Kemitraan
Karbon Hutan Kalimantan (KFCP) merupakan sebuah
skema kerjasama antara pemerintah Australia dan Indonesia. Kemitraan ini
mengembangkan dan melaksanakan sebuah proyek uji coba REDD yang meliputi
wilayah seluas 120.000 ha di tujuh desa di Kecamatan Kapuas dan Timpah, Kabupaten
Kapuas, Kalimantan Tengah.[1]
Sedangkan tujuan utama KFCP adalah mengadakan uji coba berbagai pendekatan
untuk mengetahui metode pengurangan emisi melalui investasi REDD+. Secara
bersamaan, KFCP mendukung penyediaan sumber matapencahrian yang lebih baik
dengan menerapkan prinsip pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan,
khsusunya bagi masyarakat yang sebagian besar sumber matapecahrianya bergantung
dari hutan.[2]
Jika
memperhatikan tujuan dari KCFP dibagian dua yaitu menyediakan matapencahrian
yang lebih baik dengan menerapkan prinsip pengelolaan sumber daya alam yang
berkelanjutan khususnya bagi masyarakat bergantung dari hutan. Pola yang diajukan
oleh KFCP dalam hal ini harus dipertanyakan dengan tajam karera berkaitan erat
dengan pola kehidupan satu komunitas.
Melihat
proyek ini tidak jauh berbeda dengan proyek sebelumnya[3]
dimana pelaksanaanya bukan atas dasar dari kehendak masyarakat namun
berdasarkan kesepakatan-kesepakatan antara Negara-negara yang ada didunia.
Proyek-proyek semacam inilah selalu membuat masyarakat tidak berdaya, dimana
mereka seakan-akan ditentukan nasibnya hanya berdasarkan satu lembar surat ijin
dari pemerintah. Disisi lain masyarakat sudah mempunyai pola sendiri baik dari
segi matapencahrian yang bergantung dihutan begitupula penyelamatannya. Pola
kebijakan dari atas kebawah atau sering disebut dengan kebijakan Top Down ini harus selalu dilihat
polanya apakah menjawab permasalahan yang sebenarnya mengenai memburuknya
kondisi alam berserta masyarakat yang ada didalamnya atau malah memberi tekanan
baru bagi masyarakat.
Top Down Project
Penulis
memang belum melihat secara langsung apa yang terjadi dilapangan namun jika
menyandarkan bahwa proyek ini dijalankan bukan atas dasar kehendak masyarakat
maka dapat dipastikan proyek ini berjalan satu arah. Sudah banyak proyek-proyek
dinegara tercinta ini dibuat satu arah atau sering disebut dengan model
kebijakan top down. Dimana, oleh
Sulistyaningsih melihat pengelolaan hutan dijawa menyebutkan kebijakan
pengelolaan hutan yang top down
seperti itu berkeyakinan bahwa tetesan atau hasil-hasil pembangunan kehutanan
akan menetes kebawah (trickle down effect), tapi ternyata itu hanya menjadi
jargon politik an sich. Karena efek
ini tidak pernah terjadi, yang terjadi justru sebaliknya muncrat keatas akibat
kooptasi Negara. Jadi masyarakat sekitar hutan hanya menjadi penonton saja atas
segala kekayaan hutan yang ada didekatnya (Sulistyaningsih:2013;5).
Sedangkan
di Kalimantan Tengah sendiri kebijakan peralihan fungsi kawasan menjadi penguasaan
hutan untuk para perusahaan swasta sudah kian masif sejak tahun 70an. Pada
tahun 1974 terdapat 45 perusahaan yang memperoleh konsesi pengusahaan hutan
dengan total wilayah konsesi 4.580.000 hektar. Angka ini meningkat lebih dari
dua kali lipat menjadi 112 perusahaan dengan total area konsesi 11.054.000
hektar atau setara 72,2% wilayah Kalimantan Tengah. Begitu luasnya areal hutan
yang dikuasai oleh swasta sehingga tidak jarang perusahaan HPH dianggap
menguasai hajat hidup orang banyak.[4]
Kebijakan
penguasaan hutan oleh perusahaan swasta akibat adanya kebijakan nasional masa
presiden Seoharto. Dimana dimasa Presiden Seoharto telah memutuskan memberikan
alokasi 65 juta hektar (dari hutan produksi terbatas dan produksi tetap) untuk
aktivitas konsesi pemotongan kayu glondongan (log) sejak tahun 1967 didalam
sector kehutanan. Taman dan konservasi meliputi area 19 juta hektar, dengan
bermakna bahwa kira-kira 10% dari seluruh tanah telah diputuskan untuk area
konservasi dan hutan lindung.[5]
Sejak
masa pemerintahan Seoharto inilah pembangunan ekonomi menjadi paradigma utama
untuk mengatasi “krisis ekonomi” yang diwarisi rezim Seokarno. Dengan demikian,
para perancang ekonomi mengambil langkah-langkah langsung untuk memperkuat
ekonomi Indonesia yang lemah melalui program Pelita I tahun 1969 sampai Pelita
IV tahun 1997 dibanyak sector pembangunan. Sector kehutanan mulai mengembangkan
bingkai hukum yang diperlukan pengusaha swasta untuk memperoleh konsesi HPH
dengan memotong kayu glodongan (log) dan mengekspornya. Sumatera dan Kalimantan
adalah sasaran pertama eksploitasi hutan, karena mempunyai stok kayu komersil
terbesar, dan paling dekat pusat pasar asia, seperti Singapura, Hongkong,
Taiwan, Korea Selatan dan Jepang.[6]
Kebijakan-kebijakan
penguasaan hutan secara model Top down tentunya
ini berimbas kepada akses masyarakat dimana sedari dulu berdasarkan tradisi
turun menurun menuai kesejahteraan dari hasil hutan, namun sejak adanya
program-program pemerintah tersebut masyarakatpun menjadi terpingirkan dari
hutan. Hal inipun seperti dialami oleh masyarakat hukum adat Ketemenggungan
Siyai Kabupaten Melawi Kalimantan Barat. Masyrakat Hukum Adat Ketemenggungan
Siyai kehilangan hak mereka sejak adanya kebijakan pemerintah membuat kawasan
Taman Nasional Bukit Baka dan Raya. Hak-hak masyarakat adat Ketemenggungan
Siyai yang terampas adalah seperti yang dipaparkan oleh Agustinus Agus “ Dengan dalih
Taman Nasional, masyarakat Ketemenggungan Siyai
tidak boleh lagi
membuat ladang, berkebun, berburu,
mencari ikan untuk
melangsungkankehidupannya.
Mereka dilarang masuk
hutan, apalagi mengambil manfaat
dari hutan. Merekapun sudah tidak bisa melaksanakan kegiatan
ritual adat di
tempat-tempat yang mereka anggap
keramat. Ketika semua
itu dilanggar oleh masyarakat, maka penjara adalah tempat
bagi mereka.”[7]
Walaupun
dua pandangan diatas berbeda dalam tataran mekanisme kerja namun seyogyanya ini
bisa menjadi pola yang tidak terpisahkan bahwa proyek yang sedang dijalan oleh
KFCP juga kemungkinan besar akan memberi pengaruh terhadap hilangnya hak-hak
masyarakat yang sudah terbiasa bergantung kehidupanya dengan hutan.
Apa
yang menjadi tujuan dari KFCP juga cukup jelas dimana masyarakat akan dialihkan
mata pecahrianya dari yang bergantung dengan hutan dialihkan keluar hutan.
Padahal khsusnya bagi masyarakat adat hutan tidak saya tempat untuk mendulang
dan menopang perekonomian namun mereka mempunyai ikatan sosial religious yang
tidak dipisahkan. Menurut Boedy Haryo, Masyarakat Dayak sebagaimana masyarakat
adat lainya, pada hakikatnya memiliki persepsi holistic terhadap hutan. Bagi
mereka hutan tak semata-semata bermakna ekonomis, melainkan juga sosio
budaya-religius. Juga bukan hanya semata-semata berisi aneka ragam tetumbuhan
dan hewan, melainkan juga mereka sendiri merupakan bagian dari hutanyang tidak
terpisahkan. Oleh karena itu menurut mereka, hutan dalam wilayah kedaulatan
mereka, mempunyai hak kepemilikan yang jelas dan terpastikan secara hukum
setempat (Boedy Haryo:1998:69).
Adapun
menurut pengamatan Marko Mahin[8], hubungan
sosial masyarakat hukum adat khususnya Dayak Ngaju dan hutan dengan mengikuti
pola – pola sebagai berikut :
1. Menetapkan zonasi – zonasi, tempat – tempat atau kawasan
– kawasan tertentu untuk boleh dan tidaknya berburu, meramu dan membuka ladang.
Dengan demikian mereka telah mempunyai “tata ruang“ sendiri yang diatur
sedemikian rupa untuk kepentingan dan eksistensi hidup mereka sendiri.
2. Menetapkan hukum pantang – tabu (pali – pali) agar tidak ada pelangaran terhadap “zonasi“ atau “tata tuang“ yang telah
ditetapkan.
3. Menetapkan denda atas mereka yang melangar hukum pantang
– tabu (pali –pali).
4. Menyediakan perangkat adat yang menjadi aparat untuk
mengawal dan menegakkan “ hukum “ yang telah ditetapkan.
Penelitian
ini dilakukan hendak menguji sejumlah pandangan diatas mengenai program-program
pemerintah yang dijalankan secara Top
Down, bukan saja untuk mengetahui bagaimana kondisinya, tetapi juga ingin
mengetahui beberapa factor yang menyebabkan terjadinya suatu model susunan
penguasaan dan perubahan penguasaan tanah di dalam komunitas sebelum dan
sesudah adanya program KFCP.
Hilangnya Akses atas Penguasaan Tanah Di Level Desa
Sudah sering
dikemukakan umum bahwa kebijakan pembangunan orde baru lebih menitik beratkan
pembangunan yang berorientasikan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu,
kebijakan pertanahanpun ditujukan untuk mendukung upaya tersebut. Sejak Orde
Baru, kebijakan pertanahan lebih dititikberatkan kepada upaya mendukung
pertumbuhan ekonomi cepat(Mac Andrew, 1986), yang kepentingan dan kebutuhan
pembangunan sektoral (pertanian dan idustri). Dalah hal ini telah terjadi
pergeseran fokus kebijakan yang semula lebih ditujukan memfasilitasi pemilik
modal dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi. Terutama pada tahun 1980-an,
fokus persoalan pertanahan yang menghambat pelaksanaan kebijakan pembangunan.
Pemerintah Orde Baru memandang bahwa peningkatan Pertumbuhan ekonomi jauh lebih
penting dibandingkan dengan pelaksanaan landrefrom. Landrefrom yang dipandang
sebagai instrumen utama dalam mencapai keadilan sosial tidak mendapatkan
penting pada masa Orde Baru.[9]
Padahal dimasa
Soekarno land refrom sebagai jawaban atas situasi Indonesia merdeka, land
refrom mengantikan aturan lama yang dibawa oleh bangsa kolonial yaitu Agrarische Wet 1870. Soekarno mengantinya dengan Undang-Undang Pokok
Agraria No.5 tahun 1960. Menurut, Singgih Praptodihardjo (salah satu perumus
UUPA 1960) berpendapat bahwa sifat dari system hukum agraria dijaman colonial
adalah untuk melayani modal asing dengan segala cara. Mengutip pendapat Eric
Jacoby yang ditulisnya di Agrarian Unrest
In Southeast asia, Praptodihardjo berpendapat :
“(p)erkembangan
modal asing, sekali lagi: perkembangan modal asing, yang menjadi pokok
tujuanya. Perlindungan kepentingan rakyat tidak lepas dari maksud untuk
kepentingan mereka juga. Didalam prakteknya perlindungan itu tidak membawa
manfaat, bahkan merugikan karena usaha memperkuat pereokonomian rakyat yang
menjadi tugas tiap-tiap pemerintah nasional, tidak dijalankan semestinya oleh
pemerintah colonial”.(1953:54).[10]
Sedangkan
Undang-Undang Pokok Agraria yang dihasilkan pada masa Soekarno, menurut Selo
Soemardjan, Undang-Undang Pokok Agraria mencakup prinsip dasar berikut ini :
(1) Tanah pertanian adalah untuk petani pengarap; (2) Hak utama atas tanah,
misalnya hak pribadi adalah khusus untuk warga Indonesia, tetapi warga Negara
asing dapat memperoleh hak tambahan untuk menyewa atau memakai tanah dalam
jangka waktu dan luas tertentu yang diatur oleh undang-undang;(3) pemilikan
guntai (absentee) tidak dibenarkan, kecuali bagi mereka yang bertugas aktif
dalam dinas negara dan dalam hal pengecualian lain; (4).Petani-petani yang
ekonominya lemah harus dilindungi terhadap mereka yang kedudukanya lebih kuat. (Selo Soemardjan: 2008).
Lalu
bagaimana dengan kondisi hari ini jika melihat catatan dari Perkumpulan untuk
Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma) tahun 2013, mencatat
sepanjang tiga tahun terakhir tercatat 91.968 orang dari 315 komunitas adat
masyarakat di Indonesia menjadi korban dalam konflik sumberdaya alam dan
pertanahan.[11]
Berdasarkan
pengamatan dari laporan tahunan Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2011,
setidaknya apa beberapa factor penyebab hilangnya akses masyarakat terhadap
penguasaan tanah atau sering disebut juga dengan perampasan tanah masyarakat,
yaitu:
- Pengesahan Undang-undang pengadaan tanah untuk pembangunanDimana pengesahan Undang-Undang pengadaan tanah untuk pembangunan ini adalah sarana yang diciptakan untuk mengambil alih tanah-tanah rakyat secara legal, yang akan semakin mempertinggi monopoli penguasaan tanah oleh koorporasi swasta dan BUMN.
- Ekspansi Korporasi dan Perampasan tanah. Sedikitnya ada lima undang-undang yang secara sistematis telah memberikan kewenangan yang luas, bahkan terlampau luas, kepada pemerintah atas sumbersumber agraria, namun kewenangan yang ada tidak dibarengi dengan semangat Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, yaitu: Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, Undang-undang No. 18/2003 tentang Perkebunan, Undang-undang No. 7/2004 Sumber Daya Air, Undang-undangNo. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Undangundang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara.[12]
Jika dibaca ulang
dalam pembahasan ini tentunya dapar ditakar bahwa penyebab dari hilangnya akses
atas penguasaan tanah masyarakat secara umum terkusus di level Desa tidak lepas
dari adanya sebuah sistem perampasan tanah yang telah dibagun oleh pemerintah.
Alasan pemerintah tetep sama dalam mengatur penguasaan tanah yaitu dengan
jargon pemerataan kesejahteraan namun apa yang menjadi jargon tidak sesuai
dengan fakta yang ada dilapanngan.
Perubahan Sosial, Budaya Dan Ekonomi di Level Desa
Menurut Soerjono
Seokanto setiap masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan. Perubahan
bagi masyarakat yang bersangkutan maupun bagi orang luar yang menelaahnya,
dapat berupa perubahan-perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang mencolok.
Ada puka perubahan-perubahan yang lambat sekali, tetapi ada juga yang berjalan
cepat. Perubahan bisa berkaitan dnegan : nilai-nilai sosial, pola-pola prilaku,
organisasi, lembaga kemasyarakatan, lapisan dalam masyarakat dan kekuasaan dan
wewenang dan lain-lain. Perubahan sosial segala perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan didalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya,
termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola prilaku diantara
kelompok-kelompok dalam masyarakat (Soerjono
Soekanto:2012).
Salah satu
pengaruh dari Revolusi Hijau pada sistem sawah, secara tidak langsung, telah
menyebabkan komersialisasi pertanian lahan kering didaerah-daerah pegunungan
(c.f.Henfer,1990). Wujudnyatanya adalah adanya desakan ekonomi pasar diberbagai
tempat yang semakin menguat sehingga sistem pertanian agroperhutanan
tradisional (tradisional agrofirestry) yang ramah lingkungan , seperti
talun-kebun, ditebangi, dibuka, dan diubah penggarapanya menjadi kebun sayuran
komersil. Akibatnya, sistem pertanian agroperhutanan tradisonal yang semula
biasa ditanami aneka jenis tanaman kayu bahan bagunan, kayu bakar dan
buah-buahan, serta jenis tanaman semusim, seperti tanaman pangan, sayur, bumbu
masak, dan obat-obatan tradisional, kini berubah menjadi sistem pertanian
monokultur komersil.[13]
Dari berbagai
referensi dan literatur yang
mengupas tentang kaum tani,
diperoleh keterangan bahwa petani
di negara kita
dapat digolongkan ke dalam
empat pengertian, yakni petani besar, petani kecil, petani
gurem dan petani buruh/buruh tani.
Petani besar umumnya menggambarkan
tentang sosok petani yang umumnya memliki lahan sawah
di atas satu
hektar. Petani kecil menggambarkan jati diri petani yang
memiliki lahan antara 0,5 – satu hektar.
Petani gurem memiliki lahan
antara 0,1 - 0,5 hektar, dan
petani buruh adalah mereka
yang sama sekali
tidak memiliki lahan sawah (Sastraatmadja
2010). Sedangkan menurut Darsono ada lima (5) kelas sosial di Desa yaitu
(1)Tuan Tanah, (2) Tani Kaya, (3) Tani Sedang (4) Tani Miskin, dan (5) Buruh
Tani. Dengan penjelasan sebagai berikut :
1.
Tuan tanah adalah pemilik usaha
atau penguasa dimana mereka tidak terlibat atau dari proses produksi. Hidup
pokonya dari hasil kerjanya petani pengarap tanahnya atau petani penyewa
tanahnya, dan penghasilanya sangat melebihi keperluan hidupnya; mereka adalah
orang kaya di Desa dan dengan kekayaanya itu mereka dapat menguasai
pemerintahan Desa.
2.
Tani kaya adalah pemilik atau
penguasa tanah sebagai sumber hidup dan mereka terlibat (ikut serta) dalam
produski dan mempunyai tenaga buruh (buruh tani). Hidup pokoknya dari hasil
kerja atas buruh tani disamping tenaganya sendiri. Penghasilannya lebih dari
keperluan hidup sekeluarga. Mereka adalah orang kaya di Desa dan dengan kekayaanya
itu mereka dapat menguasai pemerintahan Desa.
3.
Tani sedang terdiri dari 3
lapisan, yaitu tani sedang lapisan atas, tani sedang lapisan tengah dan tani
sedang lapisan bawah. Tani sedang mempunyai ciri umum pokok, yaitu : sebagai
pemilik atau penguasa tanah sebagai sumber hidupnya dan mereka langsung
terlibat dalam proses produksi. Perbedaan diantara mereka tani sedang lapisan
atas, tengah dan bawah, ialah :
a.
Tani sedang lapisan atas adalah
pemilik atau penguasa tanah sebagai sumber hidupnya dan mereka langsung
terlibat dalam proses produski. Hidup pokoknya dari kerja tanahnya sendiri di
samping kadang-kadang dari tenaga (buruh tani), penghasilanya mempunyai kelebihan dari keperluan hidup keluarganya.
b.
Tani sedang lapisan tengah
adalah pemilik atau penguasa tanah sebagai sumber hidupnya dan mereka langsung
terlibat dalam proses produksi. Hidup pokonya dari kerja tanahnya sendiri.
Pengahsilanya cukup untuk keperluan hidup
sekeluarganya.
c.
Tani sedang lapisan bawah
adalah pemilik atau penguasa tanah sebagai sumber hidupnya dan mereka langsung
terlibat dalam proses produski. Hidup pokoknya dari kerja tanahnya sendiri
disamping kadang-kadang kerja di atas tanah orang lain sebagai buruh tani untuk
bisa menutupi kekurangan keperluan hidupnya sekeluarga. Penghasilanya atau
hasil tanahnya cukup kadang-kadang kurang dari keperluan hidup sekeluarganya.
4.
Tani miskin adalah pemilik atau
penguasa tanah kecil sebagai sumber hidupnya dan mereka langsung terlibat dalam
produski. Hidup pokoknya dari kerja tanahnya sendiri disamping kerja diatas
tanah orang lain sebagai buruh tani. Penghasilanya atau hasil tanahnya tidak
cukup untuk keperluan hidup keluarganya.
5.
Buruh tani adalah tani yang
tidak bertanah, tak memiliki atau tidak menguasai tanah sebagai sumber
hidupnya, dan mereka langsung terlibat dalam proses produksi. Hidup pokonya
dari kerja di atas tanah orang lain sebagai buruh tani. Penghasilannya atau
hasil upahnya tidak cukup untuk keperluan hidup sekeluarganya. (Darsono, Karl Marx : Ekonomi Politik dan
Aksi-Revolusi, 2012).
Sedangkan Menurut
Husken Dasar-dasar Difrensiasi Sosial terbagi atas :
Husken
mengambarkan dan mencoba menguraikan difrensiasi sosial dilevel Desa dimana
lokasi penelitiannya di Desa Gondosari, dimana lebih menitik beratkan kepada
ketidaksamaan kesempatan antar penduduk dalam mendapatkan sumber penghidupan
terpenting dalam perekonomian Desa. Selanjutnya Husken melihat tentang hubungan
pemilikan tanah, hubungan kerja, cara dan usaha berbagai golongan penduduk
memenuhi keperluan hidup, dan mekanisme penarikan surplus yang terutama jatuh
ketangan para petani kaya. Dalam urainya Husken menjelaskan tentang dasar-dasar
difrensiasi sosial dilevel Desa, yaitu :
1.
Struktur Pemilikan Tanah
Melihat bahwa pertanian menduduki tempat sentral dalam perekonomian
Desa, maka besar kecilnya akses penduduk terhadap tanah pertanian merupakan
ukuran terpenting dalam menentukan stratifikasi sosialnya. Bentuk yang paling
jelas menurutnya adalah bagi mereka/penduduk Desa yang mempunyai uang cukup
bisa mendapatkan tanah dengan menyewa, meskipun untuk sementara (Adol tahunan).[14]
Sedangkan yang lain, yang tidak memiliki ataupun hanya mempunyai sebidang kecil
tanah juga bisa mendapatkanya dengan mencoba mengerjakan tanah orang lain
sebagai pengarap bagi hasil. Penduduk lain haruslah mencari pekerjaan di
persawahan atau tegalan sebagai buruh tani yang menerima upah.
2.
Sewa tanah, bagi hasil dan
kerja upah
Dalam peneltian Husken bila saya dapat simpulkan bahwa yang mempunyai
tanah banyak dibandingkan dengan yang lain tidak lepas dari kekuasaan politik
dimasa lalu, dimana kebanyakan pemilik tanah dengan katagori petani kaya adalah
berasal dari keturunan kepala-kepala Desa pada abad 19.
a.
Sewa-menyewa tanah
Sewa-menyewa tanah disini dilakukan
oleh kelompok elite setempat terdiri dari pemerintahan Desa dan beberapa petani
kaya. Dimana kebiasaanya anak atau menantu para elite ini yang mempunyai
pendidikan tinggi dibandingkan yang lain dan telah mendapatkan pekerjaan tetap sebagai
karyawan. Bagi mereka usaha menyewa tanah adalah usaha yang sangat
menguntungkan, mereka menyewa tanah dari petani yang terdesak karena kesulitan
keuangan sehingga terpaksa menyewakan tanah dengan harga yang sangat murah.
Sipenyewa tidak mengerjakan sendiri tanah itu, tetapi menyuruh pemilik tanah
mengerjakanya berdasarkan bagi-hasil. Si pemilik mengerjakan sendiri tanahnya dan
dia dapat sepertiga dari hasil.
b.
Bagi hasil
Menyerahkan lahan bukanlah
satu-satunya cara dimana akhirnya petani mengerjakan lahan orang lain. Cara
yang biasa adalah pemilik tanah mengolah tanah mereka melalui bagi-hasil.
Jarang terjadi petani kaya, apalagi tuan tanah, mengerjakan sendiri
tanah-tanahnya yang luas itu. Juga mereka jarang terjadi mereka memakai tenaga
kerja upahan. Bentuk yang sering dipakai dalam bagi-hasil ialah morotelu: hasil
panenya dibagi dalam perbandingan 1:2, sepertiga bagian untuk sipengarap dan
dua pertiga untuk sipemilik tanah. Sipengarap memikul semua biaya pengolahan.
Dua pertiga biaya untuk bibit, pupuk, air irigasi, dan upah panen dipikul oleh
pemilik tanah di samping pajak tanah (Ipe-da) yang jumlahnya relative rendah.
c.
Buruh upahan
Mereka yang tidak mempunyai kontrak
bagi-hasil (separo dari mereka yang sama sekali tidak mempunyai tanah sendiri),
dan para petani gurem maupun pengarap bagi-hasil yang produksi tanahnya tidak
mencukupi untuk memenuhi keperluan hidupnya, terpaksa menjual tenaga
berdasarkan upah kerja harian.
3.
Pekerjaan dan Pendapatan di
Luar Pertanian
4.
Anggaran Rumah Tangga : Susunan
dan Tingkat Hidup
5.
Pemerasaan dan Penyedotan
Surplus
Melihat
pembahasan ini lalu merelevansi dengan program KFCP adalah dengan cara
memeriksa apakah dengan kehadiran program tersebut megubah prilaku sosial
segelintir masyarakat yang akhirnya menjadi elite Desa. Dimana setelah jadi
elite mereka akan berprilaku mengendalikan masyarakat lainya dengan kekuasaanya
baik dibidang ekonomi dan politik. Lebih jauh lagi ingin memeriksa apakah
setelah adanya program tersebut terjadi perubahan struktur penguasaan tanah di
level Desa. Perubahan tersebut bisa berupa hilangnya akses terhadap tanah
terhadap seseorang atau menambah luasan tanah bagi seseorang. Sedangkan dalam
sisi budaya apakah program yang dibawa ini mengubah pola-pola hidup masyarakat
khususnya dalam mengolah tanah dan hutan.
Pertanyaan Penelitian
Penelitian
ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan : Bagaimana dampak program KFCP
terhadap struktur penguasaan tanah dalam komunitas yang ada dilevel Desa ?
Pertanyaan ini lebih lanjut hendak menjawab apakah ada yang tereklusi karena
adanya program tersebut, siapa yang tereklusi, bagaimana prosesnya, mengapa
tereklusi serta bagaimana dampak yang mereka alami?
Bibliography
Sastraatmadja, Entang.
2010. Masyarakat
Geografi Indonesia.Bandung Suara Petani.
Forest People Program-Pusaka-Yayasan Petak Danum. (Oktober
2011). Seri briefing hak-hak, hutan dan
iklim (Kalimantan Tengah : REDD + dan Kemitraan Karbon Hutan Kalimantan (KFCP)
Hakim, Hiskia dkk.Pengelolaan Penabatan Tatas Bebasis Komunitas : Sebuah Pemberlajaran
untuk merehabilitasi system hidrologi hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah,
Kalimantan Forest Carbon Parnetnersip (KFCP).
Baik Siregar,
Budi.(2004).Kedermawanan Alam Kalimantan.
Jakarta Selatan : PIRAMEDIA
Hidayat, Herman.(2011).Politik Lingkungan (Pengelolaan Hutan masa Orde Baru dan Reformasi).Jakarta:Yayasan
Pustaka Obor.
Agustinus,
Agus. (2010). Setelah Kami di Larang
Masuk Hutan. Jakarta : HuMa.
Mahin, Marko.
(22 Oktober 2009). Makalah Untuk Seminar Dan Lokakarya “ Pengelolaan Hutan Adat Dan Rencana
ProsesPenetapan Status Hutan Adat Kalawa Sebagai Bentuk Impelementasi
Pengelolaan Hutan BerbasisMasyarakat”Diselengarakan Oleh
Yayasan Petak Danumpulang pisau.
Lucas, Anton
dll. (1997). Tanah dan Pembangunan
(risalah dari Konfrensi INFID ke-10), Internasional NGO Forum on Indonesia Devlopment.
Jakarta.
Prawironegoro, Darsono.(2012).Karl Marx : Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi. Jakarta : Nusantara
Consulting.
Widjono, Roedy Haryo.(1998).Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok.Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana
Indonesia berkerjasama dengan lembaga Bina Benua Puti Jaji-LPPS-KWI.
Muhajir, Mumu.2010.Bersiap Tanpa Rencana: Tinjauan Tanggapan Kebijakan Pemerintah Terhadap
Perubahan Iklim/REDD di Kalimantan Tengah. Kertas Kerja Efistema
No.06/2010.Jakarta : Efistema Institute.
Husken, Frans.(1998).Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman (Sejarah Difrensiasi Sosial
di Jawa 1830-1980).Jakarta : PT.Gramedia Widiasarana Indonesia.
Soekanto, Soerjono.(Cetakan ke-44, Januari 2012).Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada.
Rachman, Noer
Fauzi.(2012).Land Reform dari Masa Ke
Masa, Yogyakarta: Tanah Air Beta.
Iskandar Johan.(cetakan pertama 2001).Manusia Budaya dan Lingkungan (Kajian
Ekologi Manusia).Bandung: Humaniora Utama Press, , hlm 2.
Laporan
Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2011, Tahun Perampasan Tanah dan
Kekerasan Terhadap Rakyat.
[1] Lih., Seri briefing hak-hak, hutan dan iklim (Kalimantan Tengah :
REDD + dan Kemitraan Karbon Hutan Kalimantan (KFCP), Forest People
Program-Pusaka-Yayasan Petak Danum, Oktober 2011.
[2] Lih., Hiskia Hakim dkk, Pengelolaan Penabatan Tatas Bebasis
Komunitas : Sebuah Pemberlajaran untuk merehabilitasi system hidrologi hutan
rawa gambut di Kalimantan Tengah, Kalimantan Forest Carbon
Parnetnersip (KFCP).
[3] Setidaknya ada dua proyek besar yang sudah dijalankan dimana
tempatnya tidak jauh berbeda dengan Proyek yang sedang dijalankan KFCP.
Proyek-proyek tersebut adalah : 1.Wetland Internasioal dengan isu Rehabilitasi
dan Revitalisasi Kawasan Eks Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah
atau Rencana Induk PLG. 2. Yayasan Bos Mawas dengan Isu merintroduksir orang
hutan sekaligus melindungi habitatnya. Bos Mawas merupakan salah satu
konsursium dari KFCP. Terkait dengan lahan PLG, BOS Mawas bekerja di Blok E PLG
seluas kurang lebih 300.000 Hektar. Lebih lengkapnya bisa lihat Muhajir,
Mumu.2010.Bersiap Tanpa Rencana: Tinjauan Tanggapan Kebijakan Pemerintah
Terhadap Perubahan Iklim/REDD di Kalimantan Tengah. Kertas Kerja Efistema
No.06/2010.Jakarta : Efistema Institute.
[4] Lihat, Baik Siregar. Budi, Kedermawanan Alam Kalimantan, PIRAMEDIA,
2004
[5] Lihat, Hidayat.Herman, Politik Lingkungan (Pengelolaan Hutan masa
Orde Baru dan Reformasi), Yayasan Pustaka Obor, Jakarta, 2011.Hlm 38.
[6]Ibid.
[7] Lihat,.Agustinus Agus, Setelah Kami di Larang Masuk Hutan, HuMa, 2010.Hlm 58.
[8]Marko Mahin,
Makalah Untuk Seminar Dan Lokakarya “ Pengelolaan
Hutan Adat Dan Rencana ProsesPenetapan Status Hutan Adat Kalawa Sebagai Bentuk
Impelementasi Pengelolaan Hutan BerbasisMasyarakat”Diselengarakan Oleh
Yayasan Petak Danum, 22 oktober 2009, pulang pisau. Hlm 4.
[9] Lihat, Lucas.Anton dll, Tanah dan Pembangunan (risalah dari
Konfrensi INFID ke-10), Internasional
NGO Forum on Indonesia Devlopment, Jakarta, 1997.Hlm 97.
[10] Rachman, Noer Fauzi, Land Reform dari Masa Ke Masa, Tanah Air Beta,
Yogyakarta, 2012.Hlm 8.
[12] Laporan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2011, Tahun
Perampasan Tanah dan Kekerasan Terhadap Rakyat.
[13] Iskandar Johan, Manusia Budaya dan Lingkungan (Kajian Ekologi
Manusia).Bandung,Humaniora Utama Press, cetakan pertama 2001, hlm 2.
[14] Adol tahunan : dijual untuk setahun