Senin, 14 Mei 2012

Membongkar Arti serta Makna MILITANSI

Arti Militan

Kini kita akan mencoba mencari arti dari kata Militan;
Pertama kita coba mencari dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata 'Militan' ini memiliki arti "bersemangat" atau "bergairah". Istilah ini sebenarnya dapat bermakna baik. John M. Echols dan Hassan Shadily menerjemahkan kata 'militant' dengan 'agresip'. Kamus American Heritage Dictionary mengartikan 'militant' dengan 'fighting or warring' dan 'aggressive'. Jika kata ini digabung dengan akhiran "i" dalam bahasa Indonesia, menjadi 'militansi', dan dalam beberapa hal kata ini menjadi berkonotasi baik. Misalnya, seorang pejuang yang memiliki 'militansi' yang tinggi.
Dalam MiriamWebster Dictionary tertulis, bahwa istilah ini termasuk kata sifat dan kosakata ini dimasukkan ke dalam kamus pertama kali pada abad ke-15. Dalam kamus ini, militan didefinisikan sebagai, "engaged in warfare or combat" (disibukkan dalam peperangan atau pertempuran). Dalam kamus ini juga disebutkan militan adalah menunjukkan sikap yang agresif dan sangat aktif.
Hal serupa dijelaskan pula dalam Cambrige International Dictionary, istilah militan sebagai kata sifat didefinisikan sebagai, "active, determined and often willing to use force" (aktif, tekun, dan acapkali sudi untuk menggunakan kekuatannya).
Militan sebagai kata sifat juga didefinisikan dengan berjuang atau berperang. Arti lainnya, memiliki karakter bertempur, agresif, khususnya dalam menghadapi (suatu) perkara. Militan sebagai kata benda, didefinisikan sebagai perjuangan, pertempuran, atau agresivitas; baik individu ataupun partai (The American Heritage® Dictionary of the English Language, Fourth Edition. Published by Houghton Mifflin Company.)
Dan, militan juga didefinisikan sebagai "self-assertive" (ketegasan diri) dan memiliki semangat yang tak pernah henti, seolah ada di mana-mana. (WordNet ® 1.6, © 1997 Princeton University)
Hanya saja, saat ini istilah militan makin menyempit. Terbukti, saat ini istilah militan 'cuma' ditujukan dan selalu identik dengan orang atau kelompok yang kadang diberi label 'garis keras'. Ini yang kemudian menempatakan istilah ini tidak pada tempat yang semestinya. Bahkan cenderung dibumbui sinisme kepada individu atau kelompok tertentu. Makna yang berkembang di tengah masyarakat terhadap kata itu telah berubah, menjadi buruk. Sebab, kata ini terus-menerus dikaitkan dengan terorisme. Orang yang melakukan terror bukan saja disebut sebagai teroris, tetapi juga disebut militan.
Kata militan merujuk kepada orang atau kelompok orang-orang yang ikut serta dalam suatu pertempuran fisik/verbal yang agresif, biasanya dikarenakan suatu penyebab. Jurnalis seringkali mempergunakan kata miiltan sebagai istilah netral untuk prajurit yang tidak termasuk di dalam suatu organisasi militer. Secara khusus, seorang yang militan turut serta dalam tindak kekerasan sebagai bagian dari alasan memperjuangkan suatu tujuan politis.
Secara populer, kata "militan" seringkali disamaartikan dengan teroris, walaupun mungkin dengan karakteristik yang lebih lemah. Istilah "negara militan" dalam bahasa sehari-hari merujuk kepada suatu negara yang memiliki sikap agresif dalam mendukung sebuah ideologi atau perkara. Dalam bahasa Perancis, istilah "militan" memiliki makna yang lebih lunak yang berarti "aktivis".

Militansi

Oleh: Reza A.A Wattimena

Bangsa kita krisis militansi. Orang terjebak dalam rutinitas. Mereka menjalani hidupnya dengan terpaksa. Kerja pun dijalan dengan separuh hati.
Tak heran banyak hal gagal dijalankan. Pemberantasan korupsi gagal. Pengentasan kemiskinan gagal. Perlawanan pada teror bom kini tersendat.
Menjadi militan berarti hidup dengan sebuah nilai. Bahkan orang rela mati demi terwujudnya nilai tersebut. Menjadi militan tidak melulu sama dengan menjadi fundamentalis. Nilai hidup seorang militan lahir dari penempaan kritis dan reflektif.
Itulah yang kita perlukan sekarang ini.
Nilai
Setiap orang haruslah hidup dengan nilai. Ia perlu memiliki cita-cita tertentu. Cita-cita itu terwujudkan secara nyata dalam nilai yang mempengaruhi cara berpikir dan perilakunya. Nilailah yang membuat hidup manusia bermakna.
Sekarang ini di Indonesia, banyak orang hidup tanpa nilai. Mereka tidak memiliki cita-cita luhur sebagai arah hidupnya. Yang menjadi fokus hidup mereka hanyalah keuntungan sesaat. Tak heran mereka merasa hidupnya hampa.
Nilai adalah prasyarat bagi semangat militansi. Bahkan militansi dapat diartikan sebagai suatu sikap hidup yang berpegang pada nilai dalam setiap pola pikir maupun perilaku. Orang militan bersedia mati di dalam proses mewujudkan suatu nilai. Orang semacam inilah yang semakin hari semakin sedikit di Indonesia.
Kritis
Orang militan berbeda dengan orang fundamentalis. Bagi kaum fundamentalis kebenaran adalah akar (fundamen) dari suatu ajaran tertentu yang tak lekang oleh berlalunya waktu. Mereka tidak melihat bahwa konteks sudah berubah. Mereka menutup mata pada jaman yang terus berubah.
Sementara orang militan hidup dengan sikap kritis. Dengan sikap kritis pula, mereka memilih nilai apa yang akan mereka perjuangkan. Dengan pola berpikir kritis, mereka mencari cara, bagaimana nilai-nilai itu bisa jadi nyata di dalam dunia. Orang militan hidup dengan prinsip yang teguh, namun fleksibel pada tataran perilaku di dalam proses mewujudkan prinsip itu.
Di Indonesia kita jauh lebih banyak menemukan orang fundamentalis, daripada orang militan. Sikap militansi dengan mudah kita temukan pada sosok bapak-bapak bangsa Indonesia, seperti Bung Hatta, Bung Karno, Sutan Sjahrir, dan bahkan Tan Malaka. Sementara sekarang ini yang kita temukan adalah sikap fundamentalis, seperti pada fundamentalisme religius maupun fundamentalisme uang.
Ini semua terjadi karena kita jarang sekali berpikir kritis. Kita habis ditelan rutinitas. Kita habis ditelan sikap pengecut di hadapan otoritas. Dan kita tidak pernah sungguh belajar dari pengalaman.
Akibatnya sebagai bangsa kita sulit sekali untuk berubah. Kita seperti diracuni sikap bebal yang takut akan perubahan. Kita mencintai cara berpikir lama. Kita tidak bisa lepas dari pola berpikir klise dan kampungan. Di dalam kereta peradaban, kita pun tertinggal di stasiun nun jauh di sana.

Menjadi Militan
Menjadi militan berarti hidup dengan nilai. Menjadi militan berarti mampu dan mau berpikir kritis di dalam setiap situasi. Menjadi militan berarti memiliki cita-cita luhur untuk kehidupan, baik kehidupan pribadi maupun sosial. Menjadi militan berarti berani berkata benar, ketika seluruh dunia ketakutan terhadap sosok penguasa yang menindas.
Dan yang terpenting menjadi militan berarti siap mati untuk mewujudkan suatu cita-cita. Inilah sikap hidup yang semakin langka di dunia.
Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

Oleh Musyafak

            Hingga kini mahasiswa masih berjuluk "agen perubahan sosial" (agent of social change), meski kesahihannya kerap dipertanyakan, bahkan digugat. Pasalnya mahasiswa kini kurang mengaktualisasikan peran sosialnya di masyarakat. Setali tiga uang, gerakan mahasiswa pun menunjukkan gelagat kelesuan. Masih maraknya gelaran demonstrasi tak bisa dijadikan ukuran, sementara mahasiswa seolah tidak terlibat dalam arena produksi wacana sosial-kebangsaan.

            Kelesuan gerakan mahasiswa, salah satunya disebabkan oleh melempemnya militansi. Lemahnya kesetiaan untuk memihaki keyakinan-komitmen bersama, telah mengaburkan orientasi kelompok gerakan mahasiswa. Matinya militansi menjadi kabar buruk terkuburnya semangat perubahan kolektif, tergantikan pengejaran kepentingan-kepentingan individual atau kelompok mahasiswa.

            Ragam faktor eksternal turut memengaruhi melemahnya militansi. Peristiwa politik-ekonomi yang terjadi di ruang sosial, gagal dijadikan api pemantik kesadaran revolusioner mahasiswa. Ketidakhadiran dan minimnya keterlibatan mahasiswa di dalam peristiwa-peristiwa sosial, bisa jadi ancaman utama bagi keberlangsungan gerakan mahasiswa. Karena ketidakterlibatan membuat mahasiswa tidak sadar posisi dan peran yang diembannya.


Agen Militan

            Peristiwa politik selalu bersifat kolektif dan melibatkan jamak orang. Reformasi 1998, misalnya, mempertemukan mahasiswa dengan agen politik maupun intelektual pendukung gerakan penggulingan rezim Orde Baru. Krisis ekonomi saat itu adalah jelmaan peristiwa politik yang menggugah kesadaran mahasiswa untuk melakukan perubahan secara radikal-revolusioner.

            Roger Trigg, seorang Profesor Emeritus Filsafat di Universitas Warwick, Inggris, menyatakan sekurang-kurangnya militansi memiliki dua komponen dasar: keyakinan dan dedikasi personal (Donny Gahral Adian, 2011: 107). Relasi keduanya bertimbal balik: seseorang yang tidak memiliki keyakinan terhadap ide-ide perubahan mustahil mengabdikan dirinya untuk gerakan perubahan.

            Pertemuan antarsubyek mahasiswa yang memiliki militansi niscaya membentuk agen militan yang sadar perubahan ketika peristiwa politik mengabaikan hak-hak masyarakat luas, termasuk mahasiswa. Agen militan inilah yang bekerja di luar politik kelembagaaan seperti partai, atau mengambil jarak dari negara, untuk memprotes kekuasaan yang memonopoli akses-akses politik-ekonomi.

            Agen militan melakukan aksi politik dengan cara menciptakan konfrontasi dan antagonisme. Yakni menentukan pihak atau kelompok lain sebagai "musuh" yang harus dilawan. Namun, konfrontasi dan antagonisme semacam ini perlu dikelola dengan arif agar tidak terjebak pada fanatisme buta yang berimbas pada penihilan atau penyingkiran kelompok lain. Satu sisi, agen militan memang harus mati-matian memperjuangkan gagasan perjuangan-perubahannya, tetapi di sisi lain memberi hak bagi lawan untuk mengusung gagasannya.

            Tampaknya, mahasiswa terkini gagal mendefinisikan musuh politik yang harus dilawan. Di tengah situasi bangsa-negara yang disesaki dengan problematika korupsi, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, ironis jika mahasiswa merasa "dunia sedang baik-baik saja".

            Di sisi ruang, masing-masing kelompok mahasiswa gagal mentransformasikan kepentingan sektoralnya menjadi kepentingan nasional yang selaras dengan kepentingan kelompok-kelompok atau elemen-elemen masyarakat lainnya. Jangkauan gerakan mahasiswa terbatasi oleh lingkaran yang diciptakannya sendiri, serta luput merangkul agen-agen sosial lain di sekitarnya. Gerakan mahasiswa lebih berorientasi pada kepentingan sektoral kelompoknya dan mengenyahkan kepentingan publik lebih luas.

Romantisisme

            Gelagat romantisisme mahasiswa terhadap masa lalu juga patut diwaspadai. Agen militan rentan terjebak pada sejarah gerakan-gerakan generasi sebelumnya yang sebenarnya telah usang. Peristiwa-peristiwa masa lalu, seperti Malari tahun 1974 atau Reformasi 1998, memang menciptakan sedimen-sedimen positif serta menyediakan dorongan historis-emosional bagi gerakan mahasiswa. Namun, strategi-strategi gerakan masa lalu tidak bisa dimutlakkan sebagai model perjuangan saat ini. Mahasiswa musti menghayati pengalaman kekiniannya yang tentu memiliki banyak selisih atau perbedaan dengan pengalaman generasi sebelumnya.

            Alain Badiou, seorang filsuf asal Perancis, berpandangan bahwa militansi atau kesetiaan bukanlah keterikatan subyek pada masa lalu, melainkan sebuah pertaruhan akan cita-cita masa depan yang tidak terduga (Adian, 2011: 70). Artinya, agen militan harus mengambil jarak secara tepat agar tidak terseret dalam romantisisme masa lalu yang mendongengkan kejayaannya. Agen militan mustinya lebih peka dalam memahami dan menilai realitas pengalaman kekiniannya, kemudian memutuskan cita politik masa depan yang akan diperjuangkan secara militan.

            Godaan politik tidak bisa dielakkan. Pragmatisme yang bersifat oportunistik niscaya melemahkan gerakan mahasiswa dari dalam. Mahasiswa perlu mengambil jarak dari pusat kekuasaan dominan yang eksis di lembaga-lembaga politik. Prasyarat gerakan militan yang mencitakan perubahan radikal adalah tindakan-tindakan politik yang menuntut melalui aksi-aksi di luar politik kelembagaan atau partai politik. Mahasiswa, jika memang masih layak dikatakan sebagai agen militan yang pro-perubahan, adalah mereka yang sadar potensi kolektifnya untuk melawan kekuasaan struktural yang lalim dan semena-semena.

--Musyafak, peneliti di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LeKAS), Semarang
(Analisa, 20 Desember 2011)

Sumber :
  1. http://dklikaja.blogspot.com/2010/11/arti-militan.html
  2. http://rumahfilsafat.com/2011/03/20/militansi/ 
  3. http://www.analisadaily.com/news/read/2011/12/20/27008/melempemnya_militansi_mahasiswa/#.T7FWZ9krOoo
 Sang Penggoda ! Apakah Anda memiliki jiwa militansi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar