Kamis, 17 November 2016

Urang Banjar



Urang Banjar
Oleh*Aryo Nugroho Waluyo

Beberapa hari yang lalu saya menuliskan ulang mengenai sejarah perkembangan masyarakat di Kalimantan Tengah dengan mengunakan dua buku sebagai referensi. Walaupun dalam tulisan tersebut saya menyebutkan tentang sebuah puzzle yang harus dilengkapi. Artinya walaupun judulnya sejarah perkembangan masyarakat Kalimantan Tengah namun sejatinya belum bisa mengambarkan Kalimantan Tengah secara utuh. Sehingga tulisan tersebut suatu saat harus dikembang lagi.

Kali ini penulis ingin mengali sejarah mengenai perkembangan masyarakat yang ada di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Perbedaan pandangan mengenai asal usul urang banjar tidak mungkin dihindarkan. Mengingat menulusuri sejarah, bak mencari jarum dalam jerami. Bagaimana manusia mampu kembali kemasa lampau ribuan tahun yang lalu, pasti tidak mudah dan pasti menciptakan bebagai macam pandangan terkait masa lalu tersebut. Sehingga perbedaan adalah pupuk untuk memperkaya sejarah itu sendiri. Putaran perdebatan bisa digaris bawahi dengan sebuah pertanyaan, apakah urang banjar berasal dari suku Dayak. Hal ini bertalian dengan  semua litelatur yang saya baca, menuliskan dan bisa disimpulkan bahwa penduduk asli Kalimantan adalah suku Dayak. Disisi lain urang banjar tidak bisa dilepaskan dari sejarah Banjarmasin, khususnya mengenai massa Kesultanan Banjarmasin. Sehingga sekelumit pengantar diatas memompa penulis untuk menuliskan sejarah perkembangan masyarakat banjar atau disebut urang banjar.

Dalam menuliskan ulang urang bajar, penulis masih mengunakan metodelogi nukilan. Sehingga tidak hanya mengambil satu paragraf namun secara kesuluruhan bahasan mengenai urang banjar serta sejarah perkembangannya. Ada tiga referensi yang penulis gunakan dalam menulis urang banjar, Pertama dari sebuah Tesis Sulandjari, mahasiswa pasca sarjana Universitas Indonesia dengan judul Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin (1747-1787). Kedua dari sebuah Disertasi, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syaraif Hidayatullah, Jakarta yang dibukukan dan ditulis oleh  Ita Syamtasiyah Ahyat, buku tersebut berjudul Kesultanan Banjarmasin Pada Abad Ke-19, Ekspansi Pemerintah Hindia-Belanda di Kalimantan. Ketiga dari Makalah Seminar Nasional Menelusuri Sejarah Penanggalan Nusantara, dalam rangka menyambut Dies Natalis ke-62 Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta, yang ditulis oleh Saifudin Ahmad Husen dengan judul Konsep Waktu dan Penaggalan dalam Budaya Banjar.

Sulandjari : Politik dan Perdagangan Lada Di Kesultanan Banjarmasin (1747-1787), Tesis Universitas Indonesia,  Program Pascasarjana, Jakarta, 1991. (Hlm 31-35)

Sekitar abad 14 sampai 18 orang-orang melayu dari pulau Sumatra datang menetap di sepanjang pantai dan sungai di Kalimantan dan di daerah kepulauan “Indonesia “ lainnya. Mereka pada umumnya memainkan peranan yang aktif dalam perdagangan rempah-rempah dan penyebaran agama islam. Orang melayu yang menetap didaerah tertentu, menyesuaikan diri dengan keadaan setempat, sehingga mereka bukan saja hanya berdagang tetapi menjadi petani dan nelayan.

Pada tahun 1747, jabatan penghulu di istana Martapura dipegang oleh orang melayu bernama Kyai Sakalat. Dalam perkembangan orang melayu ini mengadakan hubungan perkawinan dengan orang Padju Epat (penduduk inti banjarmasin), yaitu penduduk yang sudah sejak abad 14 tinggal di Desa Padju Epat di tepi sungai Tabalong daerah Amuntai. Karena perkawinan ini orang Padju Epat menyesuaikan diri dengan bahasa dan agama orang Melayu.

Bahasa yang dipergunakan oleh orang Banjar adalah campuran bahasa Melayu, Jawa serta salah satu bahasa yang berasal dari keluarga bahasa Barito. Diduga orang Banjar merupakan percampuran orang-orang Melayu, Jawa dan Padju Epat. Pengaruh kebudayaan Jawa terlihat pada adat istiadat di istana, bahasa dan gelar jabatan dalam pemerintah serta gelar keturunan. Ini dapat di mengerti mengingat sejak abad 15 Banjarmasin yang waktu masih bernama Negara Daha menjadi daerah yang berada di bawah pengaruh kekuasaan Majapahit. Ketika abad 16 pusat pemerintahan pindah ke Demak dan kemudian berpindah lagi ke Mataram abad 17, status Banjarmasin secara bergiliran tetap berada di bawah pengaruh kekuasaan kedua kerajaan itu.

Di daerah pantai orang Banjar tinggal di rumah-rumah yang didirikan diatas tongak bambu atau kayu, dan biasanya didirikan di tepi sungai. Mereka kemudian menyebar sampai ke hulu sungai. Selain bermata pencahrian sebagai pedagang, mereka juga bercocok tanam dan mencari ikan. Kesatuan sosial masyarakat Banjar berdasarkan ikatan keluarga (Hubangan darah) yang disebut sebagai bubuhan. Bentuk kesatuan sosial yang demikian juga disebut sebagai saomah, saomben dan sakwatan. Pada umumnya bubuhan tinggal bersama dalam satu kampung. Seorang kepala kampung berasal dari salah seorang kepala bubuhan (tetua bubuhan) yang diangkat oleh warganya sendiri dan disyah sultan. Sering terjadi bahwa seorang yang dianggap berjasa kepada sultan langsung diangkat oleh sultan sebagai kepala kampung.

Antara orang Banjar dengan orang Dayak terjadi hubungan perdangangan dengan sistem barter, baik secara langsung maupun melalui perantara orang cina yang sering berlayar sampai kehulu sungai. Sering terjadi bahwa orang Dayak datang sendiri ke pasar-pasar yang terletak di tepi sungai, untuk menukar barang yang dibawanya seperti emas dan hasil hutan, dengan barang yang diperlukan seperti garam dan tembakau. Dalam struktur pemerintahan hubungan yang terjadi diantara dua kelompok etnis itu pada umumnya menunjukan bahwa orang Banjar sebagai mayoritas pemegang kekuasaan yang memerintah atas orang Dayak.

Pelapisan sosial di dalam masyarakat Banjar terdiri dari golongan penguasa yang terdiri dari sudut jumlahnya merupakan minoritas dan biasanya berasal dari keturunan bangsawan, serta rakyat yang disebut “orang Jaba”. “orang Jaba” terdiri atas petani, pedagang dan nelayan wajib memberi tribut kepada penguasa baik berupa barang kebutuhan hidup sehari-hari maupun barang dagangan termasuk juga sebagai golongan “orang jaba” adalah orang-orang pendatang yang menetap dibeberapa daerah Banjarmasin. Mereka mendapatkan kebebasan untuk mencari matapencahrian dengan ketentuan bahwa mereka harus memberikan tribut dan menyatakan kesetiaanya kepada sultan.

“Orang Jaba” ini masih dapat dibagi lagi menjadi “orang mardika” dan budak (pandeling). Yang termasuk “orang mardika” adalah orang yang tidak memiliki hutang kepada orang lain sehingga mereka lebih leluasa mencari dan menikmati keuntungan untuk hidupnya. Kewajiban mereka hanyalah memberi tribut kepada sultan.

Abdi menunjuk kepada orang-orang yang semula berasal dari “orang mardika” tetapi oleh karena hutang yang tidak dapat dibayarnya, maka orang itu terpaksa harus bekerja untuk kepentingan orang yang memberi utang kepadanya sampai hutangnya dapat dilunasi. Apabila tidak dapat mekunasi hutangnya maka orang itu tetap akan menjadi abdi selama hidupnya, bahkan anak keturunannya harus tetap melanjutkan menjadi abdi sampai hutangnya dapat dilunasi.

Lain halnya dengan seorang yang menjadi abdi karena hutang maka seseorang bisa menjadi budak karena ditawan oleh bajak laut yang berlayar di sepanjang pantai Jawa, Madura dan Bali. Pada sekitar abad 17 tawanan semacam itu dijualbelikan sebagai budak di Tanah Bumbu dan Kutai, dari tempat ini selanjutnya dijual lagi ke Banjarmasin. Seorang budak bisa di perdagangkan dan selama hidupnya tetap menjadi budak.
Perbedaan penting antara abdi dengan budak adalah bahwa seseorang abdi bisa merubah nasibnya kembali menjadi “orang mardika” apabila bisa melunasi hutangnya. Sebaliknya bagi seorang budak selama hidupnya tidak pernah bisa merubah nasibnya kembali menjadi “orang mardika”, kecuali atas kemauan tuanya. Dengan demikian bisa di katakan bahwa kedudukan seorang abdi lebih tinggi daripada seorang budak.

Ita Syamtasiyah Ahyat : Kesultanan Banjarmasin Pada Abad Ke-19 Ekspansi Pemerintah Hindia-Belanda di Kalimantan, Serat Alam Media, 2012. (hlm 22-27)

Mengenai asal usul suku Banjar, diduga mereka berasal dari suku Melayu yang datang dari Sumatra dan sekitarnya, mengingat persamaan bahasa yang digunakan suku Banjar dan Melayu. Imigrasi besar-besaran dari suku Melayu ini kemungkinan sekali tidak terjadi satu gelombang sekaligus. Barangkali suku Dayak Bukit yang mendiami Pengununggan Meratus, adalah sisa-sisa dari imigran Melayu gelombang yang pertama. Bahasa mereka dapat diidentifikasikan sebagai bahasa Banjar yang agak kuno, dan mereka tidak punya tradisi mengayau, seperti yang dimiliki oleh suku Dayak lainnya. Mungkin sekali mereka itu pada mulanya mendiami wilayah yang jauh lebih kehilir, tetapi terdesak oleh kelompok yang datang belakangan dan juga dalam proses selanjutnya kelompok-kelompok Banjar mereka pula sehingga akhirnya berada lebih jauh di Pengununggan Meratus.

Kaum imigran Melayu yang datang belakangan inilah barangkali yang menjadi inti dan kemudian, setelah berlalu waktu dan banyak kelompok-kelompok Bukit dan Manyan, dan belakangan kelompok Ngaju, melebur kedalamnya, berkembang menjadi suku Banjar dan membentuk kelompok subsuku. Nama “Banjar”diperoleh ketika pusat kekuasaan berada di Banjarmasin, dan sesuai denganya, maka kesultanan yang memerintah dinamakan Kesultanan Barjarmasin atau kadang disingkat dengan Banjar saja oleh peniliti yang lain. Suku Banjar menjadi warga Kesultanan Banjarmasin. Bahkan, dengan dihapuskannya Kesultanan Banjarmasin pada 1860 oleh Pemerintah Hindia-Belanda, orang Banjar tetap sebagai warga Kesultanan Banjarmasin dan tinggal di Banjarmasin.

Menurut manuskrip Melayu yang disalin oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada 24 Mei 1848 nomor 705, pada abad ke-14 ada koloni orang Hindu datang ke sungai Barito melalui Marabahan dan terus ke sungai Negara. Pimpinan mereka adalah saudagar Ampu Jatmika, yang kemudian membangun kerajaan dengan menaklukan orang Dayak. Kemudian, ia beserta keluarganya menjadi penduduk daerah tersebut dan membangun  wilayah kekuasaannya. Dari sana raja mengambil kata “Banjar Klingtol”. Lama kelamaan, kata itu berubah menjadi “Banjarmasin” atau disingkat Banjar.

Selain itu, menurut penduduk setempat, pada waktu terang bulan, air laut bagian selatan naik ke sungai dan pantai atau disebut “banyu pasang”. Karena banyu pasang itu airnya asin, maka disebut “masin”. Cerita lain mengatakan bahwa istilah itu berasal dari kata “bandarmassi”, yakni nama seorang patih (patih masih) yang berkuasa di daerah sekitar Kuin (Cerucuk). Daerah ini pada abad Ke-16 merupakan pusat pertahanan dan pemukiman saudagar-saudagar Melayu. Ia juga menduduki satu badan pemerintahan di Kerajaan Negara Daha.

Orang Banjar menggunakan bahasa campuran Melayu, Jawa, serta salah satu bahasa yang berasal dari keluarga bahasa Barito. Diduga, orang Banjar merupakan hasil percampuran orang-orang Melayu, Jawa dan Dayak. Orang-orang Banjar tinggal didaerah pantai orang Banjar tinggal di rumah-rumah yang didirikan diatas tongak bambu atau kayu, dan biasanya didirikan di tepi sungai. Mereka kemudian menyebar sampai ke hulu sungai. Selain bermata pencahrian sebagai pedagang, mereka juga bercocok tanam dan mencari ikan. Kesatuan sosial masyarakat Banjar berdasarkan ikatan keluarga (Hubangan darah) yang disebut sebagai bubuhan. Bentuk kesatuan sosial yang demikian juga disebut sebagai saomah, saomben dan sakwatan. Pada umumnya bubuhan tinggal bersama dalam satu kampung. Seorang kepala kampung berasal dari salah seorang kepala bubuhan (tetua bubuhan) yang diangkat oleh warganya sendiri dan disyah sultan. Sering terjadi bahwa seorang yang dianggap berjasa kepada sultan langsung diangkat oleh sultan sebagai kepala kampung.

Dengan potensi kerajaan yang begitu banyak dan beragam tentunya memerlukan pendukung, yaitu penduduk yang tinggal diwilayah Kesultanan Banjarmasin. Pada abad Ke-18, penduduk Kesultanan Banjarmasin berjumlah sekitar 120.000 jiwa, dimana 4/5-nya beragama Islam. Sebagian besar berdiam di sepanjang sungai Martapura, sungai Barito, Sungai Batu Api, dan Karang Intan. Hanya sedikit yang berdiam di daerah cabang-cabang sungai yang jauh di pedalaman, di kampung-kampung dalam gubuk yang kecil. Mereka terdiri atas berbagai macam suku bangsa, yaitu suku Dayak, Melayu, Arab, China dan Jawa yang bercampur baur. Meski mengunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, bahasa komunikasi ini bercampur baur dengan dialek asalnya.

Pada pertengahan abad Ke-19, penduduk Kesultanan Banjarmasin bertambah menjadi sekitar 161.000 jiwa. Di antara berbagai suku bangsa yang datang ke Banjarmasin, yang paling berpengaruh adalah suku Jawa, yang datang sebelum Kesultanan Banjarmasin terbentuk. Pengaruh Jawa terjadi dengan munculnya orang-orang Jawa pada abad Ke-14, yang di pimpin seorang pedagang bernama Ampu Jatmika. Jalur lain yang menjadi titik masuk pengaruh Jawa adalah lewat perkawinan antara Putri Junjung Buih (dari Negara Dipa) dan Pangeran Suryanata (Raden Putra) dari kerajaan Majapahit. Ampu Jatmika adalah pendiri Kerajaan Negara Dipa, juga Candi Agung di dekat Amuntai.

Penduduk asli Kesultanan Banjarmasin ada yang di pantai dan ada yang dipedalaman, di pantai, tinggal suku Bajau, yang pada abad ke-17 pernah hidup sebagai bajak laut. Kemudian, pada abad ke-19, setelah Belanda dapat mengatasi bajak laut tersebut, mereka selanjutnya menjadi nelayan. Selain suku Bajau, terdapat juga suku Melayu. Suku Melayu itu masuk pedalaman bercampur dengan penduduk asli Kalimantan. Juga, menyusul datangnya Pangeran Suryanata, maka mulai masuk unsur Jawa, walaupun tidak sekuat abad ke-17. Suku-suku Melayu ini bermigrasi ke Kalimantan, antara lain, ke Kalimantan Selatan, tepatnya ke Kesultanan Barjarmasin. Suku Melayu tersebut, antara lain, orang Jawa, orang Johor, orang Malaka, orang Palembang dan orang Makasar. Orang Melayu juga terjadi percampuran antara orang Dayak (penduduk asli Kalimantan) dan orang Melayu pendatang. Misalnya, dari Semenanjung Malaka.

Karena perbedaan agama, orang Dayak yang telah menikah dengan orang Melayu tidak lagi disebut orang Dayak, melainkan orang Melayu. Karena orang Melayu tersebut tinggal dalam wilayah Kesultanan Banjarmasin, maka mereka disebut orang Banjar. Sementara, orang Dayak yang beragama Kristen dan Kaharingan tetap menyebut dirinya orang Dayak. Hal ini terjadi diseluruh Kalimantan. Orang Dayak, penduduk asli Kalimantan yang tinggal di pantai wilayah Kesultanan Banjarmasin, lalu terdesak ke pedalaman akibat kehadiran penduduk pendatang.

Hal ini turut juga menyumbang pada meningkatnya jumlah penduduk kota Banjarmasin adalah perdagangan lada. Di samping berperan sangat penting dalam kehidupan perekonomian Kesultanan Banjarmasin, perdangangan lada tentunya melibatkan berbagai kelompok etnis. Mayoritas penduduknya terdiri atas dua kelompok etnis, yaitu orang Banjar, yang tinggal di daerah pantai dan memeluk agama Islam, serta orang Dayak, yang pada umumnya tinggal di pedalaman, menganut kepercayaan kepada roh nenek moyang yang disebut kaharingan.

Orang Banjar menempati status sosial ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang Dayak. Orang Banjar memegang jabatan tinggi dalam struktur pemerintahan di Kesultanan Banjarmasin, seperti sultan dan mantri atau kepala Daerah. Sementara orang Dayak biasanya menempati jabatan rendah di tingkat lokal seperti pembekal atau kepala kampung yang bertugas, antara lain, mengawasi pelaksanaan pengelolaan kebun lada milik sultan dan penyerahan wajib ke istana. Ada syarat mutlak bagi orang Dayak untuk bisa menjabat sebagai pembekal, yakni bersedia memeluk agama Islam. Dengan demikian, agama Islam memegang peranan penting bagi orang Dayak untuk mencapai jenjang yang lebih tinggi dalam struktur sosial masyarakat di Kesultanan Banjarmasin.

Orang Bugis dan China juga mempunyai kedudukan yang cukup pening di Kesultanan Banjarmasin. Pernanan mereka dalam perdangangan mulai terjadi sejak abad ke-17, tetapi tidak terikat secara ketat. Orang Bugis dengan armada perahunya berperan sebagai kekuatan militer yang sering membantu kepentingan Mantri sehinga relatif bebas dari kekuasaan sultan. Hal ini agak berbeda dibandingkan dengan orang China yang peranannya lebih terbatas pada perdangangan saja.

Orang Bugis (dan Makasar) tinggal di pantai-pantai seperti juga orang Jawa. Mereka menempati pesisir Tanah Bumbu dan Pulau Laut. Meski begitu, mungkin juga ada pedagang atau pelaut Bugis yang menetap di kota-kota pelabuhan. Pada sekitar pertengahan abad ke-18, tepatnya 1750, seorang imgran Bugis meminjam tanah di wilayah Tanah Bumbu, yang masih termasuk wilayah Kesultanan Banjarmasin, dan mendirikan Kerajaan Pagatan. Mulai saat itu daerah Pagatan dan daerah lainnya di Tanah Bumbu mulai di pengaruhi oleh budaya Bugis dan mulai terpisah dari wilayah Kesultanan Banjarmasin. Orang-orang Bugis yang telah menetap sejak abad ke-18 atau sebelumnya sudah melebur ke dalam masyarakat Banjar, sedangkan di Pagatan orang-orang Bugis masih mempertahankan adat istiadatnya. Kedati demikian, berkenaan dengan bahasa, baik bahasa Banjar maupun bahasa Bugis dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari. Memang terjadi arus imigrasi perseorangan atau keluarga, tetapi tidak lama kemudian mereka melebur kedalam masyarakat sekitarnya sehingga sukar membedakan dengan orang Banjar “Asli”.

Saifudin Ahmad Husen : Konsep Waktu dan Penanggalan Budaya Banjar (Hlm 120-125)

Etnis Banjar

Orang Banjar menyebut diri mereka sebagai Urang Banjar yang dikenal sangat memiki identitas Islam. Secara genealogis etnis Banjar merupakan percampuran antara orang Melayu sebagai unsur paling dominan dalam kelompok ini, orang Dayak Bukit, orang Dayak Ngaju dan Dayak Manyan. Bagaimana orang Banjar memperoleh identitas mereka dan bagaimana kelompok etnik lain melebur menjadi orang Banjar, dapat diketahui dari sejarah terbentuknya orang Banjar.

Sejarah terbentuk Etnis Banjar

Secara etimologis kata Banjar bisa berasal dari kata banjar yang berasal dari bahasa Melayu, dan atau/ berasal dari kata bandar. Kata banjar dalam konteks ini memiliki dua arti. Pertama, Banjar berarti kampung . Kedua, Banjar berarti berderet-deret seperti layaknya deretan rumah yang terdapat di sepanjang tepi sungai. Dalam perkembanganya kemudian kata Banjar digunakan untuk menyebut kampung yang dihuni oleh orang Melayu, yang sekarang dikenal sebagai kelurahan Kuin. Orang Dayak Ngaju yang tinggal di sekitarnya; di Belitung, Balandean, dan Anjir Sarapat, menyebut tempat pemukiman orang Melayu di sepanjang tepi sungai sebagai Banjar Masih, yang berarti Kampung orang Melayu. Sedangkan penduduknya disebut Oloh Masih. Karena letaknya yang sangat strategis, Banjar Masih menjadi tempat perdangangan yang di kenal dengan Bandar Masih yang berarti Bandarnya orang Melayu. Adalah Bandar ini yang kemudian dijadikan Ibu Kota kerajaan Banjar Islam, dan selanjutnya menjadi Kota Banjarmasin.

Orang Banjar terbentuk dalam tiga periode yang berhubungan dengan perkembangan kerajaan-kerajaan di Kalimantan Selatan.

Periode pertama terjadi pada masa kerajaan tertua di Kalimantan Selatan yaitu Tanjungpura, yang keberadaanya diduga di Kota Tanjung, Ibu Kota Tabalong sekarang. Kerajaan ini diperkirakan ada pada abad ke-7. Pada masa itu terdapat migrasi orang Melayu dari kerajaan Sriwijaya Sumatra, ke pulau Kalimantan, khususnya bagian tenggara. Pada mulanya para pendatang Melayu ini hanya daerah pesisir dan tepi sungai, tetapi akhirnya mereka masuk kepedalaman dan kemudian mendesak penduduk asli, Orang Dayak, untuk pindah lebih jauh kepedalaman. Masuknya orang Melayu dari Sriwijaya membawa pula pengaruh Budha yang pada waktu menjadi agama di sana.

Periode kedua terjadi pada masa Negara Dipa yang muncul abad ke-13 di Amuntai. Pada periode kedua ini berkembang Mitologi tentang Puteri Junjung Buih yang sampai sekarang masih dituturkan oleh Generasi Tua Banjar. Pada masa ini datanglah orang-orang dari daerah Kediri, Jawa Timur yang juga membawa pengaruh Budha. Kedatangan orang-orang Kediri di pimpin oleh Empu Jatmika yang kemudian menaklukan Amuntai Tabalong, Balangan, Petak, Alai, dan Amandit. Empu Jatmika kemudian membangun candi yang disebut Candi Agung di Amuntai. Empu Jatmika menyebut dirinya sebagai Maharaja Candi, mempunyai dua orang putra, yang sulung bernama Empu Mandastana dan si bungsu bernama Lembu Mangkurat yang kemudian di sebut dan di kenal sebagai Lambung Mangkurat. Empu Jatmika bukan seorang keterunan raja, karena itu ia mengatakan pada kedua putranya supaya mereka jangan berharap untuk menjadi raja, tetapi mereka justru harus mencari raja yang sebenarnya dengan jalan bertapa. Seorang putra bertapa di dalam gua dan putra yang lain bertapa didekat pusaran air yang cukup dalam. Tiba-tiba di dekat pusaran air muncul seorang puteri yang kemudian di beri nama Junjung Buih yang mengaku dirinya sebagai calon raja atau ratu Negara Dipa. Puteri itu tidak mau keluar dari pusaran air apabila tidak diberi kain untuk menutupi tubuhnya dan tidak diberi sebuah istana dari batung batulis dan berprada (bambu yang bertulis dan berlapis emas). Puteri itu akhirnya mau keluar setelah permintaannya dipenuhi dan ia minta disebut Puteri Junjung Buih. Puteri Junjung Buih juga disebut sebagai Putri Ratna Jenggala Kediri atau Putri Ciptasari.

Lambung Mangkurat kemudian menjadi pejabat Mangkubumi, berusaha mencarikan  suami bagi Junjung Buih. Dalam mimpi ia berhasil menemukan putra Majahpahit yang bernama Putra Suryanata dan kemudai ia lah yang dijadikan suami Junjung Buih.

Perkawinan antara Junjung Buih dengan Pangeran Suryanata merukan dualisme kosmologis yang terdapat dalam kepercayaan orang Manyan dan Ngaju. Dari perlambangan ini terlihat bahwa terjadi perbaduan antara unsur pendatang dengan unsur Dayak. Kedatangan Empu Jatmika dan Raden Suryanata ke tanah Banjar berarti masuk pula unsur Hindu.

Kemudian muncul Negara Daha setelah Negara Dipa lenyap. Menurut JJ.Ras beralihnya pemerintahan dari Negara Dipa ke Negara Daha disebabkan terjadinya perkawinan incets yang tidak terduga. Putri Kalungsu yang menjadi ratu Negara Dipa menikah dengan anaknya. Anak laki-laki Putri Kalungsu konon dimarahi oleh ibunya dan melarikan diri ke Jawa. Anak yang hilang bernama Raden Sekar Sunsang inilah kembali ketanah Banjar dan menikahi ibunya. Ia kemudian memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negara ke Muara Hulak. Bandar kerajaan juga dipindahkan dari hulu sungai Muara Bahan, supaya lebih dekat ke muara sungai. Dengan demikian dalam masa kerajaan Daha ini masuk pula unsur Majahpahit yang tampak dari adanya gamelan, wayang dan keris serta nama-nama bangsawan seperti halnya di Jawa yaitu Tumenggung, Adipati dan Patih.

Periode ketiga yang membentuk orang Banjar berhubungan dengan berdirinya Kerajaan Banjar yang sudah menganut agama Islam. Kerajaan Banjar Islam didirikan oleh Pangeran Samudra dan terbentuk dari latar belakang pertentangan antara Pangeran Samudra dengan Pangeran Tumenggung di Kerajaan Daha. Pangeran Samudra melarikan diri kemuara sungai Barito di daerah mana telah berdiri perkampungan orang Melayu Bandar atau Banjarmasih (sekarang Banjarmasin) dan perkampungan orang Ngaju.

Penduduk kedua perkampungan ini tunduk dan membayar upeti Negara  Daha. Pada perkembangannya pemuka dan tokoh kedua kampung tersebut sepakat menjadikan Pangeran Samudra menjadi Raja mereka, karena ia seorang keturunan raja dan karena mereka tidak mau lagi membayar upeti kepusat kerajaan yang terletak jauh di hulu sungai. Akhirnya Banjarmasih menjadi Bandar baru. Bandar yang terletak di muara sungai Barito ini lebih disukai para pedagang asing karena letaknya lebih dekat dengan laut. Dengan pindahnya pusat perdagangan ke Bandar yang baru, bandar lama yang terletak di Muara Bahan pun menjadi sepi. Hal ini yang memicu peperangan antara Kerajaan Daha dan Banjar.

Dalam peperangan beberapa kali akhirnya Pangeran Samudra meminta bantuan ke beberapa pihak, termasuk Kerajaan Demak di Pulau Jawa yang telah menjadi pusat Kerajaan Islam. Kerajaan Demak bersedia membantu dengan syarat Raja dan seluruh rakyat Banjar bersedia memeluk agama Islam. Peperangan pun akhirnya dimenangkan oleh Pangeran Samudra dari Kerajaan Banjar. Setelah itu rakyat Daha dipindahkan ke Banjarmasih. Dengan kekalahan Kerajaan Daha yang penganut Hindu, berarti mulai penduduk Kalimantan Selatan termasuk orang Banjar.

Setelah masuk Islam Pangeran Samudra menganti namanya menjadi Sultan Suriansyah dan menjadikan Islam sebagai agama kerajaan. Disamping mengirim tentara kerajaan Demak juga mengirim beberapa juru dakwah untuk mengislamkan orang Banjar. Akan tetapi pengaruh sangat besar dalam mengembangkan agama Islam berasal dari Putra Banjar sendiri, yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710-1812).

Pada periode ketiga ini terjadi pengislaman rakyat Banjar dengan sangat Intensif dan esktensif, sehingga menjadi orang Banjar berarti menjadi orang Islam, dan orang Dayak yang beragama Islam pun mengaku dan diakui sebagai orang Banjar. Pada masa ini pula terjadi proses “Pembajaran” orang Dayak Ngaju, Maanyan, dan Bukit di Kalimantan Selatan. Orang dayak yang mempertahankan kepercayaan lama mereka, Kaharingan, makin terdesak ke pedalaman dan sejak penjajahan Belanda banyak dari mereka yang menjadi penganut Kristen.

Dengan demikian terbentuknya etnis Banjar dipengaruhi oleh beberapa unsur agama dan budaya. Sekalipun mayoritas orang Banjar adalah penganut Islam, tetapi pratek keberagaman Islam mereka sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya setempat yang berakar dari budaya-budaya dan agama-agama atau kepercayaan yang pernah dianut nenek moyang orang Banjar sebelumnya: Budha, Hindu, Kaharingan. Pada periode pertama unsur lokal dan Budha sangat mewarnai budaya Banjar, sedangkan pada periode kedua pengaruh Budha mulai digantikan oleh Hindu, dan akhirnya pada periode ketiga Islam `mem-banjar-kan` mayoritas penduduk Kalimantan Selatan. Berdasarkan teori pembelajaran ini maka etnis Banjar dimulai keberadaannya sejak berdirinya kerajaan atau kesultanan Islam Banjar. Sebelumnya istilah Banjar beleum merujuk kepada kesatuan identitas suku atau agama, namun merupakan identitas yang merujuk pada kawasan atau teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal. Proses pengislaman orang Banjar atau pem-banjar-an penduduk Kalimantan Selatan merupaka konsekwensi politis dari bantuan militer yang diberikan oleh Kerajaan Demak Islam kepada Pangeran Samudra dari Banjarmasin. Proses ini menyebabkan pengaruh Jawa semakin kuat budaya dan bahasa Banjar dan akhirnya terbentuklah masyarakat atau etnis Banjar saat ini. Dengan demikian etnis Banjar bukanlah sesuatu yang sudah begitu saja tetapi terjadi dan menjadi setelah melalui proses sosial, ekonomi, budaya, dan keagamaan tertentu. Kesimpulan yang sama juga diungkapkan oleh Hawkin (2000:34)  bahwa “many Banjar are not born but made”.

Berdasarkan daerah asal dan unsur etnis campurannya orang Banjar dapat dibagi menjadi subsuku; Banjar Pahuluan, Banjar Batang Banyu,  dan Banjar Kuala. Subsuku Banjar Pahuluan adalah orang yang berasal dari daerah sepanjang  aliran sungai Tabalong, sungai Balangan dan sekitarnya dimana Dayak Bukit merupakan unsur campurannya. Banjar Batang Banyu adalah orang yang berasal dari daerah sepanjang aliran sungai Nagara dan cabang-cabangnya yang mana Dayak Maanyan merupakan unsur campurannya. Sedangkan Banjar Kuala adalah penduduk asli yang mendiami daerah sekitaran aliran sungai Martapura dan Daerah Tanah Laut dimana terjadi pencampuran dengan unsur Dayak Ngaju (Daud, 1974:42-45).

Tetapi dari segi dialek bahasanya bahasa Banjar dibedakan menjadi Banjar Hulu dan Banjar Kuala. Saat ini pembagian subsuku Banjar cenderung mengikuti pembagian dialek ini,  sehingga penduduk asli Kalimantan Selatan yang berasal dari enam Kabupaten (Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan dan Tabalong) yang disebut Banua Anam, menyebut diri mereka sebagai urang pahuluan. Sedangkan orang Banjar yang mendiami Kabupaten Banjar, Tanah Laut, dan Banjarmasin disebut urang Banjar Kuala.

Catatan Penulis

Dari masing-masing refrensi yang membahas tentang sejarah urang banjar, penulis berpendapat bahwa tiga tulisan ini bisa menjadi saling melengkapi. Dari ketiga referensi tersebut masing-masing menyebutkan tentang adanya migrasi suku Melayu ke Kalimantan khsususnya di selatan dengan periode waktu yang  berbeda-beda. Lebih detail tentang periode tersebut diulas oleh referensi yang ketiga, walaupun sejarah mengenai Kerajaan Tanjung Pura pada abad ke-7 perlu dicari ulang referensinya. Dari semua refrensi yang ada menyatakan bahwa suku Banjar yang sekarang berada di Banjarmasin merupakan percampuran dari berbagai macam suku, setidaknya ada tiga suku yaitu Melayu, Dayak dan Jawa. Jika kembali kepada pokok perdebatan apakah suku Banjar merupakan bagian dari suku Dayak maka jawabanya tidak satu. Secara genealogis merupakan percampuran antara Melayu dan Dayak serta Jawa sedangkan secara etimologis banjar berasal dari bahasa Melayu.

Teori tentang Gold, Gospel dan Glory juga merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan dalam pembentukan etnis Banjar. Melalui merantau untuk berdagang dan sampai akhirnya membentuk sebuah kerajaan. Kemenangan, emas dan penyebaran agama menjadi satu kesatuan yang lekat di sejarah pembentukan etnis banjar. Struktur sosial masyarakatnya pun berbeda-beda dari golongan bangsawan sampai kalangan budak. Masa-masa bercirikan feoadalisme sampai kolonialisme tergambar dengan jelas dari seluruh rangkaian cerita. Bahwa tanah, ekonomi dan budaya semua untuk raja. Masyarakat kecil hanya dijadikan alat untuk memperkuat kepentingan raja. Secara tidak langsung sistem tanam paksa juga berlangsung dimana tanaman telah ditentukan dengan komuditas tertentu.

Namun ada sisi lain yang menarik walau tidak digambarkan dalam ketiga refrensi diatas tentang hubungan masyarakat Dayak yang tinggal di pengunungan Meratus dengan Masyarakat Banjar dengan mitologi Ba-dingsanak (be-keluarga). Walaupun kata dingsanak tidak serta merta mengikat kepada nilai suadara kandung. Seperti sebuah pertanyaan dingsanak/saudara dari mana, mau kemana ?. Namun mitologi urang bukit penyebutan masyarakat Dayak yang berada di atas pegunungan Meratus mempercayai tentang Dayu Ayuh dan Datu Bambang Siwara. Datu Ayuh dipercayai urang Maratus sebagai cikal bakal Dayak Meratus dan adiknya Bambang Siwara merupakan cikal bakal urang Banjar. Secara tempat tinggal urang Banjar banyak berada didataran rendah dan didataran tinggi didiami Dayak Meratus. Jika membaca gambaran dari ketiga refrensi diatas bahwa memang ada satu masa dimana Suku Melayu yang migrasi dari Sumatra masuk kepedalaman dan masyarakat Dayak semakin ke pedalaman lagi. Sehingga mengenai pesebaran penduduk antara urang Banjar dan suku Dayak bisa diidentifikasi. Sedangkan mengenai mitologi Datu Ayuh dan Datu Bambang Siwara, keyakinan penulis ini digunakan sebagai sarana untuk mendefinisikan sebuah hubungan antar masyarakat yang berbeda adat istiadatnya. Konteks ini ingin menandaskan bahwa masing-masing dari adat istiadat yang berbeda bisa hidup secara bersama-sama tanpa harus memaksakan kepercayaan/keyakinan yang telah dianut kepada yang lain. 

Hal yang menarik terkait unsur Jawa, jika merujuk kepada nama Bambang maka sependek pengetahuan penulis merupakan nama seseorang yang banyak digunakan oleh orang Jawa. Sehingga gambaran mengenai pengaruh Sriwijaya, Majah Pahit, Demak yang merupakan kerajaan-kerajaan imprium pada masa itu sangat kental melebur dalam pembentukan urang Banjar.

Dengan demikian saya ingin mengatakan bahwa mengulas ulang mengenai sejarah harus terus ditemukan. Dimana penemuan itu tidak terbatas pada satu pendekatan. Jika melihat dari ketiga referensi diatas pendekatan melalui bahasa (adanya kesamaan bahasa) bisa menjadi bahan pintu masuk. Begitupula dengan pendekatan yang lain lewat adat budayanya, sistem kepercayaan, cara dalam mengelola alam atau untuk bertahan hidup semua bisa dipelajari. Begitu pula tentang mengartikan ulang tentang dibalik makna tentang cara hidup, seperti kepercayaan mengenai Datu Ayuh dan Datu Bambang Siwara tidak bisa ditemukan maknanya kalau tidak dilihat secara luas dari sistem politik, ekonomi dan budaya. 

Misteri yang belum terjawab dalam ketiga referensi ini adalah sosok tentang Lambung Mangkurat ?. Apakah sosok ini dari suku Dayak dimana seperti yang di percayaai oleh Masyarakat Dayak Lawangan, Maanyan dan Dusun sebagai Dambung Mangkurap, atau seperti yang tertulis dalam refernsi ketiga dimana menyebutkan sosok Lambung Mangkurat merupakan seorang anak dari Empu Jatmika yaitu Lembu Mangkurat yang dimana berasal dari suku Jawa.

Teringat seorang teman bertanya tentang penanggalan, mengapa berbeda dengan penanggalan pada umumnya di komunitas pada bulan lalu. Komunitas tidak bisa memberikan tahu alasanya. Dalam benak saya, bahwa yang bisa mengartikan itu harus dari luar, mengapa mengunakan metode tersebut dengan melihatnya secara luas tidak berhenti hanya pada tanggal. Tulisan dari iteraksi hari ini penting, namun kalau tidak melacak hal lain maka kita akan buta di tengah cahaya yang sangat terang benerang. Dalam hal ini saya ingin mengatakan tentang Dialektik Historis. 

Referensi Tambahan

Saydjali, Ahmad, dkk, Badingsanak Banjar Dayak, Identitas Agama dan Ekonomi Etnisitas di Kalimantan Selatan, Riset Kolaborasi Program Knowledge Based Pluralism CRCS Universitas Gadjah Mada.

Soehada, Mitos Datu Ayuh dalam Religi Aruh; ajaran lisan tentang Persaudaran Banjar Muslim dengan Orang Dayak Loksado di Perbukitan Meratus Kalimantan Selatan, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar