Kamis, 26 April 2012

POLITIK DAN KONFLIK KONSERVASI DI INDONESIA (Ilusi Konsevasionisme)


Rabu, 05 September 2007
Working Group Conservation for Peoples (WGCOP)


A. Pengantar

Gerakan konservasi yang dilahirkan atas kepentingan sebuah warisan keindahan dunia bagi generasi mendatang telah mendunia. Berbagai konvensi internasional melingkupinya. Dalam pergeseran waktu, konservasi kemudian dipahami berbeda antara dunia utara dan dunia selatan. Pemaknaan konservasi di dunia utara lebih mengutamakan warisan keindahan, yang kemudian menjadikan kawasan konservasi steril dari manusia, menjadi sebuah petaka ketika gagasan dialirkan ke wilayah selatan belahan dunia.

Pada tingkat komunitas lokal di negara-negara tropis, konservasi sangat berkaitan erat dengan sumber-sumber penghidupan komunitas. Bukan pada sekedar kepentingan ekonomi hari ini, namun lebih jauh pada sebuah kedaulatan atas kehidupan jangka panjang. Proses intrusi pemikiran konservasi klasik pada akhirnya membuahkan konflik pada kawasan yang secara legal disebut sebagai sebuah kawasan konservasi.    
Di wilayah berbeda, pekerja lembaga konservasi yang didanai oleh negara-negara utara, pada senyatanya sangat jauh dari sebuah pemahaman tentang konservasi. Definisi tentang konservasi saja kebanyakan tidak dipahami, apalagi mengenai sejarah konservasi dunia.       

Di Indonesia, departemen kehutanan telah menetapkan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Perlindungan Alam seluas 23.214.626,57 hektar, dimana sebagian besarnya merupakan Taman Nasional. Konsep pengelolaan Taman Nasional sangat sentralistik dan kerap mengabaikan keberadaan masyarakat adat/lokal yang justru telah hidup di kawasan-kawasan tersebut secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Hal inilah yang menjadi titik terjadinya konflik kepentingan antara kepentingan konservasi dan kepentingan rakyat.

Untuk pengelolaan kawasan konservasi, seperti taman nasional, cagar alam, taman buru, hutan wisata dan hutan lindung, dilakukan pengelolaan oleh pemerintah melalui unit pelaksana teknis sebagai perwakilan pemerintah di lapangan. Sebagian lokasi kawasan konservasi juga dikelola bersama dengan lembaga konservasi internasional. WALHI (2003) mencatat hingga saat ini pengelolaan hutan konservasi masih sangat jauh dari sisi pengelolaan hutan oleh rakyat, karena pengertian konservasi sebagai kawasan yang ‘steril’ dari masyarakat masih menjadi pegangan pemerintah dalam pengelolaan hutan. Kondisi tersebut sering memicu terjadi konflik antara rakyat dengan pengelola kawasan konservasi.         

Pada tingkat Propinsi dan Kabupaten, konservasi seolah-olah diabaikan. Dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dinyatakan konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tujuan konservasi yang dilakukan oleh institusi pemerintah adalah untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia, dimana merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.           

Kompleksitas, ketidakjelasan serta ketidakpastian tata pengelolaan yang lahir dari kebijakan yang tumpang tindih, berujung konflik sumber daya alam dengan manusia yang makin kerap terjadi di taman nasional. Tidak hanya meningkat dalam hitungan jumlah peristiwa yang terjadi, tetapi juga makin variatif dalam perkembangan modus maupun korban. Mulai dari peristiwa: penyerobotan dan konversi lahan, pembalakan liar, penangkapan spesies yang dilindungi, hingga kebakaran hutan yang berujung pada gangguan perekonomian dan punahnya sumber daya hayati. Kejadian ini tidak sekedar berdampak lokal, tetapi juga dirasakan efeknya dalam skala regional bahkan internasional.

B. Sejarah Konservasi

Kelahiran pemikiran konservasi berawal dari adanya keinginan untuk memelihara situs-situs alam dari penggunaan komersial dan menyediakan hiburan bagi masyarakat. Pada tahun 1872, Yellowstone ditetapkan sebagai taman nasional pertama di dunia. Hingga kemudian saat ini telah kurang lebih 2.000 taman nasional telah ditetapkan di 136 negara.

Di wilayah Asia Timur, konservasi sumberdaya alam hayati dimulai saat Raja Asoka (252 SM) memerintah, dimana saat itu diumumkan bahwa perlu dilakukan perlindungan terhadap binatang liar, ikan dan hutan. Namun dari sejarah tersebut dapat dilihat bahwa bahkan sejak jaman dahulu, konsep konservasi telah ada dan diperkenalkan kepada manusia meskipun konsep konservasi tersebut masih bersifat konservatif dan eksklusif (kerajaan).

Kesepakatan internasional berkaitan konservasi baru mulai didengungkan pada kelahiran Konvensi Keanekaragaman Hayati. Konvensi Keanekaragaman Hayati dalam bahasa aslinya bernama United Nations Convention on Biological Diversity (UN CBD) telah ditandatangani oleh 157 kepala negara dan/atau kepala pemerintahan atau wakil negara pada waktu naskah Konvensi diresmikan di Rio de Janeiro, Brazil. Penandatanganan ini terlaksana selama penyelenggaraan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED), pada tanggal 3 sampai dengan 14 Juni 1992. Indonesia merupakan negara kedelapan yang menandatangani Konvensi di Rio de Janeiro, Brazil, pada tanggal 5 Juni 1992. Konferensi di Rio de Janeiro, Brazil, yang sebelumnya didahului oleh tiga pertemuan kepakaran teknis dan tujuh sidang, diselenggarakan antara Nopember 1988 sampai dengan Mei 1992. Pertemuan dan sidang tersebut selalu dihadiri oleh delegasi Indonesia.   

Dalam perjalanannya, kelahiran Konvensi Keanekaragaman Hayati ini didahului dengan serangkaian pertemuan sejak Deklarasi Stockholm di tahun 1972. Selanjutnya dilahirkan Deklarasi Nairobi (1982), Resolusi Wina (1985), Protokol Montreal (1987), Deklarasi Tokyo (1987), Hague Declaration on the Environment (1989), Latin American and Carribean Summit Declaration of Brazillia on the Environment (1989), Helsinkin Declaration on the Ozon Layer (1989). Selanjutnya Pertemuan Rio de Janeiro pada tanggal 3-14 Juni 1992 menjadi tonggak lahirnya Deklarasi Rio, Agenda 21, Konvensi tentang Perubahan Iklim dan Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati, dan Pernyataan Prinsip-prinsip Kehutanan. Selanjutnya dilakukan pertemuan-pertemuan antar pihak berkaitan dengan masing-masing konvensi. Pertemuan internasional lainnya yang mengiringi kebijakan konservasi internasional meliputi Kongres Taman Nasional dan Kawasan Lindung se dunia, dan Kongres Kehutanan se dunia.      

Di Indonesia, sejak masa Hindia Belanda, telah hadir inisiatif melindungi kawasan dengan pengukuhan kawasan hutan seluas 6 hektar di Depok sebagai Cagar Alam (Natuur Reservaat) pada tahun 1714 dengan nama Cagar Alam Pancoran Mas. Terjadinya perdagangan burung Cenderawasih menjadi awal kelahiran kebijakan perlindungan satwa di masa Hindia Belanda. Dari surat protes yang disampaikan oleh beberapa pihak, pada Oktober 1909 diterbitkan Staatsblad 497 dan Staatblad 594 pada Desember 1909 yang mulai berlaku pada 1910. Selanjutnya dikeluarkan Ordonnantie tot Bescherming van sommige in het levende Zoogdieren en Vogels (Undang-undang Perlindungan bagi Mamalia Liar dan Burung Liar). Pada 1912 juga didirikan Nederlands Indische Vereniging tot Natuur Bescherming (Perhimpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda) oleh Dr. S. H. Koorders, dkk, yang kemudian menunjuk dua belas lokasi kawasan yang perlu dilindungi di Pulau jawa dan ditetapkan sebagai monumen alam (Natuur Monumenten) yang tidak boleh diusik. Hal ini dilanjutkan dengan terbitnya Saatsblad No. 278 pada Maret 1916 yang kemudian menunjuk 55 kawasan sebagai Cagar Alam. (Wiratno, dkk., 2004)

C. Politik Konservasi

Permasalahan konservasi dan ekologi, sejak beberapa abad yang lalu telah dipandang sangat berkaitan erat dengan politik. John Bellamy Foster yang diwawancara oleh Dennis Soron (2004) mengungkapkan optimisme terhadap pertemuan Rio Earth Summit pada tahun 1992 merupakan salah kaprah dikarenakan kelompok-kelompok lingkungan hidup tidak memperhitungkan tekanan ekonomi yang ditujukan terhadap mereka dan tidak mempertimbangkan secara fundamental sistem ekonomi kapitalisme yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup.         

Pemerintah menandatangani perjanjian internasional untuk meningkatkan prestise, ingin tergabung dalam komunitas internasional dan mengurangi kritik. Perjanjian internasional sering menjadi dasar perundang-undangan nasional. Setelah ditandatangani, perjanjian internasional lebih sering dipergunakan oleh organisasi non-pemerintah untuk mendorong perubahan dibandingkan dipergukanan sebagai landasan pemerintah. Hal ini yang kemudian menjadikan penting untuk memasuki wilayah politik dan perubahan kebijakan dalam permasalahan konservasi. (Sutherland, 2000)   
Kepentingan yang kuat dari aktor konservasi di luar pemerintah, terutama lembaga konservasi internasional (LKI) menjadikan kepentingan konsekwensinya konservasi lebih dikuasai oleh LKI. Bahkan lebih seringnya permasalahan konservasi dibicarakan di tingkat internasional dibandingkan di tingkat lokal, menjadikan kemudian permasalahan konservasi semakin jauh dari kepentingan komunitas lokal.

D. Kebijakan Konservasi Yang Meminggirkan Komunitas Lokal
           
Pemerintah Orde Baru mengembangkan kebijakan perlindungan alam (hutan) secara umum sebagaimana amanat UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kehutanan, khususnya tentang perlindungan hutan yang juga mengatur perburuan satwa liar, yang kemudian melahirkan PP No. 28 tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan. Baru kemudian dilahirkan UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup, Keppres No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pada tahun 1999, UU No. 5 tahun 1967 digantikan dengan hadirnya UU No. 41 tahun 1999, yang kemudian diubah pada beberapa pasal dengan Perpu No. 1 tahun 2004 yang diundangkan dengan UU No. 19 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.          

Sebelum tahun 2004, Pemerintah Indonesia melalui beragam kebijakannya menempatkan pengelolaan konservasi sebagai kewenangan pemerintah pusat. Dalam pasal 4 UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, disebutkan Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat. Kewenangan ini kemudian diletakkan sebagai sebuah kewenangan yang dikelola oleh Departemen Kehutanan.      

Kewenangan Pemerintah Pusat berkaitan pengelolaan konservasi juga dikuatkan dalam pasal 7-13 UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa terdapat 5 (lima) kewenangan yang tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat pada masa otonomi daerah, yaitu politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.

Dalam pasal 4 ayat (3) UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Kebijakan ini kemudian berdampak pada semakin sulitnya kewenangan komunitas lokal dalam melakukan pengelolaan kawasan hutan, termasuk kawasan konservasi, dimiliki oleh komunitas lokal, karena untuk memperoleh pengakuan oleh Negara semakin tidak dimungkinkan.

Trend yang terjadi sejak tahun 2004 adalah dilakukannya deklarasi “kabupaten konservasi” di beberapa daerah Indonesia. Sebagai contoh, Kabupaten Pasir dan Malinau di Kalimantan Timur dan Kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat telah mendeklarasikan wilayahnya sebagai kabupaten konservasi. Di Kabupaten Pasir, salah satu misi pembangunan kabupaten adalah mewujudkan kabupaten konservasi. (SK Bupati Kapuas Hulu, 2003; Kompas, 2004; KaltimPost, 2006; pasir.go.id, 2007) Inisiatif juga lahir dari kabupaten Lampung Barat Propinsi Lampung, Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi dan Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu. (WWF Indonesia, 2007; pemkabkerinci.org, 2007)         

Setelah dilakukan deklarasi, pemerintah kabupaten melakukan desakan kepada pemerintah pusat untuk memberikan kompensasi dari pemerintah pusat terhadap upaya pemerintah kabupaten yang melakukan konservasi kawasan hutan. Pada tingkatan masyarakat masih terdapat kebingungan dikarenakan minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat di Kabupaten Kapuas Hulu. Bahkan masyarakat suku Dayak Punan Uheng, Kereho, Taman, Kayan, Bukat, Kantuk, dan Senganan mendesak pembatalan status kabupaten konservasi yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dikarenakan masih terjadinya kegiatan eksploitasi hutan di kawasan adat.

Kebijakan-kebijakan konservasi yang telah ada di Indonesia, dapat dilihat sebagai sebuah penguatan terjadinya penggusuran terhadap kawasan kelola komunitas lokal, dikarenakan kebijakan pemerintah tersebut menyatakan bahwa kawasan konservasi merupakan kawasan yang steril dari keberadaan manusia di dalamnya. Hal tersebut juga diperkuat oleh dorongan lembaga konservasi internasional, semisal The Nature Conservancy (TNC) yang juga merasa memiliki kepentingan terhadap kawasan konservasi.

Sementara itu, pola-pola konservasi lokal yang merupakan hasil pembelajaran panjang dari komunitas lokal tidak pernah diakui oleh kebijakan Negara. Pengelolaan kawasan komunitas lokal selalu ditabrak oleh kepentingan-kepentingan industri kehutanan, perkebunan dan pertambangan, serta kebijakan pengelolaan kawasan konservasi oleh pemerintah. Hal ini kemudian menjadikan pola-pola konservasi lokal, termasuk didalamnya budaya dan pengetahuan lokal secara perlahan tergerus oleh waktu.

E. Pelaku Konservasi

Dalam pengelolaan kawasan konservasi, Pemerintah (dalam hal ini Departemen Kehutanan), kemudian melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga konservasi internasional (LKI), semisal The Nature Conservancy (TNC) , Conservation Internasional (CI), Wildlife Conservation Society (WCS), World Wildlife Fund for Nature (WWF), Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), serta juga memperoleh bantuan pendanaan dari lembaga keuangan internasional seperti World Bank (WB), Asian Development Bank (ADB). Hingga tahun 2007, terdapat tidak kurang 72 kerjasama yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan dengan berbagai lembaga untuk konservasi keanekaragaman hayati, termasuk didalamnya 28 kerjasama berkaitan penyelamatan satwa.

Pemerintah memandatkan pengelolaan konservasi kepada dua lembaga pemerintah yang langsung melakukan pengelolaan konservasi di daerah, yaitu Balai Taman Nasional dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA). Balai Taman Nasional adalah unit pelaksana teknis di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Sedangkan BKSDA adalah unit pelaksana teknis di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. (ditjenphka.go.id, 20070

Terdapat 3 pengelompokan kepentingan LKI dalam ikut melakukan upaya pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Kepentingan pertama adalah untuk melakukan penguasaan lahan. LKI melakukan kerjasama dengan pemerintah untuk mengelola kawasan konservasi kemudian secara perlahan menjadi “penguasa” terhadap kawasan konservasi. Kepentingan kedua adalah penggalangan dana konservasi dunia. Setelah LKI memperoleh kerjasama untuk melakukan pengelolaan kawasan konservasi, menjadikan LKI lebih mudah untuk memperoleh pendanaan dari berbagai institusi internasional maupun Negara utara dan perusahaan-perusahaan besar. Kepentingan ketiga LKI adalah untuk melakukan bisnis wisata berbasis alam (ecotourism) sebagai sebuah bisnis yang dikelola oleh LKI di Indonesia.        

Namun melihat semakin menguatnya LKI di Indonesia, diindikasikan terdapat agenda tersembunyi yang dilakukan oleh LKI di Indonesia, yang tidak semata untuk kepentingan konservasi, namun lebih jauh untuk penguasaan sumberdaya alam yang ada di dalam kawasan yang dikelola.

Lemahnya kapasitas aparat pemerintah dalam melakukan pengelolaan konservasi telah menjadikan sebagian besar kendali pengelolaan konservasi berada pada LKI. Mekanisme nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah dengan LKI, telah pula menjadikan semakin banyak pegawai Departemen Kehutanan yang menjadi pekerja di berbagai LKI yang ada. Alasan yang selalu diungkapkan oleh Dephut adalah untuk kepentingan pengawasan dan peningkatan kapasitas staf Dephut. Namun kemudian, beberapa pensiunan Dephut juga direkrut oleh LKI. Hingga saat ini, LKI yang terbanyak mempekerjakan staf Dephut adalah WWF Indonesia
.
F. Bisnis Konservasi

Konservasi saat ini telah bergeser menjadi sebuah bisnis. Walaupun berdasarkan catatan, hanya $0,56 yang dikucurkan setiap hektar dalam setiap tahunnya bagi kawasan taman nasional di Indonesia, senyatanya pada tahun 2006 telah terdapat $38,01 juta yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk pendanaan konservasi dan $53,37 juta yang telah dikeluarkan oleh lembaga non-pemerintah dan donor internasional.

Selama tahun 1995 hingga 2000, penerimaan dari tiket masuk dari 21 taman nasional dengan luas wilayah sekitar 5,2 juta hektar hanya menghasilkan sekitar 3,5 milyar rupiah. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam (Ditjen PKA - saat ini bernama Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) hanya mendapatkan alokasi rata-rata sebesar 13,5 persen dari total anggaran Departemen Kehutanan, sementara taman nasional mendapatkan rata-rata 31,5 persen dari total anggaran Ditjen PKA.

Pendanaan pemerintah untuk perlindungan kawasan meningkat dari $21,01 juta pada tahun 2004 menjadi $38,01 juta di tahun 2006, dimana pemerintah pusat mengeluarkan sebesar $35,99 juta dan pemerintah daerah mengeluarkan $2,02 juta. Sementara dari organisasi non-pemerintah dan donor internasional dilakukan investasi sebesar $53,37 juta pada tahun 2006. Hal tersebut setara dengan $5,28 setiap hektarnya. (KLH, 2005)

Mekanisme bisnis konservasi baru akan terlihat pada fase setelah 5 tahun sebuah lembaga konservasi (internasional) melakukan aktivitas di sebuah kawasan konservasi. Isu ekowisata (ecotourism) diangkat sebagai bungkus dari aktivitas bisnis yang ingin dilakukan. Di Taman Nasional Komodo, beberapa tahun lalu dibentuk sebuah perusahaan patungan bernama PT Putri Naga Komodo yang sahamnya sebagian dimiliki oleh lembaga konservasi internasional (The Nature Conservancy) yang kemudian juga memperoleh hibah dari lembaga keuangan internasional, antara lain International Finance Cooperation - IFC) untuk menguatkan permodalannya. Sementara kelompok-kelompok nelayan lokal “dipaksa” untuk mencari wilayah tangkapan lainnya yang semakin jauh dari tempat berkehidupannya.

Temuan lain yang pernah dilansir oleh Washington Post, bahwa TNC sebuah lembaga konservasi terkaya di dunia (yang juga beroperasi di Indonesia) setelah melakukan mekanisme “buy an acre” pada sebuah kawasan konservasi (yang katanya) untuk pelestarian satwa, dalam beberapa waktu kemudian dialihkan untuk kepentingan perumahan mewah (property) dan pertambangan gas. Berbeda sedikit, juga kerja yang dilakukan LKI di sektor perkayuan, setelah melakukan pertemuan di hotel mewah, secara perlahan mulai berpikir mengambil alih kepemilikan konsesi, yang kemudian diperuntukkan bagi penyediaan kebutuhan kayu bagi Amerika Serikat.

G. Konflik Pengelolaan Konservasi

Pada tataran pemikiran (konsepsi), berbagai kebijakan konservasi sumberdaya alam juga masih berlandaskan pada pandangan yang bersifat preservatif (pengawetan), yang secara kaku memandang sumberdaya alam sebagai sesuatu yang statis, dan karena perlu diawetkan dalam sebuah museum alam yang bahkan diistilahkan sebagai “terlarang untuk disentuh”, hanya boleh dilihat. Cara pandang ini anti pembangunan dan menafikan kemampuan dinamis alam.

Dari cara pandang yang berbeda terhadap konservasi, akhirnya melahirkan konflik berkelanjutan pada kawasan konservasi. Dalam penerapan konservasi di Indonesia, WALHI mencatat bahwa hingga tahun 2003 telah terjadi beberapa pengusiran rakyat dari kawasan konservasi di Indonesia, di antaranya di TN Lore Lindu, TN Kutai, TN Meru Betiri, TN Komodo, TN Rawa Aopa Watumoi, TN Taka Bonerate, TN Kerinci Seblat dan beberapa kawasan lainnya. Bahkan di TN Komodo, TN Togean, dan TN Wakatobi masyarakat nelayan hingga saat ini dilarang melakukan aktivitas penangkapan ikan di perairan taman nasinoal yang telah diklaim sepihak sebagai zona inti taman nasional.

Selain itu, tercatat beberapa kasus konflik yang terjadi di kawasan Taman Nasional di Indonesia antara lain; pembangunan jalan di Kawasan Ekosistem Leuser dan TN Gunung Leuser, pengusiran dan penembakan nelayan di TN Komodo dan TN Ujung Kulon, Operasi Napoleon di TN Wakatobi, pengusiran masyarakat Dongi-dongi di TN Lore Lindu dan pengusiran rakyat Moronene di TN Rawa Aopa Watomohai.

Angi, seorang peneliti asal Kalimatan Timur pada tahun 2005, mengungkapkan bahwa seluruh kawasan konservasi yang dikelola oleh pusat bermasalah dengan pemerintah daerah setempat dan masyarakat. Permasalahan yang utama terkait dengan tata ruang wilayah pengelolaan yang saling tumpang tindih, hak pengelolaan oleh pemerintah daerah dan masyarakat, pembalakan haram, perambahan kawasan dan permasalahan lainnya terkait dengan kepemilikan lahan.
Lebih lanjut Angi memaparkan, terdapat 4 (empat) permasalahan berkaitan bidang konservasi di Kabupaten Kutai Barat Propinsi Kalimantan Timur, yaitu:

1.      Masyarakat sekitar kawasan konservasi masih kurang dilibatkan dalam pengelolaan bersama kawasan konservasi, bahkan dianggap sebagai musuh yang selalu merambah kawasan;
2.      Pola insentif yang dikembangkan untuk pengelolaan bersama tidak jelas arah dan tujuannya, dimana Pemerintah hanya berharap masyarakat dapat membantu memelihara kawasan saja tanpa adanya perjanjian yang jelas;
3.      Di lapangan telah terjadi tumpang tindih peraturan pusat dengan daerah, terutama dalam masa desentralisasi ini;
4.      Pandangan bahwa belum adanya contoh kegiatan konservasi yang dapat memberikan andil nyata kepada pemerintah daerah setempat dan masyarakat dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD).

H. Sistem Konservasi Lokal Yang Diabaikan

Komunitas lokal di berbagai wilayah negeri ini telah membangun budaya pengelolaan sumber kehidupan dalam dan antar generasi. Berbagai budaya dan tata aturan lokal telah terbangun sebagai sebuah pengalaman empiris dalam interaksi komunitas dengan alam kehidupannya.

Sistem pemilikan dan penguasaan lahan sumberdaya alam yang dipraktekkan oleh masyarakat adat terdiri dari, hak pemilikan komunal, meliputi tanah dan sumber daya alam dan hak pemilikan individu. Dalam pola pengelolaan lahan oleh komunitas lokal, sangat dikenal kawasan perlindungan, kawasan pemanfaatan terbatas, kawasan kebun, kawasan ladang, kawasan permukiman, serta kawasan cadangan pangan. Kawasan-kawasan tersebut kemudian menjadi tidak diakui dalam sistem zonasi kawasan konservasi (taman nasional) yang dibuat oleh pemerintah (Balai Taman Nasional).

WALHI (1999) mengkompilasi prinsip-prinsip dalam sebuah sistem kelola lokal meliputi:
1.      Aktor utama pengelola adalah rakyat [masyarakat lokal/masyarakat adat];
2.      Lembaga pengelola dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol secara langsung oleh rakyat bersangkutan;
3.      Memiliki wilayah yang jelas dan memiliki kepastian hukum yang mendukungnya;
4.      Interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya bersifat langsung dan erat;
5.      Ekosistem menjadi bagian penting dari sistem kehidupan rakyat setempat;
6.      Pengetahuan lokal [indigenous knowledge] menempati posisi penting dan melandasi kebijaksanaan dan sistem pengelolaan hutan, disamping pengetahuan modern untuk memperkaya;
7.      Teknologi yang dipergunakan diutamakan teknologi lokal ataupun jika bukan teknologi lokal, merupakan teknologi yang telah melalui proses adaptasi dan berada dalam batas yang dikuasai oleh rakyat;
8.      Skala produksi tidak dibatasi, kecuali oleh prinsip kelestarian [sustainability];
9.      Sistem ekonomi didasarkan atas kesejahteraan bersama, dan;
10.  Keanekaragaman hayati mendasari berbagai bidangnya, dalam jenis dan genetis, pola budidaya dan pemanfaatan sumberdaya, sistem sosial, sistem ekonomi dan lain sebagainya.

I. Working Group Conservation for Peoples (WGCoP)

WGCoP memandang permasalahan di atas berkaitan dengan pengelolaan konservasi di Indonesia adalah akibat lemahnya Negara dalam melindungi kedaulatan rakyat atas kawasan kelola sehingga mudah diintervensi oleh TNCs (trans national cooperations), NGO (non-govermental organization) Konservasi Internasional dan ilmuwan mengakibatkan alih penguasaan sumber-sumber penghidupan rakyat melalui perubahan status kawasan ”yang antara lain” menjadi taman nasional.

Dampaknya dari hal tersebut adalah:
1.      Hilangnya pengetahuan, kearifan, budaya, kepercayaan, teknologi, hukum adat, akses public terhadap kawasan, penguasaan terhadap kawasan
2.      Hilangnya fungsi kawasan dari fungsi social, budaya, kepercayaan menjadi fungsi ekonomi
3.      Pencurian pengetahuan, kearifan lokal dan keanekaragaman hayati
4.      Berubahnya tata konsumsi dan produksi masyarakat yang khas
5.      Rakyat kehilangan alat produksi
6.      Peningkatan konflik diantara rakyat dan pelanggaran HAM terutama dilaksanakan oleh militer, kepolisian dan Polhut
7.      Pelanggaran HAM dan konflik internasional
8.      Kemiskinan dan ketergantungan

Agenda Utama yang penting untuk dilakukan adalah:
1.      Alternatif konsep pengelolaan asset penghidupan yang sesuai dengan kehendak rakyat.
2.      Membongkar paradigma konsep keilmuan tentang konservasi yang tidak sesuai dengan kedaulatan rakyrat.
3.      Kuasai, pengaruhi, ruang politik untuk menolak konsep Taman Nasional
4.      Penguatan garis masa yang kritis dan terorganisir.

Berkaitan dengan hal tersebut, WGCoP mengambil posisi dan peran WGCoP :
Ø  Memfasilitasi, mediasi, melakukan kerja-kerja yang bersifat konseptual untuk menolak konsep TN
Ø  Mengawal, mengontrol, mendorong agenda perjuangan
Ø  Menjaga terjalinnya Komunikasi, koordinasi
Ø  Membangun politik kerjasama dengan garis masa yang anti konservasi yang tidak sesuai kedaulatan rakyat.
Ø  Mengusung isu, konsep strategis pengelolaan aset-aset penghidupan yang berkedaulatan rakyat di tingkat nasional dan internasional.


Kontak WGCOP:

Ade Fadli, Region Kalimantan, email : adefadli@gmail.com

Ruddy Gustave, Region Bali, Nusa Tenggara, email : ruddygustave@gmail.com

Sofyank, Region Jawa

Juni Prisyanto, Komunikasi dan Informasi, email : sekretariat_wgcop@yahoo.com

Basir Bawean, Region Sulawesi


Sang Penggoda
Front Marhenis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar