Selasa, 27 September 2016

Pembaharuan Agraria (Pertanian Indonesia Di Bawah Rezim WTO)

Mengapa masyarakat menjual tanah jika tanah itu adalah sumber penghidupan ....?


Pembeharuan Agraria merupakan tulisan Ferry J.Juliantono dalam bukunya Pertanian Indonesia Di Bawah Rezim WTO, diterbitkan oleh Banana - Jakarta, tahun 2007 dengan tebal 206 halaman. Buku Ferry ini merupakan Tesisnya dalam menempuh kuliah di Pascasarjana Program Study Hubungan Internasional, Universitas Indonesia.

Dalam buku, Pertanian Indonesia Di Bawah Rezim WTO, Ferry membagi tulisanya menjadi sepuluh tulisan dan khusus mengenai pembaharuan Agraria, Ferry menempatkanya pada bagian sembilan. Bagian pembaharuan Agraria inilah tulisan ini akan lebih banyak bermuara sebagai batasan, walaupun juga tidak mengesampingkan hal-hal penting lainya.

Seperti yang ditulis oleh Ferry bahwa ia menyatakan Bukunya ini didedikasikan untuk kaum tani Indonesia. Begitu pula saya, yang hanya bisa menulis ulang tulisan orang lain ini mengucapkan dan menanamkan harapan maksimum atas situasi kongrit kaum tani Indonesia, khususnya di Kalimantan Tengah, yang kian hari kian terhimpit oleh adanya monopoli tanah dari pihak korporasi.

Pertama-pertama Ferry menunjukan peristiwa penting mengenai WTO khsusnya mereka yang menolak. Pada tanggal 10 September 2013, mantan ketua Federasi Petani Korea Selatan Lee Kyung Hae ini memutuskan melakukan aksi bunuh diri dengan cara menusukkan tubuhnya pada barikade baja dalam pembukaan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) V WTO di Cancun, Meksiko. Lee menolak WTO dengan alasan sebagai pembawa bencana : Pasar Bebas, Liberalisasi perdagangan dalam produk pertanian merupakan awal malapetaka yang bakal dialami para petani terutama di negara-negara berkembang. Di tanggal 18 November 2005 dua petani dari Korea Selatan tersebut mengikuti aksi Lee, sebulan sebelum dilaksanakanya KTM VI WTO. Sama seperti Lee, melalui tindakan tragis itu merekapun menyerukan penolakan terhadap pembukaan pasar bebas untuk komoditi beras di negeri mereka.

Pandangan Mengenai Neoliberalisme

Selanjutnya, Fenomena WTO adalah verikasi empiris terhadap gagasan-gagasan ekonomi liberal dan Neoliberalisme adalah label untuk pemikiran ekonomi liberalisme yang berkembang dalam kancah pembicaraan kebijakan ekonomi internasional sejak dekade 1970-an sampai sekarang. Beberapa aspek yang menjadi ciri khas Neoliberalisme adanya peranan lembaga-lembaga multilateral, seperti Bank Dunia, IMF, dan General Agreement on Tarrif and Trade (GAAT), kini Word Trade Organization (WTO), yang berlaku layaknya sebuah pemerintah global (global governance) yang secara aktif mempersiapkan infrastruktur baru menuju terciptanya pasar bebas di dunia. Salah satunya adalah ditetapkanya dolar Amerika Serikat sebagai mata uang dunia, mengantikan emas. Sebagai sebuah gerakan ideologis, gagasan neoliberal semakin memiliki fondasi setelah terbitnya Internasional Economics Karya Robert Mundell dan Arthur Flemming pada 1986.

Secara umum, terminologi “neoliberalisme“ digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena terkait proses menjauhkan kontrol negara atau proteksi negara atas ekonomi dan lebih menekankan pada kontrol korporasi atas pasar. Adanya berbagai variasi dalam praktek neoliberalisme tidak menjadi satu-satunya istilah yang digunakan untuk menjelaskan proses tersebut.

Dalam konteks kebijakan internasional, neoliberalisme mendukung penciptaan pasar bebas melalui mekanisme politik, seperti melalui jalur diplomasi, tekanan ekonomi, dan berbagai kalangan dengan pendekatan militer. Pembukaan pasar seluruhnya mengacu pada penciptaan pasar bebas dan pembentukan pembagian kerja dunia. Biasanya, neoliberalisme dikembangkan dengan mengunakan tekanan politik multilateral melalui beberapa organisasi internasional atau pakta-pakta perjanjian ekonomi seperti melalui Word Trade Organization (WTO), Bank Dunia, dan Asian Development Bank. Tekanan-tekanan tersebut pada umumnya mengacu pada upaya mempromosikan minimalisasi peranan negara dalam perekonomian. Neoliberalisme juga menekankan pentingnya privatisasi sebagai upaya untuk mengambil alih intervensi negara dalam kegiatan ekonomi dan produksi.

Untuk meningkatkan efisiensi dan meminimalisir pengangguran, neoliberalisme secara prinsipal menolak kebijakan-kebijakan negara disektor perburuhan, seperti upah minimum dan hak untuk melakukan perundingan secara kolektif. Selain itu, neoliberalisme juga menolak sosialisme, proteksionisme, enviromentalisme, fair trade, dan menurut para kritikus, neoliberalisme menghancurkan mekanisme demokratik dalam kehidupan ekonomi dan politik.

Karenanya, negara-negara yang menerapkan sistem negara kesejahteraan terdorong untuk melakukan privatisasi. Dorongan neoliberalisme sebagai bagian utama dari Globalisasi adalah memaksimalkan sumber daya yang tersedia di seluruh dunia, seperti buruh murah, sumber bahan mentah dan bahan baku pasar, dengan sangat efisien dan dengannya akan tersedia pasar yang lebih luas yang bisa diisi oleh negara-negara maju.

Dalam konteks Indonesia, praktek neoliberal bisa di lihat misalnya dalam pengurangan peran negara di wilayah sosial ekonomi, termasuk didalamnya sektor pendidikan dan kesehatan ini terlihat jelas dari besaran anggaran pendapatan dan belanja negara untuk sektor-sektor tersebut. Namun bila dilihat menyeluruh, terjadi pula peningkatan jumlah anggaran yang di alokasikan untuk pertahanan dan keamanan. Peningkatan anggaran di bidang militer bisa disebabkan oleh gejolak sosial dalam masyarakat akibat kemiskinan dan kebijakan-kebijakan yang cenderung bertentangan dengan kepentingan rakyat. Dalam posisi itu, negara sesungguhnya tetap dalam situasi yang kuat dan tetap memiliki pengaruh terhadap kelangsungan ekonomi. Salah satu dampak lebih lanjutnya adalah berlangsungnya praktek pretorianisme, di mana kendali ekonomi berada di tangan militer baik secara langsung maupun tidak. Bila dibiarkan kondisi ini akan turut menyebabkan distorsi pasar dan kegagalan dalam mencapai kesejahteraan sosial sebagaimana yang diasumsikan para penggagas liberalisme.

Melakasanakan Pembaruan Agraria

Kedaulatan pangan adalah visi yang harus dicapai dengan kerja keras dan sistematis. Untuk itu terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi. Disamping peninjauan-bahkan mungkin penghentian-iplementasi AoA[1], syarat pokok lain untuk mencapai kedaulatan pangan adalah dilaksanakannya pembaharuan agraria. Setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan pentingnya pelaksanaan pembaharuan agraria. Faktor pertama adalah rusaknya sistem produksi pertanian dan pangan. Kedua, meningkatnya jumlah petani miskin dan gurem. Kedua faktor tersebut memiliki hubungan yang dialektik dan saling mempengaruhi.

Hancurnya sistem produksi pertanian dan pangan disebabkan oleh rendahnya kemampuan produksi kaum tani Indonesia. Hal ini ditandai dengan rendahnya penguasaan atas sarana-sarana kerja pertanian yang berakibat pada rendahnya produktvitas pertanian secara keseluruhan. Keadaan ini tercipta karena secara umum petani Indonesia memiliki kararkter subsisten dengan skala produksi yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya beban biaya untuk pengadaan input-input pertanian, khususnya sejak di berlakukanya revolusi hijau, yang ditambah dengan meningkatnya kebutuhan hidup, serta berbagai beban lain (seperti jeratan utang terhadap rentenir) dan buruknya sistem distribusi produk pertanian, menyebabkan proses yang disebut dengan “Ploletarisasi” di pendesaan. Petani-petani melepaskan kepemilikan dan penguasaannya atas tanah garapan demi menyeimbangkan pendapatan dengan kebutuhan.

Melemahnya atau menghilangnya akses petani atas lahan menyebabkan terjadinya sentralisasi atau monopoli penguasaan lahan. Keadaan ini menyebabkan lemahnya posisi tawar penggarap dan buruh tani yang diperlihatkan dari meningginya biaya sewa lahan dan rendahnya upah buruh petani. Akibatnya, sistem bagi hasil pertanian yang terselenggara tidak banyak memihak para penggarap. Hasil-hasil pertanian, baik berupa barang maupun uang, justru lebih banyak mengalir kepada kalangan bukan petani.

Melemahnya akses petani penggarap atas lahan membuka peluang terjadinya konversi lahan pertanian menjadi areal industri dan pemukiman. Perubahan fungsi lahan tidak hanya membawa dampak kepada perubahan tata guna lahan, tetapi juga membawa dampak ikutan yang cukup besar dan beragam. Pencemaran tanah dan air akibat tidak terkelolanya sarana pengolahan limbah industry dan pemukiman menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan yang berdampak pada kesimbangan lingkungan dan kelangsungan produktivitas pertanian. Turunnya produktivitas pertanian yang tidak sebanding dengan laju pertambahan penduduk pada giliranya memaksa dilakukannya impor produk pertanian dan bahan pangan. Kebijakan ini, sedikit banyak “Menolong” kehidupan masyarakat perkotaan, namun mempertinggi bencana bagi masyarakat pedesaan. Membanjirnya produksi (overproduksi) negara-negara maju kemudian memaksa turunnya harga jual produk-produk pertanian domestik yang mengakibatkan melebarnya kesenjangan antara pendapatan dengan pengeluaran petani.

Pembaharuan agraria adalah jawaban yang paling ilmiah untuk mengatasi persoalan-persoalan diatas. Pembaharuan agraria memecahkan kebuntuan Indonesia dalam hal meningkatkan produktivitas agraria, memberikan jaminan hidup bagi kaum tani sebagai mayoritas rakyat, serta memberikan alas yang paling mendasar untuk meningkatkan kesejahteraan kaum tani sebagai kaum mayoritas rakyat Indonesia.

Pembaharuan agraria bukanlah pembaruan pertanian (agriculture reform), karena tidak hanya menyentuh aspek ekonomi, melainkan juga aspek politik. Maksudnya, pembaharuan agraria tidak hanya berkisar kepada peningkatan produksi pertanian, melainkan sampai menyentuh aspek distribusi produk pangan dengan secara merata.

Esensi pembaharuan agraria adalah demokrasi akses atas tanah sebagai sarana pokok produksi pertanian. Manifestasi dari upaya ini adalah dengan melakukan pembatasan kepemilikan maksimum lahan pertanian dan membagikan kelebihan lahan kepada petani, khususnya petani miskin dan buruh tani. Upaya ini disebut dengan land reform atau secara populer dikenal dengan pembagian tanah.

Terdapat dua cara utama yang biasa dilakukan untuk menjalankan Land Reform. Pertama, membagikan tanah secara langsung kepada petani miskin dan buruh tani. Cara ini disebut dengan program maksimum land reform. Biasanya, hal ini dilakukan oleh negara setelah melakukan pembatasan maksimum kepemilikan tanah. Pengaturan mengenai hal ini sebenarnya telah tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960. Kedua, melakukan penataan sistem bagi hasil pertanian yang adil, melalui penurunan sewa tanah dan peningkatan upah buruh tani. Cara kedua ini disebut dengan program minimum land reform. Berdasarkan dua cara teresebut, demokratisasi akses atas tanah pertanian diharapkan bisa mendorong terselenggarannya pemerataan distribusi hasil pertanian. Mengenai pelaksanaan bagi hasil yang adil telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH) nomor 2 tahun 1961.

Kedua cara tersebut tidak akan berhasil mencapai kesejahteraan petani apabila tidak ditopang dengan program penataan produksi dan koperasi hasil-hasil pertanian. Penataan produksi dan koperasi hasil-hasil pertanian adalah jaminan ekonomi dan politik bagi petani untuk mempertahankan hasil-hasil perjuangan pembaruan dan meningkatkan kesejahteraannya. Penataan produksi dimaksudkan untuk mempertinggi produktivitas pertanian, sementara koperasi hasil-hasil pertanian dimaksudkan untuk menjamin pemerataan manfaat hasil pertanian.

Program penataan produksi dan koperasi hasil-hasil pertanian tidak akan bisa dilaksanakan dengan sempurna apabila tidak didahului dengan pelaksanaan land reform. Demikian pula dengan pelaksanaan land reform tidak akan mencapai hasilnya yang maksimal apabila tidak segera ditopang dengan penataan produksi dan koperasi hasil-hasil pertanian. Gabungan dari kedua program inilah yang kemudian disebut dengan pembaharuan agraria atau reforma agraria.

Untuk konstek Indonesia, Undang-Undang mengenai Pembatasan tanah dan Undang-Undang bagi hasil bisa katakan “mati suri”. Stigma politik yang dikembangkan Orde Baru telah mengakibatkan pudarnya mandat esensial dari kedua UU. Pada saat ini, ketika berbagai upaya untuk mengubah UU yang mengatur masalah agraria mengalami berbagai hambatan, pemerintah telah memutuskan untuk mengembalikan peranan UUPA No.5 tahun 1960 ke dalam fungsi semula. Namun upaya yang didorong keras oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) sepertinya akan terganjal setelah keluarnya undang-undang Penanaman Modal yang dalam beberapa aspek menggerus esensi UUPA, khususnya pada usaha pembatasan kepemilikan maksimum tanah.
Disisi lain, nasib UUPBH justru belum jelas. Padahal, dalam konteks Indonesia saat ini, ketika hubungan penyekapan ala feodal masih belum sepenuhnya hilang, pelaksanaan UU bagi hasil untuk menciptakan sistem bagi hasil pertanian yang lebih adil, justru lebih memiliki peluang. Apalagi ketika jumlah tenaga kerja pertanian mengalami penurunan akibat derasnya arus urbanisasi yang semakin tidak sebanding dengan luas lahan pertanian yang bisa digarap. Para pemilik lahan pertanian yang luas sudah pasti membutuhkan ketersedian tenaga kerja yang cukup banyak untuk mengolah lahannya. Situasi ini, bila dipandu dengan baik oleh pemerintah, bisa memberi peluang bagi buruh tani dan penggarap untuk menegoisasikan sistem bagi hasil pertanian yang lebih baik. Dengan demikian, selain bisa menopang kebutuhan tenaga kerja pertanian, produktivitas lahan pertanian pun bisa lebih efisien dan mampu mengalami peningkatan.

Pembaruan agraria memiliki tiga aspek yang satu dengan yang lainnya tidak terpisahkan. Pertama, aspek politik untuk mengubah relasi produksi yang berbasiskan kepemilikan monopoli atas tanah. Kedua, land reform memiliki aspek ekonomi untuk meningkatkan kemampuan ekonomi kaum tani di pedesaan. Ketiga, pembaruan agraria memiliki aspek budaya. Dalam pengertian ini, perombakan struktur hubungan produksi feodalisme memberikan dorongan bagi perubahan cara kerja yang pada gilirannya akan mengubah kesadaran kerja di kalangan kaum tani.

Bukan suatu yang kebetulan bila pelaksanaan pembaruan agraria di beberapa negara, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Cina, sesungguhnya turut memberikan sumbangan yang signifikan bagi kemajuan industri di negara-negara tersebut.

Hal ini memungkinkan karena pembaruan agraria yang sejati memberikan peluang bagi terjadinya akumulasi kapital secara domestik yang mengkikis ketergantungan pada modal asing. Selain itu, pembaruan agraria akan juga memberikan basis yang stabil bagi peningkatan daya beli sebagai syarat bagi terciptanya pasar domestik yang mendukung industri nasional.

Sayangnya dalam Buku ini tidak menyebutkan bagaimana cara untuk menegakan pembaruan agaria yang sejati. Karena pada fakta masalah pembaruan agraria tidak begitu populer khususnya di kalangan luas mayoritas masa rakyat. Bahkan masih ada nada sintimen dengan tiap gerakan pembaruan agraria yang sejari dengan label komunis. Tentunya persoalan sekarang adalah menghubungkanya langsung pada kenyataan dilapangan, apakah padangan penulis buku ini relevan atau hanya teoritik yang tidak berdasar. Waktu yang akan menjawab itu semua !

17 September 2015
Aryo Nugroho (Pelajar di Young School Agrarian Movement Kalimantan Tengah)


[1] AoA adalah salah satu pakta Internasional WTO yang dihasilkan melalui serangkaian perundingan dalam Putaran Uruguay dari GAAT. Pakta ini diberlakukan bersamaan dengan berdirinya WTO 1 Januari 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar