Rabu, 25 Februari 2015

Esai Pengaruh Program KFCP Terhadap Struktur Penguasaan Tanah di Level Desa (Pra Penelitian)

Kemitraan Karbon Hutan Kalimantan (KFCP) merupakan sebuah  skema kerjasama antara pemerintah Australia dan Indonesia. Kemitraan ini mengembangkan dan melaksanakan sebuah proyek uji coba REDD yang meliputi wilayah seluas 120.000 ha di tujuh desa di Kecamatan Kapuas dan Timpah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.[1] Sedangkan tujuan utama KFCP adalah mengadakan uji coba berbagai pendekatan untuk mengetahui metode pengurangan emisi melalui investasi REDD+. Secara bersamaan, KFCP mendukung penyediaan sumber matapencahrian yang lebih baik dengan menerapkan prinsip pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, khsusunya bagi masyarakat yang sebagian besar sumber matapecahrianya bergantung dari hutan.[2]

Jika memperhatikan tujuan dari KCFP dibagian dua yaitu menyediakan matapencahrian yang lebih baik dengan menerapkan prinsip pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan khususnya bagi masyarakat bergantung dari hutan. Pola yang diajukan oleh KFCP dalam hal ini harus dipertanyakan dengan tajam karera berkaitan erat dengan pola kehidupan satu komunitas.

Melihat proyek ini tidak jauh berbeda dengan proyek sebelumnya[3] dimana pelaksanaanya bukan atas dasar dari kehendak masyarakat namun berdasarkan kesepakatan-kesepakatan antara Negara-negara yang ada didunia. Proyek-proyek semacam inilah selalu membuat masyarakat tidak berdaya, dimana mereka seakan-akan ditentukan nasibnya hanya berdasarkan satu lembar surat ijin dari pemerintah. Disisi lain masyarakat sudah mempunyai pola sendiri baik dari segi matapencahrian yang bergantung dihutan begitupula penyelamatannya. Pola kebijakan dari atas kebawah atau sering disebut dengan kebijakan Top Down ini harus selalu dilihat polanya apakah menjawab permasalahan yang sebenarnya mengenai memburuknya kondisi alam berserta masyarakat yang ada didalamnya atau malah memberi tekanan baru bagi masyarakat.

Top Down Project

Penulis memang belum melihat secara langsung apa yang terjadi dilapangan namun jika menyandarkan bahwa proyek ini dijalankan bukan atas dasar kehendak masyarakat maka dapat dipastikan proyek ini berjalan satu arah. Sudah banyak proyek-proyek dinegara tercinta ini dibuat satu arah atau sering disebut dengan model kebijakan top down. Dimana, oleh Sulistyaningsih melihat pengelolaan hutan dijawa menyebutkan kebijakan pengelolaan hutan yang top down seperti itu berkeyakinan bahwa tetesan atau hasil-hasil pembangunan kehutanan akan menetes kebawah (trickle down effect), tapi ternyata itu hanya menjadi jargon politik an sich. Karena efek ini tidak pernah terjadi, yang terjadi justru sebaliknya muncrat keatas akibat kooptasi Negara. Jadi masyarakat sekitar hutan hanya menjadi penonton saja atas segala kekayaan hutan yang ada didekatnya (Sulistyaningsih:2013;5).

Sedangkan di Kalimantan Tengah sendiri kebijakan peralihan fungsi kawasan menjadi penguasaan hutan untuk para perusahaan swasta sudah kian masif sejak tahun 70an. Pada tahun 1974 terdapat 45 perusahaan yang memperoleh konsesi pengusahaan hutan dengan total wilayah konsesi 4.580.000 hektar. Angka ini meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 112 perusahaan dengan total area konsesi 11.054.000 hektar atau setara 72,2% wilayah Kalimantan Tengah. Begitu luasnya areal hutan yang dikuasai oleh swasta sehingga tidak jarang perusahaan HPH dianggap menguasai hajat hidup orang banyak.[4]

Kebijakan penguasaan hutan oleh perusahaan swasta akibat adanya kebijakan nasional masa presiden Seoharto. Dimana dimasa Presiden Seoharto telah memutuskan memberikan alokasi 65 juta hektar (dari hutan produksi terbatas dan produksi tetap) untuk aktivitas konsesi pemotongan kayu glondongan (log) sejak tahun 1967 didalam sector kehutanan. Taman dan konservasi meliputi area 19 juta hektar, dengan bermakna bahwa kira-kira 10% dari seluruh tanah telah diputuskan untuk area konservasi dan hutan lindung.[5]

Sejak masa pemerintahan Seoharto inilah pembangunan ekonomi menjadi paradigma utama untuk mengatasi “krisis ekonomi” yang diwarisi rezim Seokarno. Dengan demikian, para perancang ekonomi mengambil langkah-langkah langsung untuk memperkuat ekonomi Indonesia yang lemah melalui program Pelita I tahun 1969 sampai Pelita IV tahun 1997 dibanyak sector pembangunan. Sector kehutanan mulai mengembangkan bingkai hukum yang diperlukan pengusaha swasta untuk memperoleh konsesi HPH dengan memotong kayu glodongan (log) dan mengekspornya. Sumatera dan Kalimantan adalah sasaran pertama eksploitasi hutan, karena mempunyai stok kayu komersil terbesar, dan paling dekat pusat pasar asia, seperti Singapura, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan dan Jepang.[6]

Kebijakan-kebijakan penguasaan hutan secara model Top down tentunya ini berimbas kepada akses masyarakat dimana sedari dulu berdasarkan tradisi turun menurun menuai kesejahteraan dari hasil hutan, namun sejak adanya program-program pemerintah tersebut masyarakatpun menjadi terpingirkan dari hutan. Hal inipun seperti dialami oleh masyarakat hukum adat Ketemenggungan Siyai Kabupaten Melawi Kalimantan Barat. Masyrakat Hukum Adat Ketemenggungan Siyai kehilangan hak mereka sejak adanya kebijakan pemerintah membuat kawasan Taman Nasional Bukit Baka dan Raya. Hak-hak masyarakat adat Ketemenggungan Siyai yang terampas adalah seperti yang dipaparkan oleh Agustinus Agus “ Dengan  dalih  Taman  Nasional,  masyarakat Ketemenggungan  Siyai  tidak  boleh  lagi  membuat  ladang, berkebun,  berburu,  mencari  ikan  untuk  melangsungkankehidupannya.  Mereka  dilarang  masuk  hutan,  apalagi mengambil manfaat dari hutan. Merekapun sudah tidak bisa melaksanakan  kegiatan  ritual  adat  di  tempat-tempat  yang mereka  anggap  keramat.  Ketika  semua  itu  dilanggar  oleh masyarakat, maka penjara adalah tempat bagi mereka.”[7]

Walaupun dua pandangan diatas berbeda dalam tataran mekanisme kerja namun seyogyanya ini bisa menjadi pola yang tidak terpisahkan bahwa proyek yang sedang dijalan oleh KFCP juga kemungkinan besar akan memberi pengaruh terhadap hilangnya hak-hak masyarakat yang sudah terbiasa bergantung kehidupanya dengan hutan.

Apa yang menjadi tujuan dari KFCP juga cukup jelas dimana masyarakat akan dialihkan mata pecahrianya dari yang bergantung dengan hutan dialihkan keluar hutan. Padahal khsusnya bagi masyarakat adat hutan tidak saya tempat untuk mendulang dan menopang perekonomian namun mereka mempunyai ikatan sosial religious yang tidak dipisahkan. Menurut Boedy Haryo, Masyarakat Dayak sebagaimana masyarakat adat lainya, pada hakikatnya memiliki persepsi holistic terhadap hutan. Bagi mereka hutan tak semata-semata bermakna ekonomis, melainkan juga sosio budaya-religius. Juga bukan hanya semata-semata berisi aneka ragam tetumbuhan dan hewan, melainkan juga mereka sendiri merupakan bagian dari hutanyang tidak terpisahkan. Oleh karena itu menurut mereka, hutan dalam wilayah kedaulatan mereka, mempunyai hak kepemilikan yang jelas dan terpastikan secara hukum setempat (Boedy Haryo:1998:69).

Adapun menurut pengamatan Marko Mahin[8], hubungan sosial masyarakat hukum adat khususnya Dayak Ngaju dan hutan dengan mengikuti pola – pola sebagai berikut :
1.      Menetapkan zonasi – zonasi, tempat – tempat atau kawasan – kawasan tertentu untuk boleh dan tidaknya berburu, meramu dan membuka ladang. Dengan demikian mereka telah mempunyai “tata ruang“ sendiri yang diatur sedemikian rupa untuk kepentingan dan eksistensi hidup mereka sendiri.
2.      Menetapkan hukum pantang – tabu (pali – pali) agar tidak ada pelangaran terhadap  “zonasi“ atau “tata tuang“ yang telah ditetapkan.
3.      Menetapkan denda atas mereka yang melangar hukum pantang – tabu (pali –pali).
4. Menyediakan perangkat adat yang menjadi aparat untuk mengawal dan menegakkan “ hukum “ yang telah ditetapkan.

Penelitian ini dilakukan hendak menguji sejumlah pandangan diatas mengenai program-program pemerintah yang dijalankan secara Top Down, bukan saja untuk mengetahui bagaimana kondisinya, tetapi juga ingin mengetahui beberapa factor yang menyebabkan terjadinya suatu model susunan penguasaan dan perubahan penguasaan tanah di dalam komunitas sebelum dan sesudah adanya program KFCP.

Hilangnya Akses atas Penguasaan Tanah Di Level Desa

Sudah sering dikemukakan umum bahwa kebijakan pembangunan orde baru lebih menitik beratkan pembangunan yang berorientasikan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan pertanahanpun ditujukan untuk mendukung upaya tersebut. Sejak Orde Baru, kebijakan pertanahan lebih dititikberatkan kepada upaya mendukung pertumbuhan ekonomi cepat(Mac Andrew, 1986), yang kepentingan dan kebutuhan pembangunan sektoral (pertanian dan idustri). Dalah hal ini telah terjadi pergeseran fokus kebijakan yang semula lebih ditujukan memfasilitasi pemilik modal dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi. Terutama pada tahun 1980-an, fokus persoalan pertanahan yang menghambat pelaksanaan kebijakan pembangunan. Pemerintah Orde Baru memandang bahwa peningkatan Pertumbuhan ekonomi jauh lebih penting dibandingkan dengan pelaksanaan landrefrom. Landrefrom yang dipandang sebagai instrumen utama dalam mencapai keadilan sosial tidak mendapatkan penting pada masa Orde Baru.[9]

Padahal dimasa Soekarno land refrom sebagai jawaban atas situasi Indonesia merdeka, land refrom mengantikan aturan lama yang dibawa oleh bangsa kolonial yaitu Agrarische Wet 1870. Soekarno mengantinya dengan Undang-Undang Pokok Agraria No.5 tahun 1960. Menurut, Singgih Praptodihardjo (salah satu perumus UUPA 1960) berpendapat bahwa sifat dari system hukum agraria dijaman colonial adalah untuk melayani modal asing dengan segala cara. Mengutip pendapat Eric Jacoby yang ditulisnya di Agrarian Unrest In Southeast asia, Praptodihardjo berpendapat :
                “(p)erkembangan modal asing, sekali lagi: perkembangan modal asing, yang menjadi pokok tujuanya. Perlindungan kepentingan rakyat tidak lepas dari maksud untuk kepentingan mereka juga. Didalam prakteknya perlindungan itu tidak membawa manfaat, bahkan merugikan karena usaha memperkuat pereokonomian rakyat yang menjadi tugas tiap-tiap pemerintah nasional, tidak dijalankan semestinya oleh pemerintah colonial”.(1953:54).[10]

Sedangkan Undang-Undang Pokok Agraria yang dihasilkan pada masa Soekarno, menurut Selo Soemardjan, Undang-Undang Pokok Agraria mencakup prinsip dasar berikut ini : (1) Tanah pertanian adalah untuk petani pengarap; (2) Hak utama atas tanah, misalnya hak pribadi adalah khusus untuk warga Indonesia, tetapi warga Negara asing dapat memperoleh hak tambahan untuk menyewa atau memakai tanah dalam jangka waktu dan luas tertentu yang diatur oleh undang-undang;(3) pemilikan guntai (absentee) tidak dibenarkan, kecuali bagi mereka yang bertugas aktif dalam dinas negara dan dalam hal pengecualian lain; (4).Petani-petani yang ekonominya lemah harus dilindungi terhadap mereka yang kedudukanya lebih kuat. (Selo Soemardjan: 2008).

Lalu bagaimana dengan kondisi hari ini jika melihat catatan dari Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma) tahun 2013, mencatat sepanjang tiga tahun terakhir tercatat 91.968 orang dari 315 komunitas adat masyarakat di Indonesia menjadi korban dalam konflik sumberdaya alam dan pertanahan.[11]

Berdasarkan pengamatan dari laporan tahunan Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2011, setidaknya apa beberapa factor penyebab hilangnya akses masyarakat terhadap penguasaan tanah atau sering disebut juga dengan perampasan tanah masyarakat, yaitu:
  • Pengesahan Undang-undang pengadaan tanah untuk pembangunanDimana pengesahan Undang-Undang pengadaan tanah untuk pembangunan ini adalah sarana yang diciptakan untuk mengambil alih tanah-tanah rakyat secara legal, yang akan semakin mempertinggi monopoli penguasaan tanah oleh koorporasi swasta dan BUMN.
  • Ekspansi Korporasi dan Perampasan tanah. Sedikitnya  ada  lima  undang-undang  yang  secara  sistematis  telah  memberikan kewenangan  yang  luas,  bahkan  terlampau  luas,  kepada  pemerintah  atas  sumbersumber  agraria,  namun  kewenangan  yang  ada  tidak  dibarengi  dengan  semangat Undang-undang  Dasar  1945  dan  Undang-undang  Pokok  Agraria  (UUPA)  1960,  yaitu: Undang-undang  No.  41/1999  tentang  Kehutanan,  Undang-undang  No.  18/2003 tentang  Perkebunan,  Undang-undang  No.  7/2004 Sumber Daya  Air,  Undang-undangNo. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,  dan  Undangundang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara.[12]

Jika dibaca ulang dalam pembahasan ini tentunya dapar ditakar bahwa penyebab dari hilangnya akses atas penguasaan tanah masyarakat secara umum terkusus di level Desa tidak lepas dari adanya sebuah sistem perampasan tanah yang telah dibagun oleh pemerintah. Alasan pemerintah tetep sama dalam mengatur penguasaan tanah yaitu dengan jargon pemerataan kesejahteraan namun apa yang menjadi jargon tidak sesuai dengan fakta yang ada dilapanngan.


Perubahan Sosial, Budaya Dan Ekonomi di Level Desa

Menurut Soerjono Seokanto setiap masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan. Perubahan bagi masyarakat yang bersangkutan maupun bagi orang luar yang menelaahnya, dapat berupa perubahan-perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang mencolok. Ada puka perubahan-perubahan yang lambat sekali, tetapi ada juga yang berjalan cepat. Perubahan bisa berkaitan dnegan : nilai-nilai sosial, pola-pola prilaku, organisasi, lembaga kemasyarakatan, lapisan dalam masyarakat dan kekuasaan dan wewenang dan lain-lain. Perubahan sosial segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola prilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat (Soerjono Soekanto:2012).

Salah satu pengaruh dari Revolusi Hijau pada sistem sawah, secara tidak langsung, telah menyebabkan komersialisasi pertanian lahan kering didaerah-daerah pegunungan (c.f.Henfer,1990). Wujudnyatanya adalah adanya desakan ekonomi pasar diberbagai tempat yang semakin menguat sehingga sistem pertanian agroperhutanan tradisional (tradisional agrofirestry) yang ramah lingkungan , seperti talun-kebun, ditebangi, dibuka, dan diubah penggarapanya menjadi kebun sayuran komersil. Akibatnya, sistem pertanian agroperhutanan tradisonal yang semula biasa ditanami aneka jenis tanaman kayu bahan bagunan, kayu bakar dan buah-buahan, serta jenis tanaman semusim, seperti tanaman pangan, sayur, bumbu masak, dan obat-obatan tradisional, kini berubah menjadi sistem pertanian monokultur komersil.[13]

Dari  berbagai  referensi  dan literatur  yang  mengupas  tentang kaum  tani,  diperoleh  keterangan bahwa  petani  di  negara  kita  dapat digolongkan  ke  dalam  empat pengertian, yakni petani besar, petani kecil,  petani  gurem  dan  petani buruh/buruh  tani.  Petani  besar umumnya  menggambarkan  tentang sosok petani yang umumnya memliki lahan  sawah  di  atas  satu  hektar. Petani kecil menggambarkan jati diri petani  yang  memiliki  lahan  antara 0,5 – satu  hektar.  Petani  gurem memiliki  lahan  antara  0,1 - 0,5 hektar,  dan  petani  buruh  adalah mereka  yang  sama  sekali  tidak memiliki lahan sawah (Sastraatmadja 2010). Sedangkan menurut Darsono ada lima (5) kelas sosial di Desa yaitu (1)Tuan Tanah, (2) Tani Kaya, (3) Tani Sedang (4) Tani Miskin, dan (5) Buruh Tani. Dengan penjelasan sebagai berikut :
1.       Tuan tanah adalah pemilik usaha atau penguasa dimana mereka tidak terlibat atau dari proses produksi. Hidup pokonya dari hasil kerjanya petani pengarap tanahnya atau petani penyewa tanahnya, dan penghasilanya sangat melebihi keperluan hidupnya; mereka adalah orang kaya di Desa dan dengan kekayaanya itu mereka dapat menguasai pemerintahan Desa.
2.       Tani kaya adalah pemilik atau penguasa tanah sebagai sumber hidup dan mereka terlibat (ikut serta) dalam produski dan mempunyai tenaga buruh (buruh tani). Hidup pokoknya dari hasil kerja atas buruh tani disamping tenaganya sendiri. Penghasilannya lebih dari keperluan hidup sekeluarga. Mereka adalah orang kaya di Desa dan dengan kekayaanya itu mereka dapat menguasai pemerintahan Desa.
3.       Tani sedang terdiri dari 3 lapisan, yaitu tani sedang lapisan atas, tani sedang lapisan tengah dan tani sedang lapisan bawah. Tani sedang mempunyai ciri umum pokok, yaitu : sebagai pemilik atau penguasa tanah sebagai sumber hidupnya dan mereka langsung terlibat dalam proses produksi. Perbedaan diantara mereka tani sedang lapisan atas, tengah dan bawah, ialah :
a.       Tani sedang lapisan atas adalah pemilik atau penguasa tanah sebagai sumber hidupnya dan mereka langsung terlibat dalam proses produski. Hidup pokoknya dari kerja tanahnya sendiri di samping kadang-kadang dari tenaga (buruh tani), penghasilanya mempunyai kelebihan dari keperluan hidup keluarganya.
b.      Tani sedang lapisan tengah adalah pemilik atau penguasa tanah sebagai sumber hidupnya dan mereka langsung terlibat dalam proses produksi. Hidup pokonya dari kerja tanahnya sendiri. Pengahsilanya cukup untuk keperluan hidup sekeluarganya.
c.       Tani sedang lapisan bawah adalah pemilik atau penguasa tanah sebagai sumber hidupnya dan mereka langsung terlibat dalam proses produski. Hidup pokoknya dari kerja tanahnya sendiri disamping kadang-kadang kerja di atas tanah orang lain sebagai buruh tani untuk bisa menutupi kekurangan keperluan hidupnya sekeluarga. Penghasilanya atau hasil tanahnya cukup kadang-kadang kurang dari keperluan hidup sekeluarganya.
4.       Tani miskin adalah pemilik atau penguasa tanah kecil sebagai sumber hidupnya dan mereka langsung terlibat dalam produski. Hidup pokoknya dari kerja tanahnya sendiri disamping kerja diatas tanah orang lain sebagai buruh tani. Penghasilanya atau hasil tanahnya tidak cukup untuk keperluan hidup keluarganya.
5.       Buruh tani adalah tani yang tidak bertanah, tak memiliki atau tidak menguasai tanah sebagai sumber hidupnya, dan mereka langsung terlibat dalam proses produksi. Hidup pokonya dari kerja di atas tanah orang lain sebagai buruh tani. Penghasilannya atau hasil upahnya tidak cukup untuk keperluan hidup sekeluarganya. (Darsono, Karl Marx : Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi, 2012).

Sedangkan Menurut Husken Dasar-dasar Difrensiasi Sosial terbagi atas :
Husken mengambarkan dan mencoba menguraikan difrensiasi sosial dilevel Desa dimana lokasi penelitiannya di Desa Gondosari, dimana lebih menitik beratkan kepada ketidaksamaan kesempatan antar penduduk dalam mendapatkan sumber penghidupan terpenting dalam perekonomian Desa. Selanjutnya Husken melihat tentang hubungan pemilikan tanah, hubungan kerja, cara dan usaha berbagai golongan penduduk memenuhi keperluan hidup, dan mekanisme penarikan surplus yang terutama jatuh ketangan para petani kaya. Dalam urainya Husken menjelaskan tentang dasar-dasar difrensiasi sosial dilevel Desa, yaitu :
1.       Struktur Pemilikan Tanah
Melihat bahwa pertanian menduduki tempat sentral dalam perekonomian Desa, maka besar kecilnya akses penduduk terhadap tanah pertanian merupakan ukuran terpenting dalam menentukan stratifikasi sosialnya. Bentuk yang paling jelas menurutnya adalah bagi mereka/penduduk Desa yang mempunyai uang cukup bisa mendapatkan tanah dengan menyewa, meskipun untuk sementara (Adol tahunan).[14] Sedangkan yang lain, yang tidak memiliki ataupun hanya mempunyai sebidang kecil tanah juga bisa mendapatkanya dengan mencoba mengerjakan tanah orang lain sebagai pengarap bagi hasil. Penduduk lain haruslah mencari pekerjaan di persawahan atau tegalan sebagai buruh tani yang menerima upah.
2.       Sewa tanah, bagi hasil dan kerja upah
Dalam peneltian Husken bila saya dapat simpulkan bahwa yang mempunyai tanah banyak dibandingkan dengan yang lain tidak lepas dari kekuasaan politik dimasa lalu, dimana kebanyakan pemilik tanah dengan katagori petani kaya adalah berasal dari keturunan kepala-kepala Desa pada abad 19.
a.       Sewa-menyewa tanah
Sewa-menyewa tanah disini dilakukan oleh kelompok elite setempat terdiri dari pemerintahan Desa dan beberapa petani kaya. Dimana kebiasaanya anak atau menantu para elite ini yang mempunyai pendidikan tinggi dibandingkan yang lain dan telah mendapatkan pekerjaan tetap sebagai karyawan. Bagi mereka usaha menyewa tanah adalah usaha yang sangat menguntungkan, mereka menyewa tanah dari petani yang terdesak karena kesulitan keuangan sehingga terpaksa menyewakan tanah dengan harga yang sangat murah. Sipenyewa tidak mengerjakan sendiri tanah itu, tetapi menyuruh pemilik tanah mengerjakanya berdasarkan bagi-hasil. Si pemilik mengerjakan sendiri tanahnya dan dia dapat sepertiga dari  hasil.
b.      Bagi hasil
Menyerahkan lahan bukanlah satu-satunya cara dimana akhirnya petani mengerjakan lahan orang lain. Cara yang biasa adalah pemilik tanah mengolah tanah mereka melalui bagi-hasil. Jarang terjadi petani kaya, apalagi tuan tanah, mengerjakan sendiri tanah-tanahnya yang luas itu. Juga mereka jarang terjadi mereka memakai tenaga kerja upahan. Bentuk yang sering dipakai dalam bagi-hasil ialah morotelu: hasil panenya dibagi dalam perbandingan 1:2, sepertiga bagian untuk sipengarap dan dua pertiga untuk sipemilik tanah. Sipengarap memikul semua biaya pengolahan. Dua pertiga biaya untuk bibit, pupuk, air irigasi, dan upah panen dipikul oleh pemilik tanah di samping pajak tanah (Ipe-da) yang jumlahnya relative rendah.
c.       Buruh upahan
Mereka yang tidak mempunyai kontrak bagi-hasil (separo dari mereka yang sama sekali tidak mempunyai tanah sendiri), dan para petani gurem maupun pengarap bagi-hasil yang produksi tanahnya tidak mencukupi untuk memenuhi keperluan hidupnya, terpaksa menjual tenaga berdasarkan upah kerja harian.
3.       Pekerjaan dan Pendapatan di Luar Pertanian
4.       Anggaran Rumah Tangga : Susunan dan Tingkat Hidup
5.       Pemerasaan dan Penyedotan Surplus
Melihat pembahasan ini lalu merelevansi dengan program KFCP adalah dengan cara memeriksa apakah dengan kehadiran program tersebut megubah prilaku sosial segelintir masyarakat yang akhirnya menjadi elite Desa. Dimana setelah jadi elite mereka akan berprilaku mengendalikan masyarakat lainya dengan kekuasaanya baik dibidang ekonomi dan politik. Lebih jauh lagi ingin memeriksa apakah setelah adanya program tersebut terjadi perubahan struktur penguasaan tanah di level Desa. Perubahan tersebut bisa berupa hilangnya akses terhadap tanah terhadap seseorang atau menambah luasan tanah bagi seseorang. Sedangkan dalam sisi budaya apakah program yang dibawa ini mengubah pola-pola hidup masyarakat khususnya dalam mengolah tanah dan hutan.

Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan : Bagaimana dampak program KFCP terhadap struktur penguasaan tanah dalam komunitas yang ada dilevel Desa ? Pertanyaan ini lebih lanjut hendak menjawab apakah ada yang tereklusi karena adanya program tersebut, siapa yang tereklusi, bagaimana prosesnya, mengapa tereklusi serta bagaimana dampak yang mereka alami?

 

 

 

 

 Bibliography


Sastraatmadja,  Entang.  2010.  Masyarakat  Geografi  Indonesia.Bandung Suara  Petani. 
Forest People Program-Pusaka-Yayasan Petak Danum. (Oktober 2011). Seri briefing hak-hak, hutan dan iklim (Kalimantan Tengah : REDD + dan Kemitraan Karbon Hutan Kalimantan (KFCP)

Hakim, Hiskia dkk.Pengelolaan Penabatan Tatas Bebasis Komunitas : Sebuah Pemberlajaran untuk merehabilitasi system hidrologi hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah, Kalimantan Forest Carbon Parnetnersip (KFCP).

Baik Siregar, Budi.(2004).Kedermawanan Alam Kalimantan. Jakarta Selatan : PIRAMEDIA

Hidayat, Herman.(2011).Politik Lingkungan (Pengelolaan Hutan masa Orde Baru dan Reformasi).Jakarta:Yayasan Pustaka Obor.

Agustinus, Agus. (2010). Setelah Kami di Larang Masuk Hutan. Jakarta : HuMa.
Mahin, Marko. (22 Oktober 2009). Makalah Untuk Seminar Dan Lokakarya “ Pengelolaan Hutan Adat Dan Rencana ProsesPenetapan Status Hutan Adat Kalawa Sebagai Bentuk Impelementasi Pengelolaan Hutan BerbasisMasyarakat”Diselengarakan Oleh Yayasan Petak Danumpulang pisau.

Lucas, Anton dll. (1997). Tanah dan Pembangunan (risalah dari Konfrensi INFID ke-10), Internasional  NGO Forum on Indonesia Devlopment. Jakarta.

Prawironegoro, Darsono.(2012).Karl Marx : Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi. Jakarta : Nusantara Consulting.
Widjono, Roedy Haryo.(1998).Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok.Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia berkerjasama dengan lembaga Bina Benua Puti Jaji-LPPS-KWI.
Muhajir, Mumu.2010.Bersiap Tanpa Rencana: Tinjauan Tanggapan Kebijakan Pemerintah Terhadap Perubahan Iklim/REDD di Kalimantan Tengah. Kertas Kerja Efistema No.06/2010.Jakarta : Efistema Institute.

Husken, Frans.(1998).Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman (Sejarah Difrensiasi Sosial di Jawa 1830-1980).Jakarta : PT.Gramedia Widiasarana Indonesia.

Soekanto, Soerjono.(Cetakan ke-44, Januari 2012).Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.

Rachman, Noer Fauzi.(2012).Land Reform dari Masa Ke Masa, Yogyakarta: Tanah Air Beta.

Iskandar Johan.(cetakan pertama 2001).Manusia Budaya dan Lingkungan (Kajian Ekologi Manusia).Bandung: Humaniora Utama Press, , hlm 2.
Laporan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2011, Tahun Perampasan Tanah dan Kekerasan Terhadap Rakyat.





[1] Lih., Seri briefing hak-hak, hutan dan iklim (Kalimantan Tengah : REDD + dan Kemitraan Karbon Hutan Kalimantan (KFCP), Forest People Program-Pusaka-Yayasan Petak Danum, Oktober 2011.
[2] Lih., Hiskia Hakim dkk, Pengelolaan Penabatan Tatas Bebasis Komunitas : Sebuah Pemberlajaran untuk merehabilitasi system hidrologi hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah, Kalimantan Forest Carbon Parnetnersip (KFCP).
[3] Setidaknya ada dua proyek besar yang sudah dijalankan dimana tempatnya tidak jauh berbeda dengan Proyek yang sedang dijalankan KFCP. Proyek-proyek tersebut adalah : 1.Wetland Internasioal dengan isu Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Eks Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah atau Rencana Induk PLG. 2. Yayasan Bos Mawas dengan Isu merintroduksir orang hutan sekaligus melindungi habitatnya. Bos Mawas merupakan salah satu konsursium dari KFCP. Terkait dengan lahan PLG, BOS Mawas bekerja di Blok E PLG seluas kurang lebih 300.000 Hektar. Lebih lengkapnya bisa lihat Muhajir, Mumu.2010.Bersiap Tanpa Rencana: Tinjauan Tanggapan Kebijakan Pemerintah Terhadap Perubahan Iklim/REDD di Kalimantan Tengah. Kertas Kerja Efistema No.06/2010.Jakarta : Efistema Institute.
[4] Lihat, Baik Siregar. Budi, Kedermawanan Alam Kalimantan, PIRAMEDIA, 2004
[5] Lihat, Hidayat.Herman, Politik Lingkungan (Pengelolaan Hutan masa Orde Baru dan Reformasi), Yayasan Pustaka Obor, Jakarta, 2011.Hlm 38.
[6]Ibid.
[7] Lihat,.Agustinus Agus, Setelah Kami di Larang Masuk Hutan,  HuMa, 2010.Hlm 58.
[8]Marko Mahin, Makalah Untuk Seminar Dan Lokakarya “ Pengelolaan Hutan Adat Dan Rencana ProsesPenetapan Status Hutan Adat Kalawa Sebagai Bentuk Impelementasi Pengelolaan Hutan BerbasisMasyarakat”Diselengarakan Oleh Yayasan Petak Danum, 22 oktober 2009, pulang pisau. Hlm 4.
[9] Lihat, Lucas.Anton dll, Tanah dan Pembangunan (risalah dari Konfrensi INFID ke-10), Internasional  NGO Forum on Indonesia Devlopment, Jakarta, 1997.Hlm 97.
[10] Rachman, Noer Fauzi, Land Reform dari Masa Ke Masa, Tanah Air Beta, Yogyakarta, 2012.Hlm 8.
[12] Laporan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2011, Tahun Perampasan Tanah dan Kekerasan Terhadap Rakyat.
[13] Iskandar Johan, Manusia Budaya dan Lingkungan (Kajian Ekologi Manusia).Bandung,Humaniora Utama Press, cetakan pertama 2001, hlm 2.
[14] Adol tahunan : dijual untuk setahun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar