Hampir
satu (1) bulan terakhir ini asap menyelimuti Kota cantik Palangka Raya,
wajahnya yang cantik kini telah tertutup gumpalan kabut putih dengan senyawa racun
yang ada didalamya. Secara keseluruhan aktivitas masyarakat Kota Palangka Raya
masih relatif berjalan normal dan sebagian warganya saat menjalankan aktivitas
harus mengunakan masker penutup hidup untuk menghambat masuknya asap kedalam
tubuh warga.
Walaupun
hujan buatan sudah sering terjadi namun asap dari hasil pembakaran lahan ini
tidak kunjung pergi, malah semakin tebal. Sampai saat ini saya bertanya apa
yang dimaksud dengan hujan buatan, apakah hujan buatan itu dimana pesawat
membawa sejumlah air lalu membuang kebumi lewat udara. Ternyata hujan buatan
adalah suatu tekhnik yang digunakan untuk mempercepat terjadi proses hujan. Hujan
buatan dibuat dengan cara menyemai awan dengan menggunakan bahan yang bersifat higroskopik (menyerap
air) sehingga proses pertumbuhan butir-butir hujan di dalam awan akan meningkat
dan selanjutnya akan mempercepat terjadinya hujan. Awan yang digunakan untuk
membuat hujan buatan adalah jenis awan Cumulus (Cu) yang bentuknya seperti
bunga kol. Setelah lokasi awan diketahui, pesawat terbang yang membawa bubuk
khusus untuk menurunkan hujan diterbangkan menuju awan. Bubuk khusus tersebut
terdiri dari glasiogenik
berupa Perak Iodida. Zat itu berfungsi untuk membentuk es. Pesawat juga membawa
bubuk untuk “menggabungkan” butir-butir air di awan yang bersifat higroskopis seperti
garam dapur atau Natrium Chlorida (NaCl), atau CaCl2 dan Urea. Untuk bisa
membentuk hujan deras, biasanya dibutuhkan bubuk khusus sebanyak 3 ton yang
disemai ke awan Cumulus selama 30 hari [1].
Untuk
membuat hujan buatan tentunya tidak gratis namun harus mengeluarkan uang banyak
dan Provinsi Kalimantan tengah telah banyak menghabiskan dana untuk membuat
hujan buatan ini dengan tujuan berhentinya api dilahan yang terbakar. Operasi
pembasahan (hujan buatan) di Kalimantan Tengah merupakan yang paling banyak
menyedot anggaran Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB). Totalnya
mencapai Rp.9, 18 milyar untuk membuat wilayah hutan menjadi basah dan tidak
menimbulkan api [2].
Namun apa upaya pemerintah Kalimantan Tengah ini belum bisa menjinakan sijago
merah ini untuk berhenti. Akibat dari kebakaran lahan yang ada di Provinsi
Kalimantan Tengah pengidap penyakit ISPA semakin meningkat. Menurunnya
kualitas udara akibat asap mengakibatkan penderita infeksi saluran pernafasan
atas (ISPA) meningkat. Menurut data dari Puskesmas Kurun Hulu, pada bulan
Agustus sampai September 2012, kasus ISPA sudah mulai ada peningkatan. Bahkan,
dalam dua bulan terakhir berjumlah 277 penderita dan didominasi oleh anak-anak.
Kepala Puskesmas Kurun Hulu Rina Sari melalui staf poli umum Yosef Rizal
mengatakan, peningkatan ISPA dilihat dari banyaknya kunjungan pasien pada bulan
Agustus yang terdata sebanyak 116 dan terdeteksi ISPA, namun pada bulan
September meningkat menjadi 161. "Saat ini ISPA sudah mulai ada peningkatan
dari bulan sebelumnya karena menurunnya kualitas udara. Berdasarkan data yang
ada pada Puskesmas Kurun Hulu mulai peningkatan dari bulan Agustus, dan terus
meningkat sampai bulan September. Kunjungan penderita ISPA setiap hari berkisar
antara 4-6 orang," [3].
Dengan
permasalahan yang sangat urgensi ini malah pemerintah dareah khususnya Walikota
Palangka Raya dengan Kabupaten Tentangganya saling lempar tangung jawab, dengan
adanya istilah bahwa asap yang ada dikota Palangka Raya akibat kiriman dari
Kabupaten sebelah. Bukanya menegak peraturan yang sudah ada sebelumnya tentang
permasalahan kebakaran hutan dan lahan. Padahal baru saja tahun kemaren Gubernur Kalteng, A Teras Narang SH,
kembali mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Pusat. Penghargaan kali ini,
terkait kepedulian dan upaya mencegah kebakaran hutan dan lahan, yang diberikan
oleh Kementerian Kehutanan RI. Penyerahan penghargaan tersebut dijadwalkan pada
tanggal 18 Juli mendatang bersamaan dengan Rakornis Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (PHKA) di Jakarta. “Penghargaan tersebut diberikan Pemerintah
Pusat atas kepedulian Gubernur Kalteng mencegah terjadinya kebakaran hutan,
lahan dan pekarangan di daerah ini,” jelas Kepala Dinas Kehutanan Provinsi
Kalteng, Ir Sipet Hermanto di Palangka Raya, Jumat (15/7). Sebagaimana kita ketahui, jelasnya, bentuk kepedulian
Gubernur Kalteng tersebut adalah dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) yaitu
Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Kemudian
diterbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 52 Tahun 2008 sebagai Petunjuk
Teknis, yang diperbaharui dengan Pergub Nomor 15 Tahun 2010 [4].
Tentunya
ini menjadi paradoksal dan menjadi tamparan tersendiri bagi Gubernur Kalimantan
Tengah dimana beliau mendapat penghargaan namun sekarang seakan-akan
penghargaan itu sudah tidak berarti lagi. Sedangkan mengenai penegakan hukum
sampai sekarang pihak penegak hukum belum menangkap mereka yang telah secara
tidak bertagung jawab membakar lahan dengan sengaja tanpa unsur kelalaian dan
juga sudah menimbulkan kerugian. Kapolresta Palangkaraya AKBP Nyoman Artana keterangan terkait penindakan terhadap pelaku pembakar lahan yang ada di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Senin (1/10) mengaku, hingga saat ini pihaknya belum
melakukan penindakan terhadap pembakar lahan [5].
Jika sudah seperti ini fitnah
untuk masyarakat secara umum khususnya masyarakat asli Kalimantan Tengah yaitu
suku Dayak menyasar kepada mereka. Pola pikir yang harus diluruskan bahwa
paradigma mengenai sistem perladangan masyarakat Dayak adalah dengan cara
membakar lahan itu menjadi penyebab dari permasalahan kebakaran lahan ini.
Menengok kembali kemasa silam dimana pada tahun 1997 kebakaran besar tejadi
dilahan gambut yang ada di Kalimantan
Tengah. Kasus kebakaran hutan dan lahan
gambut pada tahun 1997 menunjukkan bahwa sekitar 80% dari luas lahan Proyek Pengembangan Lahan Gambut
(PPLG) 1,4 juta hektar di Kalimantan Tengah diliputi oleh titik titik panas (hot
spots), yang sebarannya semakin banyak ke arah saluran pengatusan
(drainase) yang telah dibangun (Jaya et al., 2000; Page et al.,
2000). Ancaman itu memang akhirnya terjadi bahwa sekitar 500.000 ha kawasan
PPLG di Kalimantan Tengah telah terbakar selama kebakaran tahun 1997 (Page et
al., 2000; Siegert et al., 2002) [6]. Bukan karena budaya suku
Dayak yang menjadi kebakaran besar dilahan gambut itu terjadi namun karena
pembukaan lahan gambut untuk dijadikan lahan pengembangan pertanian dengan cara
membabat hutan dan membuat kanal air.
Pembukaan lahan berskala kecil dengan
cara membakar di masyarakatKalimantan dan Sumatra telah tumbuh sekitar 200
tahun yang lalu (Lawrence and Schlesinger, 2001; UNDP, 1998). perladangan
dilakukan secara berpindah-pindah (shifting cultivation
) dan sistem tabas bakar (slash
and burn) yang biasa disebut “swidden agriculture”. Pembakaran terkontrol menurut kearifan lokal
masyarakat Dayak adalah menyangkut alat, sumberdaya manusia, dan cara-cara membakar.
Jika lahan untuk berladang sudah mengalami penebasan dan kering, maka pembakaran
pun dimulai.
Sebelum melakukan pembakaran,
masing-masing anggota kelompok membersihkan tatas (sekat bakar) yang telah
dibuat sebelumnya dengan menggunakan alat tebas berupa parang dan sebatang kayu
untuk mengumpulkan bahan bahan bakar pada tatas (sekat bakar) dipindahkan ke
tengah areal ladang yang akan dibakar. Bahan bakar lainnya berupa vegetasi semak
dan pohon kecil didalam ladang ditebas hingga rebah. Selanjutnya dikeringkan
selama beberapa minggu. Setelah sekat dianggap aman maka salah satu anggota
kelompok memulai membakar menggunakan alat korek api, obor bambu, atau obor
yang dibuat dari ikatan rumput-rumputan yang sudah kering. Pembakaran dilakukan
berlawanan dengan arah angin” Kegiatan pembakaran terkendali tidak dapat
dipisahkan dengan kegiatan bertani.
Terdapat sedikit perbedaan cara
penggunaan api di lima desa terpilih walaupun benang merahnya sama yaitu
dilakukan secara terkendali (prescribed burning
) dan menghasilkan ladang bersih dari bahan bakar. Persamaan yang lain diantara
kelima desa tersebut adalah setiap mengerjakan pembukaan lahan di lakukan
secara bersama-sama (bergotong royong) yang disebut “handep” dan “panganrau”.
Handep adalah bahasa Dayak Kapuas, sedangkan panganrau bahasa Dayak Maanyan.
Khusus Dayak di Lawang Kajang, setelah mendirik dan meneweng sering melakukan
acara sesajen yang disebut “mengeriau” dengan maksud meminta ijin kepada
leluhur penunggu areal tersebut. Setelah itu baru dilakukan pengeringan hasil
tebasan. Kegiatan lain sebagai kelanjutan dari menugal adalah “membawaw” atau
“membawan” yang berarti merumput atau menyiangi gulma.Berbarengan dengan
kegiatan tersebut dilakukan juga kegiatan “meneseng” atau “itumoang” yang
berarti menyulam tanaman mati. Kegiatan lain yang masih berhubungan dengan
perladangan adalah “galang binyi” yang berarti menyimpan benih ditempat khusus Distribusi
tenaga manusia, jika yang bekerjasama sebanyak 10 orang, adalah sebagai berikut
: 3 orang menjaga api loncat/menyebrang di bagian utara atau selatan ladang, 3
orang menjaga api loncat di sebelah timur ladang, 3 orang menjaga api liar di
sebelah Barat ladang, 1 orang bertugas menyulut api dari areal berlawanan arah
angin.
Sedangkan metode pembakaran yang
umum dilakukan adalah sebagaimana disajikan pada Untuk tepi ladang yang
berbatasan dengan sungai atau saluran handil, biasanya tidak dijaga karena
dianggap aman. Penanganan api yang terlanjur besar dan luas tidak ditemukan dalam
tradisi masyarakat Dayak di 5 desa penelitian. Demikian juga tindakan bakar
balas (reburn ) dalam suatu kebakaran tidak pernah dilakukan
penduduk lokal. Peralatan yang digunakan saat pembakaran terkendali masih
tradisional yaitu menggunakan geretan minyak tanah, korek api, parang, ember
berair, ikatan rumput ilalang, tongkat kayu, dan cabang/ranting pohon yang
diikat sebagai alat pemukul api loncat. Untuk mendukung kegiatan pembakaran
terkendali di desa dan pemadaman dini, sebaiknya peralatan yang perlu disediakan
di setiap RPK, idealnya mengikuti pengalaman dari Unit PengelolaKonsesi Hutan dapat
dilihat dalamTabel 7 ( Nicolas, 1999; Arisman, 1997,Temmes, 1992) [7].
Maka
jelaslah kebakaran lahan dan hutan yang terjadi selama ini bukan dari budaya
masyarakat Dayak namun mereka adalah oknum masyarakat yang tidak bertangung
jawab bdan bahkan telah melanggarkan
ketentuan budaya itu sendiri. Harapan terakhir penulis adalah segera jalan
peraturan yang sudah ada mengenai penangulan dan antisipasi kebakaran lahan dan
hutan, saat pemerintah daerah tidak saling menyalahkan namun belajar dari
praktek/pengalaman yang ada.
Fiat
justitia Ruat Coellum (tegakan
Keadilan walau langit akan runtuh).
Sahabatmu @Aryo Sang Penggoda !
22:37,
Sabtu, 06/10/2012
[2] Radat
Sampit, Rabu 12 September 2012, Hlm 1
[6] Kebakaran Hutan
Dan Lahan Gambut: Karakteristik Dan Penanganannya, Ahmad Kurnain, Jurusan Tanah,
Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat Jl. Jend. A. Yani Km 36
Banjarbaru 70714 E-Mail: Akurnain@Unlam.Ac.Id
[7]
Lihat STUDI KEARIFAN LOKAL PENGGUNAAN
API PERSIAPAN LAHAN: Studi Kasus di Hutan Mawas, Kalimantan Tengah (Study of Local Wisdom in Using Fire for
Site Preparation : A Case Study at Mawas Forest Area, Central
Kalimantan) Oleh/By : Acep Akbar Balai
Penelitian Kehutanan Banjarbaru Jl. Ahmad Yani Km. 28,7 Landasan
ulin Banjarbaru e-mail : acep_akbar@yahoo.com
mantab mas bro,...ojo lali follow juga blog ane lah...
BalasHapus