Jumat, 11 Mei 2012

My Komentar Terhadap Dicabutnya 2 pasal UU No.18 tahun 2004 tentang Perkebunan Pasal 21 Jo Pasal 47 Ayat (1) & (2)

Oleh Aryo Sang Penggoda di BULETIN SURAM ( SUARA MAHASISWA ) · Sunting Dokumen · Hapus
Pertanyaan :
1.      Apa Komentar Bung ?
Saat kedua pasal tersebut diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh empat orang korban sengketa lahan yang diserobot tanahnya oleh pihak perusahaan. Diantara keempat orang tersebut bernama Japin dan Vitalis Adi dua petani dari  Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat dimana tanah mereka diserobot dan saat kedua petani tersebut bersama masyarakat mencegah dan menghentikan pengambilalihan tanah mereka malah dikriminalisasikan/dijebloskan dipenjara dengan jeratan pasal 21 UU perkebunan “ Turut serta dengan sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan” mereka berdua divonis 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Ketapang.
Komentarnya :
  1. Setelah tercabutnya kedua Pasal itu masyarakat sedikit lega walaupun tidak secara keseluruhan dikarenakan kepastian hukum untuk masyarakat masih lemah, Hak-hak masyarakat yang ingin mengarap lahannya sendiri masih terancam dikarenakan masih banyaknya tekanan-tekanan bahwa masyarakat harus melepaskan lahan garapnya atau istilah lebih santun bermitra dengan perusahaan demi lancarnya pembangunan daerah. Khusus dikalimantan tengah sebelum perkebunan sawit kian masif masuk masyarakat setempat baik lokal dan nonlokal (transmigrasi) sudah memanfaatkan lahannya secara turun menurun dengan menanam karet, jelutung, pantung dll dengan model tanam tinggal dan lahan tetap (baca : lahan transmigrasi). Namun sejak perkebunan sawit masuk lahan-lahan garap masyarakat pun mulai berganti dengan perkebuan sawit dan masyarakat hanya mendapat bagian 20% dari lahan perkebunan sawit untuk Plasma sesuai dengan PerMentan Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, walau pun sebagian masih juga masih menolak dengan berbagai macam alasan, hutan adat, tidak tercemarnya sungai didaerah sekonyer kabupaten barito timur desa dayu. Sekali lagi instrumen hukum pun masih lemah memihak kepada masyarakat, aduan-aduan masyarakat atas penolakan perkebunan masih banyak berdatangan kepada pihak-pihak penerima aspirasi namun fakta dilapangan lahan masyarakat tetap ditanami sawit oleh perusahaan.
  2. Perlunya adanya sosialisasi yang intens terhadap tercabutnya kedua pasal ini agar masyarakat mempunyai hak untuk menolak dan mempunyai ruang untuk penyampaian aspirasi oleh aparat penegak hukum di negeri ini.
  1. Apa benar pasal-pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi karena bersifat umum sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum ?
Komentar :
“ Larangan melakukan perbuatan “ seperti yang diatur dalam pasal 21 Jo 47 tersebut dirumuskan secara samar-samar tidak jelas dan rinci, hal tersebut telah terbukti memberi peluang untuk disalah gunakan sebagai mana kasus-kasus pengkriminalisasian yang terjadi hari ini. Rumusan delik pemidanaan dalam pasal-pasal tersebut sangat berpotensi disalahgunakan sewenang –wenang oleh penguasa dan jelas ini tidak adil (fair). Hal ini jelas menimbulkan ketidakpastian hukum dan merupakan pelanggaran atas negara hukum (the rule of law) dimana hukum harus jelas, mudah dipahami, dan dapat menegakan keadilan. Pasal tersebut juga telah membatasi hak – hak konstitusional warga negara dalam mengembang diri demi memenuhi kebutuhan dasar, hak atas rasa aman serta bebas dari rasa takut. Karena dalam pasal tersebut masyarakat ditakut-takuti untuk membela haknya.
  1. Ada opini bahwa kedua pasal tersebut mengkriminalisasi siapapun yang mengangu usaha perkebunan dan melakukan tindakan okupasi tanah tanpa izin. Apa komentar Bung ?
Komentar :
Iya benar, sesuai dengan bunyi pasal 21 Jo 47 ayat (1) dan (2) “ setiap orang -----seterusnya”, jadi sangat jelas bahwa setiap orang yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan dapat dikriminilasikan. Okupasi adalah pendudukan/pengunaan tanah tanpa seizin pemegang hak, sesuai dengan UUPA No.5 tahun 1960 jika tanah belum dibebani hak berarti tanah tersebut milik negara. Mengenai apakah PBS itu mengokupasi tanah itu dilihat dari segi kelengkapan adminitrasinya semacam Hak Guna Usaha (HGU) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Negara(BPN), adanya Pelepasan Kawasan Hutan jika itu didalam kawasan hutan berdasarkan Keputusan bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 364/Kpts-II/1990, nomor 519/Kpts/Hk.050/7/1990 dan nomor 23/VIII/1990 tentang ketentuan pelepasan kawasan hutan dan pemberian hak guna usaha untuk pengembangan, Jika itu semua tidak dipenuhi maka perusahaan tersebut melakukan okupasi tanah secara ilegal.
  1. Apa perlu pemerintah mengkaji kembali peraturan-peraturan yang ada agar petani atau masyarakat tidak menjadi korban atas beroperasinya usaha perkebunan sawit ? minta komentar Bung?
Komentar :
Tentu, karena peraturan hari ini baik UU sampai PERDA sesuai dengan hirarki perundang-undang indonesia No.10 tahun Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, belum menyentuh subtansi dari keinginan masyarakat. Pendistribusian tanah pada hari ini masih belum merata diterima oleh masyarakat indonesia semuanya untuk pembangunan fisik dan pengusaha, contoh kasus dijawa tanah sudah semakin langka untuk para petani dan sekarang merendsek masuk kedaerah diluar jawa salah satunya pulau kalimantan. Tanah adalah hak dasar manusia untuk memenuhi kebutuhannya sendiri perlu adanya land refrom/reformasi agraria hak mutlak yang harus pemerintah ambil. Sengketa/konflik dengan adanya perkebunan sawit skala besar juga berujung pada masalah tanah dan ini membuktikan bahwa tanah adalah masalah yang sangat penting untuk melanjutkan kehidupan seseorang dan tidak dibenarkan adanya monopoli tanah.
  1. Apa tanggapannya terkait UU N0.18 tahun 2004 yang notabene dinilai menginterprestasikan perkebunan dalam bentuk skala besar ? dalam hal ini juga dinilai lebih menjamin perkebunan skala besar dan investasi serta mendukung pelangengan industri sawit besar dan pembukaan lahan baru salah satunya terkait dengan pengakuan atas hak masyarakat adat terutama masyarakat adat. Artinya, UU tersebut memberi izin untuk mengunakan tanah yang dimiliki oleh masyarakat adat.
Komentar :
Faktanya memang seperti itu, Negara ini mengakui adanya masyarakat adat namun hanya skedar pengakuan nama namun tidak diakui secara hak-hak sebagai masyarakat adat, kedua masyarakat adat akan mengalami kesulitan dalam hal legalitas karena ciri dari masyarakat adat yaitu hukum yang tidak tertulis dan kelemahan ini lah membuat perusahaan semakin rakus untuk mengusur kearifan-kearifan lokal/adat. masyarakat adat mengenal dengan adanya hutan adat, salah satu contoh dikalimantan tengah hutan adat yang tidak boleh diganggu/dirusak disebut dengan pahewan. Masalah berikutnya adalah banyaknya persyaratan yang mengatur pembuktian bahwa masyarakat adat itu ada atau tidak disuatu wilayah. Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada, Nurhasan Ismail menilai pasal 21 dan 47 Undang-Undang No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan mengancam hak ulayat masyarakat hukum adat. "Karena hak ulayat masyarakat hukum adat di Indonesia itu tak diatur secara jelas dan tegas," ujarnya saat menjadi saksi ahli dalam sidang uji materi pasal 21 dan 47 undang-undang tersebut, di Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa 22 Februari 2011(TEMPO Interaktif, Jakarta).
  1.        Apa benar kedua pasal tersebut berpihak kepada pengusaha ? kalau benar, minta alasanya?
Komentar :
Sangat jelas sekali bahwa kedua pasal itu untuk kepentingan pengusaha, terkesan super boddy bahwa perusahaan tidak boleh di “ganggu”, tanpa melihat terjadinya konflik itu muncul seperti apa. Pasal – pasal tersebut dibuat agar pengusaha aman dalam melaukan investasi, namun yang menjadi persoalan adalah dengan adanya pasal-pasal itu melupakan tanggung jawabnya salah satunya penyelesaian tanah kepada masyarakat. Banyak ditemui kasus bahwa perusahaan langsung mengusur tanaman warga padahal perusahaan hanya mengantongi izin lokasi yang belum dicros cek dilapangan apakah disitu sudah ada hak atas tanah diatasnya berupa kebun warga dll.
  1.     Apa benar UU tersebut mengacu pada konteks perkebunan sawit, bukan perkebunan secara luas.
Komentar :
Secara eksplisit tidak ada menyebutkan bahwa UU No.18 tahun 2004 tentang perkebunan hanya mengacu pada satu komiditi saja yaitu perkebunan dibidang sawit, seperti yang termuat dalam pasal 15 tentang jenis dan perizinan usaha perkebunan, pasal 15 ayat (1) Usaha perkebunan terdiri atas budi daya tanaman perkebunan dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan. Namun sekali lagi bila berbicara dilapangan khususnya dikalimantan tengah, sawitlah yang menjadi primadona perkebunan yang dikembang oleh pihak investor mengingat pasar sangat membutuhkan olahan dari sawit disebut CPO untuk dijadikan beberapa produk.
  1. Ada opini yang menyebutkan kedua pasal yang dicabut dalam keputusan MK dinilai merugikan petani dan masyarakat adat karena karena mengatur larangan untuk melakukan perbuatan disebut sebagai ganguan terhadap investasi perkebunan.
Komentar :
Benar, karena kedua pasal tersebut membuat petani dan masyarakat kehilangan haknya untuk menolak perkebunan sawit masuk kedaerah mereka. Saat pemberian izin lokasi oleh pejabat setempat sesuai dengan peraturan yang berlaku biasa masyarakat tidak dilibatkan. Setelah perusahaan perkebunan sawit membuka lahan saat itu lah masyarakat diberi tahu bahwa lahan/tanah garap mereka akan ditanami sawit. Kedua pasal tersebut menghalangi masyarakat dan membuat ketakutan dimasyarakat dikarenakan ada sanksi pidana disana, masyarakatpun sering dikriminalisasi dengan jeratan kedua pasal tersebut saat masyarakat mencoba mempertahankan haknya baik paska penenaman saat perusahaan membersihkan lahan dan saat waktu pemanenan, masyarakatpun biasanya ikut memanen karena mereka menyakinin tanah tersebut adalah milik mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar