Selasa, 06 Maret 2012

KALTENG RAWAN TRAGEDI MESUJI DAN BIMA

PALANGKA RAYA– Tragedi pembantaian di Kabupaten Mesuji Lampung dan bentrok di Pelabuhan Sape Bima Nusa Tenggara Barat yang menimbulkan korban jiwa, terus menuai keprihatinan. Tidak terkecuali di Provinsi Kalteng yang dinilai juga rawan terjadinya potensi masalah serupa.
Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Front Perjuang Rakyat Kalteng, saat berdemonstrasi, di Bundaran Besar Palangka Raya, Selasa(27/12) menilai peristiwa di Mesuji dan Bima rawan terjadi di Kalteng. Untuk itu, segala permasalahan yang melibatkan sengketa masyarakat banyak, harus segera ditangani.
Peristiwa Mesuji dan Bima dinilai berawal dari sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan besar swasta, baik di bidang perkebunan maupun pertambangan. Sementara di Kalteng banyak kasus sengketa lahan perusahaan dengan masyarakat sekitar, yang hingga saat ini belum mendapat perhatian dari pemerintah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
“Hati-hati, peristiwa Mesuji dan Bima tak menutup kemungkinan bisa terjadi di Kalteng. Kasus sengketa lahan cukup banyak di Kalteng. Pemerintah harus mengambil tindakan pencegahan, jika menginginkan peristiwa seperti itu tidak sampai terjadi di Kalteng,” kata Aryo Nugroho, Koordinator Aksi Front Perjuangan Rakyat Kalteng.
Aryo menambahkan, hal yang perlu dilakukan pemerintah adalah menyusun dan menjalankan mekanisme baru dalam menyelesaikan berbagai permasalahan sengketa lahan. Sebab, cara komplain yang saat ini, dianggap masyarakat bukan lagi solusi.
Inilah yang membuat masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan, cenderung menggunakan tindakan anarkis, akibat ketidakpuasan terhadap perusahaan mapun pemerintah setempat. “Jika penanganan sengketa tak jadi perhatian serius, tidak menutup kemungkinan peristiwa Mesuji dan Bima bisa terjadi, bahkan lebih besar dari itu,” pungkas Aryo.
Unjuk rasa bertema Aksi Damai Konflik Agraria yang Memakan Anak Bangsa itu digelar di kawasan Bundaran Besar Palangka Raya. Sejumlah aparat kepolisian dikerahkan untuk mengamankan aksi tersebut.
Para demonstran menyampaikan beberapa tuntutan, yakni, pemerintah di seluruh wilayah Kalteng harus menyelesaikan konflik agraria yang ada di Bumi Tambun Bungai. Selain itu, pemerintah didesak mencabut izin perusahaan pertambangan dan perkebunan yang merugikan rakyat dan merusak lingkungan.
Kemudian, mendesak pemerintah untuk tidak menghalang-halangi, mengabaikan, aksi yang bertujuan untuk menyuarakan hak maupun aspirasi agar tindakan nekat tidak terjali lagi serta pemerintah harus menjalankan undang-undang keterbukaan informasi publik.
“Pemerintahan SBY-Boediono (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, dan bersedia mengundurkan diri, karena dinilai tak mampu lagi memimpin negeri ini.Pemerintah Pusat diminta mencabut UUPMA nomor 1 tahun 1967 jo UUPM Nomor 25 tahun 2007,” ucap salah seorang demonstran.
Berbagai tuntutan lain yang disampaikan yaitu mendesak Kapolri Timur Pradopo beserta jajaran kepolisian yang terlibat konflik agraria dan pelanggaran HAM harus bertanggung jawab serta bersedia mengundurkan diri dari jabatannya. Nasionalisasi sumber daya alam (SDA) Indonesia yang kini di kuasai Investor Asing. Hentikan kriminalisasi dan pembantaian warga yang sedang mempertahankan tanah dan haknya.
Mereka juga menuntut agar dilakukan penarikan seluruh aparat kepolisian dari wilayah teritorial perusahaan swasta di seluruh Indonesia, karena bukan fasilitas negara yang harus di jaga. Berikan sanksi hukum yang setimpal bagi pelanggar ham berat.
