Roma, Italia,
14 November 1985. Dinginnya musim gugur, di bawah 13 derajat Celsius, tak mampu
mengusir hangatnya suasana hati para anggota rombongan Presiden Soeharto yang
tengah berkunjung ke sana. Bukan kunjungan biasa. Sang Presiden memperoleh
kehormatan berpidato di hadapan ratusan undangan perhelatan akbar Food and
Agriculture Organization (FAO), di bawah sorotan mata dunia. Organisasi pangan
dan pertanian dunia itu menobatkan Indonesia menjadi negeri yang sukses dalam
swasembada beras. Sebuah prestasi besar. Hampir selama sejarahnya mengimpor
dari negeri lain, pada 1985 itu Indonesia mampu memproduksi 26,3 juta ton?jauh
melebihi kebutuhan seluruh bangsa: 19,8 juta ton (dengan asumsi kebutuhan beras
per kapita adalah 120 kilogram per tahun).
"Prestasi
yang telah kita capai bukan hanya untuk satu-dua tahun, tapi untuk
seterusnya," ujar Soeharto, mantan presiden yang senantiasa bangga
menunjukkan diri dekat dengan kalangan petani, kala itu. Namun, penghargaan FAO
itu?dan pernyataan Soeharto tadi?terbukti prematur. Tahun-tahun kelimpahruahan
beras ternyata tidak berlangsung seterusnya, bahkan tidak berumur lama.
Kemarau
panjang dan susutnya lahan pertanian di Jawa membuat produksi beras merosot
tajam. Sementara itu, pembukaan lahan di luar Jawa belum mampu mengejar
kekurangan produksi. Menyadari pamornya pudar, pada 5 Juni 1995 Soeharto
membuat gebrakan. Dia memanggil tujuh menteri Kabinet Pembangunan VI?lengkap
beserta timnya masing-masing?ke Bina Graha. Mereka adalah Syarifuddin Baharsjah
(Pertanian), Djamaluddin Surjohadikusumo (Kehutanan), Radinal Muchtar
(Pekerjaan Umum), Siswono Yudohusodo (Transmigrasi dan Pemukiman Perambah
Hutan), Sonny Harsono (Agraria), Ginandjar Kartasasmita (Bappenas), dan Mar'ie
Muhammad (Keuangan).
Di hadapan
"tujuh samurai" itu, Soeharto membentangkan keajaiban: sebuah peta
berukuran besar dengan garis-garis malang-melintang mirip lukisan kubisme Pablo
Picasso. Kalimantan Tengah yang dikerat-kerat itu, dalam impian Soeharto, akan
merupakan jalan penyelamatan buat Indonesia: area sawah baru yang mampu
menghasilkan 5,1 juta ton setiap tahunnya. Ini program saya untuk membuka lahan
pertanian di Kalimantan. Saya serahkan untuk ditindaklanjuti," kata
Soeharto seperti ditirukan Ir. Suparmono, bekas Direktur Jenderal Pengairan Departemen
Pekerjaan Umum, yang hadir saat itu. Itulah awal mula rencana pembukaan lahan
pertanian raksasa, seluas 5,8 juta hektare, di Kalimantan Tengah, yang kemudian
populer dengan sebutan proyek lahan gambut (PLG).
Sebuah tim
pelaksana langsung dibentuk?dengan Menteri Pekerjaan Umum Radinal Muchtar
sebagai ketuanya?dan segera bertindak cepat karena Soeharto menargetkan lahan
itu bisa panen pertama dalam tempo dua tahun. Namun, itu pulalah "revolusi
hijau" terbesar dunia yang berubah menjadi surga korupsi bagi pejabat dan
pengusaha besar?serta neraka bagi orang kecil yang terlibat.
Bukan rencana
orisinal Soeharto sebenarnya. Peta tersebut datang dari Tay Juhana alias
"Mr. T", pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang bermarkas di
Singapura. Lewat Grup Sambu, sebuah perusahaan induk yang terutama berkecimpung
dalam bidang perkebunan, "Mr. T" mengaku pernah sukses membuat
perkebunan sawit seluas 60 ribu hektare di atas lahan gambut Sungai Guntung,
Riau. Sukses itulah yang dijual kepada sang Presiden. "Mr. T" tidak datang
dari negeri antah-berantah. Kepada sang Presiden, dia diperkenalkan oleh
Marsekal (Purn.) Kardono (mantan Ketua Umum PSSI) dan Mayjen (Purn.) Winanto
(bekas Gubernur Jenderal Akabri). Tidak perlu heran. Keduanya adalah komisaris
Grup Sambu.
Hubungan
mereka berjalan baik. Puncaknya, Soeharto berkunjung ke perkebunan kelapa sawit
Sungai Guntung pada 1995, disusul keluarnya konsep pertanian seluas 5,8 juta
hektare yang diusulkan "Mr. T" tak lama kemudian. Henky Assana,
Direktur Grup Sambu, membantah bahwa pihaknyalah yang menyodorkan usulan proyek
itu. "Pak Harto yang meminta. Kami hanya menuliskan rencana-rencana.
Selanjutnya terserah beliau," ujarnya kepada TEMPO pekan lalu.
Entahlah. Yang
jelas, proyek itu mulai dikerjakan pada 23 Januari 1996?sangat cepat untuk
ukuran proyek raksasa?dan langsung melanggar aturan pertama pembangunan proyek,
yakni dikerjakan tanpa studi kelayakan mendalam dan tanpa analisis mengenai
dampak lingkungan (amdal). Di samping undang-undang mengharuskan hal itu, amdal
sangat penting mengingat proyek besar ini jelas akan mengubah lanskap fisik,
baik ekonomi maupun sosial, Kalimantan Tengah secara dramatis. Tak hanya
mengurangi wilayah hutan perawan dengan segala kekayaan flora serta faunanya,
pembukaan lahan pertanian itu juga melibatkan aspek manusia: menggusur penduduk
lokal serta mendatangkan sekitar 1,6 juta transmigran. Tapi siapa peduli? Atau,
"Siapa berani menolak kehendak Pak Harto pada masa itu?" kata
Suparmono.
Bahkan DPR pun
tak berbicara apa-apa ketika Soeharto merontokkan begitu saja Undang-Undang No.
24/1992?yang menetapkan area gambut sebagai kawasan lindung?dengan dua
keputusan presiden sekaligus tentang pengembangan lahan pertanian tadi. Tak
hanya itu. Proyek tadi dikerjakan secara ceroboh. "Infrastrukturnya dikerjakan
lebih dulu, baru perencanaannya menyusul. Itu fakta!" kata Prof. Dr.
Gunawan Satari, Ketua Tim Ahli Pengembangan Lahan Basah Terpadu (sebutan baru
lahan gambut), yang belakangan melakukan kaji ulang terhadap proyek itu.
Proyek lahan
gambut adalah contoh bagaimana sikap "asal bapak senang"?yang begitu
kronis pada era Orde Baru?bisa mengubah tujuan mulia menjadi malapetaka dan
sarang kebusukan. Di samping adanya motif menyenangkan Soeharto, orang-orang
yang terlibat akan sulit melihat proyek itu secara kritis karena alasan lain:
gemerincing rupiah dalam jumlah besar. Dari 5,8 juta hektare yang semula
diusulkan, hanya 1,7 juta hektare yang akhirnya disetujui oleh para menteri
Soeharto untuk dibuka. Proyek berjangka waktu lima tahun itu rencananya akan memakan
biaya US$ 2-3 miliar (perhitungan ini dibuat pada 1995, saat satu dolar AS
setara dengan Rp 2.300). Dana ini berasal dari dana reboisasi sebesar Rp 527
miliar.
Sisanya datang
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk tahap pertama, pemerintah
memfokuskan diri pada wilayah A?satu dari lima wilayah kerja yang direncanakan.
Ada beberapa proyek penting di wilayah ini, antara lain pembuatan saluran induk
primer, yang panjangnya setara dengan panjang Pulau Jawa, pembuatan peta
topografi, penyiapan lahan dan perumahan bagi 22.500 kepala keluarga
transmigran, serta penyediaan alat pertanian bagi mereka. Meski krisis ekonomi
kemudian memperlambat pengerjaan proyek tadi, pemerintah sebenarnya telah
mengeluarkan banyak dana.
Menurut data
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), total uang yang dikeluarkan
sampai tulisan ini diturunkan telah mencapai Rp 1,979 triliun. Proyek ini
kental diwarnai praktek korupsi dan kolusi gila-gilaan hampir dalam setiap
tahapnya: pembukaan lahan, pembangunan jaringan sekunder, perumahan
transmigran, pengadaan peralatan pertanian, pencetakan sawah, serta pembangunan
jaringan pengairan. Kontrak tiap-tiap proyek dilakukan tanpa tender alias
"tunjuk langsung". Dua perseroan terbatas?Wijaya Karya dan Pembangunan
Perumahan?di bawah BUMN Departemen Pekerjaan Umum mendapat bagian proyek. Dari
kalangan swasta, ada nama yang tidak asing: Bob Hasan dari Grup Nusamba, yang
mendapat proyek senilai Rp 372 miliar, di samping "Mr. T" sendiri,
yang diberkahi bisnis senilai Rp 475 miliar. Ari Sigit, cucu mantan presiden
Soeharto, juga mencium aroma bisnis di proyek ini. Lewat bendera PT Ario Seto
Wijoyo, dia menawarkan pupuk urea tablet yang diproduksinya untuk menyuburkan
lahan pertanian raksasa itu?tentu saja tanpa modal.
Sebuah sumber
TEMPO mengatakan bahwa Rp 80 miliar telah disiapkan dari dana reboisasi agar
Ari bisa memproduksi pupuknya. Kini, setelah empat tahun berlalu, setelah pesta
uang itu, apa hasilnya? Wartawan TEMPO yang pekan lalu mengunjungi kawasan itu
menemukan baru sekitar 50 ribu hektare lahan yang telah dibuka?cuma 3 persen
dari yang direncanakan. Dan itu pun lebih mirip lahan telantar, yang banjir
ketika hujan dan kerontang di musim lainnya, ketimbang sebuah lumbung padi yang
kekal impian Soeharto.
Kawasan permukiman
transmigrasi mulai ditinggalkan penghuninya, mirip kota hantu dalam cerita
western. Transmigran yang masih tersisa hanya bisa menadah jatah hidup yang
diberikan pemerintah, atau terancam mati kelaparan. Dan mereka mengungsi di
atap-atap rumah jika hujan tiba. Bahkan tanah yang telah dibuka itu pun tak
bisa menghasilkan. Ribuan kilometer kanal-kanal yang dibuat tidak mendatangkan
air, tapi justru mengeringkan lahan gambut.
Dari informasi
lapangan, kami tahu bahwa saluran-saluran air dibuat memotong kawasan gambut
tebal," kata Emmy Hafild, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi), "Saluran-saluran itu justru menguras air yang terkandung dalam
lahan gambut dan menghancurkan ekosistem." Kanal-kanal itu dibuat tidak
hanya secara serampangan, tapi juga tanpa mengindahkan sistem tata air serta
topografi (tinggi-rendah serta kemiringan lahan).
Ada beberapa
kemungkinan: kontraktor tak mengindahkan peta itu, kontraktor menggali kanal
sebelum ada peta, atau peta itu tak pernah ada. PT Mapindo Pratama, anak
perusahaan Grup Nusamba milik Bob Hasan, menerima proyek pembuatan peta ini
senilai Rp 184 miliar. Prof. Notohadiprawiro, peneliti lahan gambut yang
melakukan studi di lahan PLG pada 1998, mencatat beberapa sumber utama
kegagalan PLG. Di antaranya, perancang mengabaikan data tanah sehingga
saluran-saluran primer induk justru memotong lahan gambut tebal, serta
menyatukan seluruh kawasan proyek dalam suatu kesatuan tata air dengan asumsi
bahwa tanah, topografi, dan hidrologi di seluruh wilayah proyek itu serba sama.
Kesalahan
asumsi pada setiap jenis proyek harus ditebus mahal dengan berbagai kerusakan
ekologis: dari musnahnya berbagai jenis kayu khas gambut, punahnya sekitar 28
jenis satwa liar, timbulnya efek rumah kaca, meningkatnya potensi banjir, kenaikan
suhu udara, pencemaran tanah dan air, hingga hilangnya ekosistem air hitam yang
amat bermanfaat memurnikan air alami. Kanal-kanal itu, yang antara lain dibuat
untuk mengangkut alat-alat keruk besar dari pelabuhan, juga berperan
menimbulkan bencana lain: memudahkan pengusaha mengangkut kayu dari pedalaman
ke laut luas, dan memicu penggundulan hutan secara merdeka
semerdeka-merdekanya. Ada tak kurang dari 10 perusahaan, dengan mengantongi
izin pemanfaatan kayu (IPK) yang dikeluarkan Menteri Kehutanan Djamaluddin
Surjohadikusumo, yang menghabiskan kurang lebih 40 persen kayu yang tersisa di
atas lahan 1,7 juta hektare itu.
Kepada TEMPO
pekan lalu, Deputi Prasarana Bappenas, Dr. Bambang Bintoro, menyebutkan bahwa
60 persen kayu sudah dihabiskan para pengusaha pemilik hak pengusahaan hutan
(HPH) yang beroperasi di sana sebelum pembukaan lahan gambut itu. Penduduk
lokal yang tergusur juga tak kalah menderita. Tak hanya kehilangan hutan tempat
hidup, mereka tak lagi bisa memanen rotan dari hutan yang hilang, sementara
sungai-sungai kian dangkal akibat erosi lahan gambut dan beracun?karena
kanal-kanal itu membawa senyawa besi dari lahan yang dibuka. Tahun lalu, mereka
menuntut pemerintah memberikan ganti rugi sebesar Rp 5 miliar.
Lengkap sudah
penderitaan Kalimantan Tengah itu? Belum. Runyamnya proyek lahan gambut ini
tidak sekadar akibat salah manajemen dan keserakahan para pelaksananya. Salah
manajemen dan kerakusan mungkin bisa dikoreksi, tapi kesalahan mendasar sudah
dimulai ketika Soeharto menarik garis-garis di atas peta Kalimantan. Tidak ada
keajaiban di lahan gambut itu?setidaknya bukan seperti yang dipikirkan
Soeharto. Kesalahan ini bisa diketahui jika saja pemerintah melakukan studi
kelayakan dan amdal sebelum menjalankan proyek besar itu.
Amdal baru dikerjakan
enam bulan setelah kontroversi marak. Itu pun secara parsial dan sama sekali
tidak mengubah apa yang sudah berjalan di lapangan. Amdal yang lebih
komprehensif baru selesai pada April 1997?setahun lebih setelah proyek
berjalan. Hasilnya? Sekitar Rp 1,7 miliar dihabiskan Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor (IPB)?penyusun amdal terakhir?hanya
untuk mengetahui bahwa cuma 30 persen dari lahan 1,7 hektare itu yang bisa
dijadikan sawah. Sebuah kajian ulang oleh berbagai pakar dari berbagai
universitas, yang diturunkan ke lapangan pada pertengahan 1998, bahkan
menyimpulkan hanya 10 persen lahan yang bisa menghasilkan padi! Tapi
penghambaan kepada Soeharto dan gemerincing kerakusan telah mengalahkan semua
akal sehat. Dengan begitu banyak uang yang sudah dibelanjakan, dan begitu
sedikit yang dihasilkan, proyek lahan gambut itu?yang semula dielu-elukan
sebagai simbol kejeniusan pertanian?terbukti menjadi kawasan pertanian termahal
di dunia. Begitulah.
Dengan proyek
lahan gambut sebagai model, cita-cita swasembada pangan yang diucapkan Presiden
Soeharto dalam pidatonya di Roma, musim gugur 15 tahun silam, tiba-tiba menjadi
absurd?bahkan ketika masih berbentuk sebuah cetak biru.
Pertanyaannya kini: siapa yang
harus mempertanggungjawabkan semua tragedi itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar