Jumat, 14 September 2012

Dayu, Desa Tertua dan Bersejarah


Dayu, Desa Tertua dan Bersejarah 

TAMIANG LAYANG -- Desa Dayu dahulunya dikenal sebagai Kampung Amungin yang kini menjadi ibu kota Kecamatan Karusen Janang Kabupaten Barito Timur. Desa ini merupakan desa paling tua dan bersejarah di kecamatan ini.

Sebagian besar penduduk Kecamatan Karusen Janang bermukim di desa ini. Dewasa ini, Desa Dayu tumbuh dan berkembang pesat dari generasi ke generasi, sayangnya sejarah desa ini semakin hilang dimakan kecanggihan zaman.

Penghulu adat Desa Dayu, Kurdiman Nyalat (68) mengatakan, masyarakat Bartim sendiri banyak yang sudah tidak mengetahui lagi sejarah Desa Dayu.

“Desa Dayu sudah ada sejak abad 14,” ungkapnya.

Dijelaskan Kurdiman, sebelum menjadi desa, kawasan Dayu hanya berupa hutan belukar dan tidak seorang pun yang menempati.

“Pada abad 14, ada perantauan warga Dayak Ma’anyan yang membuat pemukiman. Awal mulanya dalam mencari tempat tinggal baru, mereka melintasi wilayah muara Sungai Barito (sekarang Marabahan, Kabuapten Barito Kuala), di sana ternyata sudah ada pemukiman penduduk yang diidami oleh Suku Dayak Bakumpai,” lanjut Kurdiman.

Sampai di pertengahan Sungai Barito (sekarang wilayah Bangkuang, Kabupaten Barito Selatan) dan kawasan pesisir Muara Plantau hingga ujung Sungai Paku (Sekarang Desa Ngurit di Kabupaten Barsel), ternyata sudah didiami penduduk. Sehingga akhirnya diputuskan untuk menyusuri Sungai Karusen. Di sanalah didapati hutan belantara yang diapit oleh dua sungai dan diberi nama perkampungan Amungin dan Mawunto.

Karena Mawunto sedang dilanda wabah semut yang sangat banyak (saat ini dijadikan warga sekitar untuk mencari sarang semut untuk dijadikan obat) yang membuatnya tidak bisa dimukimi. Sehingga Kampung Amunginlah yang kemudian dipilih sebagai pemukiman tetap warga Dayak Ma’anyan. Tanahnya yang subur dan makmur.

Pada zaman kerajaan Banjar, Amungin dipimpin oleh Patis Layang, Dammung Tupo dan Uria Biring yang dipercaya sebagai petinggi atau dianggap sebagai Raja Amungin. Pada tahun 1590, Kampung Amungin ditetapkan menjadi Kampung Dayu yang dipimpin oleh Dammung pada zaman Kadammungan. Di antaranya yang terkenal ada 5 Dammung, yakni Dammung Tupo, Dammung Renak, Dammung Rina, Dammung Raya dan Dammung Manyang.

Pada zaman itu pula, ada kerjasama Kadamungan dengan kerajaan Banjar dalam melawan penjajah Belanda dan Jepang. Baik dalam pertempuran maupun sebagai tempat persembunyian para Raja Banjar yang dikejar-kejar oleh penjajah. Sejak tahun 1790 hingga 1954, tercatat ada 15 kepala kampung (warga menyebutnya dengan sebutan Pambakal).

Kepala kampung yang dikenal pada zaman penjajahan Belanda di antaranya Nawa (tahun 1970–1810), Ganing (1810–1826), Layat (1826–1876), Ngalam (1876–1896), Lungki (1896–1922) dan Laden (1922–1942). Sedangkan kepala kampung yang terkenal di zaman penjajahan Jepang adalah Dina (1942–1945).

Hasil penelusuran Metro7, warga Dayak Suku Ma'anyan sudah ada sejak abad 25 M. Perpecahan pemukiman warga suku Dayak Ma'anyan diakibatkan kalah perang melawan kerajaan Majapahit (Usak Jawa)

Di Kabupaten Bartim sendiri yang notabene adalah Kerajaan Dayak Ma'anyan, juga terdapat Kerajaan Nansarunai. Kerajaan ini merupakan kerajaan yang didirikan sendiri oleh suku Dayak Ma'anyan.

Wilayah yang dahulunya menjadi lokasi kerajaan Nansarunai, saat ini dikenal sebagai kota Amuntai ibu kota Kabupaten HSU Provinsi Kalimantan Selatan. Suku Banjar belakangan mendominasi wilayah ini diduga merupakan hasil perkawinan warga Dayak Ma’anyan dengan warga dari suku Melayu Palembang (Sriwijaya). Di zaman dahulu juga dikenal terdapat Kerajaan Negara Dipa.

Sementara itu, setelah peristiwa “Usak Jawa”, suku Dayak Ma’anyan berpencar ke berbagai penjuru. Ada yang mendiami wilayah Barito Kalimantan Tengah, seperti wilayah Buntok, Telang, Patai, Ampah, Tampa, Dayu, Tamiang Layang, dan Balawa hingga ujung Barito (Muara Teweh dan Puruk Cahu) serta berbagai daerah lainnya. 

Asal usul nama Desa Dayu

Nama Dayu pertama kali muncul saat diucapakan oleh beberapa orang yang datang ketempat itu dan menikmati buah tersebut dan mengatakan "Ang da dayu'en"(tidak mencukupi) entah karena buah durian tersebut sangat enak atau sebaliknya yang pasti kata tersebut menjadi sangat populer dan menjadi ikon tempat tersebut. Seiring perjalanan waktu tempat itu yang dulunya hanyalah hutan belantara mulai ditinggali dan menjadi tempat adat masyarakat sehingga akhirnya menjadi sebuah desa dan dinamakan Dayu.

Pohon yang dulu menjadi ikon tempat ini sebenarnya masih ada, tapi karena pembangunan, pohon tersebut dipotong saya sendiri pun masih sempat untuk menikmati dan mengambil buah durian yang fenomenal itu dulu. Ditempat ini juga dulu menjadi tempat kuburan Raja-raja dan keluarganya serta para pembantu kerajaan. Namun kuburan-kuburan tersebut juga telah dipindah, ada yang dikedaton dan ada pula yang dikuburkan kembali secara moderen.

Ow ya, Dayu juga punya ikon sampai saat ini yaitu Abeh(orang yang berubah menjadi patung) dan tiap tahun biasanya selalu diadakan acara adat untuk memberi makan patung tersebut. Jadi tunggu postingan selanjutnya ya buat ngebahas tentang "Abeh" ya....hehe
Maaf kalau ada cerita yang salah itu hanya beberapa versi yang pernah saya dengar....!!!

Sumber :





Tidak ada komentar:

Posting Komentar