Puluhan mahasiswa ini menggelar aksi gabungan dari sejumlah elemen kemahasiswaan maupun mitra kemahasiswaan yang mengeatasnamakan sebagai Front Perjuangan Rakyat Kalteng (FPR-KT). Dimana, terdiri dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Palangka Raya, Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) Palangka Raya, Pergerakan Mahasiswa Islam Indnesia (PMII) Palangka Raya, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Himpunan Mahasiswa Kotawaringin Timur (Hima Kotim), Himpunan Mahasiswa dan Pelajar Hanau (HMPH), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Save Our Borneo (SOB), BEM FKIP Unpar, dan BEM STIH.
HMI Sampit Demo Malam-malam Saat Hujan
Kekerasan aparat Kepolisian terhadap masyarakat sipil dalam bentrok di Pelabuhan Sape Bima, Nusa Tenggara Barat juga mengundang reaksi dari mahasiswa di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sampit mengutuk keras tindakan tersebut dan mendesak agar Kepala Kepolisian (Kapolri) RI, Jenderal Timur Pradopo segera dicopot.
Desakan itu disampaikan melalui aksi damai di depan Polrest Kotim, Selasa (27/12) malam. Aksi tersebut mendapat perhatian warga yang melintas Jalan Jenderal Sudirman depan kantor Polres Kotim. Pasalnya, mungkin ini adalah kali pertama demonstrasi dilakukan pada malam hari, apalagi di tengah hujan deras yang mengguyur Sampit.
Meski tubuh basah kuyup, namun hal itu tidak menyurutkan semangat sekitar 20 orang mahasiswa yang tergabung dalam Komisariat HMI Sampit untuk ikut menyuarakan aksi protes terhadap tindakan represif aparat. Aksi dimulai dengan melakukan long march dari Komisariat HMI di Jalan A Yani sekitar pukul 19.45 WIB.
Setibanya di Polres Kotim, para mahasiswa disambut langsung oleh Kasat Bina Mitra Polres Kotim, AKP Suparmi didampingi Kaur bin ops Iptu Cecep Sumantri. Di bawah pengawalan ketat aparat, mahasiswa menyampaikan aspirasinya secara damai.
Ketua Umum HMI Sampit, Robbian Nur selaku koordinator aksi mengatakan, kekerasan aparat di Bima harus diusut tuntas. Tindakan represif aparat tersebut dinilai telah merampas hak demokrasi masyarakat dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). “Kasus itu harus diusut tuntas dan kami dari HMI Sampit sangat tida setuju dengan tindakan tersebut,” kata Robbi.
Ada tiga tuntutan yang disampaikan HMI Sampit, diantaranya, menuntut Kapolri dicopot, penghapusan kapitalisme di Bima termasuk di Sampit, serta meminta agar Polri dapat menjaga dan melaksanakan tugasnya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Iptu Cecep Sumantri mewakili AKP Suparmi, merespons tuntutan para mahasiswa tersebut. Menurutnya, aspirasi itu akan disampaikan kepada pimpinan mereka di Jakarta. “Kami juga berharap dengan adanya aspirasi ini bisa menyelesaikan masalah di Bima,” katanya.
Selain menyampaikan aspirasi, para mahasiswa tersebut menampilkan teatrikal yang menggambarkan kekerasan aparat terhadap masyarakat di Bima. Seorang anggota kepolisian yang diperankan mahasiswa digambarkan menembak warga menggunakan peluru tajam yang langsung merobohkan warga.
Kepada wartawan Robbi menuturkan, aksi itu merupakan bentuk protes mereka terhadap tindakan aparat. Kapolri dinilai telah gagal melindungi rakyatnya dan menindak aparatnya yang melakukan kekerasan. “Karena itulah kami menuntut agar Kapolri (Jenderal Timur Pradopo) dicopot dari jabatannya dan dievaluasi,” tegasnya.
Menurut Robbi, aksi itu dilakukan serentak oleh HMI di seluruh Indonesia sebagai bentuk bahwa mereka menentang keras tindakan kekerasan aparat kepolisian terhadap masyarakat sipil. Aksi dilakukan malam hari karena sebagian anggota HMI Sampit bekerja di siang hari. “Aksi ini kami lakukan malam hari karena kalau siang, sebagian anggota kami ada yang bekerja,” tandasnya. (jwr/rm-45)

sumber : http://www.radarsampit.net/berita-241-kalteng-rawan-tragedi-mesuji-dan-bima.html 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar