Jika dimasa kuliah dahulu sangat
disayangkan tidak belajar serius megenai penelitian hukum dalam mata kuliah
metodelogi penulisan hukum dan kemahiran hukum untuk membuat suatu tulisan
keilmiahan dalam sudut pandang hukum.
Maka tujuan tulisan ini mencoba menulusuri
kembali pelajaran-pelajaran itu untuk sesuatu karya yang dapat dipertangung
jawabkan dikemudian hari. Kebetulan tugas terakhirku mengangkat judul mengenai
Perlindungan hak adat atas hutan prespektif undang-undang No.41 tentang
kehutanan dalam hal ini mengambil study kasus yang ada di Kelurahan kalawa,
Kabupaten Pulang pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Mengapa saya ingin menulis
itu dan mengkajinya dalam bentuk tulisan akhir, beranjak dari dimana masyarakat
kalimantan tengah masih mengakui eksistensi masyarakat adatnya bahkan sejak
tahun 2008 dan 2009 Pemerintah provinsi kalimantan tengah membuat sebuah
peraturan daerah mengenai adat, pertama Kelembagaan adat yang diatur dalam
PERDA No.16 tahun 2008 Jo No.1 tahun 2010 dan tentang hak tanah adat dan
hak-hak adat diatas tanah yang diatur dalam PERGUB No.13 tahun 2009.
Namun dengan adanya kedua
peraturan tersebut ternyata belum bisa mengakomodir masyarakat adat kalimantan
tengah dalam mengakses hutan dikarenakan peraturan yang ada dalam Undang-Undang
No.41 tahun 1999 tentang kehutanan tidak mempunyai peraturan pelaksana mengenai
hutan adat tersebut.
Kembali kepermasalahan penelitian
hukum, apa sebenarnya penelitian hukum tersebut untuk menjawabnya saya
mengkutip pendapat dari soerjono soekanto
yaitu :
1.
Penelitian
merupakan suatu kegiatan ilmiahm yang berkaitan dengan analisa dan kontruksi
yang dilakukan secara metodelogis, sistematis dan konsisten.
2.
Penelitian
hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika
dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa
gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Kecuali itu, maka juga
diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul didalam gejala yang
bersangkutan.
3.
Penelitian
hukum tidak akan mungkin dipisahkan dari disiplin hukum maupun ilmu-ilmu hukum.
4.
Penelitian
hukum dapat dibedakan antara penelitian hukum Normatif dan penelitian hukum sosiologis
atau empiris.
Ketika orang menggolongkan ilmu
hukum sebagai ilmu sosial berkembanglah penelitian yang lazim disebut sebagai socio-legal
research atau penelitian sosial tentang hukum. Penelitian ini melihat hukum
sebagai gejala sosial. Fokus penelitian ini adalah perilaku manusia, baik
individu maupun masyarakat, berkaitan dengan hukum.
Di dalam penelitian ini masalah
penelitian merupakan jarak atau kesenjangan antara sesuatu menurut hukum dengan
sesuatu yang terjadi atau yang dilakukan oleh manusia. Dengan perkataan lain
masalah penelitian merupakan kesenjangan antara das sollen dan das
sein. Berikut ini adalah contohnya. Undang-undang mewajibkan pengendara
sepeda motor memakai helm. Kenyataannya ada sejumlah pengendara sepeda motor
yang tidak memakai helm. Jika hal ini diteliti, rumusan masalahnya adalah
mengapa ada sejumlah pengendara sepeda motor tidak menggunakan helm. Contoh
sederhana ini dapat menunjukkan bahwa di dalam penelitian ini yang diteliti
adalah perilaku orang berkaitan dengan hukum, baik berupa perintah atau
larangan.
Namun jika menganut dari pandangan dari Peter Mahmud Marzuki menegaskan bahwa socio-legal
research atau penelitian sosio-legal bukan penelitian hukum. Penelitian
hukum yang dikembangkan berlandaskan keilmuan hukum dengan segala kekhasan
melahirkan penelitian hukum yang khas pula yang kemudian dikenal sebagai
penelitian hukum normatif.
Polemik mengenai penelitian hukum masih
berlangsung. Hal ini wajar di kalangan ilmuwan. Setajam apa pun polemik itu
berlangsung, pendidikan tinggi hukum, baik fakultas hukum maupun sekolah tinggi
hukum, terus berlangsung. Salah satu mata kuliah wajib di fakultas hukum maupun
sekolah tinggi hukum adalah metode penelitian hukum. Di sinilah persoalan mulai
timbul. Perbedaan pendapat para dosen mengenai beberapa konsep di dalam
penelitian hukum sering menyulitkan para mahasiswa dalam penulisan karya tulis
ilmiah, terutama skripsi. Beberapa konsep yang masih sering diperselisihkan
maknanya adalah:
1.
Data dan
bahan hukum;
2.
Masalah dan
isu hukum;
3.
content
analysis sebagai methods of analyzing
available data;
4.
variabel;
5.
Hipotesis;
6.
Pendekatan.
Hal-hal inilah yang dibahas di dalam tulisan
ini dengan harapan utama agar para mahasiswa mempunyai pedoman yang jelas dan
tepat dalam melakukan penelitian untuk menyusun karya ilmiah, terutama karya
ilmiah berupa skripsi.
Data dan Bahan Hukum
Jika sikap tegas diambil
sebagaimana dilakukan oleh Peter Mahmud Marzuki di dalam buku berjudul
”Penelitian Hukum”, maka hasilnya hanya ada satu jenis penelitian hukum, yaitu
penelitian hukum. Penegasan Peter Mahmud Marzuki ini sejalan dengan Philipus
Mandiri Hadjon. Philipus Mandiri Hadjon menegaskan bahwa ilmu hukum memiliki
karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif. Dalam usaha mengilmiahkan
ilmu hukum secara empiris, usaha yang dilakukan ialah menerapkan metode-metode
penelitian sosial dalam kajian hukum.
Sementara itu, jika socio-legal
research dipandang sebagai bagian dari penelitian hukum, yaitu penelitian
hukum empirik, maka akan timbul dua jenis penelitian hukum, yaitu (1)
penelitian hukum normatif, dan (2) penelitian hukum empirik. Berikut ini skema
mengenai klasifikasi penelitian hukum normatif dan empirik.
Penelitian Hukum
Normatif
|
Empirik
|
Problem Solving
|
Teori
|
Argumentasi Baru
|
Pengetahuan
|
Bahan Hukum
|
Data
|
Praktik Hukum
|
Legislator, Pembaruan
Hukum
|
Sesuatu yang hendak ditemukan atau dihasilkan
lewat penelitian hukum normatif adalah argumentasi hukum. Contoh isu hukum di
dalam penelitian hukum normatif adalah sahkah akta notaris yang dibuat pada
hari Minggu atau hari libur. Untuk menghasilkan argumentasi hukum di dalam
penelitian ini diperlukan bahan hukum, misalnya Undang-undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris. Kesimpulannya adalah bahwa akta notaris yang
dibuat pada hari Minggu atau hari libur adalah sah.
Kesimpulan penelitian hukum normatif ini amat
bermanfaat bagi seorang notaris atau advokat untuk kepentingan pembelaan
kliennya. Kesimpulan tentang sah atau tidak sahnya akta notaris tersebut
diperoleh lewat analisis terhadap bahan hukum, bukan analisis terhadap data.
Tidak mungkin keabsahan akta notaris tersebut diperoleh lewat analisis terhadap
data yang diperoleh dari responden yang sama sekali tidak mengetahui dunia
kenotarisan. Tidak perlu dan tidak mungkin diadakan verifikasi empirik untuk
penelitian seperti ini.
Di dalam penelitian hukum empirik yang hendak
ditemukan adalah teori atau hubungan antar variabel. Untuk menghasilkan teori
atau hubungan antar variabel diperlukan data, baik data primer atau data
sekunder. Berikut ini contoh masalah di dalam penelitian hukum empirik. Pasal
38 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981) menegaskan bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan
surat izin ketua pengadilan negeri setempat. Kenyataannya polisi sebagai
penyidik sering melakukan penyitaan terhadap barang-barang milik tersangka
tanpa surat izin dari ketua pengadilan negeri setempat. Peneliti ingin
mengetahui mengapa terjadi hal seperti itu.
Hal ini berarti peneliti ingin mengetahui
perilaku orang (dalam hal ini adalah polisi) tentang alasan-alasan tidak
menaati pasal 38 ayat (1) KUHAP. Untuk menjawab permasalahan tersebut
diperlukan data. Data ini diperoleh dari jawaban polisi mengenai hal tersebut. Jawaban
dari polisi sebagai responden merupakan data. Data selalu dapat diverifikasi
secara empirik. Dengan bahasa yang sederhana data selalu dapat dijangkau oleh
panca indra manusia.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan
bahwa di dalam penelitian hukum normatif diperlukan bahan hukum, sedangkan di
dalam penelitian hukum empirik diperlukan data. Bahan hukum dan data mempunyai
karakter yang berbeda. Bahan hukum tidak dapat diverifikasi secara empirik atau
tidak dapat dijangkau oleh panca indra, sedangkan data dapat diverifikasi
secara empirik atau dapat dijangkau oleh panca indra.
Ilustrasi berikut ini akan membuktikan
kebenaran proposisi-proposisi tersebut. Pasal 68 Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan, ”Pengusaha dilarang mempekerjakan
anak”. Pasal 73 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 menegaskan, ”Anak dianggap
bekerja bilamana berada di tempat kerja”. Hal yang diatur di dalam pasal 73 ini
di dalam teori hukum disebut fiksi hukum. Pasal 73 berupa fiksi hukum ini
berfungsi untuk mewujudkan larangan di dalam pasal 68. Di dalam pasal 185
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 larangan yang tertuang di dalam pasal 68
tersebut didukung sanksi pidana.
Hal ini memungkinkan terjadinya pemidanaan
untuk pelaku yang sesungguhnya tidak melakukan tindak pidana. Hal ini terjadi
jika ada seorang anak bermain-main di tempat kerja. Anak ini dianggap melakukan
pekerjaan. Pengusaha dipidana karena dianggap mempekerjakan anak. Analisis ini
adalah analisi terhadap bahan hukum, bukan terhadap data.
Persoalan timbul ketika Soerjono Soekanto dan
Sri Mamudji menegaskan, ”penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian
hukum normatif atau penelitian kepustakaan). (cetak miring dari penulis).
Jika tegasan Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji tersebut diikuti berarti bahan
hukum termasuk data sekunder. Saya tidak sependapat dengan hal tersebut, dengan
alasan bahwa karakter bahan hukum tidak sama dengan karakter data. Ada
kemungkinan istilah tersebut digunakan oleh mereka ketika keilmuan hukum belum
berkembang seperti sekarang.
Masalah dan Isu Hukum
Isu hukum
timbul karena ada dua proposisi hukum yang saling berhubungan. Isu yang di
dalam bahasa Inggris issue adalah ”something that people are
discussing or considering”. Melihat makna ini di dalam penelitian hukum
normatif sebaiknya digunakan istilah isu hukum. Berikut ini contohnya. Di dalam
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial ditegaskan bahwa (1) peradilan hubungan industrial harus mewujudkan
asas cepat, dan (2) Mahkamah Agung harus memutus peerselisihan hubungan
industrial dalam waktu paling lama 30 hari kerja. Jika dua proposisi ini dihubungkan,
dapat dimunculkan isu hukum, yaitu apa akibat hukum jika Mahkamah Agung memutus
perselisihan hubungan industrial melebihi waktu 30 hari kerja. Di dalam socio-legal
research masalah merupakan gap atau kesenjangan antara hukum dan
pelaksanaan hukum, atau, kesenjangan antara das sollen dan das sein,
atau, kesenjangan antara “sesuatu yang seharusnya” dan “sesuatu yang terjadi”.
Ilustrasi berikut ini merupakan contoh masalah. Pengendara kendaraan bermotor
wajib memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi). Kenyataannya ada 35% pengendara
kendaraan bermotor tidak memiliki SIM. Ini adalah kesenjangan antara hukum dan
pelaksanaan hukum. Begitu dekatnya masalah ini dengan hukum, bahkan objeknya
juga hukum, menjadikan orang mengatakan bahwa sesungguhnya socio-legal
research juga legal research.
Content Analysis sebagai Methods of Analyzing Available
Data
Content
analysis yang sering
diterjemahkan menjadi analisis isi merupakan salah satu metode analisis
data. Bernard Berelson menegaskan bahwa content analysis is a research
technique for the objective, systematic, and quantitative description of the
manifest content of communication. Sementara itu Therese L. Baker
menegaskan bahwa yang dimaksud oleh Bernard Berelson dengan “communication”
adalah “available data”. Hal ini menunjukkan bahwa content analysis adalah
metode terhadap data. Dengan demikian metode ini tidak mungkin digunakan jika
yang dianalisis bukan data, misalnya bahan hukum.
Selanjutnya
Therese L. Baker memberikan contoh mengenai penggunaan content analisis.
Empat di antaranya adalah:
1.
violence on
television;
2.
legal briefs
submitted on Supreme Court;
3.
family
portraits reflect family relationships;
4.
courtship
patterns in song lyric.
Variabel
Jika dalam
pengumpulan data elemennya adalah orang, maka karakteristik yang perlu
diketahui adalah jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, tingkat
pendidikan, pekerjan, dan lain-lain. Karakteristik yang melekat pada data
inilah yang lazim disebut sebagai variabel. Hal ini sesuai dengan etimologi
kata tersebut. Kata “vary” berarti bermacam-macam atau beragam,
sedangkat kata “able” berarti dapat. Dengan demikian variabel yang di
dalam bahasa Inggris “variable” bermakna dapat menjadi bermacam-macam
atau dapat menjadi beragam. Suparman I.A. menegaskan bahwa variabel adalah
karakteristik yang ada pada populasi. Penegasan tersebut menunjukkan bahwa
variabel merupakan konsep di dalam penelitian yang memerlukan data sebagai
objek studinya. Dengan demikian hanya di dalam penelitian hukum empirik saja
dapat dibicarakan variabel. Di dalam penelitian hukum normatif tidak mungkin
diidentifikasikan variabel, sebab di dalam penelitian ini tidak ada data.
Hipotesis
Hypothesis
is something not proved but assumed to be true for purposes of argument or
further study or investigation. Dengan
bahasa yang lebih sederhana hipotesis adalah kesimpulan atau pernyataan yang
perlu dibuktikan lewat verifikasi empirik. Verifikasi empirik perlu data.
Dengan demikian hipotesis dapat diajukan hanya di dalam penelitian yang pada
ujungnya melakukan verifikasi empirik terhadap data. Penelitian hukum normatif
tidak memverifikasi data. Oleh karena itu tidak bisa dimunculkan hipotesis di
dalam penelitian hukum normatif. Di dalam penelitian hukum empirik dapat dimunculkan
hipotesis. Saya sengaja menebalkan dan memiringkan kata ”dapat” dengan
pengertian bahwa di dalam penelitian hukum empirik dapat dimunculkan hipotesis,
dapat pula tidak dimunculkan hipotesis. Ada atau tidak adanya hipotesis
bergantung pada hal-hal di sekitar penelitian yang dilakukan.
Pendekatan
Approach is
a way of dealing with something (as a problem). Pendekatan diperlukan di dalam penelitian.
Saya berpendapat bahwa di dalam penelitian pendekatan merupakan fokus atau
sudut pandang peneliti dalam menjawan masalah atau isu yang dikemukakan.
Berikut ini adalah contoh. Seorang peneliti hendak meneliti fenomena carok di
Madura. Peneliti tersebut bisa melakukan pendekatan sejarah, psikologi, agama,
dan lain-lain. Di dalam penelitian hukum normatif juga dikenal pendekatan.
Peter Mahmud Marzuki menegaskan bahwa ada lima pendekatan di dalam penelitian
hukum, yaitu pendekatan undang-undang atau statute approach, pendekatan
kasus atau case approach, pendekatan historis atau historical
approach, pendekatan perbandingan atau comparative approach, dan
pendekatan konseptual atau conceptual approach. Sementara itu Johny
Ibrahim menambahkan dua jenis pendekatan lagi, yaitu pendekatan analitis atau analythical
approach dan pendekatan filsafat atau philosophical approach
Kesimpulan dan Rekomendasi
A.
Kesimpulan
Sejumlah ahli, di antaranya Peter Mahmud
Marzuki, mengambil sikap tegas bahwa sesuai dengan karakter khas ilmu hukum,
hanya ada satu jenis penelitian hukum. Penelitian hukum dalam arti ini adalah
penelitian hukum yang lazim dikenal sebagai penelitian hukum normatif.
Sejumlah ahli lain, terutama yang mendalami
sosiologi hukum maupun antropologi hukum, misalnya Soerjono Soekanto, Satjipto
Rahardjo, Soetandyo Wignjosubroto, I Nyoman Nurdjaja, mengambil sikap menerima socio-legal
research sebagai bagian penelitian hukum. Dengan demikian menurut mereka
menerima dua jenis penelitian hukum, yaitu (1) penelitian hukum normatif, dan
(2) penelitian hukum empirik atau socio-legal research. Salah satu
karakter data adalah dapat diverifikasi secara empirik. Data harus dapat
dijangkau oleh panca indra manusia. Di dalam penelitian hukum empirik
diperlukan data. Karena bahan hukum tidak mempunyai karakteristik seperti data,
maka bahan hukum tidak dapat digolongkan sebagai data.
Penelitian hukum normatif memerlukan bahan
hukum. Masalah adalah kesenjangan antara hukum dengan pelaksanaan hukum, atau
kesenjangan antara das sollen dan das sein atau kesenjangan
antara ”sesuatu yang seharusnya” dengan ”sesuatu yang terjadi”. Hal ini tepat
untuk penelitian huku empirik, sebab pada ujungnya harus memverifikasi secara
empirik, yaitu sesuatu yang terjadi. Isu hukum tepat untuk penelitian hukum
normatif, sebab isu hukum mempersoalkan hubungan antar proposisi yang ada di
dalam hukum. Variabel adalah konsep di dalam penelitian yang pada ujungnya
memverifikasi data secara emprik. Oleh karena itu hanya di dalam penelitian
hukum empirik saja dapat dimunculkan variabel.
Hipotesis adalam kesimpulan atau
pernyataan sementara yang perlu diuji lewat verifikasi empirik. Oleh karena itu
hanya di dalam penelitian hukum empirik saja dapat dikemukakan hipotesis. Tidak
mungkin ada hipotesis di dalam penelitian hukum normatif.
Rekomendasi
Untuk hal-hal yang sudah
disepahami, sebaiknya digunakan secara konsisten, agar keilmuan hukum semakin
berkembang dengan baik. Di samping itu, jika hal ini dilakukan, para mahasiswa
tidak bingung dalam menentukan pilihan jenis penelitian yang akan dilakukannya.
Untuk semester awal ada tugas
ilmiah yang biasa di bebankan kepada mahasiswa yaitu Makalah, nah seandainya
makalah ini didorong secara benar maka untuk penulisan selanjutnya yang
dikatagorikan penelitian yang bersifat empirik mahasiswa sudah bisa mengetahui
letak dasar perbedaanya dengan penelitian yang bersifat Normatif.
Semoga kajian-kajian yang
kawan-kawan lakukan bisa menjadi sumber solusi atas kondisi hukum yang ada
sekarang khususnya yang ada dikalimantan tengah.
Semoga kita bisa menerapkan ilmu
kita kelak, saat kita telah usai di bangku kuliah, buatlah Dosen kita bangga
mempunyai mahasiswa/(i) seperti kita yang kosisten dalam berkarya.
Tulisan ini dikutip dari berbagai macam
sumber dan sebagian besar ditulis oleh Dr.
Abdul Rachmad Budiono, S.H., M.H. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan
judul tulisan Ilmu Hukum Dan Penelitian Hukum.
Aryo Nugroho W (Alumni Fakultas Hukum
Universitas Palangka Raya)
Front Marhenis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar