Dayu, Desa
Tertua dan Bersejarah
TAMIANG LAYANG -- Desa Dayu dahulunya dikenal sebagai Kampung Amungin
yang kini menjadi ibu kota Kecamatan Karusen Janang Kabupaten Barito Timur.
Desa ini merupakan desa paling tua dan bersejarah di kecamatan ini.
Sebagian besar penduduk Kecamatan Karusen Janang bermukim di desa ini. Dewasa ini, Desa
Dayu tumbuh dan berkembang
pesat dari generasi ke generasi, sayangnya sejarah desa ini semakin hilang
dimakan kecanggihan zaman.
Penghulu adat Desa Dayu, Kurdiman Nyalat (68) mengatakan, masyarakat Bartim sendiri
banyak yang sudah tidak
mengetahui lagi sejarah
Desa Dayu.
“Desa Dayu
sudah
ada sejak abad 14,” ungkapnya.
Dijelaskan Kurdiman, sebelum menjadi desa, kawasan
Dayu hanya berupa hutan belukar dan tidak
seorang pun yang menempati.
“Pada abad 14, ada perantauan warga Dayak Ma’anyan yang membuat
pemukiman. Awal mulanya dalam mencari tempat tinggal baru, mereka melintasi wilayah muara Sungai Barito (sekarang
Marabahan, Kabuapten
Barito Kuala), di sana ternyata sudah ada pemukiman penduduk yang
diidami oleh Suku
Dayak
Bakumpai,” lanjut Kurdiman.
Sampai di pertengahan Sungai Barito (sekarang wilayah
Bangkuang, Kabupaten Barito
Selatan) dan kawasan pesisir Muara Plantau hingga ujung Sungai Paku (Sekarang Desa
Ngurit di Kabupaten Barsel), ternyata sudah didiami penduduk. Sehingga akhirnya
diputuskan untuk menyusuri Sungai Karusen. Di sanalah didapati hutan belantara
yang diapit oleh dua sungai dan diberi nama perkampungan Amungin dan Mawunto.
Karena Mawunto sedang
dilanda wabah semut yang sangat banyak (saat ini dijadikan warga sekitar untuk
mencari sarang semut untuk dijadikan obat) yang membuatnya tidak bisa dimukimi.
Sehingga Kampung Amunginlah yang kemudian dipilih sebagai pemukiman tetap warga
Dayak Ma’anyan. Tanahnya yang subur dan makmur.
Pada zaman kerajaan Banjar,
Amungin dipimpin oleh Patis Layang, Dammung Tupo dan Uria Biring yang dipercaya
sebagai petinggi atau dianggap sebagai Raja Amungin. Pada tahun 1590, Kampung
Amungin ditetapkan menjadi Kampung Dayu yang dipimpin oleh Dammung pada zaman
Kadammungan. Di antaranya yang terkenal ada 5 Dammung, yakni Dammung Tupo,
Dammung Renak, Dammung Rina, Dammung Raya dan Dammung Manyang.
Pada zaman itu pula, ada kerjasama Kadamungan dengan
kerajaan Banjar dalam melawan penjajah Belanda dan Jepang. Baik dalam
pertempuran maupun sebagai tempat persembunyian para Raja Banjar yang
dikejar-kejar oleh penjajah. Sejak tahun 1790 hingga 1954, tercatat ada 15
kepala kampung (warga menyebutnya dengan sebutan Pambakal).
Kepala kampung yang dikenal pada zaman penjajahan Belanda di antaranya Nawa (tahun 1970–1810), Ganing
(1810–1826), Layat (1826–1876), Ngalam (1876–1896), Lungki (1896–1922) dan
Laden (1922–1942). Sedangkan kepala kampung yang terkenal di zaman penjajahan Jepang
adalah Dina (1942–1945).
Hasil penelusuran Metro7, warga Dayak Suku Ma'anyan sudah ada sejak abad 25 M. Perpecahan pemukiman warga suku
Dayak Ma'anyan diakibatkan kalah perang melawan kerajaan Majapahit (Usak
Jawa).
Di Kabupaten
Bartim sendiri
yang notabene adalah Kerajaan Dayak Ma'anyan, juga terdapat Kerajaan
Nansarunai. Kerajaan
ini merupakan
kerajaan yang didirikan
sendiri oleh suku Dayak Ma'anyan.
Wilayah yang dahulunya menjadi lokasi kerajaan Nansarunai, saat ini dikenal
sebagai kota Amuntai ibu kota Kabupaten HSU Provinsi Kalimantan Selatan. Suku Banjar belakangan
mendominasi wilayah ini diduga merupakan hasil perkawinan warga Dayak Ma’anyan
dengan warga dari suku Melayu Palembang (Sriwijaya). Di zaman dahulu juga
dikenal terdapat Kerajaan Negara Dipa.
Sementara itu, setelah
peristiwa “Usak Jawa”, suku Dayak Ma’anyan berpencar ke berbagai penjuru. Ada
yang mendiami wilayah Barito Kalimantan Tengah, seperti wilayah Buntok, Telang,
Patai, Ampah, Tampa, Dayu, Tamiang Layang, dan Balawa hingga ujung Barito
(Muara Teweh dan Puruk Cahu) serta berbagai daerah lainnya.
Asal usul nama Desa Dayu
Nama Dayu pertama kali muncul saat diucapakan oleh beberapa orang yang datang
ketempat itu dan menikmati buah tersebut dan mengatakan "Ang da
dayu'en"(tidak mencukupi) entah karena buah durian tersebut sangat enak
atau sebaliknya yang pasti kata tersebut menjadi sangat populer dan menjadi
ikon tempat tersebut. Seiring perjalanan waktu tempat itu yang dulunya hanyalah
hutan belantara mulai ditinggali dan menjadi tempat adat masyarakat sehingga
akhirnya menjadi sebuah desa dan dinamakan Dayu.
Pohon yang dulu menjadi ikon tempat ini sebenarnya masih ada, tapi karena
pembangunan, pohon tersebut dipotong saya sendiri pun masih sempat untuk
menikmati dan mengambil buah durian yang fenomenal itu dulu. Ditempat ini juga
dulu menjadi tempat kuburan Raja-raja dan keluarganya serta para pembantu
kerajaan. Namun kuburan-kuburan tersebut juga telah dipindah, ada yang
dikedaton dan ada pula yang dikuburkan kembali secara moderen.
Ow ya, Dayu juga punya ikon sampai saat ini yaitu Abeh(orang yang berubah
menjadi patung) dan tiap tahun biasanya selalu diadakan acara adat untuk
memberi makan patung tersebut. Jadi tunggu postingan selanjutnya ya buat
ngebahas tentang "Abeh" ya....hehe
Maaf kalau ada
cerita yang salah itu hanya beberapa versi yang pernah saya dengar....!!!
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar