Sejarah Pulau Borneo (Kalimantan)
Pulau Borneo (Kalimantan) merupakan pulau ketiga
terbesar di dunia setelah Pulau Greenland dan Pulau Papua. Luas keseluruhan
Pulau Borneo adalah 736.000 KM 2. Pulau Borneo terdapat juga lintasan
pegunungan di sebelah timur laut dengan gunung tertinggi adalah Gunung Kinabalu
dengan puncak setinggi 4.175 M. Pulau ini beriklim tropis basah dengan suhu
rata-rata 24-25 derajat celcius dan dilewati oleh garis khatulistiwa.
Diketahui bahwa bangsa asing sudah berhubungan dengan
penduduk di Pulau Borneo ini sejak sekitar abad ke-1 M.
Berdasarkan peninggalan-peninggalan artefak sejarah
yang sempat ditemukan, bahwa artefak yang paling tua yang ditemukan di Pulau
Borneo ini adalah artefak dari Kerajaan Kutai yaitu dari masa abad ke-4 M yang
beraliran hindu, terletak di pesisir timur dari pulau ini. Bahkan berdasarkan
temuan artefak sejarah ini, bahwa artefak Kerajaan Kutai adalah temuan artefak yang
tertua di Nusantara ini.
Pada abad ke-8 M Kerajaan Sriwijaya pernah berpengaruh
di sepanjang pesisir barat Pulau Borneo ini dan pada abad ke-14 M Kerajaan
Majapahit berpengaruh hampir di seluruh Pulau ini.
Pada awal abad ke-16 M orang-orang eropa mulai berdatangan
di Pulau Borneo ini.
Berdasarkan catatan orang eropa disebutkan bahwa orang
eropa pertama yang mendatangi Pulau Borneo ini adalah orang Italia yang bernama
Ludovico de Verthana yaitu pada tahun 1507 M yang kemudian dilanjutkan dengan
orang Portugis yang bernama Laurenco de Gomez pada tahun 1518 M terus disusul
oleh orang Spanyol yang bernama Ferdinand Magellen pada tahun 1519 yaitu dalam
perjalanan mengelilingi dunia, baru kemudian disusul dengan Belanda, Inggris
dan Prancis. Dari orang-orang Eropa inilah kemudian nama Borneo di kenal sejak
abad ke-15 M. Nama Borneo itu berasal dari nama pohon Borneol {bahasa Latin:
Dryobalanops camphora)yang mengandung (C10H17.OH) terpetin, bahan untuk
antiseptik atau dipergunakan untuk minyak wangi dan kamper, kayu kamper yang
banyak tumbuh di Kalimantan, kemudian oleh para pedagang dari Eropa
disebut pulau Borneo atau pulau penghasil borneol,dari sebutan orang-orang
eropa itu terhadap nama Kerajaan Brunei,karena saat itu Kerajaan Brunei
merupakan Kerajaan yang paling dominan / terbesar di pulau ini sehingga setiap
orang asing yang datang di Pulau ini, akan mengunjungi Kerajaan Brunei
sehingga kemudian nama Brunei menjadi ikon bagi pulau ini yang kemudian
dipelatkan oleh lidah orang eropa menjadi Borneo yang kemudian terus dipakai
hingga ke masa pendudukan kolonial Belanda yaitu “ Pulau Borneo “.
Pada tanggal 7 Juli 1607 Ekspedisi Belanda dipimpin
Koopman Gillis Michaelszoon tiba di Banjarmasin, tetapi seluruh ABK dibunuh
penduduk sebagai pembalasan atas perampasan oleh VOC terhadap dua jung Banjar
yang berlabuh di Banten tanun 1595. Pada tahun 1612 di masa Sultan Mustain
Billah, Belanda datang ke Banjarmasin untuk menghukum Kesultanan Banjarmasin
atas insiden 1607 dan menembak hancur Banjar Lama (kampung Keraton) di Kuin,
sehingga ibukota kerajaan Banjar dipindahkan dari Banjarmasin ke Martapura.
Berdasarkan dokumen yang ada bahwa perjanjian tertulis
pertama antara orang eropa dengan penduduk Pulau Borneo di lakukan pada tahun
1609 M yaitu perjanjian perdagangan antara perusahaan dagang Belanda yaitu VOC
dengan Raja Panembahan Sambas yaitu Ratu Sapudak walaupun kemudian bahwa
hubungan perdagangan antara kedua belah pihak ini tidak berkembang.
Perjanjian kesepakatan VOC yang kedua dengan Kerajaan di
Pulau Borneo ini adalah dengan Kesultanan Banjarmasin yang ditandatangani pada
tahun 4 September 1635 di masa Sultan Inayatullah. Isi kontrak itu, antara
lain, bahwa selain mengenai pembelian lada dan tentang bea cukai, VOC juga akan
membantu kesultanan Banjar untuk menghadapi serangan dari luar. Aktivitas VOC
kemudian lebih berkembang di sebelah timur dibandingkan dengan sebelah barat
Pulau Borneo yaitu karena sebelah timur Pulau Borneo berhampiran dengan pusat
lada dunia yaitu Kepulauan Maluku.
Pada masa kedatangan orang-orang eropa ini yang
dimulai pada awal abad ke-16 M itu hingga kemudian masa kolonialisme mereka
sampai abad ke-20 M, Kerajaan-Kerajaan yang terkemuka di Pulau Borneo ini
disamping Kesultanan Brunei yaitu Kesultanan Banjarmasin, Kesultanan Sukadana,
kesultanan Sambas dan Kesultanan Pontianak.
Sehubungan dengan serangan Napoleon ke Belanda pada
paruh ke-3 abad ke-18 M kemudian membuat seluruh kekuatan VOC di Nusantara ini
termasuk di Borneo di tarik kembali ke Belanda dan posisi Belanda di Nusantara
ini kemudian digantikan oleh Inggris.
Setelah selesai perang dengan Napoleon, Belanda
kemudian menempati lagi posisinya di Nusantara ini termasuk di Pulau Borneo
namun kali ini aktivitas Belanda tidak lagi atas nama VOC tetapi langsung oleh
Kerajaan Belanda dengan nama Pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun 1819 M Sultan Pontianak ke-3 (Sultan Syarif
Usman Al Qadri) ditunjuk Pemerintah Hindia Belanda untuk memimpin Afdeling
Pontianak.
Sampai tahun 1839 M, pengaruh kekuasaan di Pulau Borneo
ini terbagi dalam 3 kawasan kekuasaan yaitu Sebelah barat daya di kuasai oleh
Kesultanan Brunei, sebelah timur laut dikuasai oleh Kesultanan Sulu dan sebelah
tengah dan selatan di kuasai Pemerintah Hindia Belanda yang sebagian besar
wilayahnya diperolehnya dari Sultan Banjar, Tamjidullah I pada Perjanjian 20
Oktober 1756. Sebagian besar wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei dan Kesultanan
Sulu kemudian direbut oleh James Brooke yang menjadi Raja di Sarawak.
Aktivitas Pemerintah Hindia Belanda di Pulau Borneo
ini jauh lebih agresif daripada masa VOC yang lalu karena saat itu Belanda
bersaing keras dengan Inggris dalam merebut pengaruh di Pulau Borneo ini
apalagi setelah diangkatnya James Brooke (orang Inggris) yang menjadi Raja
Putih di Sarawak pada tahun 1841.
Untuk mengantisipasi ekspansi pengaruh dari James
Brooke ke wilayahnya, maka Pemerintah Hindia Belanda kemudian mulai tahun 1846
M mengadakan perjalanan Tim Ekspedisi Pemerintah Hindia Belanda yang menyusuri
seluruh tepi batas wilayahnya dengan wilayah yang dikuasai James Brooke. Tim
Ekspedisi pertama dipimpin oleh Letnan II D. van Kessel yang menjelajahi arah
barat dan kemudian dilanjutkan oleh Tim Ekspedisi yang dipimpin oleh Dr. CM.
Schwaner yang menjelajahi arah timur.
Pada awalnya wilayah tengah dan selatan Pulau Borneo
yang dikuasai Belanda ini dibagi oleh Pemerintah Hindia Belanda dalam 3
Afdeling yaitu Afdeling Pantai Selatan dan Timur, Afdeling[1]
Sambas dan Afdeling Pontianak.
Kemudian Pemerintah Hindia Belanda menggabungkan
Afdeling Sambas dan Afdeling Pontianak menjadi bernama Borneo Westkust membagi
secara keseluruhan wilayahnya terbagi dalam 2 wilayah administrasi yaitu Borneo
Westkust (Borneo sebelah barat) dan Borneo Zuid Oostkust (Borneo sebelah tengah
dan timur) nama ini selanjutnya berganti menjadi Borneo Westerafdeling dan
Borneo ZuidOostterafdeling.
Untuk mempersatukan wilayah borneo, maka pada tahun
1894, atas prakarsa Damang Batu, dari desa Tumbang Anoi di Kalimantan Tengah
mengumpulkan semua orang yang memiliki gelar tamanggung, damang, dambung,
dohong..se-borneo, dalam perjanjian Tumbang Anoi yang juga dihadiri oleh
Afdeling Pontianak, yang waktu itu masih perwira pengganti yang didatangkan
dari Bogor. sampai sekarang situs peninggalan perjanjian di Tumbang Anoi masih
tersisa. Namun atas rekayasa pemerintah Belanda, pada saat itu Tempat
Perjanjian Tumbang Anoi yang berupa BETANG, dihancurkan oleh tentara belanda
agar perjanjian di Tumbang Anoi di anggap tidak ada. bahan bangunannya
dipindahkan sebagian ke Kuala Kapuas, namun tidak dapat mengangkut semua
materialnya karena terbuat dari batang ulin yang sangat dalam tertancap tanah,
besar, berat serta medan yang panjang melalui sungai yang panjang untuk
mengangkutnya.
Pada akhir masa kolonialisme Belanda di Pulau Borneo
ini terdapat 2 daerah Residentie yaitu Residentie Pontianak dan Residentie
Banjarmasin.
Kalimantan Barat :
a. Lambang Kalimantan Barat"Akcaya" (Bahasa
Indonesia: "Tak Kunjung Binasa")
b. Dasar hukum Tanggal penting 1 Januari 1957 (hari jadi)
c. Ibu kota Pontianak
d. Gubernur Drs. Cornelis MH
e. Luas 146.807 km²
f.
Penduduk
4.073.304 (sensus 2004)
g. Kabupaten 10
h. Kodya/Kota 2
i.
Kecamatan 136
j.
Kelurahan/Desa
1445
Suku Suku Dayak , Suku Melayu, Suku Tionghoa, Suku
Jawa, Suku Madura, Suku Bugis Agama Islam (57,6%), Katolik (24,1%), Protestan (10%), Buddha (6,4%), Hindu
(0,2%), lain-lain (1,7%) Bahasa Bahasa Indonesia, Bahasa Dayak, Bahasa melayu,
Bahasa Tionghoa Zona waktu WIB. Lagu daerah Cik Cik Periook .
Kalimantan Tengah :
a. Lambang Kalimantan Tengah
b. Isen Mulang (Bahasa Sangen: Pantang Mundur)
c. Tanggal penting 23 Mei 1957 (hari jadi
d. Ibu kota Palangka Ray
e. Gubernur Agustin Teras Narang, SH.
f.
Luas 157.983
km²
g. Pantai: 750 km.
h. Penduduk 2.004.110 (2006)
i.
Kepadatan 12/km²
j.
Kabupaten 13
k. Kodya/Kota 1
l.
Kecamatan 88
m. Kelurahan/Desa 1.136
Suku Suku Dayak (Ngaju, Bakumpai, Maanyan, Lawangan,
Siang, Murung, Dusun, Bawo, Dayak Sampit, Ot Danum, Dayak Kotawaringin,
Taboyan), Suku Banjar, Suku Jawa, Suku Madura, Suku Bugis.
Agama Islam (69,67%), Protestan (16,41%), Hindu
(10,69), Katolik (3,11%), Buddha (0,12%) Bahasa Bahasa Dayak, Bahasa Indonesia Zona waktu WIB Lagu daerah Kalayar, Naluya, Palu Cempang Pupoi, Tumpi Wayu,
Saluang Kitik-Kitik, Manasai.
Kalimantan Selatan :
a. Lambang Kalimantan Selatan Haram Manyarah Waja Sampai
Kaputing
(Bahasa Banjar: Tetap bersemangat dan kuat seperti baja dari awal sampai akhir)
(Bahasa Banjar: Tetap bersemangat dan kuat seperti baja dari awal sampai akhir)
b. Tanggal penting 14 Agustus 1950 (hari jadi)
c. Ibu kota Banjarmasin
d. Gubernur Drs. H. Rudi Ariffin
e. Luas 36.985 km²
f.
Penduduk
3.054.129 (2002)
g. Angka kematian anak: 67/1.000 kelahiran
h. Kepadatan
i.
Kabupaten 11
j.
Kodya/Kota 2
k. Kecamatan 138
l.
Kelurahan/Desa
1.958
Suku Banjar, Bukit, Bakumpai, Dusun Deyah, Maanyan Agama Islam (96,80%), Protestan (28,51%), Katolik (18,12%), Hindu (9,51%),
Buddha (17,59%) Bahasa Bahasa Indonesia(id), Bahasa Banjar (bjn), Bahasa
Bakumpai (bkr), Bahasa Bukit (bvu), Bahasa Dusun Deyah (dun), Bahasa Maanyan
(mhy) Zona waktu WITA Lagu daerah Ampar-ampar Pisang.
Kalimantan Timur :
a. Lambang Kalimantan Timur Ruhui Rahayu
(Bahasa Banjar: "semoga Tuhan memberkati") kaltim
(Bahasa Banjar: "semoga Tuhan memberkati") kaltim
b. Peta lokasi Kalimantan Timur Koordinat 113°44' -
119°00' BT
4°24' LU - 2°25' LS
4°24' LU - 2°25' LS
c. Dasar hukum UU No. 25 Tahun 1956
d. Tanggal penting 1 Januari 1957
e. Ibu kota Samarinda Gubernur Awang Faroek Ishak
f.
Luas
245.237,80[1] km²
g. Penduduk 2.750.369[1] jiwa (2004)
h. Kepadatan 11,22 jiwa/km²
i.
Kabupaten 10
j.
Kodya/Kota 4
k. Kecamatan 122
l.
Kelurahan/Desa
191 / 1.347
Suku Jawa (29,55%), Bugis (18,26%), Banjar (13,94%),
Dayak (9,91%) dan Kutai (9,21%) dan suku lainnya 19,13%. Agama Islam (85,2%),
Kristen (Protestan & Katolik) (13,9%), Hindu (0,19%), dan Budha (0,62%) (2000)
Bahasa Bahasa Indonesia, Banjar, Dayak, Kutai
Zona waktu WITA (UTC+8) Lagu daerah Indung-Indung, Buah Bolok, Lamin Talunsur.
Etimologi
* Pertama Borneo dari kata Kesultanan Brunei Darussalam yang sebelumnya merupakan kerajaan besar dan luas (mencakup Serawak dan sebagian Sabah karena sebagian Sabah ini milik kesultanan Sulu-Mindanao. Para pedagang Portugis menyebutnya Borneo dan digunakan oleh orang-orang Eropa. Namun penduduk asli menyebutnya sebagai pulo Klemantan.
* Kedua menurut Crowfurd dalam Descriptive Dictionary of the Indian Island (1856), kata Kalimantan adalah nama sejenis mangga sehingga pulau Kalimantan adalah pulau mangga namun dia menambahkan bahwa kata itu berbau dongeng dan tidak populer.
* Ketiga menurut Dr. B. Ch. Chhabra dalam jurnal M.B.R.A.S vol XV part 3 hlm 79 menyebutkan kebiasaan bangsa India kuno menyebutkan nama tempat sesuai hasil bumi seperti jewawut dalam bahasa sanksekerta yawa sehingga pulau itu disebut yawadwipa yang dikenal sebagai pulau Jawa sehingga berdasarkan analogi itu pulau itu yang dengan nama Sansekerta Amra-dwipa atau pulau mangga.
Zona waktu WITA (UTC+8) Lagu daerah Indung-Indung, Buah Bolok, Lamin Talunsur.
Etimologi
* Pertama Borneo dari kata Kesultanan Brunei Darussalam yang sebelumnya merupakan kerajaan besar dan luas (mencakup Serawak dan sebagian Sabah karena sebagian Sabah ini milik kesultanan Sulu-Mindanao. Para pedagang Portugis menyebutnya Borneo dan digunakan oleh orang-orang Eropa. Namun penduduk asli menyebutnya sebagai pulo Klemantan.
* Kedua menurut Crowfurd dalam Descriptive Dictionary of the Indian Island (1856), kata Kalimantan adalah nama sejenis mangga sehingga pulau Kalimantan adalah pulau mangga namun dia menambahkan bahwa kata itu berbau dongeng dan tidak populer.
* Ketiga menurut Dr. B. Ch. Chhabra dalam jurnal M.B.R.A.S vol XV part 3 hlm 79 menyebutkan kebiasaan bangsa India kuno menyebutkan nama tempat sesuai hasil bumi seperti jewawut dalam bahasa sanksekerta yawa sehingga pulau itu disebut yawadwipa yang dikenal sebagai pulau Jawa sehingga berdasarkan analogi itu pulau itu yang dengan nama Sansekerta Amra-dwipa atau pulau mangga.
* Keempat menurut dari C.Hose dan Mac Dougall menyebutkan bahwa kata Kalimantan berasal dari 6 golongan suku-suku setempat yakni Dayak Laut (Iban), Kayan, Kenya, Klemantan, Munut, dan Punan. Dalam karangannya, Natural Man, a Record from Borneo (1926), C Hose menjelaskan bahwa Klemantan adalah nama baru yang digunakan oleh bangsa Melayu.
* Kelima menurut W.H Treacher dalam British Borneo dalam jurnal M.B.R.A.S (1889), mangga liar tidak dikenal di Kalimantan utara. Lagi pula Borneo tidak pernah dikenal sebagai pulau yang menghasilkan mangga malah mungkin sekali dari sebutan Sago Island (pulau Sagu) karena kata Lamantah adalah nama asli sagu mentah.
* Keenam menurut Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya Sriwijaya (LKIS 2006), kata Kalimantan bukan kata melayu asli tapi kata pinjaman sebagai halnya kata malaya, melayu yang berasal dari India (malaya yang berarti gunung). Kalimantan atau Klemantan berasal dari Sanksekerta, Kalamanthana yaitu pulau yang udaranya sangat panas atau membakar (kal[a]: musim, waktu dan manthan[a]: membakar). Karena vokal a pada kala dan manthana menurut kebiasaan tidak diucapkan, maka Kalamanthana diucap Kalmantan yang kemudian disebut penduduk asli Klemantan atau Quallamontan yang akhirnya diturunkan menjadi Kalimantan
Nama lain
a. "Waruna Pura"
b. "Tanjungpura" (Bakulapura) artinya pulau
yang banyak memiliki tanjung (bakula), nama kerajaan Tanjungpura yang sering dipakai
sebagai nama pulaunya.
c. "Tanjungnagara" adalah sebutan untuk pulau
Borneo oleh Kerajaan Majapahit, sebagai salah satu daerah yang delapan taklukan
Kerajaan Majapahit.
d. "Hujung Tanah" atau "Ujung Tanah"
adalah sebutan pulau Kalimantan dalam Hikayat Banjar dan Hikayat Raja-raja
Pasai, nampaknya ini adalah nama yang dipakai oleh penduduk Sumatera dan
sekitarnya untuk menyebut pulau Kalimantan.
e. "Pulau Kencana" adalah sebutan pulau
Kalimantan dalam Ramalan Prabu Jayabaya dari Majapahit mengenai akan dikuasai
Tanah Jawa oleh bangsa Jepang yang datang dari arah pulau Kencana (Kalimantan).
f.
"Jaba
Daje" artinya "Jawa di Utara (dari pulau Madura) sebutan suku Madura
terhadap pulau Kalimantan.
Masa Republik Indonesia Serikat
Setelah mengambil alih Kalimantan dari tangan Jepang,
NICA mendesak kaum Federal Kalimantan untuk segera mendirikan Negara Kalimantan
menyusul Negara Indonesia Timur yang telah berdiri. Maka dibentuklah Dewan
Kalimantan Barat tanggal 28 Oktober 1946, yang menjadi Daerah Istimewa
Kalimantan Barat pada tanggal 27 Mei 1947; dengan Kepala Daerah, Sultan Hamid
II dari Kesultanan Pontianak dengan pangkat Mayor Jenderal. Wilayahnya terdiri
atas 13 kerajaan sebagai swapraja Pangeran Muhammad Noor.
Dewan Dayak Besar dibentuk tanggal 7 Desember 1946,
dan selanjutnya tanggal 8 Januari 1947 dibentuk Dewan Pagatan, Dewan Pulau Laut
dan Dewan Cantung Sampanahan yang bergabung menjadi Federasi Kalimantan
Tenggara. Kemudian tanggal 18 Februari 1947 dibentuk Dewan Pasir dan Federasi
Kalimantan Timur, yang akhirnya pada tanggal 26 Agustus 1947 bergabung menjadi
Dewan Kalimantan Timur. Selanjutnya Daerah Kalimantan Timur menjadi Daerah
Istimewa Kalimantan Timur dengan Kepala Daerah, Aji Sultan Parikesit dari
Kesultanan Kutai dengan pangkat Kolonel. Daerah Banjar yang sudah terjepit
daerah federal akhirnya dibentuk Dewan Banjar tanggal 14 Januari 1948.
Gubernur Kalimantan dalam pemerintahan Pemerintah RI
di Yogyakarta, yaitu Pangeran Muhammad Noor, mengirim Cilik Riwut dan Hasan
Basry dalam misi perjuangan mempertahankan kemerdekaan untuk menghadapi
kekuatan NICA. Pada tanggal 17 Mei 1949, Letkol Hasan Basry selaku Gubernur
Tentara ALRI Wilayah IV Pertahanan Kalimantan memproklamirkan sebuah Proklamasi
Kalimantan yang isinya bahwa "Daerah Kalimantan Selatan"
(daerah-daerah di luar Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan Daerah Istimewa
Kalimantan Timur) tetap sebagai bagian tak terpisahkan dari Negara Republik
Indonesia yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Pemerintah
Gubernur Militer ini merupakan upaya tandingan terhadap terbentuknya Dewan Banjar
yang didirikan Belanda.
Di masa Republik Indonesia Serikat, Kalimantan menjadi
beberapa daerah yaitu :
1. Daerah Istimewa Kalimantan Barat
2. Daerah Istimewa Kalimantan Timur
3. Dayak Besar
4. Daerah Banjar
5. Federasi Kalimantan Tenggara
Sejak tahun 1938, Borneo-Hindia Belanda (Kalimantan)
merupakan satu kesatuan daerah administratif di bawah seorang gubernur, yang
berkedudukan di Banjarmasin, dan memiliki wakil di Volksrad. Wakil Kalimantan
di Volksrad :
1.
Pangeran
Muhammad Ali (sebelum 1935) digantikan anaknya,
2. Pangeran Muhammad Noor (1935-1939) digantikan oleh,
3. Mr. Tadjuddin Noor (1939-1945)
Gubernur Borneo
1.
Dr. A. Haga
(1938-1942), gubernur dari Kegubernuran Borneo berkedudukan di Banjarmasin
2.
Pangeran Musa
Ardi Kesuma (1942-1945), Ridzie Kalimantan Selatan dan Tengah
3.
Ir. Pangeran
Muhammad Noor (2 September 1945), gubernur Kalimantan berkedudukan di
Yogyakarta
4.
dr. Moerjani
(14 Agustus 1950), gubernur Kalimantan berkedudukan di Banjarmasin
5.
Mas Subarjo
(1953-1955), gubernur Kalimantan berkedudukan di Banjarmasin
6.
Raden
Tumenggung Arya Milono (1955-1957), gubernur Kalimantan berkedudukan di
Banjarmasin.
Pembentukan kembali provinsi Kalimantan tanggal 14
Agustus 1950 sesudah bubarnya RIS, diperingati sebagai Hari Jadi Provinsi
Kalimantan Selatan (dahulu bernama provinsi Kalimantan, salah satu provinsi
pertama). Tahun 1957 Kalimantan dibagi menjadi 3 provinsi, yaitu Kalimantan
Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat. Selanjutnya tahun 1958,
terbentuklah propinsi Kalimantan Tengah sebagai pemekaran dari Kalimantan
Selatan.
Wilayah
Barito, Kapuas dan Kotawaringin sangat kaya akan sumber daya alam (SDA). Namun
sayang selama tergabun dengan Kalimantan Selatan, tak menikmati hasil kekayaan
itu. Dalam kondisi memprihatinkan ini, muncul keinginan tokoh Dayak untuk
memiliki provinsi sendiri yang terpisah dari Kalsel. ELLEN D, Palangka Raya KEINGINAN
terbentuknya provinsi sendiri ini menghasilkan Serikat Kaharingan Dayak
Indonesia (SKDI) tanggal 20 Juli 1950 di Desa Tangkahen. Sahari Andung
merupakan ketuanya. Dalam kongres SKDI di Desa Bahu Palawa tanggal 15 – 22 Juli
1953, muncul keinginan masyarakat Dayak agar diberikan daerah otonom lepas dari
Kalsel. Kongres tersebut mengeluarkan mosi Nomor 1/Kong/1953 tanggal 22 Juli 1953
yang isinya mendesak pemerintah pusat membentuk Provinsi Kalteng sebelum Pemilu
1955 dengan wilayah meliputi Kabupaten Barito, Kapuas dan Kotawaringin. Namun,
mosi itu tak ditanggapi oleh Mendagri masa itu.
Desember
1955 di Jakarta, Kongres Rakyat Seluruh Indonesia (KRSI) dilaksanakan. Ini
merupakan kesempatan masyarakat Dayak menegakkan kembali tuntutannya. Tetapi,
sekali lagi, tuntutan tersebut belum dapat dipenuhi pemerintah pusat. Kongres
tersebut hanya menyetujui pemekaran Provinsi Kalimantan menjadi tiga, yaitu
Kalbar, Kalsel dan Kaltim. Wilayah Kalteng (Barito, Kapuas dan Kotawaringin)
berada di bawah Kalsel.
Alasan
pemerintah pusat saat itu, Kalteng belum mampu membiayai urusan rumah tangga
daerah sebagai daerah otonom dan keadaan keuangan negara masih belum
mengizinkan membentuk provinsi baru. Sumber daya manusia (SDM) di wilayah ini
terutama tenaga terampil dan terdidik untuk tugas penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan juga dinyatakan masih kurang.
“Masyarakat
Dayak Kalteng sangat menyesalkan pidato radio Mendagri (masa itu, Red) yang
menyatakan belum saatnya dibentuk Provinsi Kalteng karena penduduknya baru
mencapai sekitar 500 ribu jiwa. Dikatakan pula suku Dayak belum menjadi suatu
komunitas yang memiliki ketetapan hidup/masyarakat yang mapan dan belum ada
kaum intelektualnya. Sebenarnya alasan itu sangat lemah dan dicari-cari,”
demikian sekilas isi buku sejarah perjuangan pembentukan Provinsi Kalteng yang
ditulis Drs F Sion Ibat dan Chornain Lambung SmHk ini.
Meskipun
tuntutan tak dipenuhi, semangat isen mulang (pantang mundur) untuk mencapai
provinsi otonom tetap tertanam di hati masyarakat Dayak saat itu. Di satu sisi,
tokoh Dayak menggelar konser rakyat Kalteng yang dipelopori Mahir Mahar. Di
sisi lain, para pemuda di bawah pimpinan Christian Simbar alias Uria Mapas
bergelar Mandulin tengah berjuang mengangkat senjata melalui Gerakan Mandau
Talawang Pancasila (GMTPS). Anggota GMTPS bertekad berjuang sampai titik darah
penghabisan. Karena itu, GMTPS disinyalir oleh pihak keamanan sebagai gerakan
yang membuat keamanan tak stabil.
Momentum
ini digunakan kongres mendesak pemerintah pusat agar segera membentuk Provinsi
Kalteng. Kongres Rakyat Kalteng kemudian digelar di Gedung Chung Hua Tsung Hui,
Jalan P Samudera Banjarmasin tanggal 2 – 5 Desember 1956. Sementara kongres
berlangsung, pasukan GMTPS melakukan perjuangan bersenjata di daerah pedalaman.
Sejak arena kongres, Sahari Andung sudah menduga akan ada penangkapan. Dugaan
itu betul karena sekembalinya dari kongres, Sahari Andung, Willy Djimat dan
Robert Bana ditangkap di tempat masing-masing oleh pihak keamanan dan
dijebloskan ke penjara Teluk Dalam, Banjarmasin selama tiga bulan.
“Tanggal
19 Oktober 1953, markas induk GMTPS di Desa Bundar diserang aparat Kepolisian
Buntok sehingga menimbulkan korban warga sipil, yaitu Tina (murid sekolah
rakyat/SR) yang mati/meninggal di tempat. Getuk dan Nyurek (masyarakat)
mengalami luka serius. Akibat serangan polisi, 86 anggota GMTPS dipimpin
Christian Simbar melakukan serangan balik terhadap markas Kepolisian Buntok
pada 22 November 1953. Pertempuran itu membawa banyak korban baik dari aparat
keamanan, pegawai negeri, masyarakat sipil maupun GMTPS. Markas polisi dikepung
dari dua jurusan sehingga tak ada jalan keluar dan banyak dari mereka yang jadi
korban,” tulis kedua penulis pada halaman 22.
Pemilu
1955 menghentikan kegiatan fisik GMTPS karena tak ingin dikatakan sebagai pihak
yang membuat kekacauan. Pasca pemilu, kontak senjata kembali terjadi. Antara
lain di Pujon pada November 1955, kontak senjata di Desa Madara dengan TNI,
Desa Butong, Desa Hayaping dan Desa Lahei. Dalam bentrok fisik tentara dan
GMTPS di Hayaping pada 15 Desember 1955, Rusine Tate yang istri Christian
Simbar menjadikan dirinya umpan untuk ditangkap Batalyon 605 sehingga pasukan GMTPS
dapat menghindar dan menyelamatkan diri.
Kegiatan
fisik GMTPS semakin meningkat pada 1956 karena belum ada tanda-tanda keseriusan
pemerintah membentuk Provinsi Kalteng. Kontak senjata dengan aparat keamanan
sering terjadi. Akhirnya, berdasarkan Surat Keputusan Mendagri tanggal SK Nomor
U/34/41/24 tanggal 28 Desember 1956, kantor persiapan Provinsi Kalteng mulai
dibentuk terhitung 1 Januari 1957. Pemerintah pusat melalui siaran radio juga
meminta agar kontak senjata dihentikan.
Pantia
Penyelesaian Korban Kekacauan Daerah (PPKKD) Kalteng yang diketuai Mahir Mahar
dibentuk. Tugasnya, melakukan pembicaraan dengan GMTPS. Tanggal 1 Maret 1957,
terjadilah perundingan di Desa Madara, Buntok. Perundingan menghasilkan
beberapa keputusan penting, antara lain pembentukan Provinsi Kalteng dengan
wilayah meliputi Kabupaten Barito, Kapuas dan Kotawaringin dapat disetujui
pemerintah. Tidak ada tuntutan/proses hukum atas semua korban, baik dari pihak
GMTPS maupun pihak aparat keamanan dan penyaluran anggota GMTPS yang berminat
menjadi tentara, polisi atau pegawai negeri. Kemudian, bantuan modal bagi
anggota GMTPS yang ingin berusaha sesuai keahliannya dan penyerahan senjata
GMTPS kepada pemerintah melalui upacara adat. Perundingan dalam perkembangannya
berakhir dengan pembentukan Provinsi Kalteng pada 23 Mei 1957 dengan Tjilik
Riwut sebagai gubernur pertamanya.
“Kalteng adalah satu-satunya provinsi yang dibentuk dengan UU Darurat. Pembentukannya merupakan titik temu antara tuntutan masyarakat Dayak baik melalui perundingan maupun gerakan bersenjata GMTPS dengan keseriusan pemerintah dalam menyikapi tuntuta tersebut. Selanjutnya, setiap tanggal 23 Mei diperingati sebagai hari jadi Provinsi Kalteng,” tulis Sion Ibat dan Chornain Lambung. (habis) ==> Dari situs koran lokal "Kalteng Pos Online"
“Kalteng adalah satu-satunya provinsi yang dibentuk dengan UU Darurat. Pembentukannya merupakan titik temu antara tuntutan masyarakat Dayak baik melalui perundingan maupun gerakan bersenjata GMTPS dengan keseriusan pemerintah dalam menyikapi tuntuta tersebut. Selanjutnya, setiap tanggal 23 Mei diperingati sebagai hari jadi Provinsi Kalteng,” tulis Sion Ibat dan Chornain Lambung. (habis) ==> Dari situs koran lokal "Kalteng Pos Online"
Sumber :
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Afdeling
: Afdeling
adalah sebuah wilayah administratif
pada masa pemerintahan
kolonial
Hindia Belanda
yang diperintah
seorang asisten residen. Afdeling
merupakan bagian dari sebuah Karesidenan.
Sebuah afdeling terdiri atas beberapa onderafdeling
(setingkat
kabupaten).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar