Rabu, 05 September 2007
Working Group Conservation for Peoples (WGCOP)
A. Pengantar
Gerakan konservasi yang dilahirkan atas kepentingan
sebuah warisan keindahan dunia bagi generasi mendatang telah mendunia. Berbagai
konvensi internasional melingkupinya. Dalam pergeseran waktu, konservasi
kemudian dipahami berbeda antara dunia utara dan dunia selatan. Pemaknaan
konservasi di dunia utara lebih mengutamakan warisan keindahan, yang kemudian
menjadikan kawasan konservasi steril dari manusia, menjadi sebuah petaka ketika
gagasan dialirkan ke wilayah selatan belahan dunia.
Pada tingkat komunitas lokal di negara-negara tropis,
konservasi sangat berkaitan erat dengan sumber-sumber penghidupan komunitas.
Bukan pada sekedar kepentingan ekonomi hari ini, namun lebih jauh pada sebuah
kedaulatan atas kehidupan jangka panjang. Proses intrusi pemikiran konservasi
klasik pada akhirnya membuahkan konflik pada kawasan yang secara legal disebut
sebagai sebuah kawasan konservasi.
Di wilayah berbeda, pekerja lembaga konservasi yang
didanai oleh negara-negara utara, pada senyatanya sangat jauh dari sebuah
pemahaman tentang konservasi. Definisi tentang konservasi saja kebanyakan tidak
dipahami, apalagi mengenai sejarah konservasi dunia.
Di Indonesia, departemen kehutanan telah menetapkan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Perlindungan Alam seluas 23.214.626,57 hektar,
dimana sebagian besarnya merupakan Taman Nasional. Konsep pengelolaan Taman
Nasional sangat sentralistik dan kerap mengabaikan keberadaan masyarakat
adat/lokal yang justru telah hidup di kawasan-kawasan tersebut secara
turun-temurun, dari generasi ke generasi. Hal inilah yang menjadi titik
terjadinya konflik kepentingan antara kepentingan konservasi dan kepentingan
rakyat.
Untuk pengelolaan kawasan konservasi, seperti taman
nasional, cagar alam, taman buru, hutan wisata dan hutan lindung, dilakukan
pengelolaan oleh pemerintah melalui unit pelaksana teknis sebagai perwakilan
pemerintah di lapangan. Sebagian lokasi kawasan konservasi juga dikelola
bersama dengan lembaga konservasi internasional. WALHI (2003) mencatat hingga
saat ini pengelolaan hutan konservasi masih sangat jauh dari sisi pengelolaan
hutan oleh rakyat, karena pengertian konservasi sebagai kawasan yang ‘steril’
dari masyarakat masih menjadi pegangan pemerintah dalam pengelolaan hutan.
Kondisi tersebut sering memicu terjadi konflik antara rakyat dengan pengelola
kawasan konservasi.
Pada tingkat Propinsi dan Kabupaten, konservasi
seolah-olah diabaikan. Dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya dinyatakan konservasi sumber daya alam hayati
adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara
bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara
dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tujuan konservasi yang
dilakukan oleh institusi pemerintah adalah untuk mengusahakan terwujudnya
kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga
dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia, dimana merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah
serta masyarakat.
Kompleksitas, ketidakjelasan serta ketidakpastian tata
pengelolaan yang lahir dari kebijakan yang tumpang tindih, berujung konflik
sumber daya alam dengan manusia yang makin kerap terjadi di taman nasional.
Tidak hanya meningkat dalam hitungan jumlah peristiwa yang terjadi, tetapi juga
makin variatif dalam perkembangan modus maupun korban. Mulai dari peristiwa:
penyerobotan dan konversi lahan, pembalakan liar, penangkapan spesies yang
dilindungi, hingga kebakaran hutan yang berujung pada gangguan perekonomian dan
punahnya sumber daya hayati. Kejadian ini tidak sekedar berdampak lokal, tetapi
juga dirasakan efeknya dalam skala regional bahkan internasional.
B. Sejarah Konservasi
Kelahiran pemikiran konservasi berawal dari adanya
keinginan untuk memelihara situs-situs alam dari penggunaan komersial dan
menyediakan hiburan bagi masyarakat. Pada tahun 1872, Yellowstone ditetapkan
sebagai taman nasional pertama di dunia. Hingga kemudian saat ini telah kurang
lebih 2.000 taman nasional telah ditetapkan di 136 negara.
Di wilayah Asia Timur, konservasi sumberdaya alam
hayati dimulai saat Raja Asoka (252 SM) memerintah, dimana saat itu diumumkan
bahwa perlu dilakukan perlindungan terhadap binatang liar, ikan dan hutan.
Namun dari sejarah tersebut dapat dilihat bahwa bahkan sejak jaman dahulu,
konsep konservasi telah ada dan diperkenalkan kepada manusia meskipun konsep
konservasi tersebut masih bersifat konservatif dan eksklusif (kerajaan).
Kesepakatan internasional berkaitan konservasi baru
mulai didengungkan pada kelahiran Konvensi Keanekaragaman Hayati. Konvensi
Keanekaragaman Hayati dalam bahasa aslinya bernama United Nations Convention on
Biological Diversity (UN CBD) telah ditandatangani oleh 157 kepala negara
dan/atau kepala pemerintahan atau wakil negara pada waktu naskah Konvensi
diresmikan di Rio de Janeiro, Brazil. Penandatanganan ini terlaksana selama
penyelenggaraan United Nations Conference on Environment and Development
(UNCED), pada tanggal 3 sampai dengan 14 Juni 1992. Indonesia merupakan negara
kedelapan yang menandatangani Konvensi di Rio de Janeiro, Brazil, pada tanggal
5 Juni 1992. Konferensi di Rio de Janeiro, Brazil, yang sebelumnya didahului
oleh tiga pertemuan kepakaran teknis dan tujuh sidang, diselenggarakan antara
Nopember 1988 sampai dengan Mei 1992. Pertemuan dan sidang tersebut selalu
dihadiri oleh delegasi Indonesia.
Dalam perjalanannya, kelahiran Konvensi Keanekaragaman
Hayati ini didahului dengan serangkaian pertemuan sejak Deklarasi Stockholm di
tahun 1972. Selanjutnya dilahirkan Deklarasi Nairobi (1982), Resolusi Wina
(1985), Protokol Montreal (1987), Deklarasi Tokyo (1987), Hague Declaration on
the Environment (1989), Latin American and Carribean Summit Declaration of
Brazillia on the Environment (1989), Helsinkin Declaration on the Ozon Layer
(1989). Selanjutnya Pertemuan Rio de Janeiro pada tanggal 3-14 Juni 1992
menjadi tonggak lahirnya Deklarasi Rio, Agenda 21, Konvensi tentang Perubahan
Iklim dan Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati, dan Pernyataan
Prinsip-prinsip Kehutanan. Selanjutnya dilakukan pertemuan-pertemuan antar
pihak berkaitan dengan masing-masing konvensi. Pertemuan internasional lainnya
yang mengiringi kebijakan konservasi internasional meliputi Kongres Taman
Nasional dan Kawasan Lindung se dunia, dan Kongres Kehutanan se dunia.
Di Indonesia, sejak masa Hindia Belanda, telah hadir
inisiatif melindungi kawasan dengan pengukuhan kawasan hutan seluas 6 hektar di
Depok sebagai Cagar Alam (Natuur Reservaat) pada tahun 1714 dengan nama Cagar
Alam Pancoran Mas. Terjadinya perdagangan burung Cenderawasih menjadi awal
kelahiran kebijakan perlindungan satwa di masa Hindia Belanda. Dari surat
protes yang disampaikan oleh beberapa pihak, pada Oktober 1909 diterbitkan
Staatsblad 497 dan Staatblad 594 pada Desember 1909 yang mulai berlaku pada
1910. Selanjutnya dikeluarkan Ordonnantie tot Bescherming van sommige in het
levende Zoogdieren en Vogels (Undang-undang Perlindungan bagi Mamalia Liar dan
Burung Liar). Pada 1912 juga didirikan Nederlands Indische Vereniging tot
Natuur Bescherming (Perhimpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda) oleh Dr. S. H.
Koorders, dkk, yang kemudian menunjuk dua belas lokasi kawasan yang perlu
dilindungi di Pulau jawa dan ditetapkan sebagai monumen alam (Natuur
Monumenten) yang tidak boleh diusik. Hal ini dilanjutkan dengan terbitnya
Saatsblad No. 278 pada Maret 1916 yang kemudian menunjuk 55 kawasan sebagai
Cagar Alam. (Wiratno, dkk., 2004)
C. Politik Konservasi
Permasalahan konservasi dan ekologi, sejak beberapa
abad yang lalu telah dipandang sangat berkaitan erat dengan politik. John
Bellamy Foster yang diwawancara oleh Dennis Soron (2004) mengungkapkan
optimisme terhadap pertemuan Rio Earth Summit pada tahun 1992 merupakan salah
kaprah dikarenakan kelompok-kelompok lingkungan hidup tidak memperhitungkan
tekanan ekonomi yang ditujukan terhadap mereka dan tidak mempertimbangkan
secara fundamental sistem ekonomi kapitalisme yang mengakibatkan kerusakan
lingkungan hidup.
Pemerintah menandatangani perjanjian internasional
untuk meningkatkan prestise, ingin tergabung dalam komunitas internasional dan
mengurangi kritik. Perjanjian internasional sering menjadi dasar
perundang-undangan nasional. Setelah ditandatangani, perjanjian internasional
lebih sering dipergunakan oleh organisasi non-pemerintah untuk mendorong
perubahan dibandingkan dipergukanan sebagai landasan pemerintah. Hal ini yang
kemudian menjadikan penting untuk memasuki wilayah politik dan perubahan
kebijakan dalam permasalahan konservasi. (Sutherland, 2000)
Kepentingan yang kuat dari aktor konservasi di luar
pemerintah, terutama lembaga konservasi internasional (LKI) menjadikan
kepentingan konsekwensinya konservasi lebih dikuasai oleh LKI. Bahkan lebih
seringnya permasalahan konservasi dibicarakan di tingkat internasional
dibandingkan di tingkat lokal, menjadikan kemudian permasalahan konservasi
semakin jauh dari kepentingan komunitas lokal.
D.
Kebijakan Konservasi Yang Meminggirkan Komunitas Lokal
Pemerintah Orde Baru mengembangkan kebijakan
perlindungan alam (hutan) secara umum sebagaimana amanat UU No. 5 tahun 1967
tentang Ketentuan Pokok-pokok Kehutanan, khususnya tentang perlindungan hutan
yang juga mengatur perburuan satwa liar, yang kemudian melahirkan PP No. 28
tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan. Baru kemudian dilahirkan UU No. 4 tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup, Keppres No. 32 tahun
1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan UU No. 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pada tahun 1999, UU No. 5
tahun 1967 digantikan dengan hadirnya UU No. 41 tahun 1999, yang kemudian
diubah pada beberapa pasal dengan Perpu No. 1 tahun 2004 yang diundangkan
dengan UU No. 19 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Sebelum tahun 2004, Pemerintah Indonesia melalui
beragam kebijakannya menempatkan pengelolaan konservasi sebagai kewenangan
pemerintah pusat. Dalam pasal 4 UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, disebutkan Konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta
masyarakat. Kewenangan ini kemudian diletakkan sebagai sebuah kewenangan yang
dikelola oleh Departemen Kehutanan.
Kewenangan Pemerintah Pusat berkaitan pengelolaan
konservasi juga dikuatkan dalam pasal 7-13 UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa terdapat 5 (lima) kewenangan yang tetap
menjadi kewenangan pemerintah pusat pada masa otonomi daerah, yaitu politik
luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan
tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara
makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga
perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia,
pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis,
konservasi, dan standardisasi nasional.
Dalam pasal 4 ayat (3) UU No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan disebutkan bahwa penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Kebijakan
ini kemudian berdampak pada semakin sulitnya kewenangan komunitas lokal dalam
melakukan pengelolaan kawasan hutan, termasuk kawasan konservasi, dimiliki oleh
komunitas lokal, karena untuk memperoleh pengakuan oleh Negara semakin tidak
dimungkinkan.
Trend yang terjadi sejak tahun 2004 adalah
dilakukannya deklarasi “kabupaten konservasi” di beberapa daerah Indonesia.
Sebagai contoh, Kabupaten Pasir dan Malinau di Kalimantan Timur dan Kabupaten
Kapuas Hulu di Kalimantan Barat telah mendeklarasikan wilayahnya sebagai
kabupaten konservasi. Di Kabupaten Pasir, salah satu misi pembangunan kabupaten
adalah mewujudkan kabupaten konservasi. (SK Bupati Kapuas Hulu, 2003; Kompas,
2004; KaltimPost, 2006; pasir.go.id, 2007) Inisiatif juga lahir dari kabupaten
Lampung Barat Propinsi Lampung, Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi dan Kabupaten
Lebong Propinsi Bengkulu. (WWF Indonesia, 2007; pemkabkerinci.org, 2007)
Setelah dilakukan deklarasi, pemerintah kabupaten
melakukan desakan kepada pemerintah pusat untuk memberikan kompensasi dari
pemerintah pusat terhadap upaya pemerintah kabupaten yang melakukan konservasi
kawasan hutan. Pada tingkatan masyarakat masih terdapat kebingungan dikarenakan
minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten, sebagaimana yang
terjadi pada masyarakat di Kabupaten Kapuas Hulu. Bahkan masyarakat suku Dayak
Punan Uheng, Kereho, Taman, Kayan, Bukat, Kantuk, dan Senganan mendesak
pembatalan status kabupaten konservasi yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten
Kapuas Hulu dikarenakan masih terjadinya kegiatan eksploitasi hutan di kawasan
adat.
Kebijakan-kebijakan konservasi yang telah ada di
Indonesia, dapat dilihat sebagai sebuah penguatan terjadinya penggusuran
terhadap kawasan kelola komunitas lokal, dikarenakan kebijakan pemerintah
tersebut menyatakan bahwa kawasan konservasi merupakan kawasan yang steril dari
keberadaan manusia di dalamnya. Hal tersebut juga diperkuat oleh dorongan
lembaga konservasi internasional, semisal The Nature Conservancy (TNC) yang
juga merasa memiliki kepentingan terhadap kawasan konservasi.
Sementara itu, pola-pola konservasi lokal yang
merupakan hasil pembelajaran panjang dari komunitas lokal tidak pernah diakui
oleh kebijakan Negara. Pengelolaan kawasan komunitas lokal selalu ditabrak oleh
kepentingan-kepentingan industri kehutanan, perkebunan dan pertambangan, serta
kebijakan pengelolaan kawasan konservasi oleh pemerintah. Hal ini kemudian
menjadikan pola-pola konservasi lokal, termasuk didalamnya budaya dan
pengetahuan lokal secara perlahan tergerus oleh waktu.
E. Pelaku Konservasi
E. Pelaku Konservasi
Dalam pengelolaan kawasan konservasi, Pemerintah
(dalam hal ini Departemen Kehutanan), kemudian melakukan kerjasama dengan
berbagai lembaga konservasi internasional (LKI), semisal The Nature Conservancy
(TNC) , Conservation Internasional (CI), Wildlife Conservation Society (WCS),
World Wildlife Fund for Nature (WWF), Borneo Orangutan Survival Foundation
(BOSF), serta juga memperoleh bantuan pendanaan dari lembaga keuangan
internasional seperti World Bank (WB), Asian Development Bank (ADB). Hingga
tahun 2007, terdapat tidak kurang 72 kerjasama yang dilakukan oleh Departemen
Kehutanan dengan berbagai lembaga untuk konservasi keanekaragaman hayati,
termasuk didalamnya 28 kerjasama berkaitan penyelamatan satwa.
Pemerintah memandatkan pengelolaan konservasi kepada
dua lembaga pemerintah yang langsung melakukan pengelolaan konservasi di
daerah, yaitu Balai Taman Nasional dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam
(BKSDA). Balai Taman Nasional adalah unit pelaksana teknis di bidang konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA).
Sedangkan BKSDA adalah unit pelaksana teknis di bidang konservasi sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. (ditjenphka.go.id,
20070
Terdapat 3 pengelompokan kepentingan LKI dalam ikut
melakukan upaya pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Kepentingan
pertama adalah untuk melakukan penguasaan lahan. LKI melakukan kerjasama dengan
pemerintah untuk mengelola kawasan konservasi kemudian secara perlahan menjadi
“penguasa” terhadap kawasan konservasi. Kepentingan kedua adalah penggalangan
dana konservasi dunia. Setelah LKI memperoleh kerjasama untuk melakukan
pengelolaan kawasan konservasi, menjadikan LKI lebih mudah untuk memperoleh
pendanaan dari berbagai institusi internasional maupun Negara utara dan
perusahaan-perusahaan besar. Kepentingan ketiga LKI adalah untuk melakukan
bisnis wisata berbasis alam (ecotourism) sebagai sebuah bisnis yang dikelola
oleh LKI di Indonesia.
Namun melihat semakin menguatnya LKI di Indonesia,
diindikasikan terdapat agenda tersembunyi yang dilakukan oleh LKI di Indonesia,
yang tidak semata untuk kepentingan konservasi, namun lebih jauh untuk
penguasaan sumberdaya alam yang ada di dalam kawasan yang dikelola.
Lemahnya kapasitas aparat pemerintah dalam melakukan
pengelolaan konservasi telah menjadikan sebagian besar kendali pengelolaan
konservasi berada pada LKI. Mekanisme nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah
dengan LKI, telah pula menjadikan semakin banyak pegawai Departemen Kehutanan
yang menjadi pekerja di berbagai LKI yang ada. Alasan yang selalu diungkapkan
oleh Dephut adalah untuk kepentingan pengawasan dan peningkatan kapasitas staf
Dephut. Namun kemudian, beberapa pensiunan Dephut juga direkrut oleh LKI.
Hingga saat ini, LKI yang terbanyak mempekerjakan staf Dephut adalah WWF
Indonesia
.
F. Bisnis Konservasi
F. Bisnis Konservasi
Konservasi saat ini telah bergeser menjadi sebuah
bisnis. Walaupun berdasarkan catatan, hanya $0,56 yang dikucurkan setiap hektar
dalam setiap tahunnya bagi kawasan taman nasional di Indonesia, senyatanya pada
tahun 2006 telah terdapat $38,01 juta yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk
pendanaan konservasi dan $53,37 juta yang telah dikeluarkan oleh lembaga
non-pemerintah dan donor internasional.
Selama tahun 1995 hingga 2000, penerimaan dari tiket
masuk dari 21 taman nasional dengan luas wilayah sekitar 5,2 juta hektar hanya
menghasilkan sekitar 3,5 milyar rupiah. Direktorat Jenderal Perlindungan dan
Konservasi Alam (Ditjen PKA - saat ini bernama Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam) hanya mendapatkan alokasi rata-rata sebesar 13,5
persen dari total anggaran Departemen Kehutanan, sementara taman nasional
mendapatkan rata-rata 31,5 persen dari total anggaran Ditjen PKA.
Pendanaan pemerintah untuk perlindungan kawasan
meningkat dari $21,01 juta pada tahun 2004 menjadi $38,01 juta di tahun 2006,
dimana pemerintah pusat mengeluarkan sebesar $35,99 juta dan pemerintah daerah
mengeluarkan $2,02 juta. Sementara dari organisasi non-pemerintah dan donor
internasional dilakukan investasi sebesar $53,37 juta pada tahun 2006. Hal
tersebut setara dengan $5,28 setiap hektarnya. (KLH, 2005)
Mekanisme bisnis konservasi baru akan terlihat pada
fase setelah 5 tahun sebuah lembaga konservasi (internasional) melakukan
aktivitas di sebuah kawasan konservasi. Isu ekowisata (ecotourism) diangkat
sebagai bungkus dari aktivitas bisnis yang ingin dilakukan. Di Taman Nasional
Komodo, beberapa tahun lalu dibentuk sebuah perusahaan patungan bernama PT
Putri Naga Komodo yang sahamnya sebagian dimiliki oleh lembaga konservasi
internasional (The Nature Conservancy) yang kemudian juga memperoleh hibah dari
lembaga keuangan internasional, antara lain International Finance Cooperation -
IFC) untuk menguatkan permodalannya. Sementara kelompok-kelompok nelayan lokal
“dipaksa” untuk mencari wilayah tangkapan lainnya yang semakin jauh dari tempat
berkehidupannya.
Temuan lain yang pernah dilansir oleh Washington Post,
bahwa TNC sebuah lembaga konservasi terkaya di dunia (yang juga beroperasi di
Indonesia) setelah melakukan mekanisme “buy an acre” pada sebuah kawasan
konservasi (yang katanya) untuk pelestarian satwa, dalam beberapa waktu
kemudian dialihkan untuk kepentingan perumahan mewah (property) dan pertambangan
gas. Berbeda sedikit, juga kerja yang dilakukan LKI di sektor perkayuan,
setelah melakukan pertemuan di hotel mewah, secara perlahan mulai berpikir
mengambil alih kepemilikan konsesi, yang kemudian diperuntukkan bagi penyediaan
kebutuhan kayu bagi Amerika Serikat.
G. Konflik Pengelolaan Konservasi
Pada tataran pemikiran (konsepsi), berbagai kebijakan
konservasi sumberdaya alam juga masih berlandaskan pada pandangan yang bersifat
preservatif (pengawetan), yang secara kaku memandang sumberdaya alam sebagai
sesuatu yang statis, dan karena perlu diawetkan dalam sebuah museum alam yang
bahkan diistilahkan sebagai “terlarang untuk disentuh”, hanya boleh dilihat.
Cara pandang ini anti pembangunan dan menafikan kemampuan dinamis alam.
Dari cara pandang yang berbeda terhadap konservasi,
akhirnya melahirkan konflik berkelanjutan pada kawasan konservasi. Dalam
penerapan konservasi di Indonesia, WALHI mencatat bahwa hingga tahun 2003 telah
terjadi beberapa pengusiran rakyat dari kawasan konservasi di Indonesia, di
antaranya di TN Lore Lindu, TN Kutai, TN Meru Betiri, TN Komodo, TN Rawa Aopa
Watumoi, TN Taka Bonerate, TN Kerinci Seblat dan beberapa kawasan lainnya.
Bahkan di TN Komodo, TN Togean, dan TN Wakatobi masyarakat nelayan hingga saat
ini dilarang melakukan aktivitas penangkapan ikan di perairan taman nasinoal
yang telah diklaim sepihak sebagai zona inti taman nasional.
Selain itu, tercatat beberapa kasus konflik yang
terjadi di kawasan Taman Nasional di Indonesia antara lain; pembangunan jalan
di Kawasan Ekosistem Leuser dan TN Gunung Leuser, pengusiran dan penembakan
nelayan di TN Komodo dan TN Ujung Kulon, Operasi Napoleon di TN Wakatobi,
pengusiran masyarakat Dongi-dongi di TN Lore Lindu dan pengusiran rakyat Moronene
di TN Rawa Aopa Watomohai.
Angi, seorang peneliti asal Kalimatan Timur pada tahun
2005, mengungkapkan bahwa seluruh kawasan konservasi yang dikelola oleh pusat
bermasalah dengan pemerintah daerah setempat dan masyarakat. Permasalahan yang
utama terkait dengan tata ruang wilayah pengelolaan yang saling tumpang tindih,
hak pengelolaan oleh pemerintah daerah dan masyarakat, pembalakan haram,
perambahan kawasan dan permasalahan lainnya terkait dengan kepemilikan lahan.
Lebih lanjut Angi memaparkan, terdapat 4 (empat)
permasalahan berkaitan bidang konservasi di Kabupaten Kutai Barat Propinsi
Kalimantan Timur, yaitu:
1.
Masyarakat sekitar kawasan konservasi masih kurang
dilibatkan dalam pengelolaan bersama kawasan konservasi, bahkan dianggap
sebagai musuh yang selalu merambah kawasan;
2. Pola
insentif yang dikembangkan untuk pengelolaan bersama tidak jelas arah dan
tujuannya, dimana Pemerintah hanya berharap masyarakat dapat membantu
memelihara kawasan saja tanpa adanya perjanjian yang jelas;
3. Di
lapangan telah terjadi tumpang tindih peraturan pusat dengan daerah, terutama
dalam masa desentralisasi ini;
4. Pandangan
bahwa belum adanya contoh kegiatan konservasi yang dapat memberikan andil nyata
kepada pemerintah daerah setempat dan masyarakat dalam bentuk Pendapatan Asli
Daerah (PAD).
H.
Sistem Konservasi Lokal Yang Diabaikan
Komunitas lokal di berbagai wilayah negeri ini telah
membangun budaya pengelolaan sumber kehidupan dalam dan antar generasi.
Berbagai budaya dan tata aturan lokal telah terbangun sebagai sebuah pengalaman
empiris dalam interaksi komunitas dengan alam kehidupannya.
Sistem pemilikan dan penguasaan lahan sumberdaya alam
yang dipraktekkan oleh masyarakat adat terdiri dari, hak pemilikan komunal,
meliputi tanah dan sumber daya alam dan hak pemilikan individu. Dalam pola pengelolaan
lahan oleh komunitas lokal, sangat dikenal kawasan perlindungan, kawasan
pemanfaatan terbatas, kawasan kebun, kawasan ladang, kawasan permukiman, serta
kawasan cadangan pangan. Kawasan-kawasan tersebut kemudian menjadi tidak diakui
dalam sistem zonasi kawasan konservasi (taman nasional) yang dibuat oleh
pemerintah (Balai Taman Nasional).
WALHI (1999) mengkompilasi prinsip-prinsip dalam
sebuah sistem kelola lokal meliputi:
1. Aktor
utama pengelola adalah rakyat [masyarakat lokal/masyarakat adat];
2. Lembaga
pengelola dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol secara langsung oleh rakyat
bersangkutan;
3. Memiliki
wilayah yang jelas dan memiliki kepastian hukum yang mendukungnya;
4. Interaksi
antara masyarakat dengan lingkungannya bersifat langsung dan erat;
5. Ekosistem
menjadi bagian penting dari sistem kehidupan rakyat setempat;
6. Pengetahuan
lokal [indigenous knowledge] menempati posisi penting dan melandasi
kebijaksanaan dan sistem pengelolaan hutan, disamping pengetahuan modern untuk
memperkaya;
7. Teknologi
yang dipergunakan diutamakan teknologi lokal ataupun jika bukan teknologi
lokal, merupakan teknologi yang telah melalui proses adaptasi dan berada dalam
batas yang dikuasai oleh rakyat;
8. Skala
produksi tidak dibatasi, kecuali oleh prinsip kelestarian [sustainability];
9. Sistem
ekonomi didasarkan atas kesejahteraan bersama, dan;
10. Keanekaragaman
hayati mendasari berbagai bidangnya, dalam jenis dan genetis, pola budidaya dan
pemanfaatan sumberdaya, sistem sosial, sistem ekonomi dan lain sebagainya.
I.
Working Group Conservation for Peoples (WGCoP)
WGCoP memandang permasalahan di atas berkaitan dengan
pengelolaan konservasi di Indonesia adalah akibat lemahnya Negara dalam
melindungi kedaulatan rakyat atas kawasan kelola sehingga mudah diintervensi
oleh TNCs (trans national cooperations), NGO (non-govermental organization)
Konservasi Internasional dan ilmuwan mengakibatkan alih penguasaan
sumber-sumber penghidupan rakyat melalui perubahan status kawasan ”yang antara
lain” menjadi taman nasional.
Dampaknya dari hal tersebut adalah:
Dampaknya dari hal tersebut adalah:
1.
Hilangnya pengetahuan, kearifan, budaya, kepercayaan,
teknologi, hukum adat, akses public terhadap kawasan, penguasaan terhadap
kawasan
2. Hilangnya
fungsi kawasan dari fungsi social, budaya, kepercayaan menjadi fungsi ekonomi
3. Pencurian
pengetahuan, kearifan lokal dan keanekaragaman hayati
4. Berubahnya
tata konsumsi dan produksi masyarakat yang khas
5. Rakyat
kehilangan alat produksi
6. Peningkatan
konflik diantara rakyat dan pelanggaran HAM terutama dilaksanakan oleh militer,
kepolisian dan Polhut
7. Pelanggaran
HAM dan konflik internasional
8. Kemiskinan
dan ketergantungan
Agenda Utama yang penting untuk dilakukan adalah:
1.
Alternatif konsep pengelolaan asset penghidupan yang
sesuai dengan kehendak rakyat.
2. Membongkar
paradigma konsep keilmuan tentang konservasi yang tidak sesuai dengan
kedaulatan rakyrat.
3. Kuasai,
pengaruhi, ruang politik untuk menolak konsep Taman Nasional
4. Penguatan
garis masa yang kritis dan terorganisir.
Berkaitan dengan hal tersebut, WGCoP mengambil posisi
dan peran WGCoP :
Ø Memfasilitasi,
mediasi, melakukan kerja-kerja yang bersifat konseptual untuk menolak konsep TN
Ø Mengawal,
mengontrol, mendorong agenda perjuangan
Ø Menjaga
terjalinnya Komunikasi, koordinasi
Ø Membangun
politik kerjasama dengan garis masa yang anti konservasi yang tidak sesuai
kedaulatan rakyat.
Ø Mengusung
isu, konsep strategis pengelolaan aset-aset penghidupan yang berkedaulatan
rakyat di tingkat nasional dan internasional.
Kontak WGCOP:
Kontak WGCOP:
Ade Fadli, Region Kalimantan, email : adefadli@gmail.com
Ruddy Gustave, Region Bali, Nusa Tenggara, email : ruddygustave@gmail.com
Sofyank, Region Jawa
Juni Prisyanto, Komunikasi dan Informasi, email : sekretariat_wgcop@yahoo.com
Basir Bawean, Region Sulawesi
Sang
Penggoda
Front Marhenis