Pembeharuan
Agraria merupakan tulisan Ferry J.Juliantono dalam bukunya Pertanian
Indonesia Di Bawah Rezim WTO, diterbitkan oleh Banana - Jakarta, tahun
2007 dengan tebal 206 halaman. Buku Ferry ini merupakan Tesisnya dalam
menempuh kuliah di Pascasarjana Program Study Hubungan Internasional,
Universitas Indonesia.
Dalam buku, Pertanian Indonesia Di
Bawah Rezim WTO, Ferry membagi tulisanya menjadi sepuluh tulisan dan
khusus mengenai pembaharuan Agraria, Ferry menempatkanya pada bagian
sembilan. Bagian pembaharuan Agraria inilah tulisan ini akan lebih
banyak bermuara sebagai batasan, walaupun juga tidak mengesampingkan
hal-hal penting lainya.
Seperti yang ditulis oleh Ferry
bahwa ia menyatakan Bukunya ini didedikasikan untuk kaum tani Indonesia.
Begitu pula saya, yang hanya bisa menulis ulang tulisan orang lain ini
mengucapkan dan menanamkan harapan maksimum atas situasi kongrit kaum
tani Indonesia, khususnya di Kalimantan Tengah, yang kian hari kian
terhimpit oleh adanya monopoli tanah dari pihak korporasi.
Pertama-pertama
Ferry menunjukan peristiwa penting mengenai WTO khsusnya mereka yang
menolak. Pada tanggal 10 September 2013, mantan ketua Federasi Petani
Korea Selatan Lee Kyung Hae ini memutuskan melakukan aksi bunuh diri
dengan cara menusukkan tubuhnya pada barikade baja dalam pembukaan
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) V WTO di Cancun, Meksiko. Lee menolak
WTO dengan alasan sebagai pembawa bencana : Pasar Bebas, Liberalisasi
perdagangan dalam produk pertanian merupakan awal malapetaka yang bakal
dialami para petani terutama di negara-negara berkembang. Di tanggal 18
November 2005 dua petani dari Korea Selatan tersebut mengikuti aksi
Lee, sebulan sebelum dilaksanakanya KTM VI WTO. Sama seperti Lee,
melalui tindakan tragis itu merekapun menyerukan penolakan terhadap
pembukaan pasar bebas untuk komoditi beras di negeri mereka.
Pandangan Mengenai Neoliberalisme
Selanjutnya,
Fenomena WTO adalah verikasi empiris terhadap gagasan-gagasan ekonomi
liberal dan Neoliberalisme adalah label untuk pemikiran ekonomi
liberalisme yang berkembang dalam kancah pembicaraan kebijakan ekonomi
internasional sejak dekade 1970-an sampai sekarang. Beberapa aspek yang
menjadi ciri khas Neoliberalisme adanya peranan lembaga-lembaga
multilateral, seperti Bank Dunia, IMF, dan General Agreement on Tarrif and Trade (GAAT), kini Word Trade Organization (WTO), yang berlaku layaknya sebuah pemerintah global (global governance)
yang secara aktif mempersiapkan infrastruktur baru menuju terciptanya
pasar bebas di dunia. Salah satunya adalah ditetapkanya dolar Amerika
Serikat sebagai mata uang dunia, mengantikan emas. Sebagai sebuah
gerakan ideologis, gagasan neoliberal semakin memiliki fondasi setelah
terbitnya Internasional Economics Karya Robert Mundell dan Arthur Flemming pada 1986.
Secara
umum, terminologi “neoliberalisme“ digunakan untuk menjelaskan berbagai
fenomena terkait proses menjauhkan kontrol negara atau proteksi negara
atas ekonomi dan lebih menekankan pada kontrol korporasi atas pasar.
Adanya berbagai variasi dalam praktek neoliberalisme tidak menjadi
satu-satunya istilah yang digunakan untuk menjelaskan proses tersebut.
Dalam
konteks kebijakan internasional, neoliberalisme mendukung penciptaan
pasar bebas melalui mekanisme politik, seperti melalui jalur diplomasi,
tekanan ekonomi, dan berbagai kalangan dengan pendekatan militer.
Pembukaan pasar seluruhnya mengacu pada penciptaan pasar bebas dan
pembentukan pembagian kerja dunia. Biasanya, neoliberalisme dikembangkan
dengan mengunakan tekanan politik multilateral melalui beberapa
organisasi internasional atau pakta-pakta perjanjian ekonomi seperti
melalui Word Trade Organization (WTO), Bank Dunia, dan Asian
Development Bank. Tekanan-tekanan tersebut pada umumnya mengacu pada
upaya mempromosikan minimalisasi peranan negara dalam perekonomian.
Neoliberalisme juga menekankan pentingnya privatisasi sebagai upaya
untuk mengambil alih intervensi negara dalam kegiatan ekonomi dan
produksi.
Untuk meningkatkan efisiensi dan meminimalisir
pengangguran, neoliberalisme secara prinsipal menolak
kebijakan-kebijakan negara disektor perburuhan, seperti upah minimum dan
hak untuk melakukan perundingan secara kolektif. Selain itu,
neoliberalisme juga menolak sosialisme, proteksionisme,
enviromentalisme, fair trade, dan menurut para kritikus, neoliberalisme menghancurkan mekanisme demokratik dalam kehidupan ekonomi dan politik.
Karenanya,
negara-negara yang menerapkan sistem negara kesejahteraan terdorong
untuk melakukan privatisasi. Dorongan neoliberalisme sebagai bagian
utama dari Globalisasi adalah memaksimalkan sumber daya yang tersedia di
seluruh dunia, seperti buruh murah, sumber bahan mentah dan bahan baku
pasar, dengan sangat efisien dan dengannya akan tersedia pasar yang
lebih luas yang bisa diisi oleh negara-negara maju.
Dalam konteks
Indonesia, praktek neoliberal bisa di lihat misalnya dalam pengurangan
peran negara di wilayah sosial ekonomi, termasuk didalamnya sektor
pendidikan dan kesehatan ini terlihat jelas dari besaran anggaran
pendapatan dan belanja negara untuk sektor-sektor tersebut. Namun bila
dilihat menyeluruh, terjadi pula peningkatan jumlah anggaran yang di
alokasikan untuk pertahanan dan keamanan. Peningkatan anggaran di bidang
militer bisa disebabkan oleh gejolak sosial dalam masyarakat akibat
kemiskinan dan kebijakan-kebijakan yang cenderung bertentangan dengan
kepentingan rakyat. Dalam posisi itu, negara sesungguhnya tetap dalam
situasi yang kuat dan tetap memiliki pengaruh terhadap kelangsungan
ekonomi. Salah satu dampak lebih lanjutnya adalah berlangsungnya praktek
pretorianisme, di mana kendali ekonomi berada di tangan militer baik
secara langsung maupun tidak. Bila dibiarkan kondisi ini akan turut
menyebabkan distorsi pasar dan kegagalan dalam mencapai kesejahteraan
sosial sebagaimana yang diasumsikan para penggagas liberalisme.
Melakasanakan Pembaruan Agraria
Kedaulatan
pangan adalah visi yang harus dicapai dengan kerja keras dan
sistematis. Untuk itu terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Disamping peninjauan-bahkan mungkin penghentian-iplementasi AoA[1],
syarat pokok lain untuk mencapai kedaulatan pangan adalah
dilaksanakannya pembaharuan agraria. Setidaknya terdapat dua faktor yang
menyebabkan pentingnya pelaksanaan pembaharuan agraria. Faktor pertama
adalah rusaknya sistem produksi pertanian dan pangan. Kedua,
meningkatnya jumlah petani miskin dan gurem. Kedua faktor tersebut
memiliki hubungan yang dialektik dan saling mempengaruhi.
Hancurnya
sistem produksi pertanian dan pangan disebabkan oleh rendahnya
kemampuan produksi kaum tani Indonesia. Hal ini ditandai dengan
rendahnya penguasaan atas sarana-sarana kerja pertanian yang berakibat
pada rendahnya produktvitas pertanian secara keseluruhan. Keadaan ini
tercipta karena secara umum petani Indonesia memiliki kararkter
subsisten dengan skala produksi yang hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sendiri. Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya
beban biaya untuk pengadaan input-input pertanian, khususnya sejak di
berlakukanya revolusi hijau, yang ditambah dengan meningkatnya kebutuhan
hidup, serta berbagai beban lain (seperti jeratan utang terhadap
rentenir) dan buruknya sistem distribusi produk pertanian, menyebabkan
proses yang disebut dengan “Ploletarisasi” di pendesaan. Petani-petani
melepaskan kepemilikan dan penguasaannya atas tanah garapan demi
menyeimbangkan pendapatan dengan kebutuhan.
Melemahnya atau
menghilangnya akses petani atas lahan menyebabkan terjadinya
sentralisasi atau monopoli penguasaan lahan. Keadaan ini menyebabkan
lemahnya posisi tawar penggarap dan buruh tani yang diperlihatkan dari
meningginya biaya sewa lahan dan rendahnya upah buruh petani. Akibatnya,
sistem bagi hasil pertanian yang terselenggara tidak banyak memihak
para penggarap. Hasil-hasil pertanian, baik berupa barang maupun uang,
justru lebih banyak mengalir kepada kalangan bukan petani.
Melemahnya
akses petani penggarap atas lahan membuka peluang terjadinya konversi
lahan pertanian menjadi areal industri dan pemukiman. Perubahan
fungsi lahan tidak hanya membawa dampak kepada perubahan tata guna
lahan, tetapi juga membawa dampak ikutan yang cukup besar dan beragam.
Pencemaran tanah dan air akibat tidak terkelolanya sarana pengolahan
limbah industry dan pemukiman menyebabkan terjadinya degradasi
lingkungan yang berdampak pada kesimbangan lingkungan dan kelangsungan
produktivitas pertanian. Turunnya produktivitas pertanian yang tidak
sebanding dengan laju pertambahan penduduk pada giliranya memaksa
dilakukannya impor produk pertanian dan bahan pangan. Kebijakan ini,
sedikit banyak “Menolong” kehidupan masyarakat perkotaan, namun
mempertinggi bencana bagi masyarakat pedesaan. Membanjirnya produksi
(overproduksi) negara-negara maju kemudian memaksa turunnya harga jual
produk-produk pertanian domestik yang mengakibatkan melebarnya
kesenjangan antara pendapatan dengan pengeluaran petani.
Pembaharuan
agraria adalah jawaban yang paling ilmiah untuk mengatasi
persoalan-persoalan diatas. Pembaharuan agraria memecahkan kebuntuan
Indonesia dalam hal meningkatkan produktivitas agraria, memberikan
jaminan hidup bagi kaum tani sebagai mayoritas rakyat, serta memberikan
alas yang paling mendasar untuk meningkatkan kesejahteraan kaum tani
sebagai kaum mayoritas rakyat Indonesia.
Pembaharuan agraria bukanlah pembaruan pertanian (agriculture reform),
karena tidak hanya menyentuh aspek ekonomi, melainkan juga aspek
politik. Maksudnya, pembaharuan agraria tidak hanya berkisar kepada
peningkatan produksi pertanian, melainkan sampai menyentuh aspek
distribusi produk pangan dengan secara merata.
Esensi
pembaharuan agraria adalah demokrasi akses atas tanah sebagai sarana
pokok produksi pertanian. Manifestasi dari upaya ini adalah dengan
melakukan pembatasan kepemilikan maksimum lahan pertanian dan membagikan
kelebihan lahan kepada petani, khususnya petani miskin dan buruh tani.
Upaya ini disebut dengan land reform atau secara populer dikenal dengan
pembagian tanah.
Terdapat dua cara utama yang biasa dilakukan untuk menjalankan Land Reform. Pertama, membagikan tanah secara langsung kepada petani miskin dan buruh tani. Cara ini disebut dengan program maksimum land reform.
Biasanya, hal ini dilakukan oleh negara setelah melakukan pembatasan
maksimum kepemilikan tanah. Pengaturan mengenai hal ini sebenarnya telah
tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960. Kedua,
melakukan penataan sistem bagi hasil pertanian yang adil, melalui
penurunan sewa tanah dan peningkatan upah buruh tani. Cara kedua ini
disebut dengan program minimum land reform. Berdasarkan dua
cara teresebut, demokratisasi akses atas tanah pertanian diharapkan bisa
mendorong terselenggarannya pemerataan distribusi hasil pertanian.
Mengenai pelaksanaan bagi hasil yang adil telah diatur dalam
Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH) nomor 2 tahun 1961.
Kedua
cara tersebut tidak akan berhasil mencapai kesejahteraan petani apabila
tidak ditopang dengan program penataan produksi dan koperasi
hasil-hasil pertanian. Penataan produksi dan koperasi hasil-hasil
pertanian adalah jaminan ekonomi dan politik bagi petani untuk
mempertahankan hasil-hasil perjuangan pembaruan dan meningkatkan
kesejahteraannya. Penataan produksi dimaksudkan untuk mempertinggi
produktivitas pertanian, sementara koperasi hasil-hasil pertanian
dimaksudkan untuk menjamin pemerataan manfaat hasil pertanian.
Program
penataan produksi dan koperasi hasil-hasil pertanian tidak akan bisa
dilaksanakan dengan sempurna apabila tidak didahului dengan pelaksanaan land reform. Demikian pula dengan pelaksanaan land reform
tidak akan mencapai hasilnya yang maksimal apabila tidak segera
ditopang dengan penataan produksi dan koperasi hasil-hasil pertanian.
Gabungan dari kedua program inilah yang kemudian disebut dengan
pembaharuan agraria atau reforma agraria.
Untuk
konstek Indonesia, Undang-Undang mengenai Pembatasan tanah dan
Undang-Undang bagi hasil bisa katakan “mati suri”. Stigma politik yang
dikembangkan Orde Baru telah mengakibatkan pudarnya mandat esensial dari
kedua UU. Pada saat ini, ketika berbagai upaya untuk mengubah UU yang
mengatur masalah agraria mengalami berbagai hambatan, pemerintah telah
memutuskan untuk mengembalikan peranan UUPA No.5 tahun 1960 ke dalam
fungsi semula. Namun upaya yang didorong keras oleh Badan Pertanahan
Nasional (BPN) sepertinya akan terganjal setelah keluarnya undang-undang
Penanaman Modal yang dalam beberapa aspek menggerus esensi UUPA,
khususnya pada usaha pembatasan kepemilikan maksimum tanah.
Disisi
lain, nasib UUPBH justru belum jelas. Padahal, dalam konteks Indonesia
saat ini, ketika hubungan penyekapan ala feodal masih belum sepenuhnya
hilang, pelaksanaan UU bagi hasil untuk menciptakan sistem bagi hasil
pertanian yang lebih adil, justru lebih memiliki peluang. Apalagi ketika
jumlah tenaga kerja pertanian mengalami penurunan akibat derasnya arus
urbanisasi yang semakin tidak sebanding dengan luas lahan pertanian yang
bisa digarap. Para pemilik lahan pertanian yang luas sudah pasti
membutuhkan ketersedian tenaga kerja yang cukup banyak untuk mengolah
lahannya. Situasi ini, bila dipandu dengan baik oleh pemerintah, bisa
memberi peluang bagi buruh tani dan penggarap untuk menegoisasikan
sistem bagi hasil pertanian yang lebih baik. Dengan demikian, selain
bisa menopang kebutuhan tenaga kerja pertanian, produktivitas lahan
pertanian pun bisa lebih efisien dan mampu mengalami peningkatan.
Pembaruan
agraria memiliki tiga aspek yang satu dengan yang lainnya tidak
terpisahkan. Pertama, aspek politik untuk mengubah relasi produksi yang
berbasiskan kepemilikan monopoli atas tanah. Kedua, land reform memiliki
aspek ekonomi untuk meningkatkan kemampuan ekonomi kaum tani di
pedesaan. Ketiga, pembaruan agraria memiliki aspek budaya. Dalam
pengertian ini, perombakan struktur hubungan produksi feodalisme
memberikan dorongan bagi perubahan cara kerja yang pada gilirannya akan
mengubah kesadaran kerja di kalangan kaum tani.
Bukan
suatu yang kebetulan bila pelaksanaan pembaruan agraria di beberapa
negara, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Cina, sesungguhnya
turut memberikan sumbangan yang signifikan bagi kemajuan industri di
negara-negara tersebut.
Hal ini memungkinkan karena
pembaruan agraria yang sejati memberikan peluang bagi terjadinya
akumulasi kapital secara domestik yang mengkikis ketergantungan pada
modal asing. Selain itu, pembaruan agraria akan juga memberikan basis
yang stabil bagi peningkatan daya beli sebagai syarat bagi terciptanya
pasar domestik yang mendukung industri nasional.
Sayangnya
dalam Buku ini tidak menyebutkan bagaimana cara untuk menegakan
pembaruan agaria yang sejati. Karena pada fakta masalah pembaruan
agraria tidak begitu populer khususnya di kalangan luas mayoritas masa
rakyat. Bahkan masih ada nada sintimen dengan tiap gerakan pembaruan
agraria yang sejari dengan label komunis. Tentunya persoalan sekarang
adalah menghubungkanya langsung pada kenyataan dilapangan, apakah
padangan penulis buku ini relevan atau hanya teoritik yang tidak
berdasar. Waktu yang akan menjawab itu semua !
17 September 2015
Aryo Nugroho (Pelajar di Young School Agrarian Movement Kalimantan Tengah)
[1]
AoA adalah salah satu pakta Internasional WTO yang dihasilkan melalui
serangkaian perundingan dalam Putaran Uruguay dari GAAT. Pakta ini
diberlakukan bersamaan dengan berdirinya WTO 1 Januari 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar