Sabtu, 11 Mei 2013

SISTEM PERLADANGAN DAN KEARIFAN TRADISIONAL ORANG DAYAK DALAM MENGELOLA SUMBER DAYA HUTAN




Oleh
Prof. Dr. H. Arkanudin, M.Si
Guru Besar Sosiologi dan Antropologi Pada FISIP Universitas Tanjungpura



Dalam melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya orang Dayak tidak dapat dipisahkan dengan hutan. Hutan merupakan kawasan yang menyatu dengan mereka sebagai ekosistem. Selain itu hutan telah menjadi kawasan habitat mereka secara turun temurun dan dari hutan tersebut mereka memperoleh sumber-sumber kehidupan pokok. Persentuhan yang mendalam antara orang Dayak dengan hutan pada gilirannya melahirkan apa yang disebut sistem perladangan, yakni bentuk model kearifan tradisional dalam pengelolaan hutan. Bahkan  sistem perladangan itu telah menjadi salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak.

Pendahuluan 

Manusia adalah makhluk yang berkebudayaan. Dengan kebudayaan yang dimilikinya manusia tidak hanya dapat menyelaraskan tetapi juga dapat merubah lingkungannya demi kelangsungan hidupnya. Hal ini karena kebudayaan itu menurut Tylor merupakan keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, dan kemampuan-kemampuan lainnya serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Garna, 1996:157). Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa  dengan kebudayaan yang  baberisi seperangkat pengetahuan tersebut oleh manusia dapat dijadikan alternatif untuk menanggapi lingkungannya, baik fisik maupun sosial.

Seperangkat pengetahuan yang diperoleh oleh manusia merupakan suatu proses pembelajaran dari apa yang dilihat, diraba, dirasa dari lingkungannya, yang kemudian diaktualisasikan dalam bentuk perilaku serta diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Ketika manusia mengaktualisasikan perilaku yang didasarkan pada pengelaman-pengalaman yang  positif terhadap lingkungannya maka manusia akan menjadi arif, dalam mengelola sistem kehidupan yang berwawasan lingkungan. Nilai-nilai kearifan mengelola sumber daya alam sangat penting, karena secara empiris salah satu aspek fenomena krisis yang paling menghawatirkan bilamana dalam pengeksploitasian sumber daya alam tidak dilakukan secara arif, maka lambat laun akan menjurus kepada kehancuran atau kepunahan.

Salah satu contoh model kearifan tradisional dalam pengelolaan hutan adalah kegiatan sistem perladangan berpindah yang dilakukan oleh orang Dayak di Kalimantan. Menurut Dove (1994:xxxi)  kebudayaan Dayak di Kalimantan memberikan sebuah contoh terbaik di dunia tentang hubungan antara kebudayaan dengan alam, yang tampaknya melestarikan kedua belah pihak. Seperti pada sistem mereka dalam bercocok tanam dengan sistem rotasi dan masa bero panjang.  Walaupun sudah seabad usaha dengan ilmu pengetahuan modern khususnya dalam sistem penanaman pangan di dalam proyek-proyek transmigrasi yang ternyata gagal dan tidak ada sistem bercocok tanam yang telah ditemukan yang seberhasil sistem  perladangan dalam penyediaan pangan kepada penduduknya serta pelestarian lingkungan hutan tropika.

Sungguhpun demikian menurut Dove (1994:xxxii), sistem pertanian yang asli yang sudah menyatukan dengan kehidupan masyarakat Dayak di Kalimantan telah diabaikan dengan menggantikannya dengan sistem yang lain yang masih dianggap asing. Dan pemerintah memandang bahwa sistem perladangan hanyalah merupakan suatu usaha yang membuang-buang tenaga saja di dalam suatu sistem yang tidak menjanjikan apapun. Walaupun ada anggapan yang demikian, namun terhadap kebiasaan yang sudah membudaya dalam kehidupan masyarakat Dayak yang ada di Kalimantan terutama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang sangat tergantung dari hasil hutan sulit untuk ditinggalkan. Bahkan menurut Widjono (1998:95), suku Dayak di Kalimantan menganggap hutan merupakan milik mereka yang paling berharga. Antara mereka dengan hutan telah terintegral secara menyejarah. Maka tak pelak, segala kepercayaan, budaya dan perilaku mereka senantiasa bersentuhan dengan aspek kelestarian belantara.


Persepsi orang Dayak tentang  hutan dan sistem perladangan di Kalimantan

Masyarakat Dayak yang ada di Kalimantan sebagaimana masyarakat adat lainnya, pada khakikatnya memiliki persepsi holistik terhadap hutan. Bagi mereka hutan tidak hanya semata-mata bermakna ekonomis, melainkan juga sosio budaya-relegius. Juga bukan hanya semata-mata berisi ragam tetumbuhan dan hewan, melainkan juga mereka sendiri merupakan bagian dari hutan yang tak terpisahkan, dan hutan yang ada dalam wilayah kedaulatan mereka mempunyai hak kepemilikan yang jelas dan terpastikan secara hukum adat setempat (Widjono, 1998:67-68).

Dalam melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya orang Dayak tidak dapat dipisahkan dengan hutan. Atau dengan kata lain hutan yang berada di sekeliling mereka merupakan bagian dari kehidupannya dan dalam memenuhi kebutuhan hidup sangat tergantung dari hasil hutan (Arkanudin, 2001:56). Hutan merupakan kawasan yang menyatu dengan mereka sebagai ekosistem. Selain itu hutan telah menjadi kawasan habitat mereka secara turun temurun dan dari hutan tersebut mereka memperoleh sumber-sumber kehidupan pokok (Sapardi, 1994:45).

Menurut Arman (1994:128-129), orang Dayak kalau mau berladang mereka pergi ke hutan, kalau mereka berladang mereka terlebih dahulu menebang pohon-pohon besar dan kecil di hutan, kalau mereka mengusahakan tanaman perkebunan mereka cenderung memilih tanaman yang menyerupai hutan, seperti karet, rotan, tengkawang. Kecenderungan seperti itu bukan suatu kebetulan tetapi merupakan refleksi dari hubungan akrab yang telah berlangsung selama berabad-abad dengan hutan dan segala isinya. Pilihan tersebut merupakan “adaptive strategis” yang telah diuji oleh waktu dan pengalaman. Michael A. Jochim dalam Arman (1994:128), menamakannya “strategy of survival”, yang mempengaruhi perilaku kultural dari orang Dayak.

Bagi orang Dayak di Kalimantan pandangan mereka tentang hutan tidaklah dapat dipisahkan dengan persepsi mereka tentang benua, yakni suatu wilayah persekutuan hukum adat. Berdasarkan pandangan yang demikian tentang hutan, maka mereka membagi hutan dalam beberapa kawasan.  Di Kalimantan Barat berdasarkan hasil penelitian Sapardi (1991:71-72); Arkanudin (2001: 67)   terhadap orang Dayak Ribun Sanggau, menemukan bahwa orang Ribun, membaginya hutan ke dalam tiga jenis yaitu: (1) hutan rimba (hutan primer) sebagai hutan yang mempunyai pohon-pohon yang tinggi dan besar dan dibawahnya banyak terdapat semak belukar yang tipis; (2) hutan bawas (hutan sekunder) merupakan hutan bekas ladang yang tumbuh atau ditanam dengan berbagai jenis tanaman seperti durian, kelapa, tengkawang dan karet; (3) lalang (padang alang-alang) yaitu bekas ladang yang ditumbuhi rumput lalang (alang-alang).

Diantara ketiga jenis hutan ini, menurut mereka hutan yang paling baik dan disukai untuk berladang adalah jenis hutan rimba, namun hutan jenis ini menurut ketentuan adat tidak boleh dijadikan sebagai ladang, karena merupakan hutan cadangan, kayu-kayu yang ada dalam hutan ini hanya boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan rumah atau memperbaiki rumah, jika ingin menmgambilnya harus terlebih dahulu meminta izin pada ketua adat.

 Hasil penelitian Mudiyono (1990:26-27), mengemukakan bahwa kreteria yang digunakan oleh ketua adat atau kepala suku  memberi izin untuk mengolah lahan di lihat dari kepastian hubungan hukum antara anggota persekutuan dengan suatu tanah tertentu dan menyatakan diri berlaku “ke dalam” dan “ke luar”. Berlakunya “ke luar” menyatakan bahwa hanya anggota persekutuan itu yang memegang hak sepenuhnya untuk mengerjakan, mengolah dan memungut hasil dari tanah yang digarapnya. Sungguhpun demikian adakalanya terdapat orang dari luar persekutuan yang karena kondisi tertentu diberi izin untuk menumpang berladang untuk jangka waktu satu atau dua musim tanam.

 Berlakunya “ke dalam” menyatakan mengatur hak-hak perseorangan atas tanah sesuai dengan norma-norma adat yang telah disepakati bersama. Anggota persekutuan dapat memiliki hak untuk menguasai dan mengolah tanah, kebun atau rawa-rawa.   Apabila petani penggarap meninggalkan wilayah  (benua) dan tidak kembali lagi maka penguasaan atas tanah menjadi hilang. Hak penguasaan tanah kembali kepada persekutuan dan melalui musyawarah ketua adat dapat memberikannya kepada anggota lain untuk menguasainya. Tetapi jika seseorang sampai pada kematiannya tetap bermukim di daerah persekutuan maka tanah yang telah digarap dapat diwariskan kepada anak cucunya.

Dalam masyarakat Simpang di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat, juga dikenal adanya penamaan “tanah” berdasarkan tipe-tipe vegetasi  dan letaknya, yaitu padang, lunang, tonyong, nate, dorik dan banala (Djuweng, 1992).  Demikian juga pada masyarakat Dayak Krio Menyumbung Ketapang, juga mengenal berbagai jenis tanah berdasarkan tumbuhan-tumbuhan yang ada diatas yaitu: (1)  babas rimba ruyutn (tanah rimba primer) yaitu tanah yang belum pernah diolah yang memiliki pohon besar dan terdapat berbagai jenis binatang buas; (2) babas pangorakng (tanah rimba sekunder) yaitu tanah yang pernah diladangi dandibiarkan selama berpuluh-puluh tahun, kayu yang tumbuh pada umumnya kayu jenis kelas dua derngan diameter antara 2- - 40 cm; (3) babas mudak (tanah perladangan) yaitu tanah bekas ladang yang berumur kurang dari 10 tahun; (4) babas kore (tanah kritis) yaitu tanah yang tidak dapat dibuat ladang lagi; (5) babas abur (tanah payak) yaitu tanah yang ditumbuhi sejenis rerumputan yang biasa disebut rambang (Ignasius, 1998:110). Dayak Banuaka di Kabupaten Kapuas Hulu juga memiliki istilah penamaan tentang tanah, yaitu tana’ ujung, tana’rambur, tana’kereng, tana’paya, tana’ kerangas, tana’ulut, tana’toan (Frans, 1992).

Di Kalimantan Timur hal ini antara lain ditemukan pada masyarakat Dayak Benuaq yang membagi hutan dalam enam kategori sesuai dengan fungsi peruntukannya yaitu: (1) Talutn luatn yaitu dikategorikan sebagai hutan bebas yang tidak termasuk wilayah persekutuan mereka; (2) Simpunkng Brahatn yaitu dikategorikan sebagai hutan yang diperuntukan untuk berburu serta memungut hasil hutan bukan kayu; (3) Simpukng Ramuuq yaitu hutan yang dikategorikan sebagai persediaan yang diperuntukan bagi pembuatan bangunan rumah dan kampung; (4) Simpukng Umaq Tautn yaitu hutan yang diperuntukan untuk kawasan  praktek perladangan karena memang umaq tautn merupakan hutan persediaan yang difungsikan untuk perladangan; (5) Kebotn Dukuh yaitu merupakan hutan yang dimanfaatkan untuk lahan perkebunan; (6) Simpukng Munan, yakni hutan bekas ladang atau kawasan sekitar kampung yang ditanami pohon dan atau tanaman keras (Widjono, 1998:68). Dalam masyarakat Kenyah juga mengenal aturan tentang kapan, siapa dan bagaimana hutan sekunder atau ladang yang sedang diistirahatkan dapat dimanfaatkan  kembali. Di Kalimantan Tengah, pada masyarakat  Dayak Katingan juga dikenal  istilah Petak Lewu/Petak Wales/Petak Sutrat, Petak Kebun yang terdiri dari kebun Gita/Bua, Kebun Ueu, Kebun Kupi, kemudian Petak Tana, Petak Luaw/Petak Ayap, Taya, Petak Kereng/Petak Napu, Himba Lakau dan Petak Malai (Moniaga, 1994:72).

Berbagai persepsi orang Dayak terhadap hutan tersebut, memberi pemahaman bahwa hubungan antara orang Dayak dengan hutan merupakan hubungan timbal balik. Disatu pihak alam memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan budaya orang Dayak, dilain pihak orang Dayak senantiasa mengubah wajah hutan sesuai dengan pola budaya yang dianutnya (Arman, 1994:129). Persentuhan yang mendalam antara orang Dayak dengan hutan, pada giliran melahirkan apa yang disebut dengan sistem perladangan, yakni suatu  bentuk model kearifan tradisional dalam pengelolaan hutan. Ukur (dalam Widjono,1995:34), menjelaskan bahwa sistem perladangan merupakan salah satu ciri pokok kebudayaan Atas dasar inilah Widjono (1998:77) secara tegas menyatakan bahwa orang Dayak yang tidak bisa berladang boleh diragukan kedayakannya, karena mereka telah tercabut dari akar kebudayaan leluhurnya. Dayak. Ave dan King (dalam Arman,1994:129), mengemukakan bahwa tradisi berladang (siffting cultivation atau swidden) orang Dayak sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka yang merupakan sebagai mata pencaharian utama. Sellato (1989) dalam  Soedjito (1999:115), memperkirakan sistem perladangan yang dilakukan orang Dayak sudah dimulai dua abad yang lalu. Bahkan Mering Ngo (1990), menyebutkan cara hidup berladang di berbagai daerah di Kalimantan telah dikenal 6000 tahun Sebelum Masehi. 

Menurut Arkanudin (2001:40), bahwa dalam setiap aktivitas berladang pada orang Dayak selalu didahului dengan mencari tanah. Dalam mencari tanah yang akan dijadikan sebagai lokasi ladang mereka tidak bertindak secara serampangan. Ukur (1994:13), menjelaskan bahwa orang Dayak pada dasarnya tidak pernah berani merusak hutan secara intensional. Hutan, bumi, sungai, dan seluruh lingkungannya adalah bagian dari hidup. Menurut Mubyarto (1991:60-63), orang Dayak sebelum mengambil sesuatu dari alam, terutama apabila ingin membuka atau menggarap hutan yang masih perawan harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu yaitu: pertama, memberitahukan maksud tersebut kepada kepala suku atau kepala adat; kedua, Seorang atau beberapa orang ditugaskan mencari hutan yang cocok. Mereka ini akan tinggal atau berdiam di hutan-hutan untuk memperoleh petunjuk atau tanda, dengan memberikan persembahan. Usaha mendapatkan tanda ini dibarengi dengan memeriksa hutan dan tanah apakah cocok untuk berladang atau berkebun; ketiga, apabila sudah diperoleh secara pasti hutan mana yang sesuai, segera upacara pembukaan hutan itu dilakukan, sebagai tanda pengakuan bahwa hutan atau bumi itulah yang memberi kehidupan bagi mereka dan sebagai harapan agar hutan yang dibuka itu berkenan memberkati dan melindungi mereka.

Adanya korelasi yang adikodrati antara manusia dan hutan tersebut menurut Ukur (1994:14) terlihat dari lambang-lambang yang ditemukan seperti Kayu Ara, Pasang Rura, Pisang Bangkit, Batang Garing, Pohon Kupang, Akar, Tulang Daun dan sebagainya semuanya menggambarkan keterkaitan yang sangat erat antara manusia dengan pohon/hutan. Dijelaskan oleh Ukur dalam salah satu mite yang menunjukkan adanya keterkaitan tersebut, yaitu cerita Petara bersama isterinya menciptakan pasangan manusia dari pohon Pisang Bangkit, sedangkan darahnya dibuat dari getah Pohon Kupang. Dekatnya hubungan sosial ekonomi dan religi antara orang Dayak dan hutan membuat mereka merasa dilecehkan atau direndahkan ketika hutan yang merupakan bagian dari kehidupannya diekploitasi sedemikian rupa oleh perusahaan HPH.

Sistem Perladangan merupakan bukti kearifan tradisional orang Dayak dalam mengelola sumber daya hutan

Menurut Widjono (1998:69), alam pikiran orang Dayak sesungguhnya memiliki sentuhan yang mendalam dengan alam lingkungan sekitar. Pemikiran semacam itu amat bercorak sosio religius megis. Hal inilah yang mendasari realita bahwa, masyarakat Dayak merupakan bagian tak terpisahkan dari lingkungan itu sendiri. Wawasan yang holistik ini membuat orang Dayak tidak melakukan pemilahan antara manusia dengan alam sekitarnya, malah keduanya memiliki kekuatan dan kekuasaan yang saling mendukung untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Alam pikiran yang semacam itu, dalam kehidupan sehari-hari terimplementasi dalam praktek tradisi dan upacara adat, termasuk pula dalam perilaku mereka terhadap pengelolaan sumber daya alam.

Dalam kegiatan bertani suku bangsa Dayak dalam memanfaatkan hutan sebagai areal ladang, tidak dilakukan sesuka hatinya, terdapat sejumlah aturan yang harus dipatuhi, hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar hutan yang merupakan bagian dari kehidupan mereka tetap terjaga kelestariannya. Dalam pengelolaan hutan pada dasarnya orang Dayak selalu berpangkal dari sistem religi. Hakekat yang terkandung di dalam sistem religi adalah menuntun dan meneladani masyarakat Dayak untuk senantiasa berperilaku serasi dengan dinamika alam semesta, sehingga terwujud keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungan.

Dalam kontek pengelolaan sumber daya hutan berwawasan kearifan tradisional, pada dasarnya dikalangan orang Dayak memiliki cara-cara tertentu dalam memperlakukan kawasan hutan. Menurut Bamba (1996:14), orang dayak memandang alam tidak sebagai asset atau kekayaan melain sebagai rumah bersamaKonsep rumah bersama ini terlihat dalam setiap upacara yang mendahului kegiatan tertentu yang berkaitan dengan memanfaatkan hutan, dimana selalu terdapat unsur permisi  atau minta izin dari penghuni hutan yang akan digarap. Suara burung atau binatang tertentu menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan penghuni alam.

Menurut Kiang (1994:33), ada beberapa jenis burung yang dipercayai menjadi rasi bagi orang Dayak ketika mereka akan membuka hutan untuk dijadikan sebagai ladang yaitu: (a) burung Keto; (b) burung Buria; (c) burung Jantek; (d) burunh Jeje; (e) burung Bubut; (f) burung Bura; (g) burung Lang; (h) burung Tabulangking; (i) burung Cabik Kapan; dan (j) burung Cacap. Sedangkan jenis binatang yang menjadi pratanda rasi menurut kepercayaan masyarakat adalah: (a) Kokor (sejenis Tupai); Kunink (sejenis Jangkrit); (c) Ular; (d) Kijang (Kijank); (e) Semut Sembada (Semut Merah); (f) Ilik-ilik (sejenis Belalang); (g) Ansit (sejenis Jangkrik) dan (h) Papo/Geragah. Disamping itu juga ada beberapa jenis burung yang bukan meruakan rasi, tapi apabila masuk ke rumah bisa menjadi rasi misalnya burung Hantu dan burung Imbuk.

Adapun ciri dan makna dari rasi tersebut dapat diungkapkan sebagai berikut: Burung Keto, badannya kecil bunyi suara besar, sama dengan namanya  dan jarang terdengar. Menurut kepercayaan orang Dayak Kanayant bahwa: (a) burung Keto lah yang membawa padi  dari tempat tinggal Tuhan (dalam istilah Kanayant disebut Jubata) ke dunia;  (b) jika suara burung Keto bersuara tunggal dab hanya satu ekor yang bersuara, maka ladang yang ada boleh dikerjakan, dan jika suaranya banyak sekali maka ladang yang ada tidak boleh dikerjakan; Burung Cece, badannya kecil suaranya sama dengan namanya dan suara cukup besar. Menurut kepercayaan  orang Dayak Kanayant suara burung Cece pertanda kurang kurang baik. Burung ini dipercaya mempunyai hubungan dengan dewa yang sangat ditakuti (dewa tanah, istilah Kanayant disebut kamang). Jika suara burung ini terdengar dari samping, belakang, atau depan menandakan: (a) dalam perjalanan pulang akan mendapat kesulitan; (b) pada waktu mengerjakan ladang, ladang tidak akan berhasil. Kemudian bila suara burung ini terdengar pada malam hari menandakan: (a) mungkin ada diantara keluarga yang akan meninggal; (b) rumah atau lumbung padi akan terbakar; Adatn, yaitu ranting atau dahan kayu jatuh tanpa ada penyebabnya, hal ini dipercaya akan mendatangkan bencana.    

Menurut kepercayaan orang Dayak, bilamana dalam aktivitas berladang terutama dalam memilih lakosi yang akan digarap, bilamana menjumpai berbagai rasi tersebut, maka perlu dilakukan upacara dengan mempersembah sesajen dengan maksud  agar roh-roh halus yang memiliki kekuatan gaib tidak mengganggu kehidupan mereka baik secara individu ataupun kelompok.   

Berbagai kepercayaan sebagaimana yang digambarkan tersebut, menandakan bahwa orang Dayak memiliki persentuhan yang mendalam terhadap mitos, yakni suatu kejadian yang dipandang suci, atau peristiwa yang dialami langsung oleh para leluhur, meskipun waktu terjadinya peristiwa itu tidak dapat dipastikan secara historis, namun sejarah kejadian itu bagi orang Dayak berfungsi sebagai norma kehidupan. Pemikiran seperti itu melahirkan suatu persepsi mereka tentang kearifan pengelolaan sumber daya hutan (Widjono, 1995: 34).

Alam pikiran orang Dayak menerangkan bahwa, selain manusia dan makhluk hidup lain yang hidup dibumi, terdapat pula sosok lain yang tinggal dalam alam semesta ini. Mereka menyebut tempat itu sebagai Negeri diatas langit, Negeri dibawah tanah, Negeri Arwah.  Dewa penghuni negeri di atas langit digambarkan sebagai burung Enggang, lambang keperkasaan, sedang bumi dibawah tanah, digambarkan sebagai Naga, lambang kesuburan (Widjono,1995:35)   
   
Menurut orang Dayak, alam semesta ini memiliki tata tertib, demikian juga hubungan manusia dengan penghuni di negeri lain, juga memiliki aturan dimaksudkan untuk menjaga keberlangsungan antara negeri-negeri tersebut. Sedangkan hukum alam yang berlaku di dunia, merupakan penjelmaan tata tertib alam semesta. Demikian juga etika sosial dan tradisi masyarakat yang turun temurun merupakan penjelmaan tata tertib yang baku dari alam semesta ini (Widjono, 1995:36).   Bahkan Ukur (1994:15), menyatakan bahwa bagi orang Dayak, makna hidup tidak terletak dalam kesejahhteraan, realitas, atau obyektivitas seperti dipahami oleh manusia modern, tetapi dalam keseimbangan kosmos. Kehidupan itu baik apabila kosmos tetap berada dalam keseimbangan dan keserasian. Setiap bagian dari kosmos itu (termasuk manusia dan makhluk lainnya),  menurut Ukur mempunyai kewajiban memelihara keseimbangan semesta. Peristiwa-peristiwa mitis  bagi orang Dayak adalah realitas transendental, artinya obyektivitas mite yang telah kita lihat menjadi jelas bahwa lingkungan sekitar dipahami sebagai segala sesuatu ada di lingkungan hidup, flora, fauna, air, bumi, udara dan sebagainya. Makna religi dari lingkungan sekitar ini dilihat baik dari segi obyektif maupun dari segi subyektifnya.  
  
Berdasarkan mitologi tersebut orang  Dayak, percaya dan berkayakinan bahwa alam semesta ini  penuh dengan kekuatan gaib. Bila tata tertib alam semesta ini terpelihara dengan baik, maka kekuatan gaib itu dalam keadaan harmoni. Namun bila tata tertib alam semesta ini terganggu, maka kekuatan-kekuatan gaib itu mengalami kegoncangan. Untuk menjaga itu semua agar kelangsungan hidup mereka dapat terjamin, maka tata tertib alam semesta tetap mereka patuhi. Salah satu upaya mereka dalam mematuhi tata tertib tersebut, terlihat dalam pelaksanaan sistem berladang, dimana dalam berladang mulai dari memilih hutan yang akan dijadikan sebagai tempat untuk berladang hingga sampai panen padi selalu dilakukan suatu upacara tertentu. Disamping itu juga  hutan yang merupakan bagian dari kehidupan mereka tidak semuanya diperuntukan sebagai tempat untuk berladang.

Dalam berladang pada suku Dayak umumnya yang menjadi perioritas utama bukan produktivitas tetapi adanya keanekaragaman tanaman yang ditanam. Hal ini dapat dipahami karena suku dayak bersifat subsisten. Keanekaragaman ini diperlakukan dalam semua jenis usaha pertanian termasuk juga dalam usaha kebun karet. Dalam kegiatan berladang yang ditanam tidak hanya tanaman padi, tetapi juga ditanam berbagai jenis sayur-mayur yang umurnya relatif pendek dibandingkan dengan umur padi.

Disamping menanam berbagai jenis sayur mayur ditengah ladang, juga mereka menyempatkan diri untuk menanam berbagai jenis pohon buah-buahan di sekitar pondok Kalau diamati jenis tanaman yang ditanami antara lain tengkawang, durian, langsat, nangka, rambai, rambutan, kelapa, pinang, pisang dan lain-lain. Pohon-pohon itu juga merupakan sebagai pratanda bahwa hutan tersebut sudah ada yang mengolahnya dan jika orang lain ingin membuka ladang ditempat itu, haruslah minta izin kepada yang pertama kali membuka hutan itu. Kemudian setelah seluruh pentahapan dalam kegiatan berladang itu dilakukan hingga selesai panen, bekas ladang itu sebagiannya mereka tanam kembali dengan pohon karet. Sedangkan bagian lain dibiarkan tumbuh menjadi hutan kembali dengan maksud, suatu saat dapat dibuka kembali menjadi ladang.

 Kearifan tradisional melalui penanaman kembali berbagai jenis pohon buah-buahan yang bermanfaat serta berbagai jenis tanaman keras pada bekas ladang ini, menurut Widjono (1998) telah mematahkan mitos tentang peranan orang Dayak dalam merusak lingkungan. Menurut Dove (1988); Mubyarto (1991) dan Widjono (1996:107), ada tiga mitos yang mendasari pikiran para ahli tentang para peladang Dayak ini: pertama para peladang memiliki tanah secara komunal dan mengkonsumsi hasilnya secara komunal pula dan tidak memiliki motivasi untuk melestarikannya, kedua mitos yang selalu menganggap bahwa perladangan merusak hutan dan memboroskan nilai ekonomi hutan, ketiga mitos yang menganggap bahwa sistem  ekonomi mereka bersifat subsisten dan terlepas dari ekonomi pasar.

Secara tradisional sistem dan pola pengelolaan sumber daya hutan di Kalimantan masih dapat kita temukan, dimana masing-masing memiliki karakteristik yang belum tentu dapat diduplikasi di tempat lain, misalnya di Kalimantan Barat kita kenal adanya sistem pengelolaan sumber daya hutan yang disebut dengan istilah tembawang, sedangkan di Kalimantan Timur dikenal dengan istilah Simpukng Munan dan ragam simpukng lainnya. Sistem pengelolaan sumber daya hutan oleh orang Dayak tersebut secara ekonomis terbukti mampu memberikan kontribusi untuk pendapatan keluarga sekaligus melestarikan sumber daya hutan.

Berbagai tuduhan yang dialamatkan terhadap mereka sebagai perusak hutan tidaklah beralasan, hal ini karena dalam memanfaatkan hutan sebagai areal ladang peralatan yang digunakan hanyalah mengandalkan kapak dan parang. Berbeda dengan para pemegang HPH yang memobilisasi banyak pekerja dan memanfaatkan teknologi tinggi. Pengelolaan hutan dengan memanfaatkan teknologi tinggi membuat konsep berladang sebagai salah satu model kearifan suku Dayak semakin tergusur dan nampaknya hal ini hanya akan tinggal menjadi cerita sejarah orang Dayak dalam mengelola sumber daya alam.

Penutup

Kearifan tradisional orang Dayak dalam megelola sumber daya hutan, secara khakiki pada dasarnya berpangkal dari sistem religi yang menuntun dan meneladani masyarakat Dayak untuk senantiasa berperilaku serasi dengan dinamika alam semesta.

Meskipun apa yang dilakukan orang Dayak tersebut, ada yang tidak logis karena mereka masih percaya bahwa alam semesta ini penuh dengan kekuatan gaib, sehingga  dalam setiap memulai sesuatu pekerjaan yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan selalu terdapat unsur permisi atau minta izin terhadap penghuni hutan. Namun secara sosiologis tradisi atau adat istiadat yang dilakukan orang Dayak tersebut adalah semata-mata merupakan upaya pelestarian dan pemeliharaan lingkungan, sehingga harapan yang lebih jauh adalah tercipta keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.

Kearifan tradisional yang dimiliki oleh orang Dayak,  terutama dalam mengelola sumber daya hutan, memang perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak untuk melestarikannya, karena hal tersebut merupakan nilai-nilai tradisional yang berakar dari budaya  bangsa.


DAFTAR PUSTAKA

Arkanudin. 2001. Perubahan Sosial Peladang Berpindah Dayak Ribun Parindu Sanggau Kalimantan Barat, Bandung: Tesis Program Magister Pascasarjana Universitas Padjadjaran.  

Arman, Syamsuni. 1989. Perladangan Berpindah Dan Kedudukannya Dalam Kebudayaan Suku-Suku Dayak Di Kalimantan Barat, Pontianak: Makalah di Sampaikan Dalam Dies Natalis XXX Dan Lustrum VI Universitas Tanjungpura.

Bamba, John, 1996. Pengelolaan Sumber Daya Alam: Menurut Budaya Dayak Dan Tantangan Yang Di Hadapi, Dalam Kalimantan Review, Nomor 15 Tahun V, Maret-April 1996, Pontianak. 

Djuweng, Stepanus. 1992. Kampong Loboh Laman Banua: Konsep dan Praktek Pengusahaan Teritorial Pada Suku Dayak Simpang, Kota Kiniu Balu: Makalah disampaikan dalam Konfrensi Dua Tahunan kedua, Boreneo Research Council.

Dove, Michael R. 1988. Sistem Perladangan Di Indonesia: Studi kasus Di Kalimantan Barat, Yogyakarta: Gajahmada University Press.

-------------------. 1994. Kata Pengantar, Ketahanan Kebudayaan dan Kebudayaan Ketahanan, Dalam: Paulus Florus (ed), Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi, Jakarta: LP3S-IDRD dengan Gramedia Widiasarana Indonesia.

Frans, S. Jacobus E. 1992. Pola Pengusahaan Tanah dan Beberapa Permasalahan Pada Masyarakat Dayak Banuaka’ di  Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Kota Kini Balu: Makalah disampaikan dalam Konferensi Dua Tahunan kedua, Boreneo Research Council.

Garna, Judistira. K. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial, Dasar-Konsep-Posisi, Bandung: Program Pascasarjana UNPAD

Ignatius. 1998. Pengelolaan Sumber Daya Alam di kampung Menyumbung (Sub Suku Dayak Rio), Dalam, Kristianus Atok, Paulus Florus, Agus Tamen (ed), Pem,berdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masayarakat, Pontianak: PPSDAK Pancur Kasih.
  
Kiang, Edy, 1994. Naik Dango Antara Suatu Kepercayaan Dan Upacara Adat, Dalam: Suara Almamater Nomor 1 Tahun XI, April 1994, Pontianak: Universitas Tanjungpura.

Mering, Ngo. 1990. Inilah Peladang, dalam: Prospek No 3 Tahun 1, 13 Oktober 1990.

Mudiyono. 1990. Perubahan Sosial dan Ekologi Peladang Berpindah,  Pontianak:Dalam Suara Almamater Universitas Tanjungpura, No II Tahun V Nopember 1990.

Mubyarto, dkk. 1991. Kajian Sosial Ekonomi Desa-Desa Perbatasan Di Kalimantan Timur, Yogyakarta: Aditya Media.

Moniaga, Sandra. 1994. Ppengetahuan Masyarakat Dayak Sebagai Alternatif Dalam Penanganan Permasalahan Kerusakan Sumber Dayak Alam di Kalimantan, Suatu Kebutuhan Mendesak.  Dalam: Paulus Florus (ed),Kebudayaan Dayak, Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta:LP3S-IDRD dengan Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sapardi. 1991. Pengaruh Perkebunan Inti Rakyat Terhadap Rumah Tangga Petani di Kecamatan Parindu,Jakarta:Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

-----------------.1994.  Ilmu Pengetahuan Masyarakat Asli Tentang Ladang: Suatu Studi pada Masyarakat Ribun dan Parindu di Kecamatan Parindu  Kabupaten Sanggau Kalbar,  Pontianak: Dalam Suara Almamater Universitas Tanjungpura No VI Tahun XI, September.


Soedjito, Herwasono. 1999. Masyarakat Dayak: Peladang Berpindah dan Pelestarian Plasma Nutfah, Dalam Kusnaka Adimihardja (editor),Petani, Merajut Tradisi Era Globalisasi, Pendayaangunaan Sistem Pengetahuan Lokal Dalam Pembangunan, Bandung: Humaniora Utama Press.

Ukur, Pridolin. 1994. Makna Religi Dar Alam Sekitar Dalam Kebudayaan DayakDalam Paulus Florus (editor),Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transfortasi, Jakarta: LP3S-IDRD dengan Gramedia Widiasarana Indonesia.

Widjono, Roedy Haryo. 1995. Simpakng Munan Dayak Benuag, Suatu Kearifan Tradisional Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Pontianak: Dalam Kalimantan Review, Nomor 13 Tahun IV, Oktober- Desember.

------------------------. 1998. Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar