Materi Disampaikan Pada Pekan Penerimaan Anggota Baru – Dewan
Pimpinan Cabang GMNI Kota Palangka Raya
Minggu 29/10/2016
Oleh : Bung Aryo Nugroho
Marhaen tidak hanya sebuah nama hasil
perenungan/imajinasi Bung Karno yang mengambarkan sosok petani di daerah jawa
barat. Dimana dalam perjumpaan dengan bapak Marhaen ini Bung Karno berdikusi
dan mendapatkan satu kesimpulan dimana akhirnya menjadi sebuah teori perubahan
sosial yaitu Marhaenisme. Di dalam diskusi tersebut Bung Karno bertanya kepada
Marhaen.
Siapa jang punja semua jang engkau kerdja-kan
sekarang ini ?
Dia berkata kepadaku, Saja, djuragan."
Aku bertanja lagi, Apakah engkau memiliki tanah
ini bersama-sama dengan orang lain?
,,0, tidak, gan. Saja sendiri jang punja."
,,Tanah ini kau beli ?"
,,Tidak. Warisan bapak kepada anak
turun-temurun."
Ketika ia terus menggali, akupun mulai
menggali.........aku menggali setjara mental. Pikiranku mulai bekerdja. Aku
memikirkan teoriku. Dan semakin keras aku berpikir, tanjaku semakin bertubi-tubi pula.
,,Bagainana dengan sekopmu ? Sekop ini ketjil,
tapi apa-ka'il kepunjaanmu djuga ?"
,,Ja, gan."
,,Dan tjangkul ?"
,,Ja, gan."
,,Badjak ?"
,,Saja punja, gan."
,,Untuk siapa hasil jang kaukerdjakan ?"
,,Untuk saja, gan."
,,Apakah tjukup untuk kebutuhanmu ?"
Ia mengangkat bahu sebagai membela diri.
,,Bagaimana sawah jang begini ketjil bisa tjukup untuk seorang isteri dan
empat orang anak ?"
,,Apakah ada jang didjual dari hasilmu ?"
tanjaku.
,,Hasilnja sekedar tjukup untuk makan kami. Tidak
ada lebihnja untuk didjual."
,,Kau mempekerdjakan orang lain ?"
,,Tidak, djuragan. Saja tidak dapat
membajarnja."
,,Apakah engkau pernah memburuh ?"
,,Tidak, gan. Saja harus membanting-tulang, akan
tetapi djerih-pajah saja semua untuk saja."
Aku menundjuk kesebuah pondok ketjil, ,,Siapa
jang punja rumah itu ?"
,,Itu gubuk saja, gan. Hanja gubuk ketjil sadja,
tapi kepunjaan saja sendiri."
"Djadi kalau begitu," kataku sambil
menjaring pikiranku sendiri ketika kami berbitjara, "Semua ini engkau punja ?"
"Ja, gan." [1]
|
Marhaen adalah pisau analisa yang digunakan
oleh Bung Karno untuk mengambarkan kelas sosial masyarakat Indonesia. Pada
dasarnya masyarakat Indonesia mampu untuk mengelola kekayaan alam dengan cara
dan pengetahuan mereka. Marhaen adalah mereka yang mempunyai alat produksi
sendiri dan digunakan untuk kebutuhan sendiri (subsisten). Hal ini lebih dekat
dengan kondisi petani yang menjadi mayoritas pekerjaan masyarakat Indonesia. Walaupun
Bung Karno meluaskan paham marhean ini dengan tidak hanya tidak lekat kepada
kaum tani.
Gambaran mengenai marhaen merupakan gambaran
mengenai petani gurem/tanah sempit, bahkan kian hari menuju proletarisasi
(buruh tani) karena masih eksisnya monopoli tanah. Kondisi ini juga sama
keadaanya dimasa sekarang khususnya di Kalimantan Tengah. Berdasarkan data dari badan pusat
statistik (BPS) Kalimantan Tengah, pada tahun 2013 jumlah petani berkurang
hingga 4,56 % dibanding di tahun 2003[2].
Jika ditahun 2003 tercatat 45.564 rumah tangga yang menjadi petani di
Kalimantan Tengah sedangkan di tahun 2013 berjumlah 29.083 rumah tangga atau
berkurang sebanyak 16.481. Hal ini disebabkan semakin sempitnya tanah yang di
garap oleh petani dimana pada tahun 2013 sebanyak 27.037 petani Kalimantan
Tengah hanya menguasai tanah kurang dari 1000m2/1 hektar.
Perbedaan mencolok atas ketimpangan penguasaan tanah akibat
monopoli di Kalimantan Tengah berdasarkan jumlah penguasaan. Catatan Walhi
Kalimantan Tengah 2011 dari luas total Provinsi ini yaitu 15,4 juta ha, dimana
78 % kawasan sudah menjadi milik konsesi atau perijinan (tuan tanah/perusahaan
milik asing). Dimana komposisinya penguasaan tanah untuk perkebunan besar
swasta (PBS) seluas 4,1 juta ha dengan
total perusahaan 332, penguasaan tanah untuk pertambangan seluas 3,9
juta ha dengan total perusahaan 875 dan penguasaan tanah oleh usaha kehutanan
4,9 ha dengan total 89 perusahaan.
Ketimpangan penguasaan tanah menyebabkan
terjadi konflik antara masyarakat dan perusahaan, berdasarkan data yang di
himpun Walhi Kalimantan Tengah tahun 2015 terdapat 261 konflik tanah yang
tersebar diseluruh wilayah Kalimantan Tengah. Konflik tanah ini tidak sedikit
akhirnya berujung kepada kriminalisasi masyarakat seperti yang terjadi
baru-baru ini di Kabupaten Kotawaringin Timur, ada 16 orang masyarakat Desa
Rubung Buyung, Kecamatan Cempaga di tahan oleh aparat Kepolisian dengan tuduhan
mencuri buah sawit padahal sebab utama ini adalah konflik tanah.
Marhaenisme merupakan suatu tatanan yang
digagas Bung Karno dimana pada masa itu tidak ada lagi penindasan dan
penghisapan yang dirasakan oleh kaum kecil/wong cilik, dimana hal ini disebut
oleh GMNI dengan sosialisme Indonesia.
Bagaimana Harus Memulai
Marhaen dan Marhaeni harus di sadarkan, di
organisasikan dan di gerakan. Karena marhaen adalah komponen perubahan sejati. Dengan
organisasi masa sejati marhean tidak lagi berkerja secara individualis secara
Politik, Ekonomi dan Kebudayaan. Tanpa persatuan kaum marhaen untuk menentang
sistem yang menindas maka perubahaan tidak bisa terwujud.
Tujuan organisasi adalah tempat sekolah,
wadah pemersatu, tempat menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi oleh
marhaen. Pokok persoalan yang dihadapi oleh marhaen adalah monopoli tanah maka
program kerja dalam organisasi massa marhaen harus menuju kepada penentangan
akan hal tersebut.
Jalan keluar dari kondisi marhaen adalah
Reforma Agraria. Esensi dari Reforma Agraria sejati adalah
penghapusan atas monopoli tanah yang dilakukan oleh tuan tanah. Penghisapan dan
penindasan yang bersumber dari monopoli atas tanah, seperti sewa tanah yang
tidak adil, upah buruh tani yang rendah, tengkulakisme, riba, subsidi input
pertanian yang rendah, harga hasil produksi pertanian yang ditentukan oleh
pasar melalui tengkulak-tengkulak besar dll. Reforma Agraria juga mempunyai
syarat dasar yaitu pembangunan Idustri Nasional, dimana disebut Bung Karno
sebagai berdikari secara ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar