PALANGKA RAYA– Tragedi
pembantaian di Kabupaten Mesuji Lampung dan bentrok di Pelabuhan Sape Bima Nusa
Tenggara Barat yang menimbulkan korban jiwa, terus menuai keprihatinan. Tidak
terkecuali di Provinsi Kalteng yang dinilai juga rawan terjadinya potensi
masalah serupa.
Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Front
Perjuang Rakyat Kalteng, saat berdemonstrasi, di Bundaran Besar Palangka Raya, Selasa(27/12)
menilai peristiwa di Mesuji dan Bima rawan terjadi di Kalteng. Untuk itu,
segala permasalahan yang melibatkan sengketa masyarakat banyak, harus segera
ditangani.
Peristiwa Mesuji dan Bima dinilai berawal
dari sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan besar swasta, baik di
bidang perkebunan maupun pertambangan. Sementara di Kalteng banyak kasus
sengketa lahan perusahaan dengan masyarakat sekitar, yang hingga saat ini belum
mendapat perhatian dari pemerintah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
“Hati-hati, peristiwa Mesuji dan Bima
tak menutup kemungkinan bisa terjadi di Kalteng. Kasus sengketa lahan cukup
banyak di Kalteng. Pemerintah harus mengambil tindakan pencegahan, jika
menginginkan peristiwa seperti itu tidak sampai terjadi di Kalteng,” kata Aryo
Nugroho, Koordinator Aksi Front Perjuangan Rakyat Kalteng.
Aryo menambahkan, hal yang perlu
dilakukan pemerintah adalah menyusun dan menjalankan mekanisme baru dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan sengketa lahan. Sebab, cara komplain yang
saat ini, dianggap masyarakat bukan lagi solusi.
Inilah yang membuat masyarakat,
khususnya di sekitar perusahaan, cenderung menggunakan tindakan anarkis, akibat
ketidakpuasan terhadap perusahaan mapun pemerintah setempat. “Jika penanganan
sengketa tak jadi perhatian serius, tidak menutup kemungkinan peristiwa Mesuji
dan Bima bisa terjadi, bahkan lebih besar dari itu,” pungkas Aryo.
Unjuk rasa bertema Aksi Damai Konflik
Agraria yang Memakan Anak Bangsa itu digelar di kawasan Bundaran Besar Palangka
Raya. Sejumlah aparat kepolisian dikerahkan untuk mengamankan aksi tersebut.
Para demonstran menyampaikan beberapa
tuntutan, yakni, pemerintah di seluruh wilayah Kalteng harus menyelesaikan
konflik agraria yang ada di Bumi Tambun Bungai. Selain itu, pemerintah didesak
mencabut izin perusahaan pertambangan dan perkebunan yang merugikan rakyat dan
merusak lingkungan.
Kemudian, mendesak pemerintah untuk
tidak menghalang-halangi, mengabaikan, aksi yang bertujuan untuk menyuarakan
hak maupun aspirasi agar tindakan nekat tidak terjali lagi serta pemerintah
harus menjalankan undang-undang keterbukaan informasi publik.
“Pemerintahan SBY-Boediono (Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono harus bertanggung jawab
atas semua pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, dan bersedia mengundurkan
diri, karena dinilai tak mampu lagi memimpin negeri ini.Pemerintah Pusat
diminta mencabut UUPMA nomor 1 tahun 1967 jo UUPM Nomor 25 tahun 2007,” ucap
salah seorang demonstran.
Berbagai tuntutan lain yang disampaikan
yaitu mendesak Kapolri Timur Pradopo beserta jajaran kepolisian yang terlibat
konflik agraria dan pelanggaran HAM harus bertanggung jawab serta bersedia
mengundurkan diri dari jabatannya. Nasionalisasi sumber daya alam (SDA)
Indonesia yang kini di kuasai Investor Asing. Hentikan kriminalisasi dan
pembantaian warga yang sedang mempertahankan tanah dan haknya.
Mereka juga menuntut agar dilakukan penarikan
seluruh aparat kepolisian dari wilayah teritorial perusahaan swasta di seluruh
Indonesia, karena bukan fasilitas negara yang harus di jaga. Berikan sanksi
hukum yang setimpal bagi pelanggar ham berat.
Puluhan mahasiswa ini menggelar aksi
gabungan dari sejumlah elemen kemahasiswaan maupun mitra kemahasiswaan yang
mengeatasnamakan sebagai Front Perjuangan Rakyat Kalteng (FPR-KT). Dimana,
terdiri dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Palangka Raya,
Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) Palangka Raya, Pergerakan Mahasiswa Islam
Indnesia (PMII) Palangka Raya, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Himpunan
Mahasiswa Kotawaringin Timur (Hima Kotim), Himpunan Mahasiswa dan Pelajar Hanau
(HMPH), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Save Our Borneo (SOB), BEM FKIP Unpar,
dan BEM STIH.
HMI Sampit Demo
Malam-malam Saat Hujan
Kekerasan
aparat Kepolisian terhadap masyarakat sipil dalam bentrok di Pelabuhan Sape
Bima, Nusa Tenggara Barat juga mengundang reaksi dari mahasiswa di Kabupaten
Kotawaringin Timur (Kotim). Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sampit mengutuk
keras tindakan tersebut dan mendesak agar Kepala Kepolisian (Kapolri) RI,
Jenderal Timur Pradopo segera dicopot.
Desakan
itu disampaikan melalui aksi damai di depan Polrest Kotim, Selasa (27/12)
malam. Aksi tersebut mendapat perhatian warga yang melintas Jalan Jenderal
Sudirman depan kantor Polres Kotim. Pasalnya, mungkin ini adalah kali pertama
demonstrasi dilakukan pada malam hari, apalagi di tengah hujan deras yang
mengguyur Sampit.
Meski
tubuh basah kuyup, namun hal itu tidak menyurutkan semangat sekitar 20 orang
mahasiswa yang tergabung dalam Komisariat HMI Sampit untuk ikut menyuarakan
aksi protes terhadap tindakan represif aparat. Aksi dimulai dengan melakukan long march dari Komisariat HMI di Jalan
A Yani sekitar pukul 19.45 WIB.
Setibanya
di Polres Kotim, para mahasiswa disambut langsung oleh Kasat Bina Mitra Polres
Kotim, AKP Suparmi didampingi Kaur bin ops Iptu Cecep Sumantri. Di bawah
pengawalan ketat aparat, mahasiswa menyampaikan aspirasinya secara damai.
Ketua
Umum HMI Sampit, Robbian Nur selaku koordinator aksi mengatakan, kekerasan
aparat di Bima harus diusut tuntas. Tindakan represif aparat tersebut dinilai
telah merampas hak demokrasi masyarakat dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
“Kasus itu harus diusut tuntas dan kami dari HMI Sampit sangat tida setuju
dengan tindakan tersebut,” kata Robbi.
Ada
tiga tuntutan yang disampaikan HMI Sampit, diantaranya, menuntut Kapolri dicopot,
penghapusan kapitalisme di Bima termasuk di Sampit, serta meminta agar Polri
dapat menjaga dan melaksanakan tugasnya sebagai pelindung dan pengayom
masyarakat.
Iptu
Cecep Sumantri mewakili AKP Suparmi, merespons tuntutan para mahasiswa
tersebut. Menurutnya, aspirasi itu akan disampaikan kepada pimpinan mereka di
Jakarta. “Kami juga berharap dengan adanya aspirasi ini bisa menyelesaikan
masalah di Bima,” katanya.
Selain
menyampaikan aspirasi, para mahasiswa tersebut menampilkan teatrikal yang
menggambarkan kekerasan aparat terhadap masyarakat di Bima. Seorang anggota
kepolisian yang diperankan mahasiswa digambarkan menembak warga menggunakan
peluru tajam yang langsung merobohkan warga.
Kepada
wartawan Robbi menuturkan, aksi itu merupakan bentuk protes mereka terhadap
tindakan aparat. Kapolri dinilai telah gagal melindungi rakyatnya dan menindak
aparatnya yang melakukan kekerasan. “Karena itulah kami menuntut agar Kapolri
(Jenderal Timur Pradopo) dicopot dari jabatannya dan dievaluasi,” tegasnya.
Menurut
Robbi, aksi itu dilakukan serentak oleh HMI di seluruh Indonesia sebagai bentuk
bahwa mereka menentang keras tindakan kekerasan aparat kepolisian terhadap
masyarakat sipil. Aksi dilakukan malam hari karena sebagian anggota HMI Sampit
bekerja di siang hari. “Aksi ini kami lakukan malam hari karena kalau siang,
sebagian anggota kami ada yang bekerja,” tandasnya. (jwr/rm-45)
sumber : http://www.radarsampit.net/berita-241-kalteng-rawan-tragedi-mesuji-dan-bima.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar