Perjalanan Kemilikan Tanah Dayak Di Kalimantan Tengah
Sejak jaman dulu tanah merupakan
sebuah harta kekayaan yang menjadi sumber penghidupan dan kehidupan suku Dayak
di Kalimantan Tengah dengan sebuah pengertian Tanah adalah darah dan napasku,
tanah adalah jiwa penghidupanku, tanah adalah tempat tinggalku, tanah adalah
harta warisanku dan banyak lagi ungkapan orang Dayak dalam menghargai dan
mengkeramatkan tanah dengan berbagai makna serta ungkapan yang secara nyata,
juga menjadi bagian dari kebidupan suku dayak di Kalimantan Tengah dan sampai
sekarangpun masih dapat diterjemahkan ungkapan tersebut
Suku Dayak Kalimantan Tengah secara
umum mengungkapkan pengelolaan tanah air (Petak Danum) dengan menganut beberapa
konsep material yang bermakna walaupun dengan peruntukan yang berbeda-beda
seperti : (1) Petak Sahep, (2) Petak Kaleka, (3) Petak Batuah/Panatau, (4)
Petak Himba, (5) Petak Bahu, (6) Petak Bahu Lakau, (7) Petak Bahu Himba, (8)
Petak Tajahan, (9) Petak Panenga, (10) Petak Palaku, (11) Petak Pamatang, (12)
Petak Baruh, (13) Dan banyak lagi tanah (petak) yang diungkapkan sesuai dengan
kegunaan dan juga nilai kultur dalam mengartikan tanah. Dari semua kata
ungkapan nama tanah ini, sebagian besar merupakan tanah yang masih dianggap
memiliki nilai budaya dan adat oleh masyarakat Dayak Kalimantan Tengah serta
masih dimiliki oleh masyarakat baik secara adat maupun ulayat (tanah
kepemilikan secara berkelompok atau turun temurun/warisan). Tanah adat di
ungkapkan masyarakat sejak dahulu kala dimana sampai pada jaman penjajahan
tetap disebut tanah adat atau ulayat. Sebagian besar tanah-tanah itu diakui
oleh pemerintah jajahan seperti Belanda dengan membuat pengakuan yang disebut
Veklaring bagi pemilik tanah yang memiliki tanam tumbuh diatasnya seperti kebun
karet, rotan, pertanian dan juga sungai kepemilikannya diakui pada saat itu.
Sebagian tanah yang dimiliki secara adat pun ada memiliki surat kepemilikan
secara adat (surat adat tertulis) yang disahkan pada jaman pemerintahan
Kewedenaan (wedena) atau Tamanggung berkisar antara tahun 1802, 1918 sampai
1942.
Menurut suku Dayak Kalimantan Tengah
jaman dahulu, tanah adat dimiliki masyarakat dengan beberapa hal diantaranya:
- Tanah pembagian untuk berkebun atau bertani yang dibagikan oleh Pangirak atau Kepala Padang sebagai tempat berusaha (sekarang disebut Kepala Handel atau pada tingkat pemerintahan desa berada di Kepala Urusan Pemerintahan/Umum).
- Tanah dimiliki secara turun temurun (Kekeluargaan)
- Tanah diperoleh dari warisan
- Tanah diperoleh dengan cara barter (pertukaran barang)
- Tanah diperoleh dari jual beli (surat adat atau surat segel).
Rentetan Status Kepemilikan Tanah
Secara inklusif, kepemilikan tanah
harus dengan pengakuan kepemilikan, baik yang diakui oleh masyarakat atau
disebut tanah adat (milik individu, kelompok, warisan), maka dapat disarnpaikan
bahwa rentetan kepemilikan tanah seharusnya melalui sejarah kepemilikan secara
adat sampai pada tingkat kepemilikan yang berdasarkan aturan pemerintah.
Pengakuan itu diantaranya adalah sebagai berikut :
- Surat pengakuan kepemilikan tanah secara adat atau surat adat.
- Surat pengakuan kepemilikan tanah dengan segel adat atau surat segel
- Surat pengakuan tanah oleh pemerintah Belanda (jaman penjajahan) berupa surat Veklaring.
- Surat kepemilikan tanah (SKT).
- Sertifikat tanah.
Mengapa orang dayak atau masyarakat
di daerah pedalaman tidak mengikuti perkembangan jaman dalam membuat
kepemilikan tanah adat menjadi sertifikat tanah sesuai Undang-Undang Pokok
Angraria walaupun sebagian masyarakat sudah membuat sertifikat kepemilikan
tanah? Penyebabnya antara lain :
- Kultur budaya yang sangat kental melalui pengakuan Tanah Adat secara turun temurun atau secara kolektif.
- Tanah adat yang dimiliki secara berkelompok atau turun temurun yang dimiliki lebih dari satu orang sehingga sulit untuk membuat pengakuan hak atas tanah.
- Letak geografis kepemilikan tanah berada di daerah pedalaman.
- Pembiayaan pembuatan sertifikat dianggap sangat mahal dan harus mengeluarkan biaya ekstra untuk pengukuran tanah karena lokasi kepemilikan tanah berada pedalaman.
- Adanya peluang kepemilikan tanah hanya sebatas pada Surat Keterangan Tanah (SKT) saja dari pemerintah desa atau kecamatan.
Pengakuan Tanah Dan Pengelolaan Kawasan
Semakin kuatnya posisi masyarakat
untuk tetap mengakui tanah adat sampai saat ini, banyak kalangan mempertanyakan
apakah ada kebenaran atau hanya teriakan semata dalam mempertahankan tanah
adat? Jawabnya ya karena selama ini rakyat tidak diberikan pengakuan secara
moral bahwa itu memang posisi yang harus dipertegas kembali.
Pada jaman ini, keselarasan pembangunan
pun harus memperhatikan nilai-¬nilai budaya ditingkat masyarakat. Hal ini perlu
kita simak bahwa perilaku masyarakat Dayak yang mempunyai toleransi yang tinggi
dalam segala hal, namun perlu diperhitungkan bahwa bila terdesak, masyarakat
dapat melakukan apa saja yang dianggap menginjak harkat dan martabatnya kalau
selalu ditindas oleh pembangunan. Pengakuan adat sudah dilakukan secara turun
temurun, dari generasi ke generasi, hanya jaman selalu menjadi penghalang
berkembangbiaknya adat di Kalimantan Tengah. Dapat dicontohkan tentang sebuah
gerakan masyarakat adat bersarna antara lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam
memperjuangkan adat untuk tetap diperhatikan dan memperkuat posisi masyarakat
adat terhadap negara. Masyarakat adat selalu terdesak oleh pembangunan yang
tidak memperhatikan nilai-nilai adat istiadat dan kearifan-kearifan lokal.
Dalam memperjuangkan posisi
masyarakat adat terhadap negara tentu sangatlah sulit dan butuh waktu serta
kesempatan yang tepat. Beberapa rangkaian yang dilakukan oleh LSM Yayasan Petak
Danum Kalimantan Tengah di Kuala Kapuas Kalimantan Tengah bersama masyarakat
adat dalam memperjuangkan posisi rakyat ini antara lain :
- Memperjuangkan hak otoritas pengelolaan sumberdaya alam gambut untuk menghadang proyek pengembangan lahan gambut 1 juta hektar sejak tahun 1999.
- Rapat Besar Kadamangan Adat tahun 1998 di Ampah Kabupaten Barito Selatan.
- Pertemuan Kadamangan Adat Kabupaten Banito Selatan dan Kapuas 1999 di Kuala Kapuas
- Lokakarya Kadamangan Adat untuk menyusun strategic planning dalam mensosialisasikan adat sebagai alat perjuangan dalam menekan semakin hilangnya adat istiadat masyarakat akibat pengaruh jaman tahun 1997.
- Memperjuangkan adanya pengakuan atas tanah adat dan hak mengelola sumberdaya alam bagi masyarakat adat di kawasan tanah rawa gambut. Menghasilkan Siaran Pers Gubernur Propinsi Kalimantan Tengah tahun 1998 Point 5 bahwa sepanjang sepadan kiri-kanan sungai sejauh 5 km sebagai tempat masyarakat berusaha dan mengelola kawasan.
- Lokakarya penyusun aturan adat pengelolaan sumber daya alam dan kawasan ekosistem air hitam di Kabupaten Barito Selatan tahun 2000.
- Lokakarya penyusun aturan adat dan draf Perda tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Air Hitam di Kabupaten Barito Selatan tahun 2001.
- Memperjuangkan hak-hak kepemilikan tanam tumbuh milik masyarakat yang terkena kegiatan pengembangan lahan gambut 1 juta hektar untuk mendapatkan santunan ganti rugi sejak tahun 1995-2004.
- Memperjuangkan Batas Kawasan Kelola Masyarakat Adat dalam bentuk Perda Kabupaten Kapuas.
Akibat pembangunan yang tidak
memperhatikan aspirasi masyarakat, banyak perubahan-perubahan yang terjadi
ditingkat masyarakat khususnya dalam pemanfaatan potensi sumberdaya alam
seperti sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan sektor lainnya yang
membuat masyarakat semakin terpinggir dan terpojok. Selain masyarakat juga
terlibat dalam sektor diatas sehingga berakibat pula pada pengelolaan
sumberdaya alam yang sejak dahulu sudah dilakukan masyarakat dengan arif dan
bijaksana menjadi semakin hilang. Contohnya pembabatan hutan dimana sekarang
semakin merajalela. Sektor ini dapat dilihat banyak masyarakat yang terlibat
illegal logging yang dibekingi oleh cukung kayu dan HPH sehingga adat menjadi
hilang dalam pemanfaatan sumber daya alam dimana jaman dahulu ada sanksi adat
tebang 1 tanam 10.
Dengan melihat posisi masyarakat
zaman sekarang yang semakin terhimpit usaha untuk mencari makan, mereka dapat
melakukan apa saja yang penting dapat uang baik legal maupun ilegal sebingga
seing terjadi masyarakat ditangkap aparat. Dengan melihat kondisi ini, sudah
waktunya untuk dibatasi dengan sistem pengelolaan secara adat untuk menghindari
terjadinya illegal logging, terkurasnya sumber daya alam dan adanya aturan adat
yang mengikat masyarakat untuk tidak berbuat seenaknya terhadap sumberdaya
alamnya sendiri sehingga diharapkan adanya keberlangsungan hidup yang saling
ketergantungan antara alam dan manusia.
Penulis Muliadi (Direktur Eksekutif Yayasan Petak
Danum, Kapuas, Kalimantan Tengah).
http://ugiborneo.blogspot.com/2008/03/memperjuangkan-kawasan-kelola.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar