Kamis, 26 Juli 2012

Maoisme atau Pemikiran Mao Zedong


Maoisme atau Pemikiran Mao Zedong (Hanzi sederhana: 泽东思pinyin: Máo Zédōng Sīxiǎng), adalah varian dari Marxisme-Leninisme berasal dari ajaran-ajaran pemimpin komunis Cina Mao Zedong (Wade-Giles Romanization: "Mao Tse-tung").

Perlu dicatat bahwa istilah Pemikiran Mao Zedong lebih disukai oleh Partai Komunis Cina (PKT) dan bahwa istilah Maoisme tidak pernah dipergunakan dalam terbitan-terbitan bahasa Inggrisnya kecuali dalam penggunaan peyoratif. Demikian pula, kelompok-kelompok Maois di luar Cina biasanya menyebut diri mereka Marxis-Leninis dan bukan Maois. Ini mencerminkan pandangan Mao bahwa ia tidak mengubah, melainkan hanya mengembangkan Marxisme-Leninisme. Namun demikian, beberapa kelompok Maois, percaya bahwa teori-teori Mao telah memberikan tambahan berarti kepada dasar-dasar kanon Marxis, dan karena itu menyebut diri mereka "Marxis-Leninis-Maois" (MLM) atau "Maois" saja.

Di RRT, pemikiran Mao Zedong adalah bagian dari doktrin resmi Partai Komunis Cina, namun sejak 1978, permulaan pembaruan Deng Xiaoping yang berorientasi ekonomi pasar, dengan konsep tampilnya ke barisan depan "sosialisme dengan ciri khas Cina" dalam politik, diberlakukanlah pembaruan ekonomi Cina, dan definisi resmi serta pernaan ideologi asli Mao di RRT secara radikal telah diubah dan dikurangi (lihat Sejarah Cina). Di luar RRT, istilah Maoisme digunakan sejak 1960-an, biasanya dalam pengertian yang negatif, untuk menggambarkan partai-partai atau orang-orang yang mendukung Mao Zedong dan bentuk komunismenya. Sejak kematian Mao dan pembaruan oleh Deng, kebanyakan partai yang secara tegas menyebut dirinya "Maois" telah lenyap, namun berbagai kelompok komunis di seluruh dunia, khususnya yang bersenjata seperti Partai Komunis India (Maois), Partai Komunis Nepal (Maois) dan Tentara Rakyat Baru di Filipina, terus memajukan gagasan-gagasan Maois dan memperoleh perhatian pers karenanya. Kelompok-kelompok ini biasanya berpendapat bahwa gagasan-gagasan Mao telah dikhianati sebelum sempat sepenuhnya atau dengan semestinya diterapkan.

Maoisme dan turunannya dengan kuat mendukung Uni Soviet dari era pra-Nikita Khruschev dan menganggap perkembangan dari Bahasa Rahasia telah memulai "revisionisme" dan "imperialisme-sosial" negara itu. Biasanya orang menganggap bahwa kaum Maois mengambil garis politik yang anti-revisionis dan yang umumnya lebih militan daripada "ko-eksistensi damai" yang diajukan oleh Soviet dan para pengikutnya setelah 1956. Biasanya kebanyakan Maois menganggap Joseph Stalin sebagai pemimpin sosialis sejati terakhir dari Uni Soviet.
Daftar isi
Teori Maois

Berbeda dengan bentuk-bentuk Marxisme-Leninisme yang lebih awal, di mana kaum proletar perkotaan dianggap sebagai sumber utama revolusi, dan daerah pedesaan pada umumnya diabaikan, Mao memusatkan perhatian pada kaum buruh-tani sebagai kekuatan revolusioner yang utama, yang, menurutnya, dapat dipimpin oleh kaum proletari dan pengawalnya, PKT. Model untuk ini adalah for perang rakyat berkepanjangan yang dilakukan oleh komunis Cina di pedesaan pada 1920-an dan 1930-an, yang akhirnya mengantarkan PKT ke tampuk kekuasaan. Lebih jauh, berbeda dengan bentuk-bentuk Marxisme-Leninisme lain di mana pembangunan industri besar-besaran dipandang sebagai suatu kekuatan positif, Maoisme menjadikan pembangunan pedesaan keseluruhan sebagai prioritasnya. Mao merasa bahwa strategi ini masuk akal di masa tahap-tahap awal sosialisme di sebuah Negara di mana kebanyakan rakyatnya adalah buruh-tani.

Berbeda dengan kebanyakan ideology politik lainnya, termasuk ideologi sosialis dan Marxis, Maoisme mengandung doktrin militer yang integral dan secara eksplisit menghubungkan ideologi politiknya dengan strategi militer. Dalam pemikiran Maois, "kekuasaan politik berasal dari moncong senapan " (salah satu kutipan ucapan Mao), dan kaum buruh-tani dapat dimobilisasi untuk melakukan "perang rakyat" dalam perjuangan bersenjata yang melibatkan perang gerilya dalam tiga tahap.

Tahap pertama melibatkan mobilisasi dan pengorganisasian kaum buruh-tani. Tahap kedua melibatkan pembanugnan wilayah basis di pedesaan dan peningkatan koordinasi di antara organisasi-organisasi gerilya. Tahap ketiga melibatkan transisi ke perang konvensional. Doktrin militer Maois menyamakan pejuang gerilya dengan ikan yang berenang di sebuah lautan yang penuh dengan buruh tani, yang memberikan dukungan logistik.

Maoisme menekankan "mobilisasi massa yang revolusioner " (secara fisik memobilisasi sebagian besar penduduk dalam perjuangan demi sosialisme), konsep tentang Demokrasi Baru, dan Teori Angkatan Produktif sebagaimana yang diterapkan dalam industri-industri tingkat desa yang tidak tergantung dengan dunia luar (lihat Lompatan Jauh ke Depan). Dalam Maoisme, pengorganisasin yang cermat atas kekuatan militer dan ekonomi yang besar adalah perlu untuk mempertahankan wilayah revolusi dari ancaman luar, sementara sentralisasi menjaga agar korupsi dapat terus diawasi, di tengah-tengah kontrol yang kuat, dan kadang-kadang perubahan, melalui kaum revolusioner di ranah seni dan ilmu pengetahuan.

Mao Zedong dan Korban 70 juta Jiwa


Coen Husain Pontoh Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)
DALAM buku Understanding the Venezuelan Revolution, Martha Harnecker mengajukan pertanyaan kepada presiden Venezuela Hugo Chavez, “….faktor apa dalam hidup anda yang memberikan inspirasi secara politik dan apa visi anda bagi gerakan kiri Venezuela?” Chavez menjawab pertanyaan itu agak panjang, mulai ketika ia menjejakkan kakinya ke akademi militer pada 1970 serta keunikan sistem pendidikan militer Venezuela. Di akhir jawaban ia menutupnya dengan kalimat, “saya sangat suka tulisan-tulisan Mao dan saya mulai membaca karya-karyanya lebih banyak lagi.”
 Menurut Chavez, setelah membaca karya-karya Mao, ia sampai pada beberapa kesimpulan yang sangat mendasar. Salah satu yang paling penting dan paling diyakininya dari Mao adalah pengibaratan hubungan rakyat dengan tentara seperti keberadaan air bagi ikan. Air akan terus eksis tanpa ikan, sebaliknya ikan tak bisa hidup tanpa air. “Saya selalu percaya itu dan terus mencoba untuk menerapkannya…. Saya melihat kebutuhan yang kuat akan hubungan antara rakyat dan tentara,” ujar Chavez.
Pengaruh Mao Zedong (Mao Tse Tung) pada Chavez hanyalah satu contoh, bagaimana ajaran dan teladan Mao melintasi daratan Cina. Pada masa Perang Dingin, pengaruh itu jauh lebih besar lagi. Partai Komunis Indonesia (PKI), partai terbesar ketiga di dunia saat itu, bahkan membangun aliansi dengan Partai Komunis Cina (PKC) dalam bentuk Poros Jakarta-Peking. Secara teoritik, pengaruh Mao diduga memengaruhi analisa ekonomi-politik PKI tentang struktur masyarakat Indonesia, yang menyimpulkan masyarakat Indonesia adalah “setengah feodal, setengah kolonial.”
Pada 1968, ketika gerakan mahasiswa bergolak di jalan-jalan utama Perancis, banyak aktivisnya yang sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Mao. Ilmuwan politik Ellen Meiksins Wood mengatakan, strukturalisme Althusser yang anti humanis dan kalangan post-Marxis yang menolak pendekatan kelas dalam analisa sosial, salah satunya berakar pada Maoisme ini. Pengaruh Mao juga tampak pada Alan Badiou, salah satu filsuf kiri Prancis terkemuka saat ini.

Kalau kita mengikuti sejarah pemikiran dan praktek politik dari lelaki yang lahir di kota Saoshan, provinsi Hunan, 26 Desember 1893, maka pengaruhnya yang melintasi tembok Cina sangatlah wajar. Pria yang akrab disapa Paman Mao oleh pengikutnya itu, adalah pemimpin revolusi Cina dan kemudian menjadi pemimpin tertinggi Republik Rakyat Cina pada 1949. Sepanjang karir revolusionernya, Mao sarat dengan kontroversi. Dan tidak ada yang paling kontroversial selain tuduhan bahwa akibat program dan ambisi pribadinya akan kekuasaan yang tak terbatas, Mao telah membiarkan puluhan juta rakyat Cina mati kelaparan. Merayakan 117 tahun kelahirannya, tulisan ini akan menyoroti kontroversi itu.
Lompatan Jauh ke Depan
Pada Desember 1957, Mao mendeklarasikan program pembangunan ekonomi yang disebut “The Great Leap Forward” atau “Lompatan Jauh Ke Depan.” Menurut ekonom Minqi Li, cerita konvensional soal program Lompatan Jauh ke Depan dan seluruh kegagalannya, karena Mao memaksakan versi utopian komunisnya kepada para pemimpin partai. Melalui program-program yang tak ada justifikasi ilmiah dan bukti historis, Mao telah memaksa para pemimpin partai di tingkat provinsi dan lokal untuk memenuhi target produksi besar-besaran yang tidak realistis kepada para petani. Tidak adanya komunikasi yang efektif dan desentralisasi yang tidak masuk akal telah menyebabkan aktivitas ekonomi nasional mengalami kekacauan dan terjadi misalokasi sumberdaya yang luar biasa. Sementara itu rangsangan kepada petani untuk berproduksi semakin menurun akibat penentuan level pendapatan secara besar-besaran melalui sistem komune.
Hal-hal ini kemudian menyumbang pada gagalnya hasil produksi pertanian pada 1959 hingga 1962. Situasi gagal panen ini makin memburuk ketika pemerintah pusat mengambilalih produk pertanian kacang-kacangan dari daerah pedesaan, guna memenuhi kekurangan produksi kacang-kacangan secara nasional dari perkiraaan semula.
Akibat paling buruk dari gagalnya program Lompatan Jauh ke Depan ini, terjadi kemiskinan dan kelaparan massal yang luar biasa di seluruh Cina. Kemiskinan dan kelaparan ini adalah sesuatu yang terbesar dalam sejarah Cina, bahkan diklaim terbesar dalam sejarah umat manusia. Dan ini bukan kemiskinan biasa, melainkan kemiskinan yang mematikan dengan jumlah korban yang mendirikan buluroma. Para intelektual liberal dan pemimpin Cina pasca Mao, mengeluarkan angka-angka yang berbeda mengenai jumlah penduduk yang meninggal akibat kelaparan itu.
Pemerintah Cina di bawah Deng Xiaoping, dalam rangka pembabatan warisan Mao, terutama berkaitan dengan Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan, mengeluarkan laporan resmi bahwa jumlah penduduk yang mati akibat kemiskinan dan kelaparan tersebut mencapai 16,5 juta orang. Para peneliti Amerika, mengajukan angka yang lebih besar lagi, 30 juta orang. Jung Chang dan John Halliday, dalam buku larisnya Mao: the Unknown Story, muncul dengan angka 70 juta, dan buku terbaru dari sejarahwan Frank Dikötter, Mao’s Great Famine, menyebutkan angka sebesar 45 juta orang.
Validitas data
Munculnya beragam angka yang menyebutkan tingkat kematian itu, mungkin tidak begitu penting bagi sebagian kalangan selama ini. Toh kampanye yang dituju telah tercapai, “Mao telah membiarkan rakyatnya mati akibat kemiskinan dan kelaparan.” Tetapi, bagi mereka yang ingin menegakkan kebenaran ilmiah, jumlah angka yang berbeda-beda itu menimbulkan pertanyaan serius menyangkut validitas dan akurasi dari mana dan bagaimana angka itu diperoleh?
Berhadapan dengan kontroversi itu, kita mesti melampaui metode perhitungan statistik. Saya ingin mengajak anda untuk melihat perkembangan ekonomi dan sosial pada masa penerapan program Lompatan Jauh ke Depan. Demografer Judith Banister, salah satu pendukung tesis “the great death toll” mengatakan, dilihat dari segi tingkat harapan hidup pada tahun 1973-1975, maka posisi Cina lebih baik dari negara-negara Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, dan banyak negara Amerika Latin. Pada tahun 1981, Banister bersama S. Preston, menulis tentang “hasil luar biasa” yang dicapai pemerintah RRC berkaitan dengan pengurangan tingkat kematian, dengan tingkat harapan hidup diperkirakan mencapai 1,5 per tahun per kalender sejak negara komunis itu memerintah pada 1949. Tingkat angka harapan hidup meningkat dari 35 pada 1949 menjadi 65 pada 1970, saat dimana Mao masih berkuasa hingga ajal menjemputnya.
Data yang dikeluarkan oleh rejim Deng Xiaoping, juga menunjukkan angka pertumbuhan yang positif. Misalnya, produksi industrial meningkat sebesar 11,2 persen per tahun dari 1952-1976 (bertumbuh 10 persen per tahun selama periode revolusi kebudayaan yang dituduh sebagai periode terkelam dalam sejarah Cina). Pada tahun 1952, sumbangan sektor industri terhadap pendapatan nasional bruto sebesar 36 persen. Pada 1975, sumbangan sektor industri meningkat menjadi 75 persen, sementara sumbangan sektor pertanian sebesar 28 persen. Data lain dari Guo Shutian, mantan direktur kebijakan dan hukum kementrian pertanian Cina di masa Mao menyebutkan, benar bahwa produksi pertanian menurun dalam periode 1949-1978, karena “bencana alam dan kesalahan dalam praktek.” Namun demikian, ia mengatakan antara 1949-1978 jumlah produksi pangan biji-bijian meningkat sebesar 145,9 persen dan total produksi pangan meningkat sebesar 169,6 persen. Selama periode ini, penduduk Cina bertumbuh sebesar 77,7 persen. Berdasarkan data ini, menurut Shutian, produksi pangan per kapita Cina meningkat dari 204 kg menjadi 328 kg dalam periode tersebut.
Menyimak data-data di atas, menjadi aneh jika melihat jumlah puluhan juta orang yang meninggal akibat kelaparan dan kemiskinan. Dimana rasionalisasinya? Jika asumsinya tampilan ekonomi yang positif itu hanya terkonsentrasi pada segelintir elit partai, hal itu tidak sesuai dengan kenyataan bahwa pada masa Mao tingkat kesenjangan sosial masyarakat Cina adalah yang terbaik sepanjang sejarahnya. Berhadapan dengan keanehan ini, maka kita punya dua pilihan: pertama, percaya buta bahwa memang pada masa Lompatan Jauh ke Depan ada puluhan juta orang yang mati; atau kedua, kita menganggap angka-angka puluhan juta itu tak lebih sebagai propaganda murahan kalangan yang anti revolusi Cina. Namun demikian, pandangan hitam putih ini tidak memberikan banyak manfaat dalam melihat lebih jernih kontroversi tersebut, kecuali sikap ya tidak, ya tidak.
Ekonom Minqi Li memberikan penjelasan yang menarik soal itu. Menurut Li, data kasar tingkat kematian adalah 11.98, 14.59, dan 14.24 per seribu untuk tahun 1958, 1959, dan 1961. Sementara data kasar tingkat kematian untuk tahun 1960 adalah 25.43 per seribu. Tetapi, jika dibandingkan dengan tahun 1936 dan 1938, dimana data kasar tingkat kematian sebesar 28 pe seribu, padahal tahun-tahun itu bukanlah tahun-tahun yang miskin, lalu mengapa tahun 1960 disebut tahun kemiskinan? Boleh jadi alasannya, demikian Li, bahwa jumlah sebesar itu terjadi karena tahun 1936 dan 1938 adalah tahun perang dan pemerintah nasional juga tidak bisa mengontrol seluruh wilayah. Jika logika ini dipakai, maka pemerintah nasional tentu hanya bisa mengoleksi data dari wilayah yang bisa dikontrolnya, yang secara komparatif tentu lebih aman dan secara ekonomi lebih baik. Demikian juga, jika dibandingkan dengan rata-rata angka kasar tingkat kematian di seluruh dunia yang mencapai 18.5 per seribu pada 1950, maka angka kasar tingkat kematian di Cina pada tahun tersebut hanya sebesar 18 per seribu. Patut diketahui bahwa tahun 1950 adalah tahun pertama yang paling damai sejak Cina di bawah pemerintahan PKC. Dengan perbandingan ini, dimana tahun yang paling parah adalah 1960, maka menurut perhitungan Li, jumlah penduduk yang mati pada masa Lompatan Jauh ke Depan adalah sebesar 4.9 juta atau 0.7 persen dari total populasi Cina.
Tanggung jawab Mao?
Siapa yang harus bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan itu? Setelah program Lompatan Jauh ke Depan usai, pemerintah Mao menerbitkan laporan yang menyebutkan bahwa tragedi itu disebabkan oleh 70 persen akibat bencana alam dan 30 persen akibat kesalahan manusia. Tetapi, setelah rejim Deng Xiaoping berkuasa, komposisi itu dibalik: 70 persen akibat kesalahan manusia dan 30 persen akibat bencana alam. Dan 70 persen itu bebannya ditanggung oleh Mao Zedong.
Selama beberapa dekade, para intelektual liberal di Cina maupun di Barat, terus-menerus menabuh gendang yang sama, bahwa Maolah satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab atas kematian jutaan orang tersebut. Tuduhan ini didasarkan pada asumsi bahwa kekuasaan Mao terhadap partai dan negara adalah absolut. Asumsi ini sebenarnya sangat lemah. Studi-studi yang dilakukan para sinolog seperti William Hinton, menunjukkan bahwa para elite PKC tidaklah monolitik dan kekuasaan Mao tidaklah absolut. Hinton mengatakan, sejak kemenangan revolusi 1949, elite PKC terbelah menjadi dua faksi, yakni antara mereka yang menganut pendekatakan Politics in Command (PiC) atau penganut jalan sosialis yang berpusat pada figur Mao dan penganut pendekatan Technique in Command (TiC) atau penganut jalan kapitalis dengan tokoh sentralnya Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping. Kedua faksi ini terus-menerus memperebutkan pengaruhnya di kalangan birokrasi partai, negara, dan tentara. Dan dalam beberapa situasi historis tertentu, Mao menemukan posisinya sangat minor di kalangan pimpinan partai.
Dengan mengerti adanya faksionalisasi ini, maka tuduhan bahwa Mao adalah sosok yang paling bertanggung jawab atas peristiwa kematian massal tersebut adalah sebuah lelucon. Studi yang dilakukan generasi baru intelektual Cina, seperti Cheng Zhidan dengan jelas membantah tuduhan para intelektual kanan tersebut. Ilmuwan politik Dongping Han, yang keluarganya menjadi korban dalam peristiwa tersebut, setelah melakukan riset mendalam di wilayah-wilayah yang paling parah menderita kelaparan menemukan bahwa penduduk usia lanjut di daerah tersebut tidak pernah menyalahkan Mao atas tragedi itu.
Kalau bukan Mao, lalu siapa yang mesti bertanggung jawab? Ceritanya, seiring perubahan kepemimpinan politik di Uni Sovyet pasca kematian Stalin, Mao yang saat itu berusia 63 tahun mulai mengajukan gagasan untuk kepemimpinan baru di PKC pada kongres kedelapan partai yang berlangsung dari tanggal 12-27 September 1956. Kongres dilaksanakan ketika kondisi kesehatan Mao tengah memburuk, dan ia tidak ingin jika kematian menjemputnya terjadi pertarungan kekuasaan di partai, sebagaimana yang terjadi di Uni Sovyet pasca Stalin. Setelah kongres 1956 itu, Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping menjadi figur “garis depan” yang menangani urusan dalam negeri partai sehari-hari. Liu kemudian menempati posisi kedua tertinggi dalam partai dan selanjutnya menjadi pimpinan PKC setelah 1959. Sementara Deng menjadi sekretaris jenderal partai, yang kedudukannya nomor empat setelah Mao, Liu, dan Zhou Enlai. Mao secara bertahap mundur ke “garis kedua” dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengelola masalah hubungan luar negeri dan pertahanan nasional.
Menurut Li, dalam periode Juni hingga Oktober 1958, adalah Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping yang paling bertanggung jawab atas kebijakan Lompatan Jauh ke Depan, komune penduduk, produksi industrial, serta propaganda. Dengan fakta-fakta ini, Zhang Hongzhi secara terang-terangan mengatakan,
“Adalah Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping, sebagai tokoh yang paling bertanggung jawab atas Lompatan Jauh ke Depan, gerakan komune penduduk, dan gerakan produksi baja besar-besaran; Lebih dari itu, Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping, adalah orang yang paling “menentukan” (sekaligus pengawas) dalam propaganda. Pada saat itu, fakta-fakta ini, dari pimpinan tertinggi hingga pejabat terendah partai, semuanya mengerti dan mengetahui hal ini dalam hatinya.”
Kepustakaan:

Dongping Hang, “Farmers, Mao, and Discontent in China
From the Great Leap Forward to the Present, Monthly Review, Desember 2009.
Ellen Meiksins Wood, "Retreat From Class: A New 'True' Socialism," Verso, 1999.

Joseph Ball, “Did Mao Really Kill Millions in the Great Leap Forward?” Monthly Review, September 2006.

Minqi Li, “The Rise of China and the Demise of the Capitalist World Economy,” Monthly Review Press, 2008.

Marta Harnecker, “Understanding the Venezuelan Revolution Hugo Chavez Talks to Marta Harnecker,” Monthly Review Press, 2005.

William Hinton, “Turning Point in China: An Essay on the Cultural Revolution,” Monthly Review Press, 1972.

  
Tambahan :

Ada beberapa pandangan yang tak bisa terlewatkan dalam pembahasan revolusi kebudayaan di Cina. Pertama adalah sosok Mao yang sangat ideologis. Kedua, revolusi kebudayaan Cina merupakan sebuah langkah untuk mengembalikan RRC pada landasan sosialis komunis. Ketiga, revolusi kebudayaan Cina merupakan penghancuran modernisasi kapitalis yang sudah merasuk ke dalam pemerintahan Cina.Revolusi kebudayaan yang terjadi di RRC tidak diartikan sebatas perubahan dalam bidang seni, sastra, dan budaya saja. Revolusi kebudayaan merupakan tindakan Mao dan pengikutnya yang ingin mengembalikan RRC pada garis sosialis yang telah dibangun sejak RRC merdeka.    
         
Garis politik dan ideologi sosialis Mao terbentuk setelah membaca tiga buku penting, yaitu Manifesto Komunis terjemahan Chen Wang-tao, Pertarungan Kelas oleh Karl Kautsky dan Sejarah Sosialisme oleh Kirkupp. Pandangan-pandangan Mao sangat berpengaruh terhadap gerakan komunis di Cina. Saat menjadi pemimpin negara Cina, dia merupakan arsitek negara yang baru terbentuk tersebut. Dia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa RRC yang baru terbentuk merupakan negara yang bisa melebihi Eropa. Tak hanya itu, Mao dengan Cina yang baru terbentuk itu juga ingin mengubah cara pandang dunia internasional terhadap bangsa Cina. Hal ini karena, Cina pada waktu itu dipandang sebagai bangsa yang miskin, bodoh, dan terbelakang.

Pemikiran Mao tentang negara sosialis menjadi sebuah paham yang disebut dengan Maoisme. Dia tidak hanya meluapkan ide tentang cara pandang proletariat, tapi dia juga mengikuti jejak Lenin dalam mendirikan sebuah negara komunis Uni Soviet. Maoisme juga dipandang sebagai keluwesan dalam menerapkan komunisme yang disesuaikan dengan situasi objektif negeri Cina. 

Terkait dengan pembentukan sosialis komunisme di Cina, seperti dalam teori Marxis ortodoks, sebuah negara yang ingin melakukan revolusi sosialis proletariat harus melalui tahapan industri bourjois. Hal ini berdasarkan konsep materialisme dialektis. Di mana sintesis merupakan hasil pertentangan antara tesis dan antitesis. Cina dipandang tidak melalui tahapan industri bourjois terlebih dahulu. Dalam hal ini, intelektual di Amerika Latin berpendapat, bahwa bisa saja negara langsung menuju tahapan revolusi sosialis tanpa melalui tahapan industri bourjois.

Penerapan modernisasi klasik ataupun modernisasi baru merupakan bagian dari ideologi Barat kapitalis untuk mengeksploitasi sumber daya negara dunia ketiga semacam Cina pada waktu itu. RRC di bawah komunis bukanlah negara yang bergantung pada negara maju, meskipun pada waktu itu RRC dikatakan masih negara berkembang atau negara Dunia Ketiga.

Mao menginginkan Cina menjadi negara yang mandiri. Negara Dunia Ketiga bisa dikatakan sebagai negara yang menentang hegemoni ekonomi, politik, budaya, dan intelektual dari negara maju. Menurut saya, tindakan Mao dalam melakukan revolusi kebudayaan sebagai langkah untuk menghalang kaum intelektual kapitalis yang melakukan hegemoni Cina dalam berbagai bidang. 

Pada dekade 1960-an, sebuah pendekatan dependensi muncul di Amerika Latin untuk menjawab persoalan bangsa negara Dunia Ketiga karena hegemoni negara maju. Ketidakmampuan negara maju dalam menyelesaikan persoalan ekonomi pada negara dunia ketiga telah mengakibatkan ketidakpercayaan para cendikiawan kiri. Konsep pembangunan ekonomi di Cina pun diperkuat dengan melakukan modernisasi tanpa meninggalkan landasan dan ideologi komunisme. Model pembangunan Cina menjadi daya tarik bagi negara dunia ketiga yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar