Senin, 14 September 2015

Mengenal Hak Konstitusi terhadap Dampak Asap Akibat kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah



Negara Republik Indonesia adalah negara hukum dimana hal ini dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Di Pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Artinya kedaulatan berada di tangan rakyat dan segala sikap tindakan yang dilakukan ataupun diputuskan oleh alat negara dan masyarakat haruslah didasarkan pada aturan hukum.

Kedaulatan berada ditangan rakyat ini juga bisa disebut dengan kepastian akan perlindungan rakyat dari pemerintah sebagai abdi rakyat. Lalu bagaimana dengan hubungan Asap dan perlindungan pemerintah kepada rakyat melalui Undang-Undang sebagai perwujudan hukum?. Rakyat Indonesia mempunyai Hak perlindungan mengenai mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat (Baca: Mendapatkan hak menghirup Udara yang sehat) serta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28 H ayat (1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Perlindungan lain juga diatur dalam Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 “Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”. Lebih lanjut, penegasan tentang perlindungan akan udara yang sehat bagi rakyat adalah, Pasal 3 huruf b “menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia”. Hal senada juga diatur dalam Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 9 ayat (3) “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Lebih terang dalam UU Hak Asasi Manusia, semua perlindungan itu dibebankan kepada pemerintah, seperti yang termuat dalam Pasal 8 “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah”.

Begitu banyak atau masih kurang peraturan perundang-perundangan yang mensyaratkan bahwa pemerintah harus melindungi rakyat dari lingkungan yang tidak sehat ? (Silahkan dijawab sendiri). Terlepas dari pertanyaan apakah Undang-Undang itu efektif melindungi rakyat, tulisan ini tidak mengarahkan kesana namun lebih melihat daripada fakta yang terjadi saat ini. Anak-anak mulai terganggu kesehatannya, sekolahpun akan diliburkan. Media-media mulai ramai memberitakan tentang suatu bencana, sesuatu yang menggangu dan menghalangi manusia untuk beraktivitas. Sesuatu partikel jika dilihat akan membuat pedih mata dan jika dihirup akan membuat sesak nafas. Ya...benda itu berwarna putih bukan kabut embun kala pagi namun kabut asap hasil pembakaran hutan dan lahan. Sisklus tahunan yang tidak pernah berhenti dan semuanya tetap menjadi misteri dari anggaran antisipasi (Baca : Spanduk pinggir jalan) pembakaran apalagi bentuk rehabilitasi bagi mereka yang sakit. Sangking mesterinya alat control atas udara sehat di Kota Cantik Palangka Raya ini dibiarkan usang dan tak bermakna disudut bundaran besar kebanggaan Kalimantan Tengah.

Saya sepakat dengan pendapat dari seorang kawan yang mengeluhkan kawan-kawan yang lain dalam mengeluh bahwa menghadapi dampak pembakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah tidak cukup hanya mengeluh. Namun saya berbeda pandangan dengan kawan tersebut bahwa kita tidak boleh membawa nama pemerintah dalam kejadian ini, walau saya tidak menyarankan untuk mengutuk karena jatuhnya akan keluhan juga. Lalu bagaimana yang seharusnya ? sekali lagi saya tidak ingin menjawabnya walaupun saya memberikan pertanyaan dan selalu akan diakhiri silahkan jawab sendiri (egois).

Padangan lain : jika tulisan ini diawali dengan kata-kata mengenal Konstitusi maka tulisan inipun akan lari kesana (ye.. ketebak arahnya, garing). Dalam tatanan hukum Indonesia, rakyat selain mendapatkan perlindungan untuk mendapat udara yang sehat, rakyat juga diberi hak untuk melakukan Komplain (silahkan keberatan jika salah dalam penulisan). Komplain atau keberatan disini lebih dikenal dengan istilah gugatan. Jika kawan-kawan GAAS (gerakan anti asap) telah memposting tentang ihwal gugatan yaitu nama anehnya Class Action, Citizen Lawsuit serta Legal Standing dan mohon sampaikan kealamat jalan Temanggung Tandang No.026 Palangka Raya (sekalian promosi..yuk, mari). Sekedar mengolah kata namun tetap pada jalur subtansi mari mengenal nama-nama aneh tersebut dan menyatukanya dalam hak mendapatkan udara sehat.

Class Action 

Pertama kali (menurut tesis yang saya baca, biar kelihatan....) Class Action atau CA, diakui oleh Hukum Indonsia yaitu termaktub dalam Pasal 37 Undang-Undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 37 ini mengatur tiga hal, yaitu : 1. Hak mengajukan gugatan secara perwakilan (CA), 2. Hak masyarakat mengajukan laporan mengenai permasalahan lingkungan hidup,3.Representative standing bagi instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang lingkungan hidup untuk bertindak atas nama masyarakat. 

Sedangkan Definisi Class Action menurut PERMA (Peratutan Mahkamah Agung) No.1 Tahun 2002 merumuskan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan , dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak , yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Lebih lanjut tatacara gugatan CA dijabarkan dalam PERMA tersebut.

Selanjutnya dalam pembaruan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup No.23 tahun 1997, diperbaharui dengan Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Class Action diatur dalam Pasal 65 ayat (5) “Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”. Lebih khusus diatur dalam Pasal 91 ayat (1) “Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”. Ayat (2) “Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya”.

Legal Standing

Hak Gugat Organisasi (Standing NGO's) pertama kalinya diakui dalam praktik peradilan di Indonesia pada tahun 1988, ketika Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima gugatan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) kepada lima instansi pemerintah dan PT Inti Indorayon Utama. Pada tahun 1997, dilatarbelakangi oleh putusan hakim dalam kasus WALHI melawan lima instansi pemerintah dan PT IIU, pengakuan atas hak gugat organisasi dimasukkan dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang. Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup). Pasal 38 UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ayat (1) : Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup

Perkembangan selanjutnya adalah diterimanya gugatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melawan negara RI cq Menteri Dalam Negeri cq. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi DKI Jakarta Dkk pada tahun 2002. pertimbangan hukum Majelis Hakim Jakarta Pusat dalam Putusan Nomor 212/Pdt.G/2002/PN.JKT.PST : Bahwa kendati pun perundang-undangan kita baru mengakui dasar hukum pengajuan Hak Gugat Organisasi atau legal standing pada bidang-bidang tertentu, namun menu rut majelis tidaklah dapat diartikan bahwa Hak Gugat Organisasi dalam bidang hukum lain tertentu.
Artinya, dalam kasus-kasus yang menyangkut bidang hukum lain, terbuka peluang bagi organisasi atau kelompok tertentu mengajukan permohonan melalui legal standing, asalkan pengajuannya memenuhi syarat-syarat dan kriteria-kriteria hukum yang layak menurut pengadilan; 

Legal standing dalam Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, diatur dalam Pasal Pasal 92 :

Ayat (1)
“Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup”.
Ayat (2)
    “Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
Ayat (3)
“Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan:
a. Berbentuk badan hukum;
b. Menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
c. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.

Citizen Law Suit

Hak Gugat Warga Negara (Citizen Law Suit) secara praktek telah lama berkembang di berbagai negara, khususnya dalam sistem hukum Amerika, India, dan Australia. Citizen law suit adalah akses orang perorangan warganegara untuk kepentingan keseluruhan warganegara atau kepentingan publik, termasuk kepentingan lingkungan mengajukan gugatan di pengadilan guna menuntut agar pemerintah melakukan penegakan hukum yang diwajibkan kepadanya atau untuk memulihkan kerugian publik yang terjadi.

Prosedur pengajuan permohonan citizen law suit secara khusus belum diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pertama kalinya, prosedur permohonan citizen law suit diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan telah memiliki kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata Nomor: 28/Pdt.G/2003/PN.JKT. PST, yang diputus 8 Desember 2003 antara J. Sandyawan Sumardi dan kawan-kawan (sebanyak 53 orang) sebagai Pemohon melawan Negara Republik Indonesia c.q. Kepala Negara, Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri sebagai Tergugat (termasuk sembilan institusi pemerintah lainnya). Perkara itu berkaitan dengan pendeportasian 480 ribu warganegara Republik Indonesia oleh pemerintah Malaysia yang menjadi buruh migran di Malaysia. Perkara ini dikenal dengan sebutan citizen law suit Nunukan.

Ada istilah “Tak kenal maka tak sayang” dari sinilah tulisan ini menjadi alasan kuat untuk ditulis, selain membagikan informasi untuk publik dan diri sendiri. Pada prinsipnya pemerintah melindungi rakyatnya dan rakyat sebagai pemegang kedualatan mempunyai hak untuk memastikan pemerintah berjalan sesuai alur hukum. Perlindungan dan hak gugat mempunyai satu kesatuan yang mesti harus diterima dan dijalankan oleh rakyat. Memahami persoalan hukum tidak meski harus kuliah di fakultas hukum sendiri, karena informasi begitu mudah untuk diakses pada era sekarang. Bagi mahasiswa hukum tentunnya sangat keterlaluan tidak memahami tujuan dan fungsi hukum sendiri. Rakyat yang sadar hukum akan menuju ketertiban dan rakyat yang tidak mengetahui hukum akan menjadi pintu masuk penindasan. Tulisan ini pasti tidak akan memastikan bahwa setelah membacanya menimbulkan pemahaman yang sangat mendalam, karena sifat tulisan ini sebagai pengantar untuk kita belajar dan memilih. 

Rakyat telah dijamin haknya, bahkan dalam Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 66 “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.
Setelah pembaca mengenal lalu gunakan hak pilih anda !!! (bukan kampanye pemilukada lo, namun kampanye asap).

Aryo Nugroho.W
Palangka Raya, 5 September 2015

Tanggung Jawab Korporasi Atas Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Tengah



Pada bulan Oktober 2014, Eksekutif Daerah Kalimantan Tengah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia merilis sebaran titik api di Kalimantan Tengah sebanyak 5.456   meliputi wilayah 11 Kabupaten dan berada di  wilayah 93 Perusahaan Besar Swasta (PBS). Motode yang digunakan oleh Walhi Kalteng dengan cara mengamatinya secara langsung dilapangan dan mengunakan pemantauan secara online melawati citra satelit TERRA dan AQUA. Sedangkan statmen dari pihak Pemerintah melalui Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Kalimantan Tengah ada tiga PBS yang lokasi terbakar di Kabupaten Pulang Pisau dengan inisial perusahaan PT MKM, PT KLS dan PT BEST.

Kerugian yang didapatkan warga Berdasarkan data milik Dinas Kesehatan Pemkab Kotawaringin Timur, jumlah penderita ISPA sejak Juni hingga September 2014 mencapai 1.462 orang. Tahun 2014 mengalami peninggkatan jumlah penderita dimana pada tahun 2013 yang terkena ISPA sebanyak 8.853 orang, sedangkan pada 2014 mencapai angka 9.217 orang. Belum lagi mengenai dampak kerugian-kerugian yang lain yang dialami oleh warga Kalimantan Tengah diantara perkebunan karet warga yang terbakar, terganggunya jarak pandang dalam bertransfortasi dan yang lain.

Dalam sisi lain aparat penegakan Hukum telah melakukan upaya penindakan dengan memberikan sanksi penahanan kepada mereka yang lemah. Dalam catatan Walhi Kalimantan Tengah, ada 24 orang berstatus menjadi tersangka yang ditetapkan oleh pihak Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah dalam operasi bara telabang 12-21 September 2014. Pihak Kepolisian mengunakan instrumen Pasal 187 KUHP dan Perda Kalimantan Tengah No.5 tahun 2013 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan atau Lahan. 

Namun sayangnya dari semua yang diungkap oleh aparat penegak hukum tidak satupun menyangkut tanggung jawab dari pihak perusahaan. Padahal jika mau belajar Dalam putusan perkara No. 1363 K/PID.SUS/2012,  PT.KHS dinyatakan terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup dengan cara membakar hutan dan lahan. Direktur PT.KHS divonis satu tahun penjara dan denda Rp200 juta. Jika tak mampu membayar denda diganti kurungan selama enam bulan penjara. Putusan MA  itu menyebutkan, KHS di Manuhing Gunung Mas dinyatakan lalai menyediakan alat-alat pemadam kebakaran atau sangat minim hingga terjadi kebakaran lahan 22 hektar selama 15  hari, mulai 31 Agustus 2009. MA juga menyebutkan KHS, sampai saat diputuskan belum mempunyai IPKH. Padahal sudah ribuan hektar hutan dibuka dan ditanami sawit. 

Ada beberapa ketentuan yang bisa digunakan para penegak hukum untuk bisa memintai pertangung jawaban perusahaan dalam hal menjaga wilayah konsesinya agar tidak terjadi kebakaran, diantaranya :
1.     Undang-Undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pada penangangan kasus PT.KHS diatas bisa dipelajari bahwa putusan tersebut memuat tentang unsur yang terdapat dalam Pasal 42 ayat (1) yang menyatakan “Barang siapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2.     Undang-undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup
Pasal 69 ayat (1) huruf h “ setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;” pelanggaran atas pasal 69 ayat (1) huruf h ditemukan dalam Pasal 108 yaitu “Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
3.     Undang-Undang No.39 tahun 2014 tentang Perkebunan
Pasal 108 menyatakan “Setiap pelaku usaha perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana denga maksud Pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pindana penjara lama (10) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000, (sepuluh milyar rupiah). Dimana dalam ketentuan Pasal 56 menentukan 2 (dua) syarat yang harus di lakukan oleh pihak perusahaan. Pasal 56 Ayat 1 “Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan /atau mengolah lahan dengan cara membakar”. Pasal 56 Ayat 2
“ Setiap pelaku usaha perkebunan berkewajiban memiliki sistem, sarana, dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun “.

Penegakan hukum memang tidak serta merta akan menghilangkan bencana tahunan asap hasil pembakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah. Namun penegakan hukum adalah satu upaya penegasan atas eksistensi Undang-undang yang dibuat dengan uang rakyat. Implikasi lainya adalah kesadaran akan hukum itu sendiri bahwa “hukum dibuat harus ditaati dan yang melanggar akan diberi sanksi”. Sehebat apapun Undang-Undang dibuat namun tanpa aplikasi yang kongrit dilapangan maka akan menjadi tekstual yang tidak bermakna. Undang-undang indonesia yang berkenaan mengenai lingkungan hidup dan hutan  mensyaratkan tanggung jawab korporasi atas wilayah ijin yang ia miliki. Penegakan hukum merupakan salah satu kunci untuk mengurangi aksi-aksi pembakaran hutan dan lahan. Dengan adanya penegakan hukum diharapkan adanya efek jera bagi sipelanggar. Jangan hanya rakyat lemah yang diberi sanksi namun korporasi tidak tersentuh sama sekali.

Berapa banyak uang rakyat yang telah digunakan untuk antisipasi kebakaran hutan dan lahan, catatan kami menyebutkan pada tahun 2014 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengelontorkan dana sebesar Rp.335 milyar untuk wilayah kebakaran Kalimantan dan Sumatera. Sedangkan pada tahun 2015 BNPB menganggarkan dana sebesar Rp.40 milyar, seperti yang dilansir Kalteng Pos pada halaman pertamanya (Senin, 13 Juli 2015, dengan Judul : Rp.40 M untuk hujan buatan).

Tidak sedikit uang rakyat yang digunakan namun hasilnya, para pembaca bisa menilai sendiri. Hemat kami penegakan hukum juga harus dibarengi dengan penguatan kapasitas para penegak hukum itu sendiri baik dari tingkatan penyidikan yang dilakukan pihak Kepolisian sampai kepada Hakim sebagai pemutus suatu perkara hukum. Penegakan hukum sudah seharusnya dirubah dan keluar dari anasir yang telah menjadi umum bahwa hukum tajam kebawah dan tumpul keatas. Kapasitas disini lebih menitik beratkan kepada peningkatan kapasitas yang berprespektif lingkungan hidup.

Tahun lalu, Kalimantan Tengah menjadi daerah darurat bencana asap kebakaran hutan dan lahan, bagaimana dengan tahun sekarang. Masihkah sama, metode yang digunakan oleh pemerintah dalam penanggulangan bencana asap ini, mari kita tunggu saja hasilnya.

Penulis adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya, dan sekarang beraktivitas sebagai Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Kalimantan Tengah.