Sekilas
Kalimantan
Letak Geografis
Kalimantan adalah nama bagian wilayah Indonesia di Pulau
Borneo Besar; yaitu pulau terbesar ketiga di dunia setelah Greenland dan
Seluruh Pulau Irian. Kalimantan meliputi 73 % massa daratan Borneo.
Terdapat empat propinsi di Kalimantan, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, luas seluruhnya mencapai
549.032 km2. Luasan ini merupakan 28 % seluruh daratan Indonesia.
Kalimantan Timur saja merupakan 10% dari wilayah Indonesia. Bagian utara
P. Borneo meliputi negara bagian Malaysia yaitu Serawak dan Sabah, dan
Kesultanan Brunei Darusallam. Batasan wilayah secara politik yang
ada sekarang ini mencerminkan kepentingan penjajah masa lampau.
Secara geografis pulau Kalimantan [Indonesia], terletak diantara 40
24` LU - 40 10` LS dan anatara 1080 30` BT - 1190
00` BT dengan luas wilayah sekitar 535.834 km2. Berbatasan langsung
dengan negara Malaysia (Sabah dan Serawak) di sebelah utara yang panjang
perbatasannya mencapai 3000 km mulai dari proinsi Kalimantan Barat sampai
dengan Kalimantan Timur.
Kondisi Fisik Dasar dan Sumber Daya Lahan
Pulau Kalimantan sebagaian besar merupakan daerah pegunungan / perbukitan (39,69
%), daratan (35,08 %), dan sisanya dataran pantai/ pasang surut (11,73 %)
dataran aluvial (12,47 %), dan lain–lain (0,93 %). Pada umumnya topografi
bagian tengah dan utara (wilayah republik Indonesia/RI) adalah daerah
pegunungan tinggi dengan kelerengan yang terjal dan merupakan kawasan hutan dan
hutan lindung yang harus dipertahankan agar dapat berperan sebagai fungsi
cadangan air dimasa yang akan datang.
Pegunungan utama sebagai kesatuan ekologis tersebut adalah Pegunungan
Muller, Schwaner, Pegunungan Iban dan Kapuas Hulu serta dibagian selatan
Pegunungan Meratus.
Para Ahli agronomi sepakat bahwa tanah-tanah di Kalimantan adalah tanah
yang sangat miskin, sangat rentan dan sangat sukar dikembangkan untuk
pertanian. Lahan daratan memerlukan konservasi yang sangat luas karena
terdiri dari lahan rawa gambut, lahan bertanah asam, berpasir, dan lahan yang
memiliki kelerengan curam. Kalimantan dapat dikembangkan, tetapi hanya
dalam batas-batas ekologis yang agak ketat dan dengan kewaspadaan tinggi.
Sejumlah sungai besar merupakan urat nadi transportasi utama yang
menjalarkan kegiatan perdagangan hasil sumber daya alam dan olahan antar
wilayah dan eksport-import. Sungai-sungai di Kalimantan ini cukup panjang dan
yang terpanjang adalah sungai Kapuas (1.143 km) di Kalbar dan dapat menjelajah
65 % wilayah Kalimantan Barat.
Potensi pertambangan banyak terdapat di pegunungan dan perbukitan di
bagaian tengah dan hulu sungai. Deposit pertambangan yang cukup potensial
adalah emas, mangan, bauksit, pasir kwarsa, fosfat, mika dan batubara. Tambang
minyak dan gas alam cair terdapat di dataran rendah, pantai, dan lepas pantai.
Kegiatan perkebunan pada umumnya berada pada wilayah di perbukitan dataran
rendah. Perkebunan yang potensi dan berkembang adalah : sawit, kelapa, karet,
tebu dan perkebunan tanaman pangan. Usaha perkebunan ini sudah mulai
berkembang banyak dan banyak investor mulai datang dari negara jiran, karena
keterbatasan lahan di negara jiran tersebut. Untuk terus dikembangkan secara
ekonomis dengan memanfaatkan lahan yang sesuai. Namun sekarang ini
pengembangan perkebunan juga mengancam kawasan perbukitan dataran tinggi, namun
diduga areal yang sebenarnya kurang cocok untuk perkebunan hanya sebagai dalih
untuk melakukan eksploitasi kayu.
Permasalahan
Sebagai daerah yang memiliki kawasan perbatasan dengan negara asing,
maka Kalimantan mempunyai masalah yang terkait ”illegal trading” dam
”smugling”, apalagi penduduk kawasan negara tetangga jauh lebih sejahtera
dan pembangunannya maju pesat. Selain itu pesoalan ”illegal
logging” yang sering merusak potensi sumber daya alam (hutan tropis) terus
berkembang sejalan dengan tingkat ekonomi masyarakat perbatasan yang belum maju
tersebut.
Disamping masalah dalam konteks ”illegal” diatas, pulau Kalimantan juga
mempunyai potensi antara lain untuk ikut dalam sistem kerangka kerjasama
ekonomi regional seperti BIMP-EAGA (Brunai, Indonesia, Malaysia, Philipina –
Eastern Asian Growth Area) dan dilalui jalu perdagangan laut internasional ALKI
1 dan ALKI 2.
Potensi besar dari hutan-hutan di Kalimantan dihasilkan kayu industri,
rotan, damar, dan tengkawang. Sayangnya spesies hasil hutan seperti kayu
gaharu, ramin, dan cendana sudah hampir punah. Analisis ekonomi hasil hutan
dengan ekosistimnya untuk menjaga keseimbangan lingkungan perlu dilakukan
secara serius untuk kesejahteraan masyarakat setempat, wilayah dan ekonomi
nasional.
Lahan yang luas di Kalimantan telah dieksploitasi secara buruk.
Operasi pembalakan yang dikelola dengan buruk pula, serta rencana-rencana pertanian
yang gagal, telah meninggalkan bekas-bekasnya pada bentang lahan di
Kalimantan. Padang pasir putih yang luas dan kerangas yang mengalami lateralisasi
menjadi merah dan ditinggalkan ; padahal semula ditumbuhi hutan lebat.
Setiap tahun padang alang-alang menjadi kering dan terbakar. Hutan
tidak mendapat kesempatan untuk mengadakan regeneresi dan lautan padang rumput
terus bertambah luas.
Walaupun di Kalimantan terbebas dari bahaya gunung berapi, patahan/sesar
dan gempa bumi, namun masih mungkin terjadi beberapa potensi bahaya lingkungan.
Berdasarkan kajian Banter (1993) kemungkinan sering terjadi erosi pada lereng
barat laut pegunungan Schwaner dan Gunung Benturan, serta di beberapa tempat
lainnya di bagian tengan dan hulu sungai besar di Kalimantan. Erosi
sabagai akibat aberasi pantai terjadi di pantai barat, selatan dan timur.
Bahaya lingkungan lainnya adalah kebakaran hutan pada musim kemarau sebagai
akibat panas alam yang membakar batu bara yang berada di bawah hutan tropis
ini.
Ancaman
Proses-proses ekologis utama adalah proses-proses yang diatur atau
ditentukan oleh ”ekosisitem” dan sangat mempengaruhi produksi pangan, kesehatan
dan aspek lain untuk kelangsungan hidup manusia dan pembangunan. Sistem
penunjang kehidupan adalah ekosistem ekosistem utama
yang terlibat di dalamnya, beberapa ekosistem kehidupan yang menghadapi ancaman
bahaya terbesar adalah sistem pertanian, hutan, lahan basah dan sistem pesisir.
Pencemaran sungai dikarenakan pembalakan hutan, buangan limbah industri
tanpa perlakukan, limbah rumah tangga dan limbah dari penambangan emas tanpa
izin telah menyebabkan alur perairan menjadi bahaya bila digunakan untuk
keperluan ruamah tangga dan menyebabkan kerugian berupa sebagian sumber daya
perikanan.
Kegiatan pertambangan ini seringkali menimbulkan konflik dengan pemanfaatan
ruang lainnya yaitu dengan kehutanan, perkebunan, dan pertanian. Oleh karenanya
optimasi pemanfaatan Sumber Daya Alam agar tidak hanya sekedar mengejar manfaat
ekonomi.
Lahan Gambut di Kalimantan berada di Kalimantan Tengah dan Selatan dan
sebagaian kecil di pantai Kalimantan Barat dan di Kalimantan Timur bagian
utara. Kondisi tanah di dataran teras pedalaman, pegunungan, dan bukit-bukit
relatif agak baik untuk kegiatan pertanian. Untuk ini diperlukan optimasi
pemanfaatan lahan agar hasil gunanya dapat memberikan nilai ekonomis dan
perkembangan pada wilayah. Memilih kesesuaian ruang untuk kegiatan uasaha yang
sesuai dengan kesesuan tanah sangat diperlukan.
Potensi hidrologi di Kalimantan merupakan faktor penunjang kegiatan ekonomi
yang baik. Selain banyak danau-danau yang berpotensi sebagai sumber penghasil
perikanan khususnya satwa ikan langka, hal ini perlu dioptimasikan agar punya
nilai ekonomis namun tetap menjaga fungsi dan peran danau tersebut.
Kondisi dan Perkembangan Sosial Ekonomi Wilayah
Indikator kualitas kehidupan masyarakat (sosial-ekonomi) diukur dengan ”Human
Developmen Index” (HDI) . HDI pada tahun 1996 sampai dengan 1999
menurun di semua propinsi. Total HDI rata-rata di Kalimantan adalah 68,2
tahun 1996 dan 64,3 pada 1999 kemudian pada tahun 2003 menjadi 65.
Penurunan ini lebih disebabkan tingkat pendapatan perkapita jauh menurun akibat
krisis, sementara HDI sangat ditententukan oleh faktor income percapita.
Jika melihat data kemiskinan pada tahun 2002 yang dikeluaran dinas sosial
terlihat kondisi sosial masyarakat Kalimantan, buta huruf rata-rata 7,28 %
dengan Kalimantan Barat yang tertinggi yaitu di Kabupaten Sintang 17 %.
Masyarakat yang belum mendapatkan pelayananan air bersih rata-rata 58,7 %,
dengan Kalimantan Barat yang tertinggi yaitu 92 %. Indeks Kemiskinan
masih 29 % dari total penduduk.
Kontribusi PDRB agregrat pulau Kalimantan (1999) terhadap PDB nasional
mencapai 10.09 %, suatu nilai yang cukup baik. Dari angka itu nilai PDRB
terbesar didapat dari propinsi Kaltim yaitu 59,21 %. Sektor terbesar yang
memberikan kontribusi nilai PDRB tahun 2000 adadalh Industri pengolahan (25,8
%), sektor kedua adalah Pertambangan dan penggalian (20,66 %) sendangkan ketiga
pertanian (16,34 %).
Walupun sektor pertanian berada pada peringkat ketiga, namun dalam lingkup
propinsi sektor pertanian cukup dominan memberikan kontribusi pada PDRB-nya
masing-masing yaitu antara 20-40 %, kecuali di propinsi Kalimantan Timur. Dari
nilai pertumbuhannya rata-rata senua propinsi berkembang dengan baik.
Pertumbuhan sektor yang paling baik adalah sektor pertanian yaitu mencapai 23 %
(1996-2000). Hampir rata terjadi di masing-masing bahwa sektor jasa
relatif lambat pertumbuhannya.
Kalimantan berperan penting dalam pengembangan ekonomi Indonesia dan
merupakan salah satu penghasil devisa utama. Pada tahun 2003, Kalimantan
menghasilkan 29 % pendapatan sektor Indonesia yang berasal dari migas, 25,72%
dari sektor pertambangan dan 34.54 % dari sektor hutan.
Tetapi dalam jangka panjang eksploitasi sumber daya alam di Kalimantan
dapat berjalan terus ? Ataukah akan menyebabkan kerusakan lingkungan, penurunan
kualitas tanah dan hutan serta pemcemaran perairan ? Apa yang dilakukan untuk
memperbaiki berbagai potensi kerusakan tersebut.
Wilayah Administrasi
Secara administratif di Pulau Kalimantan
terdiri dari :
Propinsi
|
Kabupaten
|
Kecamatan
|
Desa
|
Kalimantan Barat
|
12
|
127
|
1500
|
Kalimantan Tengah
|
14
|
85
|
1355
|
Kalimantan Selatan
|
13
|
117
|
1972
|
Kalimantan Timur
|
13
|
88
|
1404
|
Jumlah
|
52
|
417
|
6231
|
Sumber : data administrasi KPU, 2003
Sejarah Eksploitasi Sumberdaya Alam
Tekanan dari luar untuk memenuhi kebutuhan hidup dewasa ini lebih intrusif lagi.
Pertama-tama disebabkan tekanan ekonomis memaksa eksplorasi kekayaan sumber
daya alam dengan mengonversi yang tumbuh di atas bumi misalnya, kayu hutan
hujan menjadi bahan baku pada pabrik plywood serta kilang gergaji. Hutan
dan tanah dusun juga dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Kedua, kekayaan dari perut bumi, yakni mineral-mineral digali dan
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat termasuk permintaan pasar
dunia. Itu menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat pasca tradisional lebih diprioritaskan
dibandingkan kebutuhan masyarakat pra modern. Bahan mentah sebenarnya terletak
di “Lebensraum” kelompok tradisional. Sejak lama Kalimantan dilihat
sebagai sumber alam yang tidak ada habis-habisnya, padahal sumber itu
sebenarnya terbatas.
Permintaan kayu pasar dunia masih kuat, sementara produksi kayu bulat turun
karena sulit memperpanjang izin atau menebang pohon secara ilegal. Pada waktu
melakukan perjalanan salah seorang penumpang yang bekerja di pabrik kayu plywood
memkonfirmasikan keadaan di Kalimantan Barat bahwa keperluan bahan mentah
pabrik yang memproduksi plywood kurang cukup.
Untuk mengatasi masalah bahan baku di Kalimantan ada kayu bulat yang masuk
dari Papua. Penebangan pohon untuk kebutuhan komersial tidak terjadi di seluruh
daerah Kalimantan.
Sejarah eksploitasi mineral pertama yang penting mungkin adalah
pertambangan dan pengolahan bijih besi yang terdapat di berbagai tempat di
seluruh Borneo. Dengan diperkenalkannya keterampilan penggarapan besi
dari daratan Asia diantara abad ke-5 dan ke-10 Masehi (Bellwood 1985), Sungai
Apo Kayan dan Sungai Montalat di daerah hulu daerah aliran S. Barito, Sungai
Mantikai yaitu anak Sungai Sambas, Sungai Tayan yaitu anak Sungai.. Kapuas di
Kalimantan Barat, mempunyai endapan biji besi dan terkenal dengan peleburan dan
pembuatan barang-barang dari besi.(Ave dan King 1986)
Emas dan intan juga dikumpulkan sejak dahulu , diperdagangkan ke
istana-istana Sultan dan kepada pedagang-pedagang Hindu dan Cina. Menurut
tradisi orang Dayak sendiri hampir tidak pernah membuat dan memakai perhiasan
emas (Sellato 1989a), tetapi perdagangan emas mempengaruhi kebudayaan pulau
ini. Emas telah di ekspor dari Borneo bagian barat kira-kira sejak abad
ke-13 dan menjelang akhir abad ke -17 pedagang-pedagang Cina telah mengumpulkan
muatan-muatan emas di Sambas (Hamilton 1930).
Penambangan emas secara komersial
pertama di Kalimantan di lakukan oleh masyarakat Tionghoa. Dalam
keramaian mencari emas pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, ladang emas
terkaya dan termudah dicapai dikerjakan dahulu, tambang emas terbesar
berada di Sambas dan Pontianak di sekitar Mandor.
Masyarakat Tionghoa kemudian
berpindah ke arah barat di wilayah Landak, pungguh daerah aliran Sungai Kapuas,
dan setelah cadangan emas habis mereka mulai membuka tambang-tambang yang
sangat kecil di daerah pedalaman. Menjelang pertengahan abad ke-19, industri
pertambangan emas di Kalimatan menurun dengan cepat tetapi meninggalkan
dampak jangka panjang bagi lingkungan dan kebudayaan
Sekarang ini Kalimantan telah terbagi-bagi dalam konsesi-konsesi
pertambangan emas. Di Sambas Kalimantan Barat di kaki Pegunungan
Schwaner, Kalimantan Tengah dan Sungai Kelian Kalimantan Timur telah dibuka
pertambangan emas
Penambangan Batubara secara terbuka dibawah pengawasan kesultanan
sudah mulai beroperasai di Kalimantan menjelang abad ke-19, yang
menghasilkan batubara bermutu rendah dalam jumlah kecil untuk penggunaan
setempat (Lindblad 1988). Tambang kecil milik negara di Palaran dekat
Tenggarong di Kesultanan Kutai merupakan suatu contoh yang khas.
Tambang batubara modern yang pertama di Kalimatan adalah tambang “Oranje
Nassau’ yang dibka oleh Belanda di Pengaron, Kalimantan Selatan pada tahun
1849. Tambang ini lebih diarahkan untuk menujukkan haknya terhadap
kekayaan mineral pulau itu dan bukan karena potensi komeresialnya (Lindblad
1988).
Dengan pertimbangan serupa Inggris mendirikan “British North Borneo
Company” untuk bekerja di Sabah, kerena mereka tertarik kepada tambang batubara
di Labuan. Hak-hak kolonial ini hanya dapat didirikan dengan beberapa
kerepotan.
Pada tahun 1888 perusahaan batubara Belanda (Oost-Borneo Maatchappij)
mendirikan sebuah tambang batubara besar di Batu Panggal di tepi Sungai
Mahakam. Ada pula kegiatan pribum secara kecil-kecilan yang dilakukan di
Martapura sepanjang Sungai Barito, sepanjang Mahakam Hulu dan Sungai
Berau. Pada tahun 1903, dengan penanaman modal Belanda, tambang batubara
terbesar di Pulau Laut mulai berproduksi dan menjelang tahun 1910 telah
menghasilkan kira-kira 25 % dari semua keluaran Indonesia (Lindblad
1988).
Produksi tambang-tambang yang besar milik Belanda di ekspor, sedangkan
kegiatan-kegiatan produksi yang lebih kecil diarahkan untuk pemasaran
setempat. Kualitas batubara yang rendah dan tersedianya batubara dari
Eropa yang lebih murah, terutama dari Inggris, akhirnya menyebabkan kemunduran
pada pertambangan besar Belanda di Kalimantan. Namun penemuan
ladang-ladang batubara baru akhirnya-akhirnya ini menyebabkan timbulnya
perhatian baru terhadap batubara Kalimantan
Pertambangan mineral di Kalimantan dengan pola Penanaman Modal Asing di
mulai dengan kontrak kerja Generasi III+, yaitu Indo Muro Kencana di
Kalimantan Tengah dan Kelian Equatorial Mining di Kalimantan Timur.
Sedangkan Pertambangan Batu Bara di mulai dengan Generasi Pertama oleh Adaro
dan Arutmin di Kalimantan Selatan dan di Kalimantan Timur oleh Berau Coal,
Indominco Mandiri, KPC, Kideco Jaya Agung, Multi Harapan Utama, Tanito Harum.
Saat ini setidaknya terdapat 21 perusahaan besar pertambangan di Kalsel, 15 perusahaan besar pertambangan di Kaltim dan 154 KP dan 13 PKP2B perusahan
pertambangan di Kalimantan Tengah
Eksploitasi kayu di Kalimantan telah berlangsung lama dan menempati
kedudukan yang penting selama penjajahan Belanda. Mulai tahun 1904
sejumlah konsesi penebagan hutan telah diberikan di bagian hulu Sungai
Barito dan daerah-daerah Swapraja di pantai timur, khusunya Kutai (Potter
1988).
Kayu yang di eksploitasi 80% adalah kayu Depterocarpaceae, sedangkan kayu yang berasal dari pantai timur
terutama adalah kayu besi (van Braam 1914). Hamparan hutan
Dipterocarpaceae yang luas di pantai timur lebih sukar untuk dieksploitasi dan
berbagai upaya pada permulaan gagal, meskipun dengan penanaman modal besar
(Potter 1988).
Tahun 1942 petugas-petugas penjajah Belanda menyiapkan peta hutan yang bersipat
menyeluruh untk karesidenan Borneo Selatan dan Borneo Timur (meliputi
Kalteng-sel-tim) yang menunjukkan bahwa 94% luas karesidenan merupakan daerah
yang tertutup hutan. Angka-angka mengenai luas lahan berhutan yang
diterbitkan pada tahun 1929 masih dijadikan dasar dalam pemberian ijin konsesi
penebangan hutan pada tahun 1975 (Hamzah 1978; Potter 1988).
Sejak jaman penjajahan pelestarian hutan telah mendapat perhatian.
Empat kawasan hutan ditetapkan sebagai cagar hidrologi di Borneo Tenggara yaitu
gunung-gunung di Pulau Laut, dan tiga cagar alam meliputi Pegunungan Meratus
yang membujur dari utara ke selatan (van Suchtelen 1933).
Pembalakan kayu secara massif dimulai pada tahun 1967, saat itu 77%
luas hutan atau seluas 41.470.000 dinyatakan milik negara. Pada waktu itu
pemerintah menghadapi masalah-masalah ekonomi yang berat sehingga membirikan
konsesi kayu dengan murah kepada perusahaan-perusahaan asing yang berniat untuk
mengeksploitasi hutan tropis yang luas.
Menjelang tahun 1972 luas daerah konsesi mencapai 26,2 juta hektar dan
kemudian meningkat menjadi 31 juta ha pada tahun 1982 terutama di Kalteng dan
Kaltim (Ave dan King).
Industri Perkebunan Besar di Kalimantan bermula di Kalimantan Barat sekitar
awal tahun 1980-an, oleh PTPN, sebuah BUMN. Di Kalimantan Barat di pegang oleh
PTP/PTPN VII dengan kontor direksi di Pontianak. Dari sana muncul fenomena
Sanggau sebagai Primadona Sawit. Lahan yang digunakan untuk kegiatan budidaya
perkebunan ini dapat dikatakan sebagai APL (Area Penggunaan Lain) yang berasal
dari kawasan hutan.
Tahun 2006 di Kalimantan Tengah telah dialokasikan areal seluas 4.5 juta
ha untuk Perkebunan Besar Swasta. Saat ini terdapat 104 PBS operasional
dengan seluas 1,7 juta ha dan 196 PBS belum operasional seluas 2,8 juta ha.
Kalimantan Selatan berencana membangun seluas 1,1 juta ha, dimana
400 ribu ha sudah operasional dan peruntukan baru untuk perkebunan sawit
seluas 700 ribu ha. Sedangkan di Kalimantan Timur dilakukan
pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan seluas 2,6 juta ha [2005],
dimana 4,09 juta hektare yang diperuntukkan bagi 186 perusahaan, namun yang
aktif 34 perusahaan. Sementara Kalimantan Barat [Juli 2006] telah
memberikan ijin lokasi perkebunan kelapa sawit seluas 1.461.648 ha
kepada 79 perusahaan. Dari jumlah itu seluas 127.100 ha merupakan kawasan
hutan yang dialihfungsikan / konvesi. Dengan demikian total se-Kalimantan
akan di bangun perkebunan tidak kurang dari ± 10 juta hektare.
Sayangnya, pembangunan dan exploitasi sumberdaya alam, khususnya hutan untuk
perkebunan dan konversi lainnya di Kalimantan tidak memperhitungkan kondisi
tutupan hutan yang sudah semakin menipis dimana : Hutan primer hanya tersisa
15.65 %, Hutan sekunder 16,93 % Hutan primer lahan basah 0.26%, hutan sekunder
lahan basah 11.31 % dan sisanya sebesar 55.84 % kawasan non hutan. [Sumber :
Analisa Citra landsat 2003].
---------
english version ------------------- --------
Short Overview of Borneo
Geographical Position
Kalimantan is a name used
for Indonesian part of Larger Borneo Island, the third largest island in the
world after Greenland and the whole Papua Island. Kalimantan covered 73% of
Borneo landmass. There are 4 (four) provinces in Kalimantan, namely West
Kalimantan, Central Kalimantan, South Kalimantan and East Kalimantan, with
total area 549,032 sq km. This is 28 % of Indonesia landmass. East
Kalimantan is already 10% of Indonesian landmass. Northern part of Borneo
Island covered Malaysia’s state of Serawak and Sabah, as well as Brunei
Darussalam Sultanate. Present political boundaries are reflection of past
colonialist’s grounds.
Geographically, Kalimantan [Indonesia], located between 40 24`
NL - 40 10` SL and between 1080 30` EL - 1190
00` WL with total area of 535.834 sq km. In the north, the land border with
Malaysia (Sabah and Sarawak) and stretching for 3000 km from West Kalimantan to
East Kalimantan.
Basic Information and Natural Resources
The majority of Kalimantan Island is mountains/hills (39.69%), lowland
(35.08%) and remainders are coastal/tidelands (11.73%), alluvial land (12.47)
and others (0.93%). In general, topography of central and northern part (of
Indonesian area) is steep mountainous highland and home to forested and forest
reserves area, that need to be protected as its function as water catchments
need to be preserved.
The main mountains connected as an ecological unity are Muller, Schawaner,
Iban and Kapuas Hulu mountains also Meratus in the southern part.
Agronomists agree that Kalimantan’s soil is very poor, very vulnerable and extremely
difficult for farming. Lowland requires a wide-ranged conservation for its peat
swamp, acid soils, sand soils and very steep land. Kalimantan could be
developed, but it requires strict ecological manner accompanied by high
cautiousness.
Several large rivers is the main artery for natural resources’ trade as
well as processed goods and export-import. These rivers are lengthy and the
longest one is Kapuas River (1,143 km) in West Kalimantan, whose length cover
65% of West Kalimantan area.
Many mining potentials are found in mountains/hills, particularly mid and
up river. Potential mineral deposits are gold, manganese, bauxite, quartz,
phosphor, mica, and coal. Oil and liquid gas mine are located in lowland,
coastal or offshore.
Plantation activities usually are located in lowland and hills. Most common
found are: palm oil, coconut, rubber, sugar cane and foodstuffs. Its growth is
quite rapid and many investors from neighbouring countries come on the scene
due to limited land in their countries. Economically, the plantation had a
potential to be developed at suitable areas. However, nowadays plantation also
developed in highland areas unsuitable for the plants, a scheme suspected as
coverage for timber exploitation.
Problems
As an area with land border to neighbouring countries, Kalimantan faces a
problem of ”illegal trading” and ”smuggling”, particularly with the rapid
growth and good welfare of neighbouring citizens. Besides, ”illegal logging” –
that commonly destroy the natural resources potentials (rainforest) –
continuously occurs, parallel with economic needs of underdeveloped peasants
near the border.
Apart from the problems within
“illegal” context abovementioned, Kalimantan Island also had potential for
involvement into regional economic collaboration system such as BIMP-EAGA
(Brunei, Indonesia, Malaysia, Philippine – Eastern Asian Growth Area) and
within international trade line ALKI 1 and ALKI 2.
Huge potentials of Kalimantan forests come from industrial timbers, rattan,
dammar and tengkawang oils. Unfortunately, timber forest products as gaharu,
ramin and cendana are near extinction. Serious economical
analysis on forest products and its ecosystem is required to maintain local
community’s welfare as well as local and national economy.
Wide area of Kalimantan land had been badly exploited. Badly organized
logging operation, failed farming planning, had left their marks on Kalimantan
landscape. White sand barren lands are abandoned, lands that was home for dense
forest. Annually, the savannahs become drier and get burned. The forest does
not stand a chance for regeneration and the savannahs grow wider.
Although Kalimantan is free from volcanic, crust plates and earthquake
dangers, the environmental dangers are potential. Banter (1993) analyze that
erosion is common in north-western slope of Schawaner mountain range and
Benturan mountain, as well as in other places of mid and up river of
Kalimantan’s big river. Erosion caused by sea abrasion occurred in east, west
and south coast. Another environment danger is forest fire during dry season
caused by natural heat that burns the peat layer f the island.
Threats
Main ecological process are process maintained or managed by “ecosystem”
which affect the food production, health as well as other aspects essentials
for human livelihood and development. Livelihood supporting systems are main
ecosystems involved in it, and among some that faces great danger are
agriculture, forest, wetlands and coastal system.
River contamination from forest logging, non-processed industrial waste,
household waste and illegal gold mining waste has made the water extremely
dangerous for household use and caused loss in fisheries resources.
Those mining activities are often conflicting with other land use such as
forestry, plantation and farming. Therefore, resources exploitation should not
solely target the economic purpose.
Kalimantan’s peat located in South and Central Kalimantan with some located
in the coastal area of West Kalimantan and northern part of East Kalimantan.
The soil in remote lowland, mountains and hills are relatively good for
agriculture activities. Land use needs to be optimized to ensure economic and
development value for the region. It is necessary to choose the right land use
for different soils type.
Kalimantan’s hydrology potentials are another factor to ensure good
economic activities. Many lakes has potentials for supporting fisheries,
particularly in providing rare species of fish, therefore it needs to be
optimized in order to gain economic value yet maintain its role and functions.
Regional Social Economic Condition
Indicator for community’s quality of life (social-economic) is measured
with ”Human Development Index” (HDI). HDI for 1996 to 1999 is decreasing
in all provinces. Total average HDI in Kalimantan is 68,2 for 1996 and
64,3 for 1999, then 65 on 2003. While HDI is determined by income per capita,
the decrease mainly caused by decrease of income per capita due to economic
crisis. Observing the poverty data of 2002 issued by Provincial Social Office,
social condition of Kalimantan people could be seen, average of illiteracy is
7,28% with West Kalimantan’s Sintang as the highest, 17%. Average
community without access to clean water is 58,7%, with West Kalimantan at the
highest, 92 %. Poverty Index reach 29% of total population.
Local GNP contributions of Kalimantan (1999) toward national GNP are up to
10.09%, a sufficient amount. Of that amount, the biggest contribution is from
East Kalimantan province of 59,21%. Biggest sector for local contribution
in 2000 is processing industry (25,8%), second sector is mining and digging
(20,66%) and the third is farming (16,34%).
Farming might place the third, though at provincial level its contribution
to local GNP is quite dominant, each with 20-40%, but east Kalimantan. Of all
provinces, the growth rate is quite good. The best growth is farming sector
with 23% (1996-2000). All provinces are equally slow in their service
sector’s growth.
Kalimantan plays an important role in Indonesia’s economic development and
one of the main sources for foreign investment. In 2003, Kalimantan generates
29% of Indonesian income from oil and gas sector, 25,72% of mining sector and
34.54% from forestry.
However, would Kalimantan natural resources available for exploitation in
the long run? Or would it leads to the destruction of environment, land and
forest degradation, as well as water contamination? What would be done to
repair those destructions?
Administrative Area
Administratively, Kalimantan consist of:
Province
|
Regency/District
|
Sub District
|
Villages
|
West Kalimantan
|
12
|
127
|
1500
|
Central Kalimantan
|
14
|
85
|
1355
|
South Kalimantan
|
13
|
117
|
1972
|
East Kalimantan
|
13
|
88
|
1404
|
Total
|
52
|
417
|
6231
|
Source: Committee for Election administrative data,
2003
The History of Exploitation of Natural Resources
Outside pressure on livelihood demands becoming more intrusive lately.
Firstly, economic pressure had forced the exploitation of natural resources by
a means of conversion of available resources on earth’s surface, i.e.
rainforest timber as raw material for plywood factories and sawmills. Forest
and rural areas also converted into palm oil plantation.
Secondly, resources within the earth’s core i.e. minerals were dug out and
used to fulfil the demand of population as well as world market. It shows that
post-traditional community needs are prioritized and pre-modern communities
needs are put second. Raw materials are located at the “Lebensraum” of
traditional groups. As long as history goes, Kalimantan seen as unlimited
national resources, yet the resources are actually very limited.
Demands for timber from world market are still high, yet log production had
long decreased due to difficulties in extending operational permit or illegal
cutting. During my trip, one of the passenger sit next to me said that he is
working in plywood factory in West Kalimantan and he admits that the supply of
raw material is not sufficient at the moment iron
To address the lack of log in Kalimantan, log from Papua are imported. Tree
felling for commercial purpose is not happening in every part of Kalimantan.
One of the most important histories of mineral exploitation probably is the
mining and processing of iron ore found all over Borneo by the introduction of
iron processing skill from Asia between 5th and 10th
century AD (Bellwood 1985). Apo Kayan and Montalat River located upriver of
Barito basin, Mantikai River down of Sambas River, Tayan River down of Kapuas
River in West Kalimantan, had the iron ore stock and are famous for iron
processing and iron made goods (Ave and King 1986).
Gold and diamond also had been collecting for a long time, traded to
Sultanate’s Palaces and to Hindu and Chinese tradesman. According to Dayak’s
tradition, Dayak people had never made or wear gold accessories (Sellato
1989a), yet gold trade had affected this island’s culture. Gold had been
exported from western part of Borneo since approximately the 13th
century and by the end of the 17th century Chinese tradesman had
loaded their vessels with gold in Sambas (Hamilton 1930).
Chinese people did commercial gold mining at first. In the height of gold
rush by the end of 18th century and the beginning of 19th
century, the richest and most easily accessed gold mine were extracted first,
the biggest become the one located in Sambas and Pontianak surround Mandor
area.
The Chinese people then move on to western part of Landak area, following
the Kapuas River basin, and once the stock run out they start to dig smaller
mines deeper into the woods. By mid 19th century, Kalimantan’s gold
mining industry decreased rapidly yet leaving long-term impacts to the
environment and the culture.
Nowadays, Kalimantan had been divided into gold mining concessions in
Sambas, West Kalimantan at the Schwaner Mountain Range, Central Kalimantan and
Kelian River, East Kalimantan.
Public coal mining under the supervision of the Sultanate had started in
Kalimanatan by the 19th century, the result are low quality coal in
small quantity and for local use only (Lindblad 1988). State-owned small
mine in Palaran near Tenggarong in Kutai Sultanate is a special
exception. First modern coal mine in Kalimantan is “Oranje Nassau’ mine
operated by Dutch in Pengaron, South Kalimantan in 1849. This mine used
more to express Dutch’s power over the island’s mineral and not because of its
commercial potential (Lindblad 1988).
With the same idea in mind, England create “British North Borneo Company”
to operate in Sabah, because they’re interested to another coal mine in
Labuan. These colonial rights could be enacted only with some
difficulties.
By 1888 Dutch’s coal company (Oost-Borneo Maatchappij) open a big coalmine
in Batu Panggal by the side of Mahakam River. There are also small mining done
by locals in Martapura along Barito, Mahakam Hulu and Berau River. By 1903,
with Dutch’s investment, the largest coalmine located in Laut Island start
operational and by 1910 had extracted approximately 25% of whole Indonesia
production (Lindblad 1988).
The production from large mining belong to Dutch are exported and smaller
production are targeted for local market. the low quality and the presence of
cheaper coal from Europe especially from England had affect the development of
Dutch’s mines in Kalimantan. However, the discovery of new coal fields had
create a new attention towards Kalimantan coal.
Mineral mining in Kalimantan through Foreign Investment had started with
contracts of Phase III+, namely Indo Muro Kencana in Central Kalimantan and
Kelian Equatorial Mining in East Kalimantan. Coal mining were
started with contracts of Phase I by Adaro and Arutmin in South Kalimantan and
by Berau Coal, Indominco Mandiri, KPC, Kideco Jaya Agung, Multi Harapan Utama,
Tanito Harum in East Kalimantan.
At the moment, there are at least 21 large mining company in South Kalimantan, 15 Perjanjian Kontrak Bagi hasil Batu Bara dan Kontrak Karya [KK]
serta 154 KP (Coal Sharecrops Agreement), while in Central Kalimantan there are
15 Perjanjian Kontrak Bagihasil Batu Bara dan KK serta 188 Karya Pertambangan (Coal Sharecrops Agreement).
Timber exploitation in Kalimantan had been started long time ago and played
an important part during Dutch collonialization. Starting from 1904, several
timber concessions had been issued and given for the up river part of Barito
River and unoccupied areas along eastern coast, especially Kutai (Potter 1988).
80% of the
timbers exploited are Dipterocarpaceae, while timbers coming from
eastern coast are mainly ironwood (van Braam 1914). The wide Dipterocarpaceae
forests in eastern coast are more difficult to harvest and several effort
in the beginning had met with failure despite the huge investment (Potter
1988).
By 1942, Dutch authorities prepared a holistic forest map for the area of
South Borneo and East Borneo (including the now East-South-Central Kalimantan)
that shows 94% of the area is forested. The figures on the width of forested
areas issued in 1929 are still used to issue forest concession permits in 1975
(Hamzah 1978; Potter 1988).
Forest conservation had become concern since the colonial period. Four
forested areas are declared as hydrology reserve in Southeast Borneo, namely
the mountains of Laut Island, and three natural reserves including Mount
Meratus that are stretched from north to south (van Suchtelen 1933). Massive trees
felling are started in 1967, by that time 77% of forested areas or
approximately 41.470.000 hectares are declared to be state owned forest. By
that time the government faced a heavy economic pressure therefore forest
concessions permits were given easily and with cheap prices to foreign
countries interested in exploit the large tropical forest. By 1972 the width of
concession areas had reached 26,2 million hectares and then increased to 31
million hectares by 1982 especially in Central Kalimantan and East Kalimantan
(Ave & King).
Large plantation industry in Kalimantan started in West Kalimantan around
early 80s by PTPN, a state owned company. It is held by PTP/PTPN VII with its
head office in Pontianak. Started from there, a phenomenon was created, Sanggau
as Palm Oil Premiere. Land used for this plantation could be called Other
Land Use (APL) of forested area.
By 2006, 4.5 million hectares had been allocated in Central Kalimantan for
a Large Private Plantation (PBS). At the moment there are 104 operational PBS
covering an area of 1.7 million hectares and 196 non-operational PBS covering
an area of 2.8million hectares.
South Kalimantan planned to open 1.1 million hectares palm oil plantation
where 400 thousand hectares are already operational and the newly allocated
land are 700 thousand hectares. While in East Kalimantan, 2.6 million hectares
(2005) forested areas are about to be converted into plantation, where 4.09
million hectares had been given as concessions to 186 companies yet only 34 are
operational. West Kalimantan (July 2006) had given concessions for palm oil
plantation as large as 1,461,648 hectares to 79 companies. Of those numbers,
127,100 hectares are converted forested areas. Therefore, total plantation that
would be opened in the whole Kalimantan would reach at least 10 million
hectares.
Unfortunately, the development and natural resources exploitation,
particularly forest for plantation and other conversion in Kalimantan had fails
to took into account the condition of forest coverage that had been reduced,
where: only 15.65% primary forest remain, 16.93% secondary forest, 0.26%
primary wetland forest, 11.31% secondary wetland forest and the remains are
55.84% non forested areas [Sources: Analysis of the Satellite 2003].
Sumber : http://saveourborneo.org/index.php