Penelusuran sejarah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang tercatat adalah pada tahun 1982 (Walhi, 1983; Wirawan, 1984, Brookfield dan Bryon, 1993 Dll). Sejarah juga mencatat kebakaran hebat di Kalimantan Tengah pada tahun 1997, dimana sebelumnya di tahun 1995 proyek ambisius Pengembangan Lahan Gambut (PLG) untuk pertanian dilakukan Orde Baru dalam aksi Revolusi Hijau. Pembukaan Lahan Gambut satu juta Hektar ini melewati sebuah Keputusan Presiden No.82 tahun 1995 dan di ubah menjadi Kepres No.74 tahun 1998.
Di zaman Reformasi Presiden Habibie mencabut Kepres No.82/1995 mengantinya dengan Kepres No.80 tahun 1999. Untuk melaksanakan Keppres No. 80 tahun 1999 tersebut, maka dikeluarkanlah Keputusan Menteri Negara Percepatan Pembangunan KTI Selaku Ketua Harian Dewan Pengembangan KTI Nomor : SK/004/KH.DP-KTI/IX/2002 Tentang Tim Ad Hoc Penyelesaian Eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.
Berdasarkan Tim Ad Hoc Penyelesaian Eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah menyebutkan PLG menyebabkan proses kebakaran di lahan gambut. ”Saluran Primer Induk (SPI) yang dibangun sepanjang 187 km inilah sumber dari persoalan utama terjadinya percepatan proses kebakaran gambut di kawasan Eks PLG. Berdasarkan interpretasi dari citra satelit yang di buat oleh Proyek STRAPEAT, kerjasama antara BPPT, UNPAR, UGM, UNSRI dengan Uni Eropa, dibuktikan bahwa pada kawasan pembuatan kanal-kanal Eks PLG adalah penyebab terjadinya kebakaran akibat dari berkurangnya kandungan air gambut. ”
Lalu di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terbitlah Intruksi Presiden No.2 tahun 2007 tentang percepatan rehabilitasi kawasan gambut Kalteng sebagai tindak lanjut Kepres No.80 tahun 1999. Pada tahun 2008 Menteri Kehutanan menerbitkan surat keputusan No: P.55/Menhut-II/2008 sebagai acuan penyusunan rencana aksi di lapangan oleh Pokja Rehabilitasi dan Konservasi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor : KEP–42/M.EKON/08/2007, serta merupakan instrumen dasar perencanaan operasional dan pembiayaan bagi para pemangku dan pelaksana kegiatan di lapangan.
Inpres No.2/2007mengalokasikan 17.500 Ha lahan untuk perkebunan. Namun, perizinan yang diterbitkan hingga Maret 2008 oleh pemerintah kabupaten, sebagian besar untuk kelapa sawit, mencakup 391.048 Ha . Dari lahan ini, 119.564 Ha berada dilahan gambut dalam(>3m). Sangat disarankan agar izin perkebunan dilahan gambut dalam (>3m) dicabut atau dipindahkan. Sampai sekarang kita tidak tahu realisasinya !!!.
Di zaman SBY juga telah menerbitkan 2 Intruksi Presiden mengenai Moratorium Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut, lewat Inpres No.10 tahun 2011 dan Inpres No.6 tahun 2013.
Tidak jauh berbeda dengan judul yang sama Presiden Jokowi merbitkan Inpres No.8 tahun 2015.
Di era Jokowi mengenai kebakaran hutan dan lahan dia berkomitmen untuk menyelesaikanya salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Presiden No.1 tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut. Dalam situs resmi Presiden, terhadap komitmen ini menyatakan : “ Meskipun tidak secara spesifik berbicara tentang lahan gambut, namun dalam visi-misi Nawacita Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah berkomitmen untuk memastikan “Negara hadir” dalam berbagai persoalan bangsa. Terkait dengan penegakan hukum, dalam poin keempat Nawacita, juga telah ditegaskan bahwa “Kami (Jokowi-JK) akan menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.” Disusul kemudian dengan penjelasan tentang komitmen untuk “penegakan hukum lingkungan” dalam poin yang sama.”[1]
Kita patut bersyukur bahwa tahun 2016, fenomena El Nino tidak terjadi di Kalimantan Tengah dimana kita sering menyebutnya Kemarau Panjang. Berbeda dengan di tahun 2015 El Nino sebagai bagian penentu karhutla. Tahun 2016, berdasarkan perkiraan dan faktanya memasuki bulan September kita masih mendapatkan rahmat hujan. Di karenakan di tahun 2016 kita mengalami La Nina atau kemarau basah. Kita semua sepakat tidak menghendaki kejadian tahun lalu kembali di tahun ini. Patut diperhatikan bahwa karhutla sudah terjadi di Kalteng walau hanya disebagian tempat. Jika mengacu pada data BMKG kerawanan karhutla Kalteng masih tinggi.
Jika El Nino datang kembali lagi akankah terulang kembali kejadian Karhutla tahun 1997-2015. Dimana sisi lain penegakan hukum selama 18 tahun ini tidak membuktikan kuatnya negara dalam menyeret pihak koorporasi sebagai penanggung jawab karhutla dalam konsesinya.
Bagaimana mau melakukan restorasi jika disana masih ada konsesi perusahaan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar