Urang Banjar
Oleh*Aryo Nugroho
Waluyo
Beberapa hari yang lalu saya
menuliskan ulang mengenai sejarah perkembangan masyarakat di Kalimantan Tengah
dengan mengunakan dua buku sebagai referensi. Walaupun dalam tulisan tersebut
saya menyebutkan tentang sebuah puzzle
yang harus dilengkapi. Artinya walaupun judulnya sejarah perkembangan
masyarakat Kalimantan Tengah namun sejatinya belum bisa mengambarkan Kalimantan
Tengah secara utuh. Sehingga tulisan tersebut suatu saat harus dikembang lagi.
Kali ini penulis ingin mengali
sejarah mengenai perkembangan masyarakat yang ada di Banjarmasin, Kalimantan
Selatan. Perbedaan pandangan mengenai asal usul urang banjar tidak mungkin dihindarkan. Mengingat menulusuri
sejarah, bak mencari jarum dalam jerami. Bagaimana manusia mampu kembali kemasa
lampau ribuan tahun yang lalu, pasti tidak mudah dan pasti menciptakan bebagai
macam pandangan terkait masa lalu tersebut. Sehingga perbedaan adalah pupuk
untuk memperkaya sejarah itu sendiri. Putaran perdebatan bisa digaris bawahi
dengan sebuah pertanyaan, apakah urang
banjar berasal dari suku Dayak. Hal ini bertalian dengan semua litelatur yang saya baca, menuliskan dan
bisa disimpulkan bahwa penduduk asli Kalimantan adalah suku Dayak. Disisi lain urang banjar tidak bisa dilepaskan dari
sejarah Banjarmasin, khususnya mengenai massa Kesultanan Banjarmasin. Sehingga
sekelumit pengantar diatas memompa penulis untuk menuliskan sejarah
perkembangan masyarakat banjar atau disebut urang
banjar.
Dalam menuliskan ulang urang bajar, penulis masih mengunakan
metodelogi nukilan. Sehingga tidak hanya mengambil satu paragraf namun secara
kesuluruhan bahasan mengenai urang banjar
serta sejarah perkembangannya. Ada tiga referensi yang penulis gunakan
dalam menulis urang banjar, Pertama dari sebuah Tesis Sulandjari,
mahasiswa pasca sarjana Universitas Indonesia dengan judul Politik dan
Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin (1747-1787). Kedua dari sebuah Disertasi, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas
Islam Negeri Syaraif Hidayatullah, Jakarta yang dibukukan dan ditulis oleh Ita Syamtasiyah Ahyat, buku tersebut berjudul
Kesultanan Banjarmasin Pada Abad Ke-19, Ekspansi Pemerintah Hindia-Belanda di
Kalimantan. Ketiga dari Makalah
Seminar Nasional Menelusuri Sejarah Penanggalan Nusantara, dalam rangka
menyambut Dies Natalis ke-62 Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta, yang ditulis
oleh Saifudin Ahmad Husen dengan judul Konsep Waktu dan Penaggalan dalam Budaya
Banjar.
Sulandjari : Politik dan Perdagangan
Lada Di Kesultanan Banjarmasin (1747-1787), Tesis Universitas
Indonesia, Program Pascasarjana,
Jakarta, 1991. (Hlm 31-35)
Sekitar abad 14 sampai 18 orang-orang
melayu dari pulau Sumatra datang menetap di sepanjang pantai dan sungai di
Kalimantan dan di daerah kepulauan “Indonesia “ lainnya. Mereka pada umumnya
memainkan peranan yang aktif dalam perdagangan rempah-rempah dan penyebaran
agama islam. Orang melayu yang menetap didaerah tertentu, menyesuaikan diri
dengan keadaan setempat, sehingga mereka bukan saja hanya berdagang tetapi menjadi
petani dan nelayan.
Pada tahun 1747, jabatan penghulu di
istana Martapura dipegang oleh orang melayu bernama Kyai Sakalat. Dalam
perkembangan orang melayu ini mengadakan hubungan perkawinan dengan orang Padju
Epat (penduduk inti banjarmasin), yaitu penduduk yang sudah sejak abad 14
tinggal di Desa Padju Epat di tepi sungai Tabalong daerah Amuntai. Karena
perkawinan ini orang Padju Epat menyesuaikan diri dengan bahasa dan agama orang
Melayu.
Bahasa yang dipergunakan oleh orang
Banjar adalah campuran bahasa Melayu, Jawa serta salah satu bahasa yang berasal
dari keluarga bahasa Barito. Diduga orang Banjar merupakan percampuran
orang-orang Melayu, Jawa dan Padju Epat. Pengaruh kebudayaan Jawa terlihat pada
adat istiadat di istana, bahasa dan gelar jabatan dalam pemerintah serta gelar
keturunan. Ini dapat di mengerti mengingat sejak abad 15 Banjarmasin yang waktu
masih bernama Negara Daha menjadi daerah yang berada di bawah pengaruh
kekuasaan Majapahit. Ketika abad 16 pusat pemerintahan pindah ke Demak dan
kemudian berpindah lagi ke Mataram abad 17, status Banjarmasin secara
bergiliran tetap berada di bawah pengaruh kekuasaan kedua kerajaan itu.
Di daerah pantai orang Banjar tinggal
di rumah-rumah yang didirikan diatas tongak bambu atau kayu, dan biasanya
didirikan di tepi sungai. Mereka kemudian menyebar sampai ke hulu sungai. Selain
bermata pencahrian sebagai pedagang, mereka juga bercocok tanam dan mencari
ikan. Kesatuan sosial masyarakat Banjar berdasarkan ikatan keluarga (Hubangan
darah) yang disebut sebagai bubuhan. Bentuk
kesatuan sosial yang demikian juga disebut sebagai saomah, saomben dan sakwatan.
Pada umumnya bubuhan tinggal bersama
dalam satu kampung. Seorang kepala kampung berasal dari salah seorang kepala bubuhan (tetua bubuhan) yang diangkat
oleh warganya sendiri dan disyah sultan. Sering terjadi bahwa seorang yang
dianggap berjasa kepada sultan langsung diangkat oleh sultan sebagai kepala
kampung.
Antara orang Banjar dengan orang
Dayak terjadi hubungan perdangangan dengan sistem barter, baik secara langsung
maupun melalui perantara orang cina yang sering berlayar sampai kehulu sungai. Sering
terjadi bahwa orang Dayak datang sendiri ke pasar-pasar yang terletak di tepi
sungai, untuk menukar barang yang dibawanya seperti emas dan hasil hutan,
dengan barang yang diperlukan seperti garam dan tembakau. Dalam struktur
pemerintahan hubungan yang terjadi diantara dua kelompok etnis itu pada umumnya
menunjukan bahwa orang Banjar sebagai mayoritas pemegang kekuasaan yang memerintah
atas orang Dayak.
Pelapisan sosial di dalam masyarakat
Banjar terdiri dari golongan penguasa yang terdiri dari sudut jumlahnya
merupakan minoritas dan biasanya berasal dari keturunan bangsawan, serta rakyat
yang disebut “orang Jaba”. “orang Jaba” terdiri atas petani, pedagang dan
nelayan wajib memberi tribut kepada penguasa baik berupa barang kebutuhan hidup
sehari-hari maupun barang dagangan termasuk juga sebagai golongan “orang jaba”
adalah orang-orang pendatang yang menetap dibeberapa daerah Banjarmasin. Mereka
mendapatkan kebebasan untuk mencari matapencahrian dengan ketentuan bahwa
mereka harus memberikan tribut dan menyatakan kesetiaanya kepada sultan.
“Orang Jaba” ini masih dapat dibagi
lagi menjadi “orang mardika” dan budak (pandeling). Yang termasuk “orang
mardika” adalah orang yang tidak memiliki hutang kepada orang lain sehingga
mereka lebih leluasa mencari dan menikmati keuntungan untuk hidupnya. Kewajiban
mereka hanyalah memberi tribut kepada sultan.
Abdi menunjuk kepada orang-orang yang
semula berasal dari “orang mardika” tetapi oleh karena hutang yang tidak dapat
dibayarnya, maka orang itu terpaksa harus bekerja untuk kepentingan orang yang
memberi utang kepadanya sampai hutangnya dapat dilunasi. Apabila tidak dapat
mekunasi hutangnya maka orang itu tetap akan menjadi abdi selama hidupnya,
bahkan anak keturunannya harus tetap melanjutkan menjadi abdi sampai hutangnya
dapat dilunasi.
Lain halnya dengan seorang yang
menjadi abdi karena hutang maka seseorang bisa menjadi budak karena ditawan
oleh bajak laut yang berlayar di sepanjang pantai Jawa, Madura dan Bali. Pada
sekitar abad 17 tawanan semacam itu dijualbelikan sebagai budak di Tanah Bumbu
dan Kutai, dari tempat ini selanjutnya dijual lagi ke Banjarmasin. Seorang
budak bisa di perdagangkan dan selama hidupnya tetap menjadi budak.
Perbedaan penting antara abdi dengan
budak adalah bahwa seseorang abdi bisa merubah nasibnya kembali menjadi “orang
mardika” apabila bisa melunasi hutangnya. Sebaliknya bagi seorang budak selama
hidupnya tidak pernah bisa merubah nasibnya kembali menjadi “orang mardika”,
kecuali atas kemauan tuanya. Dengan demikian bisa di katakan bahwa kedudukan
seorang abdi lebih tinggi daripada seorang budak.
Ita Syamtasiyah Ahyat : Kesultanan
Banjarmasin Pada Abad Ke-19 Ekspansi Pemerintah Hindia-Belanda di Kalimantan,
Serat Alam Media, 2012. (hlm 22-27)
Mengenai asal usul suku Banjar,
diduga mereka berasal dari suku Melayu yang datang dari Sumatra dan sekitarnya,
mengingat persamaan bahasa yang digunakan suku Banjar dan Melayu. Imigrasi
besar-besaran dari suku Melayu ini kemungkinan sekali tidak terjadi satu
gelombang sekaligus. Barangkali suku Dayak Bukit yang mendiami Pengununggan
Meratus, adalah sisa-sisa dari imigran Melayu gelombang yang pertama. Bahasa
mereka dapat diidentifikasikan sebagai bahasa Banjar yang agak kuno, dan mereka
tidak punya tradisi mengayau, seperti
yang dimiliki oleh suku Dayak lainnya. Mungkin sekali mereka itu pada mulanya
mendiami wilayah yang jauh lebih kehilir, tetapi terdesak oleh kelompok yang
datang belakangan dan juga dalam proses selanjutnya kelompok-kelompok Banjar
mereka pula sehingga akhirnya berada lebih jauh di Pengununggan Meratus.
Kaum imigran Melayu yang datang
belakangan inilah barangkali yang menjadi inti dan kemudian, setelah berlalu
waktu dan banyak kelompok-kelompok Bukit dan Manyan, dan belakangan kelompok
Ngaju, melebur kedalamnya, berkembang menjadi suku Banjar dan membentuk
kelompok subsuku. Nama “Banjar”diperoleh ketika pusat kekuasaan berada di
Banjarmasin, dan sesuai denganya, maka kesultanan yang memerintah dinamakan
Kesultanan Barjarmasin atau kadang disingkat dengan Banjar saja oleh peniliti
yang lain. Suku Banjar menjadi warga Kesultanan Banjarmasin. Bahkan, dengan
dihapuskannya Kesultanan Banjarmasin pada 1860 oleh Pemerintah Hindia-Belanda,
orang Banjar tetap sebagai warga Kesultanan Banjarmasin dan tinggal di
Banjarmasin.
Menurut manuskrip Melayu yang disalin
oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada 24 Mei 1848 nomor 705, pada abad ke-14 ada
koloni orang Hindu datang ke sungai Barito melalui Marabahan dan terus ke
sungai Negara. Pimpinan mereka adalah saudagar Ampu Jatmika, yang kemudian
membangun kerajaan dengan menaklukan orang Dayak. Kemudian, ia beserta
keluarganya menjadi penduduk daerah tersebut dan membangun wilayah kekuasaannya. Dari sana raja
mengambil kata “Banjar Klingtol”. Lama kelamaan, kata itu berubah menjadi “Banjarmasin”
atau disingkat Banjar.
Selain itu, menurut penduduk
setempat, pada waktu terang bulan, air laut bagian selatan naik ke sungai dan
pantai atau disebut “banyu pasang”. Karena banyu pasang itu airnya asin, maka
disebut “masin”. Cerita lain mengatakan bahwa istilah itu berasal dari kata “bandarmassi”,
yakni nama seorang patih (patih masih) yang berkuasa di daerah sekitar Kuin
(Cerucuk). Daerah ini pada abad Ke-16 merupakan pusat pertahanan dan pemukiman
saudagar-saudagar Melayu. Ia juga menduduki satu badan pemerintahan di Kerajaan
Negara Daha.
Orang Banjar menggunakan bahasa
campuran Melayu, Jawa, serta salah satu bahasa yang berasal dari keluarga
bahasa Barito. Diduga, orang Banjar merupakan hasil percampuran orang-orang
Melayu, Jawa dan Dayak. Orang-orang Banjar tinggal didaerah pantai orang Banjar
tinggal di rumah-rumah yang didirikan diatas tongak bambu atau kayu, dan
biasanya didirikan di tepi sungai. Mereka kemudian menyebar sampai ke hulu
sungai. Selain bermata pencahrian sebagai pedagang, mereka juga bercocok tanam
dan mencari ikan. Kesatuan sosial masyarakat Banjar berdasarkan ikatan keluarga
(Hubangan darah) yang disebut sebagai bubuhan.
Bentuk kesatuan sosial yang demikian juga disebut sebagai saomah, saomben dan sakwatan.
Pada umumnya bubuhan tinggal bersama
dalam satu kampung. Seorang kepala kampung berasal dari salah seorang kepala bubuhan (tetua bubuhan) yang diangkat
oleh warganya sendiri dan disyah sultan. Sering terjadi bahwa seorang yang
dianggap berjasa kepada sultan langsung diangkat oleh sultan sebagai kepala
kampung.
Dengan potensi kerajaan yang begitu
banyak dan beragam tentunya memerlukan pendukung, yaitu penduduk yang tinggal
diwilayah Kesultanan Banjarmasin. Pada abad Ke-18, penduduk Kesultanan
Banjarmasin berjumlah sekitar 120.000 jiwa, dimana 4/5-nya beragama Islam. Sebagian
besar berdiam di sepanjang sungai Martapura, sungai Barito, Sungai Batu Api,
dan Karang Intan. Hanya sedikit yang berdiam di daerah cabang-cabang sungai
yang jauh di pedalaman, di kampung-kampung dalam gubuk yang kecil. Mereka
terdiri atas berbagai macam suku bangsa, yaitu suku Dayak, Melayu, Arab, China
dan Jawa yang bercampur baur. Meski mengunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar, bahasa komunikasi ini bercampur baur dengan dialek asalnya.
Pada pertengahan abad Ke-19, penduduk
Kesultanan Banjarmasin bertambah menjadi sekitar 161.000 jiwa. Di antara
berbagai suku bangsa yang datang ke Banjarmasin, yang paling berpengaruh adalah
suku Jawa, yang datang sebelum Kesultanan Banjarmasin terbentuk. Pengaruh Jawa
terjadi dengan munculnya orang-orang Jawa pada abad Ke-14, yang di pimpin
seorang pedagang bernama Ampu Jatmika. Jalur lain yang menjadi titik masuk
pengaruh Jawa adalah lewat perkawinan antara Putri Junjung Buih (dari Negara
Dipa) dan Pangeran Suryanata (Raden Putra) dari kerajaan Majapahit. Ampu
Jatmika adalah pendiri Kerajaan Negara Dipa, juga Candi Agung di dekat Amuntai.
Penduduk asli Kesultanan Banjarmasin
ada yang di pantai dan ada yang dipedalaman, di pantai, tinggal suku Bajau,
yang pada abad ke-17 pernah hidup sebagai bajak laut. Kemudian, pada abad
ke-19, setelah Belanda dapat mengatasi bajak laut tersebut, mereka selanjutnya
menjadi nelayan. Selain suku Bajau, terdapat juga suku Melayu. Suku Melayu itu
masuk pedalaman bercampur dengan penduduk asli Kalimantan. Juga, menyusul datangnya
Pangeran Suryanata, maka mulai masuk unsur Jawa, walaupun tidak sekuat abad
ke-17. Suku-suku Melayu ini bermigrasi ke Kalimantan, antara lain, ke
Kalimantan Selatan, tepatnya ke Kesultanan Barjarmasin. Suku Melayu tersebut,
antara lain, orang Jawa, orang Johor, orang Malaka, orang Palembang dan orang
Makasar. Orang Melayu juga terjadi percampuran antara orang Dayak (penduduk
asli Kalimantan) dan orang Melayu pendatang. Misalnya, dari Semenanjung Malaka.
Karena perbedaan agama, orang Dayak
yang telah menikah dengan orang Melayu tidak lagi disebut orang Dayak,
melainkan orang Melayu. Karena orang Melayu tersebut tinggal dalam wilayah
Kesultanan Banjarmasin, maka mereka disebut orang Banjar. Sementara, orang
Dayak yang beragama Kristen dan Kaharingan tetap menyebut dirinya orang Dayak. Hal
ini terjadi diseluruh Kalimantan. Orang Dayak, penduduk asli Kalimantan yang
tinggal di pantai wilayah Kesultanan Banjarmasin, lalu terdesak ke pedalaman
akibat kehadiran penduduk pendatang.
Hal ini turut juga menyumbang pada
meningkatnya jumlah penduduk kota Banjarmasin adalah perdagangan lada. Di
samping berperan sangat penting dalam kehidupan perekonomian Kesultanan
Banjarmasin, perdangangan lada tentunya melibatkan berbagai kelompok etnis. Mayoritas
penduduknya terdiri atas dua kelompok etnis, yaitu orang Banjar, yang tinggal
di daerah pantai dan memeluk agama Islam, serta orang Dayak, yang pada umumnya
tinggal di pedalaman, menganut kepercayaan kepada roh nenek moyang yang disebut
kaharingan.
Orang Banjar menempati status sosial
ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang Dayak. Orang Banjar
memegang jabatan tinggi dalam struktur pemerintahan di Kesultanan Banjarmasin,
seperti sultan dan mantri atau kepala Daerah. Sementara
orang Dayak biasanya menempati jabatan rendah di tingkat lokal seperti pembekal atau kepala kampung yang
bertugas, antara lain, mengawasi pelaksanaan pengelolaan kebun lada milik
sultan dan penyerahan wajib ke istana. Ada syarat mutlak bagi orang Dayak untuk
bisa menjabat sebagai pembekal, yakni bersedia memeluk agama Islam. Dengan
demikian, agama Islam memegang peranan penting bagi orang Dayak untuk mencapai
jenjang yang lebih tinggi dalam struktur sosial masyarakat di Kesultanan
Banjarmasin.
Orang Bugis dan China juga mempunyai
kedudukan yang cukup pening di Kesultanan Banjarmasin. Pernanan mereka dalam
perdangangan mulai terjadi sejak abad ke-17, tetapi tidak terikat secara ketat.
Orang Bugis dengan armada perahunya berperan sebagai kekuatan militer yang
sering membantu kepentingan Mantri sehinga relatif bebas dari kekuasaan sultan.
Hal ini agak berbeda dibandingkan dengan orang China yang peranannya lebih
terbatas pada perdangangan saja.
Orang Bugis (dan Makasar) tinggal di
pantai-pantai seperti juga orang Jawa. Mereka menempati pesisir Tanah Bumbu dan
Pulau Laut. Meski begitu, mungkin juga ada pedagang atau pelaut Bugis yang
menetap di kota-kota pelabuhan. Pada sekitar pertengahan abad ke-18, tepatnya
1750, seorang imgran Bugis meminjam tanah di wilayah Tanah Bumbu, yang masih
termasuk wilayah Kesultanan Banjarmasin, dan mendirikan Kerajaan Pagatan. Mulai
saat itu daerah Pagatan dan daerah lainnya di Tanah Bumbu mulai di pengaruhi
oleh budaya Bugis dan mulai terpisah dari wilayah Kesultanan Banjarmasin. Orang-orang
Bugis yang telah menetap sejak abad ke-18 atau sebelumnya sudah melebur ke
dalam masyarakat Banjar, sedangkan di Pagatan orang-orang Bugis masih mempertahankan
adat istiadatnya. Kedati demikian, berkenaan dengan bahasa, baik bahasa Banjar
maupun bahasa Bugis dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari. Memang terjadi
arus imigrasi perseorangan atau keluarga, tetapi tidak lama kemudian mereka
melebur kedalam masyarakat sekitarnya sehingga sukar membedakan dengan orang
Banjar “Asli”.
Saifudin Ahmad Husen : Konsep Waktu dan Penanggalan Budaya Banjar (Hlm
120-125)
Etnis Banjar
Orang Banjar menyebut diri mereka
sebagai Urang Banjar yang dikenal sangat memiki identitas Islam. Secara
genealogis etnis Banjar merupakan percampuran antara orang Melayu sebagai unsur
paling dominan dalam kelompok ini, orang Dayak Bukit, orang Dayak Ngaju dan
Dayak Manyan. Bagaimana orang Banjar memperoleh identitas mereka dan bagaimana
kelompok etnik lain melebur menjadi orang Banjar, dapat diketahui dari sejarah
terbentuknya orang Banjar.
Sejarah terbentuk Etnis Banjar
Secara etimologis kata Banjar bisa
berasal dari kata banjar yang berasal dari bahasa Melayu, dan atau/ berasal
dari kata bandar. Kata banjar dalam konteks ini memiliki dua arti. Pertama,
Banjar berarti kampung . Kedua, Banjar berarti berderet-deret seperti layaknya
deretan rumah yang terdapat di sepanjang tepi sungai. Dalam perkembanganya
kemudian kata Banjar digunakan untuk menyebut kampung yang dihuni oleh orang
Melayu, yang sekarang dikenal sebagai kelurahan Kuin. Orang Dayak Ngaju yang
tinggal di sekitarnya; di Belitung, Balandean, dan Anjir Sarapat, menyebut
tempat pemukiman orang Melayu di sepanjang tepi sungai sebagai Banjar Masih,
yang berarti Kampung orang Melayu. Sedangkan penduduknya disebut Oloh Masih. Karena
letaknya yang sangat strategis, Banjar Masih menjadi tempat perdangangan yang
di kenal dengan Bandar Masih yang berarti Bandarnya orang Melayu. Adalah Bandar
ini yang kemudian dijadikan Ibu Kota kerajaan Banjar Islam, dan selanjutnya
menjadi Kota Banjarmasin.
Orang Banjar terbentuk dalam tiga
periode yang berhubungan dengan perkembangan kerajaan-kerajaan di Kalimantan
Selatan.
Periode pertama terjadi pada masa
kerajaan tertua di Kalimantan Selatan yaitu Tanjungpura, yang keberadaanya
diduga di Kota Tanjung, Ibu Kota Tabalong sekarang. Kerajaan ini diperkirakan
ada pada abad ke-7. Pada masa itu terdapat migrasi orang Melayu dari kerajaan
Sriwijaya Sumatra, ke pulau Kalimantan, khususnya bagian tenggara. Pada mulanya
para pendatang Melayu ini hanya daerah pesisir dan tepi sungai, tetapi akhirnya
mereka masuk kepedalaman dan kemudian mendesak penduduk asli, Orang Dayak,
untuk pindah lebih jauh kepedalaman. Masuknya orang Melayu dari Sriwijaya
membawa pula pengaruh Budha yang pada waktu menjadi agama di sana.
Periode kedua terjadi pada masa
Negara Dipa yang muncul abad ke-13 di Amuntai. Pada periode kedua ini berkembang
Mitologi tentang Puteri Junjung Buih yang sampai sekarang masih dituturkan oleh
Generasi Tua Banjar. Pada masa ini datanglah orang-orang dari daerah Kediri,
Jawa Timur yang juga membawa pengaruh Budha. Kedatangan orang-orang Kediri di
pimpin oleh Empu Jatmika yang kemudian menaklukan Amuntai Tabalong, Balangan,
Petak, Alai, dan Amandit. Empu Jatmika kemudian membangun candi yang disebut
Candi Agung di Amuntai. Empu Jatmika menyebut dirinya sebagai Maharaja Candi,
mempunyai dua orang putra, yang sulung bernama Empu Mandastana dan si bungsu
bernama Lembu Mangkurat yang kemudian di sebut dan di kenal sebagai Lambung
Mangkurat. Empu Jatmika bukan seorang keterunan raja, karena itu ia mengatakan
pada kedua putranya supaya mereka jangan berharap untuk menjadi raja, tetapi
mereka justru harus mencari raja yang sebenarnya dengan jalan bertapa. Seorang
putra bertapa di dalam gua dan putra yang lain bertapa didekat pusaran air yang
cukup dalam. Tiba-tiba di dekat pusaran air muncul seorang puteri yang kemudian
di beri nama Junjung Buih yang mengaku dirinya sebagai calon raja atau ratu
Negara Dipa. Puteri itu tidak mau keluar dari pusaran air apabila tidak diberi
kain untuk menutupi tubuhnya dan tidak diberi sebuah istana dari batung batulis dan berprada (bambu yang bertulis dan berlapis
emas). Puteri itu akhirnya mau keluar setelah permintaannya dipenuhi dan ia
minta disebut Puteri Junjung Buih. Puteri Junjung Buih juga disebut sebagai
Putri Ratna Jenggala Kediri atau Putri Ciptasari.
Lambung Mangkurat kemudian menjadi
pejabat Mangkubumi, berusaha mencarikan
suami bagi Junjung Buih. Dalam mimpi ia berhasil menemukan putra
Majahpahit yang bernama Putra Suryanata dan kemudai ia lah yang dijadikan suami
Junjung Buih.
Perkawinan antara Junjung Buih dengan
Pangeran Suryanata merukan dualisme kosmologis yang terdapat dalam kepercayaan
orang Manyan dan Ngaju. Dari perlambangan ini terlihat bahwa terjadi perbaduan
antara unsur pendatang dengan unsur Dayak. Kedatangan Empu Jatmika dan Raden
Suryanata ke tanah Banjar berarti masuk pula unsur Hindu.
Kemudian muncul Negara Daha setelah
Negara Dipa lenyap. Menurut JJ.Ras beralihnya pemerintahan dari Negara Dipa ke
Negara Daha disebabkan terjadinya perkawinan incets yang tidak terduga. Putri
Kalungsu yang menjadi ratu Negara Dipa menikah dengan anaknya. Anak laki-laki
Putri Kalungsu konon dimarahi oleh ibunya dan melarikan diri ke Jawa. Anak yang
hilang bernama Raden Sekar Sunsang inilah kembali ketanah Banjar dan menikahi
ibunya. Ia kemudian memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negara ke Muara
Hulak. Bandar kerajaan juga dipindahkan dari hulu sungai Muara Bahan, supaya
lebih dekat ke muara sungai. Dengan demikian dalam masa kerajaan Daha ini masuk
pula unsur Majahpahit yang tampak dari adanya gamelan, wayang dan keris serta
nama-nama bangsawan seperti halnya di Jawa yaitu Tumenggung, Adipati dan Patih.
Periode ketiga yang membentuk orang
Banjar berhubungan dengan berdirinya Kerajaan Banjar yang sudah menganut agama
Islam. Kerajaan Banjar Islam didirikan oleh Pangeran Samudra dan terbentuk dari
latar belakang pertentangan antara Pangeran Samudra dengan Pangeran Tumenggung
di Kerajaan Daha. Pangeran Samudra melarikan diri kemuara sungai Barito di
daerah mana telah berdiri perkampungan orang Melayu Bandar atau Banjarmasih
(sekarang Banjarmasin) dan perkampungan orang Ngaju.
Penduduk kedua perkampungan ini
tunduk dan membayar upeti Negara Daha. Pada
perkembangannya pemuka dan tokoh kedua kampung tersebut sepakat menjadikan
Pangeran Samudra menjadi Raja mereka, karena ia seorang keturunan raja dan
karena mereka tidak mau lagi membayar upeti kepusat kerajaan yang terletak jauh
di hulu sungai. Akhirnya Banjarmasih menjadi Bandar baru. Bandar yang terletak
di muara sungai Barito ini lebih disukai para pedagang asing karena letaknya
lebih dekat dengan laut. Dengan pindahnya pusat perdagangan ke Bandar yang
baru, bandar lama yang terletak di Muara Bahan pun menjadi sepi. Hal ini yang
memicu peperangan antara Kerajaan Daha dan Banjar.
Dalam peperangan beberapa kali
akhirnya Pangeran Samudra meminta bantuan ke beberapa pihak, termasuk Kerajaan
Demak di Pulau Jawa yang telah menjadi pusat Kerajaan Islam. Kerajaan Demak
bersedia membantu dengan syarat Raja dan seluruh rakyat Banjar bersedia memeluk
agama Islam. Peperangan pun akhirnya dimenangkan oleh Pangeran Samudra dari
Kerajaan Banjar. Setelah itu rakyat Daha dipindahkan ke Banjarmasih. Dengan
kekalahan Kerajaan Daha yang penganut Hindu, berarti mulai penduduk Kalimantan
Selatan termasuk orang Banjar.
Setelah masuk Islam Pangeran Samudra
menganti namanya menjadi Sultan Suriansyah dan menjadikan Islam sebagai agama
kerajaan. Disamping mengirim tentara kerajaan Demak juga mengirim beberapa juru
dakwah untuk mengislamkan orang Banjar. Akan tetapi pengaruh sangat besar dalam
mengembangkan agama Islam berasal dari Putra Banjar sendiri, yaitu Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710-1812).
Pada periode ketiga ini terjadi
pengislaman rakyat Banjar dengan sangat Intensif dan esktensif, sehingga menjadi
orang Banjar berarti menjadi orang Islam, dan orang Dayak yang beragama Islam
pun mengaku dan diakui sebagai orang Banjar. Pada masa ini pula terjadi proses “Pembajaran”
orang Dayak Ngaju, Maanyan, dan Bukit di Kalimantan Selatan. Orang dayak yang
mempertahankan kepercayaan lama mereka, Kaharingan, makin terdesak ke pedalaman
dan sejak penjajahan Belanda banyak dari mereka yang menjadi penganut Kristen.
Dengan demikian terbentuknya etnis
Banjar dipengaruhi oleh beberapa unsur agama dan budaya. Sekalipun mayoritas
orang Banjar adalah penganut Islam, tetapi pratek keberagaman Islam mereka
sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya setempat yang berakar dari
budaya-budaya dan agama-agama atau kepercayaan yang pernah dianut nenek moyang
orang Banjar sebelumnya: Budha, Hindu, Kaharingan. Pada periode pertama unsur
lokal dan Budha sangat mewarnai budaya Banjar, sedangkan pada periode kedua
pengaruh Budha mulai digantikan oleh Hindu, dan akhirnya pada periode ketiga Islam
`mem-banjar-kan` mayoritas penduduk Kalimantan Selatan. Berdasarkan teori
pembelajaran ini maka etnis Banjar dimulai keberadaannya sejak berdirinya
kerajaan atau kesultanan Islam Banjar. Sebelumnya istilah Banjar beleum merujuk
kepada kesatuan identitas suku atau agama, namun merupakan identitas yang
merujuk pada kawasan atau teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal. Proses
pengislaman orang Banjar atau pem-banjar-an penduduk Kalimantan Selatan
merupaka konsekwensi politis dari bantuan militer yang diberikan oleh Kerajaan
Demak Islam kepada Pangeran Samudra dari Banjarmasin. Proses ini menyebabkan
pengaruh Jawa semakin kuat budaya dan bahasa Banjar dan akhirnya terbentuklah
masyarakat atau etnis Banjar saat ini. Dengan demikian etnis Banjar bukanlah
sesuatu yang sudah begitu saja tetapi terjadi dan menjadi setelah melalui
proses sosial, ekonomi, budaya, dan keagamaan tertentu. Kesimpulan yang sama
juga diungkapkan oleh Hawkin (2000:34)
bahwa “many Banjar are not born but made”.
Berdasarkan daerah asal dan unsur
etnis campurannya orang Banjar dapat dibagi menjadi subsuku; Banjar Pahuluan,
Banjar Batang Banyu, dan Banjar Kuala. Subsuku
Banjar Pahuluan adalah orang yang berasal dari daerah sepanjang aliran sungai Tabalong, sungai Balangan dan
sekitarnya dimana Dayak Bukit merupakan unsur campurannya. Banjar Batang Banyu
adalah orang yang berasal dari daerah sepanjang aliran sungai Nagara dan
cabang-cabangnya yang mana Dayak Maanyan merupakan unsur campurannya. Sedangkan
Banjar Kuala adalah penduduk asli yang mendiami daerah sekitaran aliran sungai
Martapura dan Daerah Tanah Laut dimana terjadi pencampuran dengan unsur Dayak
Ngaju (Daud, 1974:42-45).
Tetapi dari segi dialek bahasanya
bahasa Banjar dibedakan menjadi Banjar Hulu dan Banjar Kuala. Saat ini
pembagian subsuku Banjar cenderung mengikuti pembagian dialek ini, sehingga penduduk asli Kalimantan Selatan
yang berasal dari enam Kabupaten (Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai
Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan dan Tabalong) yang disebut Banua Anam,
menyebut diri mereka sebagai urang pahuluan. Sedangkan orang Banjar yang
mendiami Kabupaten Banjar, Tanah Laut, dan Banjarmasin disebut urang Banjar
Kuala.
Catatan Penulis
Dari masing-masing refrensi yang
membahas tentang sejarah urang banjar,
penulis berpendapat bahwa tiga tulisan ini bisa menjadi saling melengkapi. Dari
ketiga referensi tersebut masing-masing menyebutkan tentang adanya migrasi suku
Melayu ke Kalimantan khsususnya di selatan dengan periode waktu yang berbeda-beda. Lebih detail tentang periode
tersebut diulas oleh referensi yang ketiga, walaupun sejarah mengenai Kerajaan
Tanjung Pura pada abad ke-7 perlu dicari ulang referensinya. Dari semua
refrensi yang ada menyatakan bahwa suku Banjar yang sekarang berada di Banjarmasin
merupakan percampuran dari berbagai macam suku, setidaknya ada tiga suku yaitu
Melayu, Dayak dan Jawa. Jika kembali kepada pokok perdebatan apakah suku Banjar
merupakan bagian dari suku Dayak maka jawabanya tidak satu. Secara genealogis
merupakan percampuran antara Melayu dan Dayak serta Jawa sedangkan secara
etimologis banjar berasal dari bahasa Melayu.
Teori tentang Gold, Gospel dan Glory juga merupakan bagian penting yang
tidak terpisahkan dalam pembentukan etnis Banjar. Melalui merantau untuk
berdagang dan sampai akhirnya membentuk sebuah kerajaan. Kemenangan, emas dan
penyebaran agama menjadi satu kesatuan yang lekat di sejarah pembentukan etnis
banjar. Struktur sosial masyarakatnya pun berbeda-beda dari golongan bangsawan
sampai kalangan budak. Masa-masa bercirikan feoadalisme sampai kolonialisme
tergambar dengan jelas dari seluruh rangkaian cerita. Bahwa tanah, ekonomi dan
budaya semua untuk raja. Masyarakat kecil hanya dijadikan alat untuk memperkuat
kepentingan raja. Secara tidak langsung sistem tanam paksa juga berlangsung
dimana tanaman telah ditentukan dengan komuditas tertentu.
Namun ada sisi lain yang menarik
walau tidak digambarkan dalam ketiga refrensi diatas tentang hubungan
masyarakat Dayak yang tinggal di pengunungan Meratus dengan Masyarakat Banjar
dengan mitologi Ba-dingsanak (be-keluarga).
Walaupun kata dingsanak tidak serta
merta mengikat kepada nilai suadara kandung. Seperti sebuah pertanyaan dingsanak/saudara dari mana, mau kemana
?. Namun mitologi urang bukit
penyebutan masyarakat Dayak yang berada di atas pegunungan Meratus mempercayai
tentang Dayu Ayuh dan Datu Bambang Siwara. Datu Ayuh dipercayai urang Maratus sebagai cikal bakal Dayak
Meratus dan adiknya Bambang Siwara merupakan cikal bakal urang Banjar. Secara tempat tinggal urang Banjar banyak berada didataran rendah dan didataran tinggi
didiami Dayak Meratus. Jika membaca gambaran dari ketiga refrensi diatas bahwa
memang ada satu masa dimana Suku Melayu yang migrasi dari Sumatra masuk
kepedalaman dan masyarakat Dayak semakin ke pedalaman lagi. Sehingga mengenai
pesebaran penduduk antara urang Banjar
dan suku Dayak bisa diidentifikasi. Sedangkan mengenai mitologi Datu Ayuh dan
Datu Bambang Siwara, keyakinan penulis ini digunakan sebagai sarana untuk mendefinisikan
sebuah hubungan antar masyarakat yang berbeda adat istiadatnya. Konteks ini
ingin menandaskan bahwa masing-masing dari adat istiadat yang berbeda bisa
hidup secara bersama-sama tanpa harus memaksakan kepercayaan/keyakinan yang
telah dianut kepada yang lain.
Hal yang menarik terkait unsur Jawa,
jika merujuk kepada nama Bambang maka sependek pengetahuan penulis merupakan
nama seseorang yang banyak digunakan oleh orang Jawa. Sehingga gambaran
mengenai pengaruh Sriwijaya, Majah Pahit, Demak yang merupakan
kerajaan-kerajaan imprium pada masa itu sangat kental melebur dalam pembentukan
urang Banjar.
Dengan demikian saya ingin mengatakan
bahwa mengulas ulang mengenai sejarah harus terus ditemukan. Dimana penemuan
itu tidak terbatas pada satu pendekatan. Jika melihat dari ketiga referensi
diatas pendekatan melalui bahasa (adanya kesamaan bahasa) bisa menjadi bahan
pintu masuk. Begitupula dengan pendekatan yang lain lewat adat budayanya,
sistem kepercayaan, cara dalam mengelola alam atau untuk bertahan hidup semua
bisa dipelajari. Begitu pula tentang mengartikan ulang tentang dibalik makna
tentang cara hidup, seperti kepercayaan mengenai Datu Ayuh dan Datu Bambang
Siwara tidak bisa ditemukan maknanya kalau tidak dilihat secara luas dari
sistem politik, ekonomi dan budaya.
Misteri yang belum terjawab dalam
ketiga referensi ini adalah sosok tentang Lambung Mangkurat ?. Apakah sosok ini
dari suku Dayak dimana seperti yang di percayaai oleh Masyarakat Dayak
Lawangan, Maanyan dan Dusun sebagai Dambung Mangkurap, atau seperti yang tertulis
dalam refernsi ketiga dimana menyebutkan sosok Lambung Mangkurat merupakan
seorang anak dari Empu Jatmika yaitu Lembu Mangkurat yang dimana berasal dari
suku Jawa.
Teringat seorang teman bertanya
tentang penanggalan, mengapa berbeda dengan penanggalan pada umumnya di
komunitas pada bulan lalu. Komunitas tidak bisa memberikan tahu alasanya. Dalam
benak saya, bahwa yang bisa mengartikan itu harus dari luar, mengapa mengunakan
metode tersebut dengan melihatnya secara luas tidak berhenti hanya pada tanggal.
Tulisan dari iteraksi hari ini penting, namun kalau tidak melacak hal lain maka
kita akan buta di tengah cahaya yang sangat terang benerang. Dalam hal ini saya
ingin mengatakan tentang Dialektik Historis.
Referensi Tambahan
Saydjali, Ahmad, dkk, Badingsanak Banjar Dayak, Identitas Agama
dan Ekonomi Etnisitas di Kalimantan Selatan, Riset Kolaborasi Program
Knowledge Based Pluralism CRCS Universitas Gadjah Mada.
Soehada, Mitos Datu Ayuh dalam Religi Aruh; ajaran lisan tentang Persaudaran
Banjar Muslim dengan Orang Dayak Loksado di Perbukitan Meratus Kalimantan
Selatan, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar