pada saat itu manusia sedang bersusah-hati berhubung persediaan berasnya hampir tidak ada lagi. Hal ini disampaikan juga oleh Mahadji kepada Kilip yang amat pandai dan suka menolong itu. Maka bertanyalah Kilip;
-          Kemana engkau mau mencari beras itu ?
-          Entah lah, jawab Mahadji,, kami masih akan mencari-mencari saja
-          Lebih baik aku saja yang mencarikan
-          Oh, baiklah !

Demikianlah Mahadji serta seluruh rakyatnya kini menunggu hasil usaha Kilip.

Dari Neten Pali, Kilip menuju kesebuah danau, Riong Olo namanya. Sewaktu sedang mengail ikan didanau tersebut, dari atas pohon lunuk yang tumbuh ditepi danau tersebut terdengar olehnya suara gemerisik serta kemudian suara seorang perempuan.

-          Hei anak-anakku mengapakan engkau selalu ribut saja? Tidak tahukah kalian bahwa manusia-manusia akan mati kelaparan?.
Seketika itu juga keadaan sunyi senyap. Tapi kemudian terdengar pula suara menyahut;
-          Apa kata ibu tadi ?
-          Saya tidak mau mengulangi lagi, nanti terdengar orang sahut perempuan tadi.
Ternyata pohon lunuk ditepi danau itu penuh didiami oleh kujang, yaitu mahluk-mahluk halus perempuan yang terdiri dari seorang ibu (Indu Kujang) dengan anak-anaknya. 

Mendengar ujar indu kujang tadi, Kilippun bangkit dan menarik parangnya yang bernama Odak Kilip Ebang Turu-Utek Danan Walo Bane lalu diancamnya indu kujang;
-       Kalau kamu tak mau menerangkan apa yang telah kamu katakan tadi, tentu akan kutebang pohon ini sampai rebah.
-          Jangan Kilip! Cegah indu kujang saya katakan tadi, bahwa manusia akan mati kelaparan.
Kilippun bertanya;
-          Bagaimana cara menolong mereka?

-          Mudah saja. Segeralah temui Tamparo Nondo Embo-Lalunganing Singkar Ongko
Bagaimana cara menemuinya
-        Bawalah ancak kecil-kecil serta seberkas bambu 7 potong tanpa ruas yang sedang-sedang dan taruhlah semua itu ditempat Keriring Usang-Tebelak Ola”.
Kilippun segera menyiapkan ancak-ancak serta benda-benda seperti yang diajarkan tadi dan membawanya ketempat Keriring Usang-Tebelak Ola. Disitu mendengar ia suara :
Mengapa kamu kemari
Kilip menjawab :
-          Saya perlu menjanjikan makanan untuk nenek, dan selain itu mananyakan kabar”. Seterusnya iapun menceritakan tentang Mahadji serta rakyatnya yang sedang kelaparan karena kekurangan beras.
Maka kata suara ghaib tadi :
-          Baiklah, kalau kamu ingin tahu bagaimana caranya menolong manusia, datanglah saja kepada Tamparo Nondo Embo-Lalunganing Singkor Olo”.

Kilip segera pergi ketempat yang ditunjukkan itu. Disitu terdengar olehnya suatu Tamparo:
-      Aku tahu maksudmu yaitu menolong manusia untuk memperoleh beras. Untuk itu datang sajalah kepada Samarikung Mulung di Bawo Langit. Disana pulalah tinggal Luing Ajang, yaitu anak Samarikung Mulung dan dewi yang menguasai segala macam padi. Uruslah segala sesuatunya dengan mereka.

Kilippun segera pergi keBawo Langit. Sampai di Bawo langit bertemulah dengan Samarikung Mulung. Beberapa saat setelah kedua mahluk ghaib ini berunding, tercapailah kata sepakat Samarikung Mulung akan membagi-bagikan berasnya kepada manusia di bumi dan manusia akan menukarnya dengan barang-barang Guci, Gong, piring dsb. Bila manusia memberikan sebuah guci, maka beras yang diperolehnya adalah sebanyak isi guci tersebut. Bila ia memberikan gong, sebanyak isi gong itu pula beras yang diterimanya.

Tukar menukarpun mulai berjalan.

Dalam waktu singkat, oleh tukar-menukar itu, Samarikung Mulung telah menjadi kaya raya, hingga orangpun menyebutnya  Soong Tatau Samarikung Mulung. Tukar menukar berjalan terus, sampai pada saat Mahadji serta rakyatnya kehabisan barang-barangnya. Maka timbul persoalan lagi : bagaimana mendapatkan beras selanjutnya ?

Kilip, demi mendengar manusia mendapat kesukaran lagi segera turun kembali kedunia. Seperti semula, ia segera pergi kedanau Riong Olo mengail ikan. Seperti semula pula, disitu ia mendengar suara indu kujang mententramkan kegaduhan anak-anaknya :
Jangan kalian bersuka-sukaan. Tak tahukan kalian bahwa Mahadji sedang terancam kelaparan karena barang-barangnya telah habis?.

Mendengar bisik-bisik itu Kilip bangkit dan diancamnya pohon lunuk tempat tinggal kujang itu akan dirobohkan bila indu kujang tidak menceritakan apa yang telah dibisik-bisikan tadi. Kuatir kalau pohon tempat tinggalnya ditebang, indu kujang segera menceritakan segala apa yang telah dikatakan kepada anak-anaknyatadi. Dikatakannya pula bahwa yang dapat mengatasi kesulitan yang sedang dialami manusia itu hanyalah Kilip saja. Kilippun bertanya bagaimana ia dapat mengatasi kesulitan-kesulitan itu. Atas pertanyaan ini indu kujang menyuruh Kilip pergi ketempat Keriring Usang Tebelak Ola.

Kilip mengikuti petunjuk itu.

Di tempat Keriring ia mendengar suara ghaib lagi yang menyuruh agar ia mengajukan persoalanya langsung kepada Tamparo.

Kilip menuruti pula.

Sampai di tempat yang ditunjukan oleh suara tadi Kilip mendengar suara Tamparo. Dikatakan Tamparo, jalan satu-satunya untuk mengatasi bahaya kelaparan yang menimpa manusia dibumi adalah segera menebas, menebang serta membersihkan tanah didaerah Lingo. Dan selanjutnya Kilip harus mengundang seorang algojo yang paling kejam dan ganas yaitu Soong Putes Tamhun Djues-Tokoh Tamun Tohong turun kebumi yang kemudian disuruh menunggu diladang yang telah ditebas itu. Selama menunggu hendaknya disembunyikan ia di bawah daun-daun samber. Kemudian, kata Tamparo selanjutnya, Kilip harus mengajak Luing Ajang turun kebumi. Nanti, sesampai di Lingo, segeralah Putes Tamun Djues membunuhnya di tengah-tengah ladang dan darah Luing Ajang tentu akan berubah menjadi beras, yang untuk selanjutnya dan selama-lamanya dapat diusahakan dibumi sendiri dengan jalan berladang.

Selesai Tamparo memberi petunjuk-petunjuk tersebut, kembalilah Kilip ke Neten Pali. Disuruhnya Mahadji berserta rakyatnya segera menebas dan menebang pohon-pohon membuat sebuah ladang. Sesudah itu ia pun meninggalkan bumi lagi menuju kelangit. Di Lensanga Walo (Simpang delapan, sebuah tempat dilangit) ditemuinya Putes Tamun Djues-Tokoh Tamun Tohong, dan segeralah yang terakhir ini dengan membawa parangnya turun kebumi menunju Lingo. Kilip meneruskan perjalanannya kebawo langit. Disini ketemu ia dengan Samarikung Mulung. Kepada Samarikung Mulung ia sampaikan khabar bahwa dibumi beberapa orang ingin  bermaksud menghormati Luing Ajang. Selanjutnya Kilip minta izin, agar di perbolehkan membawa Luing Ajang turun kebumi. Samarikung Mulung serta Diang Serunai, isterinya, tidak keberatan akan maksud tersebut. Demikian pula hanya dengan Luing Ajang sendiri. 

Demikianlah dewi padi Luing Ajang dan kilip lalu bersiap dan Kilip lalu bersiap-bersiap untuk turun kebumi. Tapi sewaktu bangkit dari duduknya dengan sangat terkejut Luing Ajang mendengar ibu-bapaknya bersin beberapa kali. Dengan cemas  iapun duduk kembali. Kepada kilip dinyatakannya bahwa itu adalah suatu alamat yang tidak baik. Tapi Kilip mengabaikan kekhawatiran itu dan mengajak segera berangkat. Sesampai mereka diluar kamar, bersin pula beberapa ekor kucing serta anjing yang ada. Dengan kejadian yang ganjil ini bertambah yakinlah Luing Ajang bahwa dirinya akan ditimpa bahaya. Belum cukup tanda-tanda itu, karena sesampai mereka diluar rumah, hujan rintik-rintik sekonyong-sekonyong turun. Luing Ajang mengeluh :
“Aduh Kilip, menurut firasat-firasat yang ada, dalam perjalanan ini aku tidak akan selamat. Mungkin sesuatu bahaya akan menimpaku”.
“Jangan engkau merasa khawatir”, sahut Kilip, pulang dan pergi tetap dalam jaminanku”.

Sesudah itu, naiklah Luing Ajang diiringi Kilip kedalam sebuah langkar bulau[1] an kendaraan itu turunlah kebumi. Tidak beberapa lama antaranya sampailah mereka ke Lingo. Dengan sangat gembira dan hormat orang-orang menyambut kedatangan dewi padi itu. Oleh Klip, Luing Ajang dipersilahkan untuk beristirahat disensulen yang tersedia ditengah-tengah ladang. Luing Ajang berjalan ketengah-tengah ladang dan beristirahat didalam sensulen yang telah ditunjukan tadi. Tapi.............sedang ia duduk-duduk melepaskan lelah, bangkitlah Soong Putes Tamun Djues dari tempat persembunyiannya dan menimpaskan parangnya, tepat mengenai dirinya. Seketika itu juga ia menjerit dan kemudian ia berkata :
“Perhatikanlah hai seluruh manusia didunia; sebelum berangkat telah jumpai perbagai baja-baja[2] yang menyatakan aku akan mendapat bahaya. Inilah suatu pelajaran bagimu, agar selanjutnya kamu sekalian selalu memperhatikan semua baja-baja”.

Darah Luing Ajang berhamburan diladang. Bermacam-macam warnanya berbareng dengan itu hujan lebat, guntur serta angin ribut menimpa bumi. Gelap-gulita meliputi seluruh alam. Sesaat kemudian, hujan serta nampaklah kini bertebaran segala jenis padi; padi, ketan, gandum dsb. Sangat banyak. Kilip segera memerintahkan agar Mahadji mengumpulkan seluruh rakyatnya. Tapi diluar dugaan, beberapa orang diantara anank-anak Mahadji tidak nampak hadir. Lama dicari disekeliling ladang tidak juga berjumpa. Sambil berteriak-teriak memangil-mangil nama mereka. Orangpun terus mencari. 

Akhirnya setelah lama orang mencari, dari dalam sebuah hutan terdengarlah suara-suara, yang kemudian ternyata suara anak-anak Mahadji :

“Kami telah kelaparan. Jadi kami telah masuk kedalam hutan-hutan mencari makanan. Tapi sekarang tak dapat lagi kami kembali, karena diri kami telah berubah menjadi pohon-pohon. Tapi ketahuilah, bahwa pohon-pohon yang berasal dari diri kami semua akan sangat berguna bagi kamu sekalian. Selanjutnya dan untuk selama-lamanya, bilamana malapetaka mengancam kamu semua, kumpulkanlah, kami dan bentuk kami menjadi sapatung[3]. Kami akan menggantikan kamu menghadapi malapetaka itu[4]”.

Pohon-pohon yang berbicara tersebut antara lain adalah pohon-pohon Tiwak, deranja, samaneo, puai teraran, tewok dan lepotung.[5]

Bersamaan dengan redanya hujan dan angin ribut tadi diatas ladang terdengar suara. Suara itu mengawang-mengawang :
“Sampai disinilah bantuanku. Saat ini adalah titik penghabisan aku memiliki semua beras. Selanjutnya menjadi kewajiban kekal dari kamu sekalian sendirilah untuk mencari beras; tapi, bilamana kamu ingin mendapat yang lebih banyak, kembalilah kamu menghormati aku. Kini aku akan kembali kebawo langit.....aku adalah Luing yang menetap dibawo langit; tetapi aku yang bersama kamu adalah beras ! dan hendaklah dimaklumi, bahwa hanya dengan perantaraan Beraslah manusia didunia ini dapat berhubungan dengan alam ghaib, karena Beras adalah aku.........”.

Pada bagian sebelumnya Kertodipoero di halaman 31 dalam bukunya ini menuliskan tentang fungsi beras. Pada rakyat dipehuluan Kalimantan beras mempunyai fungsi yang agak lain dari pada rakyat di kota-kota. Dan kalau orang bertanya, benda apakah yang sangat penting artinya dalam ritus Kaharingan-lebih penting dari pada guci, lebih penting dari gong keramat ataupun darah binatang- maka kita dapat menjawabnya : Beras ! dalam setiap selalu kita dapati orang batatabur (menabur-naburkan beras putih, kuning dan merah keatas). Dengan itu dimaksudkan memberitahu, meminta izin atau mengundang para Dewa serta makhluk halus yang lain dialam ghaib. Untuk maksud itu digunakan beras, karena orang menganggap bahwa beras itu bernyawa, berjiwa, bermeru’e. Dan meru’e ini pulalah yang mereka harapkan dapat menghubungkan mereka dengan alam ghaib. Dengarkanlah kata-kata balian dalam upacara perkawinan ini :
,, Ehem behas ! Nangdangku bitim kilau mangandung batu dju-djung kerapurum. Nyahu angku namuasi ambun baragantung”.
Ini bahasa Dewa-Dewa (bahasa sangiang), yang kurang lebih dapat diterjemahkan sebagai berikut :
,, Wahai beras ! Kuutus mengantarkan jiwamu untuk merantau keatas langit lapisan awan “.

































[1] Sejenis kursi atau tandu dari pada emas
[2] Firasat, alamat, tanda-tanda yang berkenaan dengan suatu hal yang akan terjadi.
[3] Patung
[4] Mythe ini terang erat hubunganya dengan kepercayaan yang sekarang ada tentang patung-patung seradiri (patung penganti diri untuk menjadi korban).
[5] Sampai sekarang kayu-kayu ini pula yang lazim dipergunakan dalam membuat patung-patung seradiri.