Kamis, 21 Juni 2012

Melawan Lupa, Juni PLG KALTENG Meregang Nyawa I


Roma, Italia, 14 November 1985. Dinginnya musim gugur, di bawah 13 derajat Celsius, tak mampu mengusir hangatnya suasana hati para anggota rombongan Presiden Soeharto yang tengah berkunjung ke sana. Bukan kunjungan biasa. Sang Presiden memperoleh kehormatan berpidato di hadapan ratusan undangan perhelatan akbar Food and Agriculture Organization (FAO), di bawah sorotan mata dunia. Organisasi pangan dan pertanian dunia itu menobatkan Indonesia menjadi negeri yang sukses dalam swasembada beras. Sebuah prestasi besar. Hampir selama sejarahnya mengimpor dari negeri lain, pada 1985 itu Indonesia mampu memproduksi 26,3 juta ton?jauh melebihi kebutuhan seluruh bangsa: 19,8 juta ton (dengan asumsi kebutuhan beras per kapita adalah 120 kilogram per tahun). 

"Prestasi yang telah kita capai bukan hanya untuk satu-dua tahun, tapi untuk seterusnya," ujar Soeharto, mantan presiden yang senantiasa bangga menunjukkan diri dekat dengan kalangan petani, kala itu. Namun, penghargaan FAO itu?dan pernyataan Soeharto tadi?terbukti prematur. Tahun-tahun kelimpahruahan beras ternyata tidak berlangsung seterusnya, bahkan tidak berumur lama. 

Kemarau panjang dan susutnya lahan pertanian di Jawa membuat produksi beras merosot tajam. Sementara itu, pembukaan lahan di luar Jawa belum mampu mengejar kekurangan produksi. Menyadari pamornya pudar, pada 5 Juni 1995 Soeharto membuat gebrakan. Dia memanggil tujuh menteri Kabinet Pembangunan VI?lengkap beserta timnya masing-masing?ke Bina Graha. Mereka adalah Syarifuddin Baharsjah (Pertanian), Djamaluddin Surjohadikusumo (Kehutanan), Radinal Muchtar (Pekerjaan Umum), Siswono Yudohusodo (Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan), Sonny Harsono (Agraria), Ginandjar Kartasasmita (Bappenas), dan Mar'ie Muhammad (Keuangan). 

Di hadapan "tujuh samurai" itu, Soeharto membentangkan keajaiban: sebuah peta berukuran besar dengan garis-garis malang-melintang mirip lukisan kubisme Pablo Picasso. Kalimantan Tengah yang dikerat-kerat itu, dalam impian Soeharto, akan merupakan jalan penyelamatan buat Indonesia: area sawah baru yang mampu menghasilkan 5,1 juta ton setiap tahunnya. Ini program saya untuk membuka lahan pertanian di Kalimantan. Saya serahkan untuk ditindaklanjuti," kata Soeharto seperti ditirukan Ir. Suparmono, bekas Direktur Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum, yang hadir saat itu. Itulah awal mula rencana pembukaan lahan pertanian raksasa, seluas 5,8 juta hektare, di Kalimantan Tengah, yang kemudian populer dengan sebutan proyek lahan gambut (PLG). 

Sebuah tim pelaksana langsung dibentuk?dengan Menteri Pekerjaan Umum Radinal Muchtar sebagai ketuanya?dan segera bertindak cepat karena Soeharto menargetkan lahan itu bisa panen pertama dalam tempo dua tahun. Namun, itu pulalah "revolusi hijau" terbesar dunia yang berubah menjadi surga korupsi bagi pejabat dan pengusaha besar?serta neraka bagi orang kecil yang terlibat. 

Bukan rencana orisinal Soeharto sebenarnya. Peta tersebut datang dari Tay Juhana alias "Mr. T", pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang bermarkas di Singapura. Lewat Grup Sambu, sebuah perusahaan induk yang terutama berkecimpung dalam bidang perkebunan, "Mr. T" mengaku pernah sukses membuat perkebunan sawit seluas 60 ribu hektare di atas lahan gambut Sungai Guntung, Riau. Sukses itulah yang dijual kepada sang Presiden. "Mr. T" tidak datang dari negeri antah-berantah. Kepada sang Presiden, dia diperkenalkan oleh Marsekal (Purn.) Kardono (mantan Ketua Umum PSSI) dan Mayjen (Purn.) Winanto (bekas Gubernur Jenderal Akabri). Tidak perlu heran. Keduanya adalah komisaris Grup Sambu.

Hubungan mereka berjalan baik. Puncaknya, Soeharto berkunjung ke perkebunan kelapa sawit Sungai Guntung pada 1995, disusul keluarnya konsep pertanian seluas 5,8 juta hektare yang diusulkan "Mr. T" tak lama kemudian. Henky Assana, Direktur Grup Sambu, membantah bahwa pihaknyalah yang menyodorkan usulan proyek itu. "Pak Harto yang meminta. Kami hanya menuliskan rencana-rencana. Selanjutnya terserah beliau," ujarnya kepada TEMPO pekan lalu. 

Entahlah. Yang jelas, proyek itu mulai dikerjakan pada 23 Januari 1996?sangat cepat untuk ukuran proyek raksasa?dan langsung melanggar aturan pertama pembangunan proyek, yakni dikerjakan tanpa studi kelayakan mendalam dan tanpa analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Di samping undang-undang mengharuskan hal itu, amdal sangat penting mengingat proyek besar ini jelas akan mengubah lanskap fisik, baik ekonomi maupun sosial, Kalimantan Tengah secara dramatis. Tak hanya mengurangi wilayah hutan perawan dengan segala kekayaan flora serta faunanya, pembukaan lahan pertanian itu juga melibatkan aspek manusia: menggusur penduduk lokal serta mendatangkan sekitar 1,6 juta transmigran. Tapi siapa peduli? Atau, "Siapa berani menolak kehendak Pak Harto pada masa itu?" kata Suparmono. 

Bahkan DPR pun tak berbicara apa-apa ketika Soeharto merontokkan begitu saja Undang-Undang No. 24/1992?yang menetapkan area gambut sebagai kawasan lindung?dengan dua keputusan presiden sekaligus tentang pengembangan lahan pertanian tadi. Tak hanya itu. Proyek tadi dikerjakan secara ceroboh. "Infrastrukturnya dikerjakan lebih dulu, baru perencanaannya menyusul. Itu fakta!" kata Prof. Dr. Gunawan Satari, Ketua Tim Ahli Pengembangan Lahan Basah Terpadu (sebutan baru lahan gambut), yang belakangan melakukan kaji ulang terhadap proyek itu. 

Proyek lahan gambut adalah contoh bagaimana sikap "asal bapak senang"?yang begitu kronis pada era Orde Baru?bisa mengubah tujuan mulia menjadi malapetaka dan sarang kebusukan. Di samping adanya motif menyenangkan Soeharto, orang-orang yang terlibat akan sulit melihat proyek itu secara kritis karena alasan lain: gemerincing rupiah dalam jumlah besar. Dari 5,8 juta hektare yang semula diusulkan, hanya 1,7 juta hektare yang akhirnya disetujui oleh para menteri Soeharto untuk dibuka. Proyek berjangka waktu lima tahun itu rencananya akan memakan biaya US$ 2-3 miliar (perhitungan ini dibuat pada 1995, saat satu dolar AS setara dengan Rp 2.300). Dana ini berasal dari dana reboisasi sebesar Rp 527 miliar.

Sisanya datang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk tahap pertama, pemerintah memfokuskan diri pada wilayah A?satu dari lima wilayah kerja yang direncanakan. Ada beberapa proyek penting di wilayah ini, antara lain pembuatan saluran induk primer, yang panjangnya setara dengan panjang Pulau Jawa, pembuatan peta topografi, penyiapan lahan dan perumahan bagi 22.500 kepala keluarga transmigran, serta penyediaan alat pertanian bagi mereka. Meski krisis ekonomi kemudian memperlambat pengerjaan proyek tadi, pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan banyak dana. 

Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), total uang yang dikeluarkan sampai tulisan ini diturunkan telah mencapai Rp 1,979 triliun. Proyek ini kental diwarnai praktek korupsi dan kolusi gila-gilaan hampir dalam setiap tahapnya: pembukaan lahan, pembangunan jaringan sekunder, perumahan transmigran, pengadaan peralatan pertanian, pencetakan sawah, serta pembangunan jaringan pengairan. Kontrak tiap-tiap proyek dilakukan tanpa tender alias "tunjuk langsung". Dua perseroan terbatas?Wijaya Karya dan Pembangunan Perumahan?di bawah BUMN Departemen Pekerjaan Umum mendapat bagian proyek. Dari kalangan swasta, ada nama yang tidak asing: Bob Hasan dari Grup Nusamba, yang mendapat proyek senilai Rp 372 miliar, di samping "Mr. T" sendiri, yang diberkahi bisnis senilai Rp 475 miliar. Ari Sigit, cucu mantan presiden Soeharto, juga mencium aroma bisnis di proyek ini. Lewat bendera PT Ario Seto Wijoyo, dia menawarkan pupuk urea tablet yang diproduksinya untuk menyuburkan lahan pertanian raksasa itu?tentu saja tanpa modal. 

Sebuah sumber TEMPO mengatakan bahwa Rp 80 miliar telah disiapkan dari dana reboisasi agar Ari bisa memproduksi pupuknya. Kini, setelah empat tahun berlalu, setelah pesta uang itu, apa hasilnya? Wartawan TEMPO yang pekan lalu mengunjungi kawasan itu menemukan baru sekitar 50 ribu hektare lahan yang telah dibuka?cuma 3 persen dari yang direncanakan. Dan itu pun lebih mirip lahan telantar, yang banjir ketika hujan dan kerontang di musim lainnya, ketimbang sebuah lumbung padi yang kekal impian Soeharto. 

Kawasan permukiman transmigrasi mulai ditinggalkan penghuninya, mirip kota hantu dalam cerita western. Transmigran yang masih tersisa hanya bisa menadah jatah hidup yang diberikan pemerintah, atau terancam mati kelaparan. Dan mereka mengungsi di atap-atap rumah jika hujan tiba. Bahkan tanah yang telah dibuka itu pun tak bisa menghasilkan. Ribuan kilometer kanal-kanal yang dibuat tidak mendatangkan air, tapi justru mengeringkan lahan gambut.

Dari informasi lapangan, kami tahu bahwa saluran-saluran air dibuat memotong kawasan gambut tebal," kata Emmy Hafild, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), "Saluran-saluran itu justru menguras air yang terkandung dalam lahan gambut dan menghancurkan ekosistem." Kanal-kanal itu dibuat tidak hanya secara serampangan, tapi juga tanpa mengindahkan sistem tata air serta topografi (tinggi-rendah serta kemiringan lahan). 

Ada beberapa kemungkinan: kontraktor tak mengindahkan peta itu, kontraktor menggali kanal sebelum ada peta, atau peta itu tak pernah ada. PT Mapindo Pratama, anak perusahaan Grup Nusamba milik Bob Hasan, menerima proyek pembuatan peta ini senilai Rp 184 miliar. Prof. Notohadiprawiro, peneliti lahan gambut yang melakukan studi di lahan PLG pada 1998, mencatat beberapa sumber utama kegagalan PLG. Di antaranya, perancang mengabaikan data tanah sehingga saluran-saluran primer induk justru memotong lahan gambut tebal, serta menyatukan seluruh kawasan proyek dalam suatu kesatuan tata air dengan asumsi bahwa tanah, topografi, dan hidrologi di seluruh wilayah proyek itu serba sama. 

Kesalahan asumsi pada setiap jenis proyek harus ditebus mahal dengan berbagai kerusakan ekologis: dari musnahnya berbagai jenis kayu khas gambut, punahnya sekitar 28 jenis satwa liar, timbulnya efek rumah kaca, meningkatnya potensi banjir, kenaikan suhu udara, pencemaran tanah dan air, hingga hilangnya ekosistem air hitam yang amat bermanfaat memurnikan air alami. Kanal-kanal itu, yang antara lain dibuat untuk mengangkut alat-alat keruk besar dari pelabuhan, juga berperan menimbulkan bencana lain: memudahkan pengusaha mengangkut kayu dari pedalaman ke laut luas, dan memicu penggundulan hutan secara merdeka semerdeka-merdekanya. Ada tak kurang dari 10 perusahaan, dengan mengantongi izin pemanfaatan kayu (IPK) yang dikeluarkan Menteri Kehutanan Djamaluddin Surjohadikusumo, yang menghabiskan kurang lebih 40 persen kayu yang tersisa di atas lahan 1,7 juta hektare itu. 

Kepada TEMPO pekan lalu, Deputi Prasarana Bappenas, Dr. Bambang Bintoro, menyebutkan bahwa 60 persen kayu sudah dihabiskan para pengusaha pemilik hak pengusahaan hutan (HPH) yang beroperasi di sana sebelum pembukaan lahan gambut itu. Penduduk lokal yang tergusur juga tak kalah menderita. Tak hanya kehilangan hutan tempat hidup, mereka tak lagi bisa memanen rotan dari hutan yang hilang, sementara sungai-sungai kian dangkal akibat erosi lahan gambut dan beracun?karena kanal-kanal itu membawa senyawa besi dari lahan yang dibuka. Tahun lalu, mereka menuntut pemerintah memberikan ganti rugi sebesar Rp 5 miliar. 

Lengkap sudah penderitaan Kalimantan Tengah itu? Belum. Runyamnya proyek lahan gambut ini tidak sekadar akibat salah manajemen dan keserakahan para pelaksananya. Salah manajemen dan kerakusan mungkin bisa dikoreksi, tapi kesalahan mendasar sudah dimulai ketika Soeharto menarik garis-garis di atas peta Kalimantan. Tidak ada keajaiban di lahan gambut itu?setidaknya bukan seperti yang dipikirkan Soeharto. Kesalahan ini bisa diketahui jika saja pemerintah melakukan studi kelayakan dan amdal sebelum menjalankan proyek besar itu. 

Amdal baru dikerjakan enam bulan setelah kontroversi marak. Itu pun secara parsial dan sama sekali tidak mengubah apa yang sudah berjalan di lapangan. Amdal yang lebih komprehensif baru selesai pada April 1997?setahun lebih setelah proyek berjalan. Hasilnya? Sekitar Rp 1,7 miliar dihabiskan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor (IPB)?penyusun amdal terakhir?hanya untuk mengetahui bahwa cuma 30 persen dari lahan 1,7 hektare itu yang bisa dijadikan sawah. Sebuah kajian ulang oleh berbagai pakar dari berbagai universitas, yang diturunkan ke lapangan pada pertengahan 1998, bahkan menyimpulkan hanya 10 persen lahan yang bisa menghasilkan padi! Tapi penghambaan kepada Soeharto dan gemerincing kerakusan telah mengalahkan semua akal sehat. Dengan begitu banyak uang yang sudah dibelanjakan, dan begitu sedikit yang dihasilkan, proyek lahan gambut itu?yang semula dielu-elukan sebagai simbol kejeniusan pertanian?terbukti menjadi kawasan pertanian termahal di dunia. Begitulah. 

Dengan proyek lahan gambut sebagai model, cita-cita swasembada pangan yang diucapkan Presiden Soeharto dalam pidatonya di Roma, musim gugur 15 tahun silam, tiba-tiba menjadi absurd?bahkan ketika masih berbentuk sebuah cetak biru. 

Pertanyaannya kini: siapa yang harus mempertanggungjawabkan semua tragedi itu?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar