Minggu, 16 Desember 2012

Manifesto Bung Karno Terhadap Gerakan Perempuan Indonesia (Menyambut Bulan Hari Ibu)


Mungkin sebagian khalayak ramai mengetahui sang proklamator selalu diindentikan dengan perempuan namun dalam ranah istrinya banyak (baca: lebih dari satu), bahkan konon katanya hampir diseluruh wilayah Indonesia Bung Karno memiliki isteri bahkan sampai keluar Negeri. Terlepas opini ini benar atau tidak, tujuan tulisan ini adalah memberikan sisi yang berbeda atas pandangan Bung Karno terkait gerakan perempuan Indonesia yang secara gamblang dijelaskan dalam bukunnya dengan judul Sarinah.

Buku Sarinah sengaja diterbitkan oleh Bung Karno ditujukan sebagai rujukan atas peran perempuan untuk secara bahu-membahu bersama kaum laki-laki untuk menuju dunia baru. Dalam teks Sarinah, dunia baru, merupakan istilah yang di gunakan Bung Karno untuk menggambarkan : Masyarakat yang adil dan sejahtera, tidak ada eksploitasion antar manusia, maupun antar Negara, tidak ada kemiskinan dan kapitalisme, tidak ada perbudakan, serta tidak ada lagi perempuan yang sengsara. Degan kata lain: suatu tatanan masyarkat yang penuh keadilan dan kesejahteraan, di mana laki – laki dan perempuan sama – sama merdeka dan sejahtera.

Sedangkan mengenai judul buku sarinah, Bung Karno dalam bukunya yang lain yaitu “ Penyambung Lidah Rakyat”, menceritakan Sarinah sebagai gadis pembantu yang membantu membesarkan Bung Karno. Tetapi, kata Bung Karno, kata pembantu rumah tangga di sini tidak sama dengan pengertian orang di barat. Selain mengurusi Bung Karno kecil, Sarinah pula yang memberikan pendidikan budi-pekerti dan nilai-nilai kemanusiaan kepada Bung Karno. “Sarinah mengadjarku untuk mentjintai rakjat. Massa rakjat, rakjat djelata,” ujar Bung Karno dalam otobiografinya yang ditulis oleh penulis dan kolumnis Amerika, Cindy Adams.

Sosok Perempuan Pejuang Indonesia

Dalam buku Sarinah Bung Karno ingin menggugah kesadaran para perempuan Indonesia yang pada saat itu telah memasuki babak pengisian kemerdekaan. Beliau mengajak seluruh perempuan Indonesia untuk segera insyaf dan ikut serta dengan segera dalam perjuangan. Dan Bung Karno mengutip seruan seorang tokoh pergerakan dari Spanyol yaitu La Passionaria yang menyerukan bahwa perempuan-perempuan Spanyol untuk menjadi revolusioner maka Soekarno ingin juga mengatakan :” Hai Perempuan-perempuan Indonesia, jadilah revolusioner,- tiada kemenangan revolusioner, jika tiada perempuan revolusioner, dan tiada perempuan revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner!”.

Ucapan diatas merupakan suatu variant dari ajaran yang mengatakan bahwa ;”Tiada aksi revolusioner, jika tiada teori revolusioner”.”Teori tak disertai perbuatan, tiada tujuan, perbuatan tiada pakai teori, tiada berarah tujuan”. Dari ungkapan ini teringat kita akan doktrin yang diungkapkan oleh Kierkegaard yang mengatakan bahwa manusia harus selalu mewujudkan anggan-anggannya atau cita-citanya atau ada proses menjadi, dengan kata lain jangan kita melulu membicarakan teori tanpa mempraktekannya tanpa berani membuktikan kebenaran dari teori tersebut.
Revolusi merupakan suatu gerakan yang bertingkat dan masing-masing tingkatan harus dilalui satu persatu, tidak bisa satu tingkatan tidak dilalui atau satu tingkatan dijalankan bersamaan dengan tingkatan yang didepannya. Masing-masing tingkatan yang hadir terlebih dahulu merupakan dasar atau fondasi bagi tingkatan revolusi didepannya. Adapun elaborasi tingkatan itu dijelaskan oleh Bung Karno :

Tingkat pertama, perempuan berusaha menyempurnakan “keperempuanannya” (Bung Karno menggunakan tanda kutip di bukunya). Kelihatannya, “keperempuanan” di sini dapat diartikan sebagai cara-pandang umum masyarakat—tentunya dalam masyarakat patriarchal—mengenai kodrat perempuan, seperti memasak, menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak, dan sebagainya. Meskipun sudah mendirikan perkumpulan, dan anggotanya seluruhnya perempuan, tetapi mereka belum menyinggung soal hak-hak perempuan. Mereka tidak menyinggung sedikitpun patriarkisme dan ekses-eksesnya. Kalaupun mereka mendirikan sekolah bagi perempuan, lagi-lagi itu tidak lebih sebagai bentuk “pembekalan” agar perempuan siap berkeluarga. “Sekolah-sekolah mereka tak ubahnya sekolah-sekolah berumah-tangga di zaman sekarang. Mereka mendidik wanita agar laku di kalangan pemuda bangsawan dan hartawan,” ungkap Bung Karno. Pelopor gerakan ini, tulis Bung Karno, adalah Madame de Maintenon di Perancis dan A. H Francke di Jerman. Gerakan ini, ungkap Bung Karno, tidak memberikan penyadaran kepada perempuan. Gerakan ini masih tunduk pada hukum patriarchal, yang merendahkan martabat kaum perempuan.

Tingkatan kedua, pergerakan perempuan yang menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, khususnya dalam melakukan pekerjaan dan hak pilih dalam pemilu. Gerakan ini sering diberi label “emansipasi perempuan”. Bagi Bung Karno, kelahiran gerakan tingkat kedua ini tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme. Ia menjelaskan, perubahan corak produksi, dalam hal ini dari feodalisme ke kapitalisme, turut mengubah anggapan-anggapan (cara-pandang) di dalam masyarakat, termasuk cara pandang terhadap perempuan. Kapitalisme butuh menarik perempuan keluar rumah agar menjadi buruh di pabrik-pabrik kapitalis. Pelopor gerakan tingkat kedua ini adalah Mercy Otis Waren dan Abigail Smith Adams di Amerikat Serikat; Madame Roland, Olympe de Gouges, Rose Lacombe, dan Theorigne de Mericourt di Perancis. Sekalipun, harus diakui, diantara mereka ini punya metode berjuang yang berbeda. Mercy Otis Waren dan Abigail Smith Adams, misalnya, ketika penyusuna konstitusi AS pada tahun 1776, mereka menuntut agar kaum perempuan diberi pengakuan dan tempat di dalamnya, seperti hak mendapat pendidikan dan terlibat dalam kekuasaan politik.

Di Perancis, gerakan perempuan berwatak lebih radikal. Perempuan-perempuan Perancis mengambil bagian dalam Revolusi Perancis (1789). Madame Roland, seorang perempuan kalangan atas, yang pemikirannya banyak mempengaruhi pemimpin politik Perancis. Ia menuntut partisipasi perempuan yang lebih luas. Kemudian ada Olympe de Gouges, mewakili perempuan kalangan bawah, yang tulisan dan pemikirannya secara tajam menuntut persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Bung Karno memuji Olympe de Gouges sebagai perempuan radikal dan militan, yang berani menentang pemerintahan teror Robespiere. Pergerakan ini lebih banyak bertumpu pada “persamaan hak” dalam segala hal, termasuk dalam urusan politik. Dalam ekspresi gerakannya, kata Bung Karno, lebih banyak mempersoalkan dominasi laki-laki.

Namun, Bung Karno menganggap gerakan ini sebagai tipe gerakan perempuan borjuis. Sebab, bagi Bung Karno, sekalipun nantinya segala ruang itu dibuka bagi perempuan, termasuk politik, tetap saja yang menikmati hanya perempuan klas atas dan menengah. Sedangkan perempuan kebanyakan, yakni dari kalangan rakyat jelata, tidak bisa berpartisipasi. Bagi Bagi Karno, selama relasi produksi tidak berubah, maka perempuan kalangan bawah tetap saja sulit berpartisipasi penuh dalam politik. Persamaan hak saja tidaklah cukup, jikalau perempuan masih terhisap di dalam relasi produksi kapitalistik. Maka, lahirlah gerakan perempuan tingkat ketiga:gerakan perempuan sosialis.

Tingkatan ketiga ini, yakni pergerakan perempuan sosialis, di mata Bung Karno, merupakan penyempurnaan terhadap gerakan perempuan. Di sini, gerakan perempuan tidak sebatas menuntut persamaan hak alias penghapusan patriarkhi, tetapi hendak merombak total struktur sosial yang menindas rakyat—laki-laki dan perempuan.
Bung Karno banyak merujuk pada ahli teori Marxis, Frederick Engels, dalam buku berjudul “Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara”. Karena itu, Bung Karno beranggapan, penindasan perempuan tidak bisa dilepas dari relasi produksi. “Semakin penting kedudukan perempuan dalam produksi, maka semakin penting pula kedudukannya di dalam masyarakat,” katanya.

Bung Karno juga banyak dipengaruhi oleh Clara Zetkin dan newsletter propagandanya, Die Gleichheit. Bung Karno memahami perlunya menyeleraskan perjuangan pembebasan perempuan dan perjuangan untuk sosialisme. Dia berpendapat, perempuan yang bekerja, seperti juga laki-laki yang bekerja, menderita di bawah jam kerja yang panjang dan upah yang rendah. Karena itu, kepentingan keduanya identik, yakni menghapuskan kapitalisme dan mendatangkan sosialisme.

Terkait partisipasi perempuan di parlemen, Bunh Karno berusaha menarik perbedaan antara feminis liberal dan gerakan perempuan sosialis: “kaum feminis dan suffragette itu menganggap hak perwakilan itu sebagai tujuan akhir, sedangkan wanita sosialis menganggapnya hanya sebagai salah satu alat semata dalam perjuangan menuju pergaulan hidup baru yang berkesejahteraan sosial (sosialisme).” Dalam konteks Indonesia, Bung Karno menganggap gerakan perempuan sebagai aspek penting bagi kemenangan revolusi menuju sosialisme. Ia mengutip pendapat Lenin: “Jikalau tidak dengan mereka (wanita), kemenangan tidak mungkin kita capai.”

Diakhir buku Sarinah Bung Karno mengajak kaum perempuan untuk menyadari keberadaannya, dan tidak ada yang dapat membantu perempuan jika bukan datang dari dalam diri mereka sendiri. Kesadaran harus muncul dari dalam diri kaum perempuan sehingga mereka sadar akan kewajiban dan hak untuk bebas. Dan dengan munculnya kesadaran akan eksistensi perempuan dalam pembangunan dan perjuangan maka secara bahu membahu bersama laki-laki bekerja sama dalam emwujudkan suatu persatuan nasional guna mencapai sutau masyarakat sosialis yang utuh.

Ucapan Bung Karno yang perlu menjadi perenungan kaum perempuan Indonesai saat ini adalah :” Perempuan Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika Republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional. Jangan ketinggalan didalam revolusi Nasional ini dari awal sampai akhirnya, dan jangan ketinggalan pula nanti didalam usaha menyusun masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial. Didalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi perempuan yang bahagia, perempuan yang merdeka.”

Dari penjelasan diatas maka dapat dilihat bahwa ide pokok dari penulisan buku Sarinah ini, Bung Karno ingin mengangkat peran perempuan yang pada awalnya kurang begitu berperan, dan ini dibuktikan dengan perkembangan sejarah dan keadaan perempuan diberbagai negara.

Lalu maukah perempuan menentukan/merubah nasibnya, mari kita bertanya pada diri kita masing-masing.

Aryo Nugroho.W
Anggota Biasa Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cab, Kota Palangka Raya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar