Menarik untuk disimak bahwa meskipun Soekarno amat berapi-api dalam melawan
kolonialisme, imperialisme dan elitisme, sebenarnya perlawanan itu tidak total,
dalam arti tidak sepenuhnya dimaksudkan untuk menuntaskan ketiga tantangan itu.
Hal ini tampak misalnya ketika ia mendirikan PNI. Di satu pihak memang dengan
jelas digariskan bahwa tujuan utama PNI adalah mencapai Indonesia merdeka.
Tetapi di lain pihak cita-cita kemerdekaan itu tidak disertai hasrat untuk
mengubah sistem politik yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial dengan
sistem politik yang sama sekali baru.
Alih-alih perubahan total, Soekarnosebagaimana banyak aktivis pergerakan
waktu itu-berkeinginan bahwa negeri yang merdeka itu nanti akan ditopang oleh
sistem yang mirip dengan sistem yang menopangnya saat terjajah. Hanya elitenya
akan diganti dengan elite baru, yakni elite pribumi.
Pemakaian Soekarno atas gagasan-gagasan Marxis amat selektif. Ia
tertarik dengan pengertian proletariat-nya Marx, tetapi ia memperluasnya menjadi
Marhaenisme. Di satu pihak perluasan itu membuat revolusi menjadi lebih jauh
daripada sekadar pertarungan antara buruh pabrik melawan para kapitalis, tetapi
di lain pihak hal ini juga membuat fokus revolusi menjadi kabur. Kekaburan ini
menjadi bertambah ketika disadari bahwa pemerintah kolonial, yakni pihak yang
mau dilawan oleh kaum Marhaen, melibatkan juga banyak sekali pejabat dan
pegawai pribumi. Dan dalam hal ini rupa-rupanya Soekarno memang tidak bermaksud
mengadakan suatu perubahan total. "Kita berjuang bukan untuk melawan
orang kaya," tulisnya di harian Fikiran Rakjat tahun 1932,
"melainkan untuk melawan sistem."
Betapapun "galak"-nya Soekarno muda dalam menentang
kolonialisme dan imperialisme dengan menggunakan prinsip nonkooperasi, ternyata
ia tidak selalu konsisten. Sekitar bulan-bulan Agustus-September 1933, sebagaimana
dilaporkan oleh pemerintah kolonial, ia menyatakan mundur dari keanggotaan
Partindo, memohon maaf, dan meninggalkan prinsip nonkooperasi. Ia bahkan
dilaporkan bersedia untuk bekerja sama dengan pemerintah penjajah Belanda.
Lepas dari benar atau tidaknya laporan pemerintah itu, berita ini mengagetkan
dan mengecewakan para pendukung gerakan kemerdekaan waktu itu. Mereka kecewa
karena tokoh perjuangan yang mereka agung-agungkan, telah menyerah. Dalam koran
Daulat Ra'jat edisi 30 November 1933 Mohammad Hatta bahkan menyebut
peristiwa ini sebagai "Tragedie-Soekarno." Hatta amat menyesalkan
inkonsistensi serta lemahnya semangat perlawanan tokoh taktik nonkooperasi itu.
Berhubungan dengan sikap anti-elitismenya perlu dilihat bahwa meskipun
dalam pidato dan tulisan-tulisannya Soekarno tampak melawan elitisme, tetapi
sebenarnya bisa diragukan apakah ia sepenuhnya demikian. Hal ini tampak
misalnya dalam pidato yang ia sampaikan pada tanggal 26 November 1932 di
Yogyakarta, kota pusat aristokrasi Jawa. Dalam pidato itu Soekarno mengajak
setiap orang, apa pun status sosialnya, untuk bersatu demi kemerdekaan. Tetapi
sekaligus ia menegaskan bahwa bersama Partindo dirinya tidak menginginkan
perjuangan kelas.
Dalam tulisan Nasionalisme, Islam dan Marxisme, sebagaimana
disinyalir oleh McVey, sebenarnya Soekarno sama sekali tidak sedang bicara dengan
rakyat banyak. Dalam tulisan itu ia, menurut McVey, "tidak menyampaikan
imbauannya kepada kelompok-kelompok radikal pedesaan dan proletar yang
telah memelopori pemberontakan komunis setahun sebelumnya, atau kepada
para santri-santri taat pejuang Islam, atau kepada rakyat kebanyakan di
dalam maupun di sekitar wilayah perkotaan yang bergabung ke dalam PNI
yang didirikan oleh Soekarno saat mereka sedang mencari pegangan di
tengah lunturnya nilai-nilai tradisional." Soekarno,
sebaliknya, lebih mengalamatkan imbauannya kepada sesama kaum elite pergerakan,
atau kepada apa yang disebut oleh McVey sebagai "elite metropolitan,"
yang keanggotaannya biasanya ditentukan oleh tingkat pendidikan Barat yang
diperoleh seseorang.
Kelompok elite metropolitan yang dituju oleh tulisan Soekarno itu sebenarnya
jumlahnya amat kecil, dan kebanyakan dari mereka tinggal di kota-kota dengan
pengaruh Eropa, seperti misalnya Bandung, Surabaya, Medan atau Jakarta. Di satu
pihak, kelompok elite ini mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kemerdekaan
Indonesia serta telah berpikir dalam rangka identitas nasional dan tidak lagi
dalam rangka identitas regional seperti generasi pendahulunya. Di lain pihak,
kelompok ini tidak melihat perlunya mengadakan suatu revolusi sosial yang akan secara
total mengubah sistem yang ada, dengan segala corak kolonialkapitalisnya.
Yang lebih mendesak menurut para aktivis generasi ini adalah melengserkan
elite pemerintahan kolonial asing dan menggantinya dengan elite lokal yang
dalam hal ini adalah diri mereka sendiri. Dengan kata lain, mereka menghendaki
adanya revolusi nasional, tetapi bukan revolusi sosial. Dalam kaitannya dengan
rakyat banyak, anggota kelompok elite ini merasakan perlunya dukungan rakyat
dalam perjuangan melawan pemerintah kolonial. Pada saat yang sama mereka
berupaya mengikis sikap-sikap tradisional rakyat yang mereka pandang sebagai
penghalang bagi langkah menuju dunia modern, yakni dunia sebagaimana tercermin dalam
kaum kolonialis Barat.
Perasaan yang serupa tampaknya juga dimiliki oleh Soekarno. Bagi Soekarno
muda, massa rakyat-betapapun tampak penting sebagai simbol dan sebagai potensi
politik-sebenarnya lebih dibutuhkan sebagai sumber dukungan baginya dalam mengambil
langkah-langkah politis. Oleh karena itu tidak mengherankan, sebagaimana pernah
dikeluhkan oleh Hatta, jika kontak Soekarno dengan rakyat kebanyakan itu sebenarnya
amat sedikit, terbatas pada kontak melalui pidato-pidato yang penuh tepuk
tangan dan sorak-sorai.
Dikatakan oleh Bernhard Dahm, penulis biografi Bung Karno, di satu pihak
Soekarno menentang sikap rakyat yang mudah pasrah pada nasib, tetapi di lain
pihak ia "membutuhkan sorak-sorai tepuk tangan (mereka) guna mendukung
rasa percaya dirinya." Dengan demikian tampak adanya sikap mendua
(ambivalen) dalam sikap-sikap Soekarno terhadap kapitalisme, imperialisme
maupun elitisme: Di satu pihak ia membenci ketiganya. Di lain pihak, sadar atau
tidak, ia melihat bahwa beberapa aspek di dalam ketiganya layak untuk
dipertahankan atau setidaknya untuk tidak dikutak-katik.
Sumber : 100 Tahun Bung Karno
Sang
Penggoda !
Front
Marhenis
ijin nyimak gan, komengnya ntar habis mencerna,
BalasHapus