Sebelum abad XIV, daerah Kalimantan Tengah termasuk daerah yang masih
murni, belum ada pendatang dari daerah lain. Saat itu satu-satunya alat
transportasi adalah perahu. Tahun 1350 Kerajaan Hindu mulai memasuki daerah
Kotawaringin. Tahun 1365, Kerajaan Hindu dapat dikuasai oleh Kerajaan
Majapahit. Beberapa kepala suku diangkat menjadi Menteri Kerajaan.
Tahun 1620, pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh
Kerajaan Demak, agama Islam mulai berkembang di Kotawaringin. Tahun 1679
Kerajaan Banjar mendirikan Kerajaan Kotawaringin, yang meliputi daerah pantai
Kalimantan Tengah. Daerah-daerah tersebut ialah : Sampit, Mendawai, dan
Pembuang. Sedangkan daerah-daerah lain tetap bebas, dipimpin langsung oleh para
kepala suku, bahkan banyak dari antara mereka yang menarik diri masuk ke
pedalaman.
Di daerah Pematang Sawang Pulau Kupang, dekat Kapuas, Kota Bataguh pernah
terjadi perang besar. Perempuan Dayak bernama Nyai Undang memegang peranan
dalam peperangan itu. Nyai Undang didampingi oleh para satria gagah perkasa,
diantaranya Tambun, Bungai, Andin Sindai, dan Tawala Rawa Raca. Di kemudian
hari nama pahlawan gagah perkasa Tambun Bungai, menjadi nama Kodam XI Tambun
Bungai, Kalimantan Tengah.
Tahun 1787, dengan adanya perjanjian antara Sultan Banjar dengan VOC,
berakibat daerah Kalimantan Tengah, bahkan nyaris seluruh daerah, dikuasai VOC.
Tahun 1917, Pemerintah Penjajah mulai mengangkat masyarakat setempat untuk
dijadikan petugas-petugas pemerintahannya, dengan pengawasan langsung oleh para
penjajah sendiri. Sejak abad XIX, penjajah mulai mengadakan ekspedisi masuk
pedalaman Kalimantan dengan maksud untuk memperkuat kedudukan mereka. Namun
penduduk pribumi, tidak begitu saja mudah dipengaruhi dan dikuasai. Perlawanan
kepada para penjajah mereka lakukan hingga abad XX. Perlawanan secara frontal,
berakhir tahun 1905, setelah Sultan Mohamad Seman terbunuh di Sungai Menawing
dan dimakamkan di Puruk Cahu.
Tahun 1835, Agama Kristen Protestan mulai masuk ke pedalaman. Hingga
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, para penjajah tidak mampu
menguasai Kalimantan secara menyeluruh. Penduduk asli tetap bertahan dan
mengadakan perlawanan. Pada Agustus 1935 terjadi pertempuran antara suku Dayak
Punan yaitu Oot Marikit dengan kaum penjajah. Pertempuran diakhiri dengan
perdamaian di Sampit antara Oot Marikit dengan menantunya Pangenan atau
Panganon dengan Pemerintah Belanda.
Menurut Hermogenes Ugang , pada abad ke 17, seorang misionaris Roma
Katholik bernama Antonio Ventimiglia pernah datang ke Banjarmasin. Dengan
perjuangan gigih dan ketekunannya hilir-mudik mengarungi sungai besar di
Kalimantan dengan perahu yang telah dilengkapi altar untuk mengurbankan Misa,
ia berhasil membapbtiskan tiga ribu orang Ngaju menjadi Katholik. Pekerjaan
beliau dipusatkan di daerah hulu Kapuas (Manusup) dan pengaruh pekerjaan beliau
terasa sampai ke daerah Bukit. Namun, atas perintah Sultan Banjarmasin, Pastor
Antonius Ventimiglia kemudian dibunuh. Alasan pembunuhan adalah karena Pastor
Ventimiglia sangat mengasihi orang Ngaju, sementara saat itu orang-orang Ngaju
mempunyai hubungan yang kurang baik dengan Sultan Banjarmasin.
Dengan terbunuhnya Pastor Ventimiglia maka beribu-ribu umat Katholik orang
Ngaju yang telah dibapbtiskannya, kembali kepada iman asli milik leluhur
mereka. Yang tertinggal hanyalah tanda-tanda salib yang pernah dikenalkan oleh
Pastor Ventimiglia kepada mereka. Namun tanda salib tersebut telah kehilangan
arti yang sebenarnya. Tanda salib hanya menjadi benda fetis (jimat) yang
berkhasiat magis sebagai penolak bala yang hingga saat ini terkenal dengan
sebutan lapak lampinak dalam bahasa Dayak atau cacak burung dalam bahasa
Banjar.
Di masa penjajahan, suku Dayak di daerah Kalimantan Tengah, sekalipun telah
bersosialisasi dengan pendatang, namun tetap berada dalam lingkungannya
sendiri. Tahun 1919, generasi muda Dayak yang telah mengenyam pendidikan
formal, mengusahakan kemajuan bagi masyarakat sukunya dengan mendirikan Serikat
Dayak dan Koperasi Dayak, yang dipelopori oleh Hausman Babu, M. Lampe , Philips
Sinar, Haji Abdulgani, Sian, Lui Kamis , Tamanggung Tundan, dan masih banyak
lainnya. Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, bergerak aktif hingga tahun 1926.
Sejak saat itu, Suku Dayak menjadi lebih mengenal keadaan zaman dan mulai
bergerak.
Tahun 1928, kedua organisasi tersebut dilebur menjadi Pakat Dayak, yang
bergerak dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Mereka yang terlibat aktif
dalam kegiatan tersebut ialah Hausman Babu, Anton Samat, Loei Kamis. Kemudian
dilanjutkan oleh Mahir Mahar, C. Luran, H. Nyangkal, Oto Ibrahim, Philips
Sinar, E.S. Handuran, Amir Hasan, Christian Nyunting, Tjilik Riwut, dan masih
banyak lainnya. Pakat Dayak meneruskan perjuangan, hingga bubarnya pemerintahan
Belanda di Indonesia.
Tahun 1945, Persatuan Dayak yang berpusat di Pontianak, kemudian mempunyai
cabang di seluruh Kalimantan, dipelopori oleh J. Uvang Uray , F.J. Palaunsuka,
A. Djaelani, T. Brahim, F.D. Leiden. Pada tahun 1959, Persatuan Dayak bubar,
kemudian bergabung dengan PNI dan Partindo. Akhirnya Partindo Kalimantan Barat
meleburkan diri menjadi IPKI. Di daerah Kalimantan Timur berdiri Persukai atau
Persatuan Suku Kalimantan Indonesia dibawah pimpinan Kamuk Tupak, W. Bungai,
Muchtar, R. Magat, dan masih banyak lainnya.
Pakat Dayak
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pada tahun 1937, generasi muda
Kalimantan yang telah mengenyam pendidikan formal, mengerti dan mengikuti
perkembangan zaman, mengadakan pertemuan untuk membicarakan segala sesuatu
mengenai urusan suku Dayak dan urusan tanah Dayak sendiri. Pertemuan ini diadakan
karena mereka merasa prihatin akan situasi dan keadaan masyarakat sukunya.
Dalam segala raad-raad atau komite-komite yang diadakan oleh pihak pemerintah
Belanda, ataupun pihak partikulir, orang-orang dari suku Dayak tidak pernah
diberi kesempatan untuk duduk di situ, walau kenyataannya poin pembicaraan
adalah urusan tanah Dayak sendiri. Wakil Kalimantan di Volksraad Pejambon, juga
tidak memberikan perhatian sehingga keinginan rakyat Dayak tidak pernah
terdengar sampai Pejambon.
Kemudian didirikan suatu komite yang diberi nama Komite Kesadaran Suku Dayak. Tujuan utama pendirian ialah untuk menuntut hak dan kedudukan dalam Sidang Dewan Rakyat serta mengobarkan semangat suku Dayak akan nasib tanah airnya. Komite ini telah mengumpulkan beribu-ribu tanda tangan dari seluruh suku Dayak, baik yang berdomisili di Kalimantan, maupun yang sedang merantau, untuk meminta kedudukan dalam Dewan Rakyat yang disampaikan kepada Pemerintah Agung.
Kemudian didirikan suatu komite yang diberi nama Komite Kesadaran Suku Dayak. Tujuan utama pendirian ialah untuk menuntut hak dan kedudukan dalam Sidang Dewan Rakyat serta mengobarkan semangat suku Dayak akan nasib tanah airnya. Komite ini telah mengumpulkan beribu-ribu tanda tangan dari seluruh suku Dayak, baik yang berdomisili di Kalimantan, maupun yang sedang merantau, untuk meminta kedudukan dalam Dewan Rakyat yang disampaikan kepada Pemerintah Agung.
Maksud dan Tujuan Pendirian Pakat Dayak
Maksud dan tujuan pendirian Pakat Dayak, seperti tersebut dalam Anggaran
Dasar, pasal 2 dan 3, adalah sebagai berikut:
Pasal 2
Dasar
Perhimpunan ini berdasar pada persatuan suku Dayak dengan mengindahkan
persamaan hak dan kewajiban. Maksud persatuan ini ialah penggabungan seluruh
suku Dayak, hingga merupakan satu golongan yang besar dan teratur.
Pasal 3
Tujuan
a. Mengejar ketinggalan derajat suku, baik dalam soal politik, sosial dan
ekonomi.
b. Persatuan seluruh suku Dayak
c. Mengejar segala hak-hak yang diakui oleh Hukum Negara.
d. Mempertinggi kembali Adat Leluhur, serta Kebudayaan Suku.
Terlihat dari pernyataan tersebut bahwa perhimpunan Pakat Dayak bukan
perhimpunan keagamaan, sehingga siapapun yang merasa seorang Dayak berhak
menjadi anggota.
Dalam usianya yang keempat, Pakat Dayak telah beranggotakan empat ribu lima
ratus orang. Cabangnya tersebar di Dusun Timur, Barito, Kapuas, Kahayan,
Samarinda, Pontianak, Katingan, Mentaya, Pangkalan Bun, Sebangau, Seruyan,
bahkan dua cabang berada di Jawa. Dalam waktu singkat, Pakat Dayak telah mampu membangun
9 buah sekolah serta berpuluh-puluh warung kecil.
Sumber : Buku Maneser Panatau Tatu Hiang
Karya Tjilik Riwut/Ceritarakyat.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar