Perlu dicatat
bahwa istilah Pemikiran Mao Zedong lebih disukai oleh Partai Komunis Cina (PKT) dan bahwa istilah Maoisme
tidak pernah dipergunakan dalam terbitan-terbitan bahasa Inggrisnya kecuali
dalam penggunaan peyoratif. Demikian pula, kelompok-kelompok Maois di luar Cina
biasanya menyebut diri mereka Marxis-Leninis dan bukan
Maois. Ini mencerminkan pandangan Mao bahwa ia tidak mengubah, melainkan hanya
mengembangkan Marxisme-Leninisme. Namun
demikian, beberapa kelompok Maois, percaya bahwa teori-teori Mao telah
memberikan tambahan berarti kepada dasar-dasar kanon Marxis, dan
karena itu menyebut diri mereka "Marxis-Leninis-Maois" (MLM) atau
"Maois" saja.
Di RRT, pemikiran Mao Zedong adalah bagian dari doktrin resmi Partai
Komunis Cina, namun sejak 1978, permulaan pembaruan Deng Xiaoping
yang berorientasi ekonomi pasar, dengan
konsep tampilnya ke barisan depan "sosialisme
dengan ciri khas Cina" dalam politik, diberlakukanlah pembaruan ekonomi Cina,
dan definisi resmi serta pernaan ideologi asli Mao di RRT secara radikal telah diubah dan
dikurangi (lihat Sejarah Cina). Di luar RRT, istilah Maoisme
digunakan sejak 1960-an,
biasanya dalam pengertian yang negatif, untuk menggambarkan partai-partai atau
orang-orang yang mendukung Mao Zedong dan bentuk komunismenya.
Sejak kematian Mao dan pembaruan oleh Deng, kebanyakan partai yang secara tegas
menyebut dirinya "Maois" telah lenyap, namun berbagai kelompok
komunis di seluruh dunia, khususnya yang bersenjata seperti Partai Komunis India (Maois), Partai
Komunis Nepal (Maois) dan Tentara Rakyat Baru di Filipina,
terus memajukan gagasan-gagasan Maois dan memperoleh perhatian pers karenanya.
Kelompok-kelompok ini biasanya berpendapat bahwa gagasan-gagasan Mao telah
dikhianati sebelum sempat sepenuhnya atau dengan semestinya diterapkan.
Teori Maois
Berbeda dengan bentuk-bentuk Marxisme-Leninisme yang
lebih awal, di mana kaum proletar perkotaan
dianggap sebagai sumber utama revolusi, dan daerah pedesaan pada umumnya
diabaikan, Mao memusatkan perhatian pada kaum buruh-tani sebagai kekuatan
revolusioner yang utama, yang, menurutnya, dapat dipimpin oleh kaum
proletari dan pengawalnya, PKT. Model
untuk ini adalah for perang rakyat
berkepanjangan yang dilakukan oleh komunis Cina di pedesaan pada
1920-an dan 1930-an, yang akhirnya mengantarkan PKT ke tampuk kekuasaan. Lebih
jauh, berbeda dengan bentuk-bentuk Marxisme-Leninisme lain di mana pembangunan
industri besar-besaran dipandang sebagai suatu kekuatan positif, Maoisme
menjadikan pembangunan pedesaan keseluruhan sebagai prioritasnya. Mao merasa
bahwa strategi ini masuk akal di masa tahap-tahap awal sosialisme di sebuah
Negara di mana kebanyakan rakyatnya adalah buruh-tani.
Berbeda dengan kebanyakan ideology politik lainnya, termasuk ideologi sosialis
dan Marxis, Maoisme mengandung doktrin militer
yang integral dan secara eksplisit menghubungkan ideologi politiknya dengan strategi
militer. Dalam pemikiran Maois, "kekuasaan politik berasal dari
moncong senapan " (salah satu kutipan ucapan Mao), dan kaum buruh-tani dapat
dimobilisasi untuk melakukan "perang rakyat" dalam
perjuangan bersenjata yang melibatkan perang
gerilya dalam tiga tahap.
Tahap pertama melibatkan mobilisasi dan pengorganisasian kaum buruh-tani.
Tahap kedua melibatkan pembanugnan wilayah basis di pedesaan dan peningkatan
koordinasi di antara organisasi-organisasi gerilya.
Tahap ketiga melibatkan transisi ke perang konvensional.
Doktrin militer Maois menyamakan pejuang gerilya dengan ikan yang berenang di
sebuah lautan yang penuh dengan buruh tani, yang memberikan dukungan logistik.
Maoisme menekankan "mobilisasi massa yang revolusioner " (secara
fisik memobilisasi sebagian besar penduduk dalam perjuangan demi sosialisme), konsep
tentang Demokrasi Baru, dan Teori
Angkatan Produktif sebagaimana yang diterapkan dalam
industri-industri tingkat desa yang tidak tergantung dengan dunia luar (lihat
Lompatan Jauh ke Depan). Dalam
Maoisme, pengorganisasin yang cermat atas kekuatan militer dan ekonomi yang
besar adalah perlu untuk mempertahankan wilayah revolusi dari ancaman luar,
sementara sentralisasi menjaga agar
korupsi dapat terus diawasi, di tengah-tengah kontrol yang kuat, dan
kadang-kadang perubahan, melalui kaum revolusioner di ranah seni dan ilmu
pengetahuan.
Mao
Zedong dan Korban 70 juta Jiwa
Coen
Husain Pontoh Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)
DALAM
buku Understanding the Venezuelan Revolution, Martha Harnecker
mengajukan pertanyaan kepada presiden Venezuela Hugo Chavez, “….faktor apa
dalam hidup anda yang memberikan inspirasi secara politik dan apa visi anda
bagi gerakan kiri Venezuela?” Chavez menjawab pertanyaan itu agak panjang,
mulai ketika ia menjejakkan kakinya ke akademi militer pada 1970 serta keunikan
sistem pendidikan militer Venezuela. Di akhir jawaban ia menutupnya dengan
kalimat, “saya sangat suka tulisan-tulisan Mao dan saya mulai membaca
karya-karyanya lebih banyak lagi.”
Menurut Chavez, setelah membaca karya-karya
Mao, ia sampai pada beberapa kesimpulan yang sangat mendasar. Salah satu yang
paling penting dan paling diyakininya dari Mao adalah pengibaratan hubungan
rakyat dengan tentara seperti keberadaan air bagi ikan. Air akan terus eksis
tanpa ikan, sebaliknya ikan tak bisa hidup tanpa air. “Saya selalu percaya itu
dan terus mencoba untuk menerapkannya…. Saya melihat kebutuhan yang kuat akan
hubungan antara rakyat dan tentara,” ujar Chavez.
Pengaruh
Mao Zedong (Mao Tse Tung) pada Chavez hanyalah satu contoh, bagaimana ajaran
dan teladan Mao melintasi daratan Cina. Pada masa Perang Dingin, pengaruh itu
jauh lebih besar lagi. Partai Komunis Indonesia (PKI), partai terbesar ketiga
di dunia saat itu, bahkan membangun aliansi dengan Partai Komunis Cina (PKC)
dalam bentuk Poros Jakarta-Peking. Secara teoritik, pengaruh Mao diduga
memengaruhi analisa ekonomi-politik PKI tentang struktur masyarakat Indonesia,
yang menyimpulkan masyarakat Indonesia adalah “setengah feodal, setengah
kolonial.”
Pada
1968, ketika gerakan mahasiswa bergolak di jalan-jalan utama Perancis, banyak
aktivisnya yang sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Mao. Ilmuwan politik
Ellen Meiksins Wood mengatakan, strukturalisme Althusser yang anti humanis dan
kalangan post-Marxis yang menolak pendekatan kelas dalam analisa sosial, salah
satunya berakar pada Maoisme ini. Pengaruh Mao juga tampak pada Alan Badiou,
salah satu filsuf kiri Prancis terkemuka saat ini.
Kalau
kita mengikuti sejarah pemikiran dan praktek politik dari lelaki yang lahir di
kota Saoshan, provinsi Hunan, 26 Desember 1893, maka pengaruhnya yang melintasi
tembok Cina sangatlah wajar. Pria yang akrab disapa Paman Mao oleh pengikutnya
itu, adalah pemimpin revolusi Cina dan kemudian menjadi pemimpin tertinggi
Republik Rakyat Cina pada 1949. Sepanjang karir revolusionernya, Mao sarat
dengan kontroversi. Dan tidak ada yang paling kontroversial selain tuduhan
bahwa akibat program dan ambisi pribadinya akan kekuasaan yang tak terbatas,
Mao telah membiarkan puluhan juta rakyat Cina mati kelaparan. Merayakan 117
tahun kelahirannya, tulisan ini akan menyoroti kontroversi itu.
Lompatan
Jauh ke Depan
Pada
Desember 1957, Mao mendeklarasikan program pembangunan ekonomi yang disebut “The
Great Leap Forward” atau “Lompatan Jauh Ke Depan.” Menurut ekonom Minqi Li,
cerita konvensional soal program Lompatan Jauh ke Depan dan seluruh
kegagalannya, karena Mao memaksakan versi utopian komunisnya kepada para
pemimpin partai. Melalui program-program yang tak ada justifikasi ilmiah dan
bukti historis, Mao telah memaksa para pemimpin partai di tingkat provinsi dan
lokal untuk memenuhi target produksi besar-besaran yang tidak realistis kepada
para petani. Tidak adanya komunikasi yang efektif dan desentralisasi yang tidak
masuk akal telah menyebabkan aktivitas ekonomi nasional mengalami kekacauan dan
terjadi misalokasi sumberdaya yang luar biasa. Sementara itu rangsangan kepada
petani untuk berproduksi semakin menurun akibat penentuan level pendapatan
secara besar-besaran melalui sistem komune.
Hal-hal
ini kemudian menyumbang pada gagalnya hasil produksi pertanian pada 1959 hingga
1962. Situasi gagal panen ini makin memburuk ketika pemerintah pusat
mengambilalih produk pertanian kacang-kacangan dari daerah pedesaan, guna
memenuhi kekurangan produksi kacang-kacangan secara nasional dari perkiraaan
semula.
Akibat
paling buruk dari gagalnya program Lompatan Jauh ke Depan ini, terjadi
kemiskinan dan kelaparan massal yang luar biasa di seluruh Cina. Kemiskinan dan
kelaparan ini adalah sesuatu yang terbesar dalam sejarah Cina, bahkan diklaim
terbesar dalam sejarah umat manusia. Dan ini bukan kemiskinan biasa, melainkan
kemiskinan yang mematikan dengan jumlah korban yang mendirikan buluroma. Para
intelektual liberal dan pemimpin Cina pasca Mao, mengeluarkan angka-angka yang
berbeda mengenai jumlah penduduk yang meninggal akibat kelaparan itu.
Pemerintah
Cina di bawah Deng Xiaoping, dalam rangka pembabatan warisan Mao, terutama
berkaitan dengan Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan, mengeluarkan
laporan resmi bahwa jumlah penduduk yang mati akibat kemiskinan dan kelaparan
tersebut mencapai 16,5 juta orang. Para peneliti Amerika, mengajukan angka yang
lebih besar lagi, 30 juta orang. Jung Chang dan John Halliday, dalam buku
larisnya Mao: the Unknown Story, muncul dengan angka 70 juta, dan buku
terbaru dari sejarahwan Frank Dikötter, Mao’s Great Famine, menyebutkan
angka sebesar 45 juta orang.
Validitas
data
Munculnya
beragam angka yang menyebutkan tingkat kematian itu, mungkin tidak begitu
penting bagi sebagian kalangan selama ini. Toh kampanye yang dituju telah
tercapai, “Mao telah membiarkan rakyatnya mati akibat kemiskinan dan
kelaparan.” Tetapi, bagi mereka yang ingin menegakkan kebenaran ilmiah, jumlah
angka yang berbeda-beda itu menimbulkan pertanyaan serius menyangkut validitas
dan akurasi dari mana dan bagaimana angka itu diperoleh?
Berhadapan
dengan kontroversi itu, kita mesti melampaui metode perhitungan statistik. Saya
ingin mengajak anda untuk melihat perkembangan ekonomi dan sosial pada masa
penerapan program Lompatan Jauh ke Depan. Demografer Judith Banister, salah
satu pendukung tesis “the great death toll” mengatakan, dilihat dari segi
tingkat harapan hidup pada tahun 1973-1975, maka posisi Cina lebih baik dari
negara-negara Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, dan banyak negara Amerika
Latin. Pada tahun 1981, Banister bersama S. Preston, menulis tentang “hasil
luar biasa” yang dicapai pemerintah RRC berkaitan dengan pengurangan tingkat
kematian, dengan tingkat harapan hidup diperkirakan mencapai 1,5 per tahun per
kalender sejak negara komunis itu memerintah pada 1949. Tingkat angka harapan
hidup meningkat dari 35 pada 1949 menjadi 65 pada 1970, saat dimana Mao masih
berkuasa hingga ajal menjemputnya.
Data
yang dikeluarkan oleh rejim Deng Xiaoping, juga menunjukkan angka pertumbuhan
yang positif. Misalnya, produksi industrial meningkat sebesar 11,2 persen per
tahun dari 1952-1976 (bertumbuh 10 persen per tahun selama periode revolusi
kebudayaan yang dituduh sebagai periode terkelam dalam sejarah Cina). Pada
tahun 1952, sumbangan sektor industri terhadap pendapatan nasional bruto
sebesar 36 persen. Pada 1975, sumbangan sektor industri meningkat menjadi 75
persen, sementara sumbangan sektor pertanian sebesar 28 persen. Data lain dari
Guo Shutian, mantan direktur kebijakan dan hukum kementrian pertanian Cina di masa
Mao menyebutkan, benar bahwa produksi pertanian menurun dalam periode
1949-1978, karena “bencana alam dan kesalahan dalam praktek.” Namun demikian,
ia mengatakan antara 1949-1978 jumlah produksi pangan biji-bijian meningkat
sebesar 145,9 persen dan total produksi pangan meningkat sebesar 169,6 persen.
Selama periode ini, penduduk Cina bertumbuh sebesar 77,7 persen. Berdasarkan
data ini, menurut Shutian, produksi pangan per kapita Cina meningkat dari 204
kg menjadi 328 kg dalam periode tersebut.
Menyimak
data-data di atas, menjadi aneh jika melihat jumlah puluhan juta orang yang
meninggal akibat kelaparan dan kemiskinan. Dimana rasionalisasinya? Jika
asumsinya tampilan ekonomi yang positif itu hanya terkonsentrasi pada
segelintir elit partai, hal itu tidak sesuai dengan kenyataan bahwa pada masa
Mao tingkat kesenjangan sosial masyarakat Cina adalah yang terbaik sepanjang
sejarahnya. Berhadapan dengan keanehan ini, maka kita punya dua pilihan: pertama,
percaya buta bahwa memang pada masa Lompatan Jauh ke Depan ada puluhan juta
orang yang mati; atau kedua, kita menganggap angka-angka puluhan juta
itu tak lebih sebagai propaganda murahan kalangan yang anti revolusi Cina.
Namun demikian, pandangan hitam putih ini tidak memberikan banyak manfaat dalam
melihat lebih jernih kontroversi tersebut, kecuali sikap ya tidak, ya tidak.
Ekonom
Minqi Li memberikan penjelasan yang menarik soal itu. Menurut Li, data kasar
tingkat kematian adalah 11.98, 14.59, dan 14.24 per seribu untuk tahun 1958,
1959, dan 1961. Sementara data kasar tingkat kematian untuk tahun 1960 adalah
25.43 per seribu. Tetapi, jika dibandingkan dengan tahun 1936 dan 1938, dimana
data kasar tingkat kematian sebesar 28 pe seribu, padahal tahun-tahun itu
bukanlah tahun-tahun yang miskin, lalu mengapa tahun 1960 disebut tahun
kemiskinan? Boleh jadi alasannya, demikian Li, bahwa jumlah sebesar itu terjadi
karena tahun 1936 dan 1938 adalah tahun perang dan pemerintah nasional juga
tidak bisa mengontrol seluruh wilayah. Jika logika ini dipakai, maka pemerintah
nasional tentu hanya bisa mengoleksi data dari wilayah yang bisa dikontrolnya,
yang secara komparatif tentu lebih aman dan secara ekonomi lebih baik. Demikian
juga, jika dibandingkan dengan rata-rata angka kasar tingkat kematian di
seluruh dunia yang mencapai 18.5 per seribu pada 1950, maka angka kasar tingkat
kematian di Cina pada tahun tersebut hanya sebesar 18 per seribu. Patut
diketahui bahwa tahun 1950 adalah tahun pertama yang paling damai sejak Cina di
bawah pemerintahan PKC. Dengan perbandingan ini, dimana tahun yang paling parah
adalah 1960, maka menurut perhitungan Li, jumlah penduduk yang mati pada masa
Lompatan Jauh ke Depan adalah sebesar 4.9 juta atau 0.7 persen dari total
populasi Cina.
Tanggung
jawab Mao?
Siapa
yang harus bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan itu? Setelah program
Lompatan Jauh ke Depan usai, pemerintah Mao menerbitkan laporan yang
menyebutkan bahwa tragedi itu disebabkan oleh 70 persen akibat bencana alam dan
30 persen akibat kesalahan manusia. Tetapi, setelah rejim Deng Xiaoping
berkuasa, komposisi itu dibalik: 70 persen akibat kesalahan manusia dan 30
persen akibat bencana alam. Dan 70 persen itu bebannya ditanggung oleh Mao
Zedong.
Selama
beberapa dekade, para intelektual liberal di Cina maupun di Barat, terus-menerus
menabuh gendang yang sama, bahwa Maolah satu-satunya orang yang harus
bertanggung jawab atas kematian jutaan orang tersebut. Tuduhan ini didasarkan
pada asumsi bahwa kekuasaan Mao terhadap partai dan negara adalah absolut.
Asumsi ini sebenarnya sangat lemah. Studi-studi yang dilakukan para sinolog
seperti William Hinton, menunjukkan bahwa para elite PKC tidaklah monolitik dan
kekuasaan Mao tidaklah absolut. Hinton mengatakan, sejak kemenangan revolusi
1949, elite PKC terbelah menjadi dua faksi, yakni antara mereka yang menganut
pendekatakan Politics in Command (PiC) atau penganut jalan sosialis yang
berpusat pada figur Mao dan penganut pendekatan Technique in Command (TiC) atau
penganut jalan kapitalis dengan tokoh sentralnya Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping.
Kedua faksi ini terus-menerus memperebutkan pengaruhnya di kalangan birokrasi
partai, negara, dan tentara. Dan dalam beberapa situasi historis tertentu, Mao
menemukan posisinya sangat minor di kalangan pimpinan partai.
Dengan
mengerti adanya faksionalisasi ini, maka tuduhan bahwa Mao adalah sosok yang
paling bertanggung jawab atas peristiwa kematian massal tersebut adalah sebuah
lelucon. Studi yang dilakukan generasi baru intelektual Cina, seperti Cheng
Zhidan dengan jelas membantah tuduhan para intelektual kanan tersebut. Ilmuwan
politik Dongping Han, yang keluarganya menjadi korban dalam peristiwa tersebut,
setelah melakukan riset mendalam di wilayah-wilayah yang paling parah menderita
kelaparan menemukan bahwa penduduk usia lanjut di daerah tersebut tidak pernah
menyalahkan Mao atas tragedi itu.
Kalau
bukan Mao, lalu siapa yang mesti bertanggung jawab? Ceritanya, seiring
perubahan kepemimpinan politik di Uni Sovyet pasca kematian Stalin, Mao yang
saat itu berusia 63 tahun mulai mengajukan gagasan untuk kepemimpinan baru di
PKC pada kongres kedelapan partai yang berlangsung dari tanggal 12-27 September
1956. Kongres dilaksanakan ketika kondisi kesehatan Mao tengah memburuk, dan ia
tidak ingin jika kematian menjemputnya terjadi pertarungan kekuasaan di partai,
sebagaimana yang terjadi di Uni Sovyet pasca Stalin. Setelah kongres 1956 itu,
Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping menjadi figur “garis depan” yang menangani urusan
dalam negeri partai sehari-hari. Liu kemudian menempati posisi kedua tertinggi
dalam partai dan selanjutnya menjadi pimpinan PKC setelah 1959. Sementara Deng
menjadi sekretaris jenderal partai, yang kedudukannya nomor empat setelah Mao,
Liu, dan Zhou Enlai. Mao secara bertahap mundur ke “garis kedua” dan
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengelola masalah hubungan luar
negeri dan pertahanan nasional.
Menurut
Li, dalam periode Juni hingga Oktober 1958, adalah Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping
yang paling bertanggung jawab atas kebijakan Lompatan Jauh ke Depan, komune
penduduk, produksi industrial, serta propaganda. Dengan fakta-fakta ini, Zhang
Hongzhi secara terang-terangan mengatakan,
“Adalah Liu Shaoqi dan
Deng Xiaoping, sebagai tokoh yang paling bertanggung jawab atas Lompatan Jauh
ke Depan, gerakan komune penduduk, dan gerakan produksi baja besar-besaran;
Lebih dari itu, Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping, adalah orang yang paling
“menentukan” (sekaligus pengawas) dalam propaganda. Pada saat itu, fakta-fakta
ini, dari pimpinan tertinggi hingga pejabat terendah partai, semuanya mengerti
dan mengetahui hal ini dalam hatinya.”
Kepustakaan:
Dongping Hang, “Farmers, Mao, and Discontent in China
From the Great Leap
Forward to the Present,”
Monthly
Review, Desember 2009.
Ellen Meiksins Wood, "Retreat
From Class: A New 'True' Socialism," Verso, 1999.
Joseph Ball, “Did Mao Really Kill Millions in the Great Leap Forward?”
Monthly Review, September 2006.
Minqi Li, “The Rise of China and the Demise of the Capitalist World
Economy,” Monthly Review Press, 2008.
Marta Harnecker, “Understanding the Venezuelan Revolution Hugo Chavez Talks
to Marta Harnecker,” Monthly Review Press, 2005.
William Hinton, “Turning Point in China: An Essay on the Cultural
Revolution,” Monthly Review Press, 1972.
Tambahan :
Ada
beberapa pandangan yang tak bisa terlewatkan dalam pembahasan revolusi
kebudayaan di Cina. Pertama adalah sosok Mao yang sangat ideologis. Kedua,
revolusi kebudayaan Cina merupakan sebuah langkah untuk mengembalikan RRC pada
landasan sosialis komunis. Ketiga, revolusi kebudayaan Cina merupakan
penghancuran modernisasi kapitalis yang sudah merasuk ke dalam pemerintahan
Cina.Revolusi kebudayaan yang terjadi di RRC tidak diartikan sebatas perubahan dalam
bidang seni, sastra, dan budaya saja. Revolusi kebudayaan merupakan tindakan
Mao dan pengikutnya yang ingin mengembalikan RRC pada garis sosialis yang telah
dibangun sejak RRC merdeka.
Garis
politik dan ideologi sosialis Mao terbentuk setelah membaca tiga buku penting,
yaitu Manifesto Komunis terjemahan Chen Wang-tao, Pertarungan Kelas oleh Karl
Kautsky dan Sejarah Sosialisme oleh Kirkupp. Pandangan-pandangan Mao sangat
berpengaruh terhadap gerakan komunis di Cina. Saat menjadi pemimpin negara
Cina, dia merupakan arsitek negara yang baru terbentuk tersebut. Dia ingin
menunjukkan kepada dunia bahwa RRC yang baru terbentuk merupakan negara yang
bisa melebihi Eropa. Tak hanya itu, Mao dengan Cina yang baru terbentuk itu
juga ingin mengubah cara pandang dunia internasional terhadap bangsa Cina. Hal
ini karena, Cina pada waktu itu dipandang sebagai bangsa yang miskin, bodoh,
dan terbelakang.
Pemikiran
Mao tentang negara sosialis menjadi sebuah paham yang disebut dengan Maoisme.
Dia tidak hanya meluapkan ide tentang cara pandang proletariat, tapi dia juga
mengikuti jejak Lenin dalam mendirikan sebuah negara komunis Uni Soviet.
Maoisme juga dipandang sebagai keluwesan dalam menerapkan komunisme yang
disesuaikan dengan situasi objektif negeri Cina.
Terkait
dengan pembentukan sosialis komunisme di Cina, seperti dalam teori Marxis
ortodoks, sebuah negara yang ingin melakukan revolusi sosialis proletariat
harus melalui tahapan industri bourjois. Hal ini berdasarkan konsep
materialisme dialektis. Di mana sintesis merupakan hasil pertentangan antara
tesis dan antitesis. Cina dipandang tidak melalui tahapan industri bourjois
terlebih dahulu. Dalam hal ini, intelektual di Amerika Latin berpendapat, bahwa
bisa saja negara langsung menuju tahapan revolusi sosialis tanpa melalui
tahapan industri bourjois.
Penerapan
modernisasi klasik ataupun modernisasi baru merupakan bagian dari ideologi
Barat kapitalis untuk mengeksploitasi sumber daya negara dunia ketiga semacam
Cina pada waktu itu. RRC di bawah komunis bukanlah negara yang bergantung pada
negara maju, meskipun pada waktu itu RRC dikatakan masih negara berkembang atau
negara Dunia Ketiga.
Mao
menginginkan Cina menjadi negara yang mandiri. Negara Dunia Ketiga bisa
dikatakan sebagai negara yang menentang hegemoni ekonomi, politik, budaya, dan
intelektual dari negara maju. Menurut saya, tindakan Mao dalam melakukan
revolusi kebudayaan sebagai langkah untuk menghalang kaum intelektual kapitalis
yang melakukan hegemoni Cina dalam berbagai bidang.
Pada
dekade 1960-an, sebuah pendekatan dependensi muncul di Amerika Latin untuk
menjawab persoalan bangsa negara Dunia Ketiga karena hegemoni negara maju.
Ketidakmampuan negara maju dalam menyelesaikan persoalan ekonomi pada negara
dunia ketiga telah mengakibatkan ketidakpercayaan para cendikiawan kiri. Konsep
pembangunan ekonomi di Cina pun diperkuat dengan melakukan modernisasi tanpa
meninggalkan landasan dan ideologi komunisme. Model pembangunan Cina menjadi
daya tarik bagi negara dunia ketiga yang lain.