Perampasan Tanah
Sebab, Bentuk dan Akibatnya bagi Kaum Tani
Disusun oleh Aliansi
Gerakan Reforma Agraria (AGRA)
Email:
agra.pusat@gmail.com
Jakarta, 24
September 2010
Pengantar
Risalah ringkas tentang situasi agraria nasional
dan hubungannya dengan krisis umum imperialisme ini, bermaksud menjelaskan beberapa
masalah penting yang perlu diketahui oleh kaum tani Indonesia dewasa ini dalam
rangka memperjuangkan hak atas tanahnya. Pusat perhatian risalah ini adalah mengenai
perampasan tanah (land grabbing) yang hari ini telah menjadi sorotan
banyak kalangan.
Dalam risalah ini yang dimaksudkan dengan kaum tani adalah mereka yang pada
pokoknya menggantungkan kehidupannya dari pengolahan tanah seperti bercocok tanam
(pertanian), perkebunan, perladangan menetap maupun berpindah, serta memungut
hasil hutan, meramu, dan berburu. Dengan pengertian semacam ini, maka kaum tani
yang dimaksudkan dalam risalah ini dapat mencakup apa yang biasa dikenal
sebagai (1) kaum tani (peasantry), yang dalam kepustakaan biasa disebut
tani tak bertanah (landless peasant) dan tani berlahan sempit atau tani
gurem (small farmers), maupun (2) masyarakat adat atau suku bangsa
minoritas (national minority), dan (3) nelayan.
Berdasarkan data yang tersedia pada saat ini, maka ketiga golongan
masyarakat ini merupakan penduduk Indonesia yang jumlahnya terbanyak
(mayoritas) dari total jumlah penduduk Indonesia yang pada saat ini berjumlah
238 juta jiwa (hasil Sensus Penduduk Indonesia oleh Biro Pusat Statistik
Republik Indonesia, pada bulan Mei 2010). Oleh karenanya, tepatlah jika kita
menjelaskan bahwa negeri Indonesia adalah negeri agraris, sejalan dengan
kenyataan di atas.
Guna memudahkan memahami risalah ini, maka
pertama-tama akan dijelaskan mengenai situasi atau keadaan di mana kita hidup,
yakni di masa imperialisme sedang mengalami krisis, terutama krisis finansial,
krisis pangan dan krisis energi. Oleh karenanya penjelasan mengenai situasi
yang terjadi hari ini, yaitu krisis umum imperialisme akan mengawali risalah
ini. Setelah itu, akan dijelaskan mengenai dasar-dasar serta latar belakang
mengapa perampasan tanah terjadi dan apa saja bentuk-bentuk perampasan tanah
yang terjadi terutama dalam masa pemerintahan rezim Susilo Bambang Yudhono
(SBY) selama periode 2004 sampai dengan 2010. Risalah ini selanjutnya akan
menjelaskan bagaimana mekanisme atau metode perampasan tanah yang terjadi dalam
masa enam tahun terakhir ini (2004-2010), yang mengatur atau melegalkan
perampasan tanah. Akibat dari perampasan tanah yang terjadi terhadap kehidupan
rakyat pada umumnya dan kaum tani pada khususnya, akan menjadi bahasan
selanjutnya. Risalah ini akan diakhiri dengan sejumlah kesimpulan dan sikap
yang diambil oleh penyusun risalah atas perampasan tanah, kekerasan terhadap
kaum tani dan monopoli tanah.
1. Situasi Krisis Umum
Imperialisme
Krisis umum imperialisme saat ini sudah menjadi
kenyataan kehidupan seluruh rakyat di berbagai penjuru dunia yang hidup di
negeri-negeri jajahan, setengah jajahan dan bergantung lainnya, karena watak
ketergantungan dari sistem ekonomi kapitalisme dan watak boneka dari
pemerintahan di negeri-negeri tersebut. Golongan rakyat yang paling menderita
di dalam krisis umum imperialisme dewasa ini adalah sudah tentu golongan rakyat
yang selama ini tertindas dan terhisap, seperti kelas buruh, kaum tani,
golongan perempuan dan pemuda mahasiswa, serta golongan rakyat miskin lainnya.
Krisis umum imperialisme hari ini semakin
menghebat dan diyakini akan menjadi kuburan dari sistem kapitalisme monopoli, yang
selama ini telah menindas dan menghisap rakyat. Dalam upaya mencegah
kebangkrutan sistem kapitalisme monopoli itu, kaum kapitalis monopoli tidak
akan berdiam diri dan telah dan akan terus meminta dukungan luar biasa dari
alat kelasnya, yakni pemerintahan dari negeri-negeri imperialis dan
negeri-negeri boneka imperialis. Dukungan dari alat kelasnya ini telah
diperoleh dengan cepat antara lain melalui skema dana talangan dan dana
stimulus yang terutama diberikan kepada perusahaan-perusahaan keuangan besar
dan perbankan.
Dalam krisis umum imperialisme dewasa ini,
setidak-tidaknya ada tiga perwujudan krisis yang paling nyata, yakni krisis
ekonomi dan keuangan dunia (krisis finansial), krisis pangan, dan krisis energi.
Di bawah ini akan diuraikan satu per satu wujud krisis umum imperialisme, yang
mendasari perampasan tanah pada hari ini.
1.1 Krisis ekonomi dan keuangan (krisis
finansial)
Di akhir tahun 2007,
diskusi tentang isu instabilitas finansial menghangat seiring dengan
meningkatnya resiko resesi ekonomi pada perekonomian Amerika Serikat (AS).
Penyebabnya adalah terjadinya krisis di pasar finansial yang bersumber dari
masalah kredit perumahan berkualitas rendah (subprime mortgage).
Pengaruh yang ditimbulkan dari gejolak di pasar finansial AS sangatlah besar
bagi dinamika perekonomian global.[1]
Sampai-sampai, lembaga-lembaga multilateral seperti IMF (Dana Moneter
Internasional) harus berkali-kali merevisi target pertumbuhan ekonomi global
terkait dengan masalah tersebut.
Resesi merupakan penurunan
pada ukuran kegiatan ekonomi seperti tenaga kerja, investasi, dan keuntungan
perusahaan. Resesi juga dapat dikaitkan dengan penurunan harga (deflasi) atau
sebaliknya, kenaikan harga (inflasi). Resesi yang berkepanjangan akan
menyebabkan depresi. Tim ekonomi dari firma keuangan Goldman Sachs mengatakan,
pertanda resesi AS sudah di depan mata karena penurunan pasar perumahan dan
masalah kredit perumahan sudah melebar ke aspek ekonomi lainnya. Salah satu
indikasinya adalah belanja konsumen yang terpukul. Mereka juga mengemukakan
data kenaikan angka pengangguran, penurunan pada penjualan rumah dan aktivitas
manufaktur.[2]
Berdasarkan data yang
keluar dari pemerintah AS, pada Desember 2007 tingkat pengangguran naik menjadi
5% dan pengangguran berjumlah 7,7 juta jiwa. Angka pengangguran tahun 2006
hanya 4,4% dengan 6,8 juta penganggur.
Apa sebenarnya akar
dari krisis yang menimpa aset-aset finansial di pasar finansial AS tersebut?
Kenyataan pahit yang dialami oleh perekonomian AS ini tidak bisa dipisahkan
dari kebijakan uang longgar yang diterapkan oleh Gubernur Bank Sentral AS (Alan
Greenspan) pada periode 2001-2003. Akibatnya, banyak orang berlomba-lomba
meminjam uang di bank untuk membeli rumah yang dianggap bisa menjadi instrumen
investasi. Karena itu pulalah, berbagai produk sekuritisasi kredit perumahan
bermunculan. Salah satunya adalah kredit perumahan berkualitas rendah (subprime
mortgage).
Dengan kata lain,
kebijakan uang longgar yang diterapkan oleh Bank Sentral AS (The Fed), telah
memompakan likuiditas secara berlebihan dalam perekonomian domestik. Gejala
alamiah yang muncul berikutnya adalah menggelembungnya pasar finansial.
Sehingga, ketika terjadi koreksi, kerusakan yang ditimbulkannya sangatlah
parah.
Gejalanya yang terjadi
pada akhir tahun 2007 mirip dengan kejadian 1930. Dua kejadian datang
bersamaan. Pertama, kepanikan di pasar finansial. Kedua, lonjakan harga minyak.
Pada tahun 2008, dampak krisis kredit perumahan di AS telah merembet ke
berbagai sektor sehingga meningkatkan kepanikan dari para pelaku ekonomi,
terutama di pasar finansial. Kepanikan ini sekaligus juga menyumbang pada
peningkatan ketidakpastian global. Selain itu, harga minyak terus menerus
mencetak rekor tertinggi, yaitu menyentuh harga US$ 110 per barrel.
Bagi perekonomian AS,
krisis kredit perumahan berkualitas rendah harus dibayar sangat mahal. Pertama,
untuk merelaksasi pasar finansial yang mengalami kontraksi, Bank Sentral AS
harus secara beruntun menurunkan tingkat suku bunganya. Penurunan suku bunga
itu sendiri telah mendorong pelemahan nilai tukar dollar AS terhadap beberapa
mata uang kuat dunia, seperti poundsterling, euro, dollar Kanada, yen, dan
lain-lain. Terhadap euro, dollar AS mencapai titik terendahnya.
Kedua, Bank Sentral AS
terpaksa harus mengucurkan dana segar untuk menyelamatkan aset-aset yang sedang
mengalami masalah. Salah satu contoh yang fenomenal adalah usaha menyelamatkan
Bear Stearns & Co. Inc. yang terancam bangkrut akibat kerugian keuangan
menyusul krisis kredit perumahan berkualitas rendah. Menyusul pengumuman
kerugian salah satu perusahaan investasi tersebut, para investor mengalami
kepanikan. Akibatnya, dalam sepekan, harga sahamnya anjlok dari US$ 60 menjadi
US$ 2. Setelah Bear Stearns kolaps, JP Morgan Chase membeli perusahaan tersebut
dengan dukungan langsung berupa suntikan dana segar dari Bank Sentral AS,
senilai US$ 30 miliar pada tanggal 17 Maret 2008.[3]
Bank Sentral AS, selain
terus menurunkan suku bunga guna menggerakkan ekonomi, dia juga bertugas
meredam gejolak pasar. Salah satunya memberikan suntikan likuiditas langsung
untuk membeli aset-aset yang bangkrut akibat krisis kredit perumahan
berkualitas rendah. Jadi, semacam mendanai lembaga penjaminan melalui kebijakan
dana talangan (bail out guarantee) yang disalurkan oleh perusahaan
swasta. Dulu, Indonesia dalam krisis finansial 1998 menerapkan kebijakan
tersebut dalam bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang hingga kini
tak pernah terselesaikan itu.
Mengapa perusahaan
seperti Bear Stearns perlu diselamatkan? Dalam hal ini, seperti dalam kasus
perbankan 1998 di Indonesia, jika perusahaan investasi tidak diselamatkan
gejolak akan merembet pada skala ekonomi yang lebih luas. Dampaknya akan
terlalu besar jika harus bangkrut. Harapannya, jika perusahaan-perusahaan yang
terancam kebangkrutan bisa diselamatkan, kepercayaan investor akan pulih
kembali. Dalam hal ini, ekonomi digerakkan oleh “harapan” dan bukan oleh
“realita.”
Upaya penyelamatan ini
merupakan kerjasama antara Bank Sentral AS dan Departemen Keuangan AS. Menteri
Keuangan Henry Paulson mengambil prakarsa mendirikan semacam lembaga penjaminan
swasta yang disebut Superfund. Lembaga ini didukung Citigroup Inc, JP
Morgan Chase Co., dan Bank of America Corp. Selain Bear Stearns, krisis kredit
perumahan juga telah menyeret Merrill Lynch dalam kerugian amat besar, yaitu
mencapai sekitar US$ 8 miliar. Bencana ruginya perusahaan-perusahaan investasi
kelas dunia menjalar ke Eropa dan Jepang. UBS dan Barclays (Eropa), serta
Mizuho (Jepang), mengalami kerugian serius, akibat krisis kredit perumahan
berkualitas rendah. Krisis finansial ini juga telah membangkrutkan Lehman
Brothers.
Meningkatnya kasus
gagal bayar pada kredit perumahan beresiko tinggi (subprime mortgage)
dan meningkatnya gagal bayar pada kartu kredit yang mencapai US$ 7 miliar, atau
hampir setara dengan anggaran belanja RI yang sebesar Rp 854,7 triliun, membawa
kekacauan di pasar keuangan dunia.[4]
Perusahaan-perusahaan
keuangan besar seperti Merrill Lynch, Citigroup, dan perbankan seperti Bear
Stearns, HSBC, UBS (bank terbesar Swiss) ramai-ramai mengumumkan kerugian yang
mencengangkan akibat turunnya harga surat berharga berbasis kredit perumahan
AS. Kerugian itu belum pernah terjadi sepanjang sejarah keuangan AS. Citigroup
menyatakan telah merugi sebesar US$ 8-11 miliar. Dengan cepat, 4,9% saham
Citigroup beralih tangan ke Abu Dhabi Investment Authority. Abu Dhabi
Investment Authority pun menjadi pemegang saham terbesar Citigroup. Harga saham
Citigroup sudah merosot 45% dari awal tahun 2007.[5]
Kerugian lembaga keuangan
perbankan dan institusi keuangan nonbank menembus US$ 1,4 triliun (sekitar Rp
13 ribu triliun). Bukan tidak mungkin jumlahnya bakal naik lagi karena total kapitalisasi
surat utang di pasar perumahan itu, menurut Mortgage Bankers Association di
Washington, mencapai US$ 6 triliun (Rp 58.800 triliun).[6]
Berbeda dengan krisis
yang menimpa Asia pada tahun 1997, ketika Dana Moneter Internasional (IMF)
menjadi salah satu penyelamat, pada krisis kali ini tak satupun lembaga
internasional mampu menanganinya. Kerugian yang diderita puluhan lembaga
keuangan kali ini memang luar biasa, mencapai hampir US$ 1,4 triliun – US$ 800
miliar di antaranya dialami lembaga keuangan non-bank. Pada tahun 1997,
kerugian perbankan tak sampai US$ 400 miliar.
Perbankan dunia juga
menghadapi persoalan likuiditas. Saat ini perbankan kesulitan mendapatkan
pinjaman jangka panjang dan jangka pendek. Itu sebabnya sejumlah negeri kini
berkonsentrasi menyelamatkan perbankan mereka. Inggris misalnya, selain
merekapitalisasi banknya, akan menyediakan pinjaman jangka pendek kepada
perbankan sampai tiga bulan.
Krisis paling tajam
terjadi di AS yang memaksa negeri tersebut mengeluarkan dana tidak kurang dari
US$ 993 miliar untuk menalangi kerugian dan menyelamatkan industri keuangannya
dari kebangkrutan. Langkah yang dilakukan AS juga diikuti oleh negeri-negeri
lain. Untuk melihat secara keseluruhan, rencana stimulus pada skala global
lihat Tabel 1. Inilah yang sudah dikerjakan oleh pemerintahan negeri-negeri
imperialis dalam upaya mencegah kebangkrutan sistem kapitalisme monopoli ini. Yakni
menggunakan uang rakyat sebesar US$ 3.910,5 miliar (atau US$ 3,9 triliun),
untuk membantu perusahaan-perusahaan keuangan besar dan perbankan yang
mengalami kebangkrutan dalam krisis finansial global kali ini.
Tabel 1 Rencana Suntikan Dana Segar secara Global, Maret 2009
No
|
Negeri
|
Jumlah Rencana
Stimulus (US$ miliar)
|
1
|
Amerika Serikat
|
993
|
2
|
China (termasuk untuk proyek-proyek daerah)
|
2.046,6
|
3
|
Uni Eropa
|
256,9
|
4
|
Kanada
|
32,2
|
5
|
Rusia
|
20
|
6
|
Korea Selatan
|
10,1
|
7
|
Jepang
|
484,6
|
8
|
Thailand
|
8,6
|
9
|
Taiwan
|
5,4
|
10
|
India
|
10
|
11
|
Singapura
|
3,5
|
12
|
Australia
|
36,1
|
13
|
Selandia Baru
|
3,5
|
|
Total
|
3.910,5
|
Sumber: Majalah berita ekonomi dan bisnis Trust, edisi 16-22 Maret
2009, hal. 14.
Hingga akhir tahun 2008
saja, nilai kerugian dari krisis ini menurut perkiraan Bank Pembangunan Asia
(ADB) sudah mencapai US$ 50 triliun.[7]
Angka ini setara dengan 200 kali PDB Indonesia. Bank Dunia menyebutkan, krisis
akan melempar dunia ke situasi seperti sehabis Perang Dunia ke-2.
Akibat krisis finansial
ini, Dana Moneter Internasional (IMF) melalui pernyataan Direktur Pelaksananya
pada bulan Maret 2009 memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2009
kemungkinan berada di bawah 0% alias negatif. Dasar dari penyataan Direktur
Pelaksana IMF itu, tak lain karena merosotnya tingkat perdagangan dunia serta
ambruknya kepercayaan pelaku bisnis dan konsumen di seantero jagat. Faktanya,
perusahaan-perusahaan kelas dunia yang selama ini memiliki rating AAA, seperti
Berkshire Hathaway, General Electic, dan Toyota pun tak kuasa mengelak dari
terjangan krisis.[8]
Melihat situasi semacam ini, menarik untuk
menyimak apa pikiran kaum imperialis untuk mengatasi krisis finansial ini.
Deutsche Bank, bank asal Jerman merekomendasikan agar investor global
berinvestasi di bidang pertanian, emas dan hedge fund. “Kami memiliki
pandangan positif terhadap komoditas pertanian karena populasi dan pendapatan
penduduk global akan meningkat, lahan pertanian mulai terbatas sehingga memicu
permintaan protein,” menurut pandangan Chief Investment Officer Deutcsche Bank
Asia.[9]
Inilah salah satu pandangan yang paling eksplisit disampaikan oleh kaum
imperialis, mengenai pentingnya sektor pertanian menjadi sasaran investor
global menyusul krisis finansial yang terjadi. Artinya, inilah kaitan langsung
antara krisis finansial global dan perampasan tanah.
1.2 Krisis pangan
Saat ini, baik pada skala global maupun nasional, komoditas
pertanian pangan sedang dialihkan pemanfaatannya dari yang semula merupakan
bahan makanan pokok manusia (pangan), menjadi bahan baku untuk energi alternatif
(bahan bakar nabati). Hal itu dikarenakan bahan bakar minyak bumi sudah mulai
menyusut akibat eksploitasi dan konsumsi yang luar biasa sejak masa Revolusi
Industri. Sehingga terciptalah sebuah situasi di mana komoditas pertanian
menjadi barang rebutan sengit antara manusia versus mesin.
Oleh karenanya, peningkatan permintaan terhadap
bahan bakar nabati yang diproduksi dalam tanah pertanian skala luas dan
komersial (agrofuel), telah menjadi
salah satu pemicu utama dari naiknya harga komoditas pangan dunia, selain
dipengaruhi oleh spekulasi harga saham komoditas pangan dan perkebunan maupun
monopoli agroindustri.[10]
Persoalannya menjadi makin rumit, karena yang
dimaksud petani dalam paragraf yang sedang kita diskusikan ini bukanlah petani
secara perseorangan, tetapi melibatkan industri pertanian yang sangat besar.
Mereka adalah perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang komoditas
pertanian dan melakukan monopoli agroindustri, seperti Monsanto, Cargill, DuPont,
Dow Agrisciences, Syngenta. Perusahaan-perusahaan ini telah mengubah secara
drastis lahan-lahan yang tadinya ditanam padi dan komoditas pangan lainnya,
menjadi lahan yang lebih memiliki nilai jual yang lebih tinggi, seperti jagung,
kedelai, dan lain sebagainya, untuk diolah menjadi bahan baku energi
alternatif.
Naiknya harga komoditas pangan dunia, yang
mencerminkan adanya krisis pangan dunia, menyebabkan ratusan juta penduduk
dunia mengalami kesulitan untuk memperoleh pangan (beras, gula, jagung,
kedelai, minyak goreng, singkong, gandum). Namun sebenarnya, pada tingkat global apa yang
disebut sebagai krisis pangan dunia dalam pengertian tidak mencukupinya
produksi pangan untuk konsumsi pangan dunia adalah mitos. Mitos ini sengaja
dihembuskan oleh kaum imperialis agar skema untuk keluar dari krisis pangan
dalam sudut pandang mereka adalah dengan menggenjot produksi lebih masif
melalui industri pertanian, bukannya memperbaiki distribusi dan daya beli
rakyat terhadap pangan.
Memang musim kering dan banjir telah mempengaruhi
produksi dan hasil panen dan meningkatnya harga bahan bakar minyak telah
mendorong peralihan ke produksi bahan bakar nabati yang pada gilirannya semakin
menyebabkan produksi pangan tertekan. Meskipun demikian, produksi dan konsumsi
pangan dunia yang sesungguhnya pada tahun 2007 memperlihatkan bahwa produksi
hampir semua bahan pangan utama dunia adalah di atas konsumsi, kecuali untuk
produksi gandum dan jagung. Lihat Tabel 2 dan Tabel 3.
Menilai situasi semacam ini, dapat dijelaskan
bahwa kepanikan atas krisis pangan dunia, lebih disebabkan oleh faktor
spekulasi dalam rangka mengambil keuntungan dari perdagangan komoditas pangan. Hal ini menyebabkan harga-harga
komoditas pangan lebih mudah bergejolak dan membuat masalah kenaikan
harga-harga pangan sama sekali tidak terkait dari realitas produksi. Terbukti
dalam kepanikan terhadap adanya krisis pangan, membuat perusahaan-perusahaan
kaum imperialis dengan cepat meraup keuntungan yang luar biasa.
Perusahaan-perusahaan transnasional agribisnis raksasa seperti Cargill dan
perusahaan dagang untuk produk biji-bijian seperti Archer Daniels Midland (ADM)
terus mengeruk keuntungan dari perdagangan komoditas pangan pada kwartal
pertama tahun 2008, masing-masing sebesar 86% dan 67%. Charoen Pokhand Foods
dari Thailand, yang merupakan pemain kunci dalam industri pangan di Asia,
memperkirakan kenaikan pendapatan sebesar 237% pada tahun 2008.
Tabel 2 Produksi, Konsumsi dan Stok
Gandum Dunia
Produksi,
Konsumsi dan Stok Gandum Dunia (dalam Ribuan Metrik Ton)
|
||||||
|
2003/04
|
2004/05
|
2005/06
|
2006/07
|
2007/08
|
2008/09Mei
|
Total Produksi (Dunia)
|
553,823
|
625,728
|
620,840
|
591,997
|
606,400
|
656,013
|
Total Konsumsi (Dunia)
|
588,613
|
606,942
|
624,180
|
615,447
|
620,430
|
642,043
|
Stok Akhir (Dunia)
|
132,057
|
150,843
|
147,503
|
124,053
|
110,023
|
123,993
|
Sumber: FAO (Food and Agriculture Organization).
Tabel 3 Produksi, Konsumsi dan Stok
Beras Dunia
Produksi,
Konsumsi dan Stok Beras Dunia (dalam Ribuan Metrik Ton)
|
||||||
|
2003/04
|
2004/05
|
2005/06
|
2006/07
|
2007/08
|
2008/09Mei
|
Total Produksi (Dunia)
|
391,513
|
400,868
|
418,153
|
420,596
|
427,069
|
432,045
|
Total Konsumsi (Dunia)
|
413,656
|
408,861
|
415,623
|
420,450
|
424,396
|
427,974
|
Stok Akhir (Dunia)
|
81,152
|
73,159
|
75,689
|
75,835
|
78,508
|
82,579
|
Sumber: FAO (Food and Agriculture Organization).
Faktor yang sifatnya lebih struktural, menyangkut
aspek produksi dan konsumsi pangan, tidak begitu menonjol dalam menyumbang
kepanikan terhadap krisis pangan. Malah secara keseluruhan, yang terjadi adalah
krisis overproduksi dalam produksi pertanian, di mana produk-produk pertanian
dari negeri-negeri imperialis terutama Eropa Barat dan Amerika Serikat
membanjiri pasar dari negeri-negeri jajahan, setengah jajahan, dan bergantung
lainnya melalui skema impor pangan. Dengan kata lain, dunia memproduksi cukup
pangan untuk semua orang.
Oleh karenanya, kepanikan terhadap adanya krisis
pangan dunia, memang dengan sengaja dihembuskan oleh kaum imperialis sebagai
pintu masuk untuk menata kembali produksi pangan melalui pertanian pangan skala
raksasa. Juru bicara dari korporat pertanian pangan raksasa ini, tidak
main-main, yakni bos tertinggi dari lembaga dunia yang mengurus pangan, yaitu
Direktur Jenderal FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB) Jacques Diouf. Dia
menyatakan bahwa untuk meningkatkan percepatan produksi pangan, tidak ada
pilihan lain bagi dunia selain memanfaatkan teknologi. Dia menegaskan,
teknologi merupakan kunci peningkatan produktivitas tanaman pangan. Karena itu,
menurutnya, swasta perlu lebih banyak berperan.[11]
Dengan sigap Indonesia melalui Wakil Presiden Budiono menanggapinya. Dalam
pidatonya yang disampaikan dalam Konferensi FAO di Roma pada November tahun
2009, Wakil Presiden Budiono menyatakan bahwa Indonesia siap memberikan
dukungannya bagi pemenuhan pangan dunia, termasuk cita-cita besar menjadikan
Indonesia sebagai lumbung pangan dunia yang siap kapan saja memasok pangan
seperti beras.
Situasi yang sama menyambut kampanye produksi
pangan global dengan mengandalkan skema pertanian pangan skala raksasa (food
estate) ini juga terjadi di mana-mana. Pada bulan November 2008, Daewoo
Logistics perusahaan milik Korea Selatan, menyatakan akan menanam modal sebesar
US$ 6 miliar untuk mengembangkan lahan seluas 1,3 juta hektar di Madagaskar.
Rencananya, Daewoo Logistics akan memproduksi 4 juta ton jagung dan 500.000 ton
kelapa sawit per tahun. Sebagian besar hasil produksi akan dibawa keluar
Madagaskar. Di Kamboja, negeri kaya minyak, Kuwait, menyediakan dana pinjaman
sebesar US$ 546 juta sebagai imbalan atas produksi pertanian. Kuwait memerlukan
lahan untuk ditanami padi dan bukannya mengimpor beras. Di Filipina, pemerintah
telah membuka pembicaraan dengan Qatar soal kontrak sedikitnya 100.000 hektar
lahan pertanian. Di Laos, para pakar memperkirakan 2 juta hektar hingga 3 juta
hektar lahan pertanian telah “dihadiahkan” kepada pihak asing secara tidak
terkendali.[12]
1.3 Krisis energi
Akibat konsumsi energi yang luar biasa borosnya
dari AS untuk tetap menjaga tingkat perkembangan industrinya, maka dunia saat
ini mengalami krisis energi, terutama krisis energi minyak bumi yang luar biasa,
dalam bentuk naiknya harga minyak dunia dalam tahun 2008-2009. Munculnya krisis
energi, selain dipicu oleh tingkat konsumsi yang boros dari AS yang merupakan konsumen
energi nomor satu dunia, juga disertai dengan spekulasi. Saat ini, AS
mengkonsumsi sekitar 25% dari total persediaan minyak bumi dunia. Jika tingkat
konsumsi minyak bumi AS ini tetap seperti ini, maka pada tahun 2025, AS akan
mengkonsumsi 50% dari total persediaan minyak bumi dunia.[13]
Namun terjadinya krisis energi saat ini juga
ditambah dengan satu kenyataan, bahwa cadangan minyak dunia sebagai bahan bakar
fosil yang tidak bisa diperbarui dan tenaga penggerak roda industri sistem
kapitalisme, akan terus menyusut dalam waktu kira-kira 20 tahun yang datang. Diperkirakan
cadangan minyak bumi yang terkandung di wilayah Timur Tengah dan Kawasan Teluk,
yang merupakan wilayah penghasil minyak bumi terbesar dunia saat ini, akan mulai
habis dalam waktu 20 tahun mendatang.[14]
Itu artinya, bisa dipastikan bahwa kaum imperialis akan mencari pengganti
energi berbahan fosil dengan bahan bakar alternatif, guna mengantisipasi krisis
energi yang dahsyat ini.
Bukti dari adanya krisis energi ini bukan hanya
dapat dilihat dari makin menipisnya sumber-sumber minyak bumi dan energi
berbahan bakar fosil yang ada, tapi juga dari konsekuensi-konsekuensi kerusakan
lingkungan yang menyertai penggunaan bahan bakar fosil, seperti tercermin dari
pemanasan global dan perubahan iklim. Sepuluh negeri terkaya di dunia ini mengkonsumsi
hampir seluruh energi berbahan fosil dunia yang komposisinya terdiri dari
minyak bumi (sekitar 35-38%), batu bara (23%) dan gas alam (21%), yang bahan
bakunya kebanyakan dihasilkan dari tanah dan teritori negeri-negeri lain.[15]
Energi berbahan bakar fosil inilah yang mendorong
pertumbuhan kapitalisme sejak masa Revolusi Industri ke tingkat yang tidak
pernah dikenal sebelumnya. Dan menurut data yang tersedia, produksi energi
berbahan bakar fosil ini akan mencapai puncaknya (oil peak) pada masa
sekitar sebelum tahun 2020, dan setelah mencapai titik maksimum produksi
historisnya ini, produksi bahan bakar fosil (terutama minyak bumi) akan
menurun, sementara tingkat konsumsinya terus menaik. Pada saat itulah momentum puncak krisis energi
berbahan bakar fosil akan terjadi. Dan pada saat itulah salah satu energi
penggerak dan pelumas roda industri kapitalisme global akan betul-betul
menyusut. Data dari tahun 2005 memperlihatkan bahwa konsumsi global per tahun
minyak bumi adalah 30 miliar barrel dibandingkan dengan temuan baru minyak bumi
yang jumlahnya hanya 8 miliar barrel per tahun.[16]
Oleh karenanya, sebelum sumber minyak tersebut
benar-benar habis, perang pendudukan dan perampasan sumber-sumber energi minyak
bumi akan terus dilakukan oleh pimpinan imperialis dunia AS, untuk memastikan
penguasaan mereka atas sumber-sumber energi minyak bumi dunia yang masih
tersisa. Untuk menutupi motif ekonomi di dalam perampasan sumber-sumber minyak
bumi yang masih tersisa ini, maka AS membungkusnya dengan kampanye global “perang
melawan terorisme.”
Politik dan kampanye “perang melawan terorisme”
dan perang agresi imperialisme AS memang dipusatkan pada Kawasan Teluk dan
negeri-negeri Timur Tengah, yang seperti diperlihatkan pada Tabel 4, merupakan
kawasan penghasil minyak bumi terbesar dunia. Inilah peta pembagian wilayah
kaum imperialis dunia dewasa ini, terkait dengan persoalan krisis energi dan
perebutan sumber-sumber kekayaan minyak bumi. Di kawasan inilah teknologi
tinggi dan persenjataan militer kaum imperialis pimpinan AS, mendapatkan
pasarnya, guna memecahkan problem overproduksi di bidang persenjataan.
Sementara itu, pada sisi yang lain, untuk
mengatasi krisis energi atau krisis bahan bakar minyak bumi tersebut, dewasa
ini telah dikembangkan energi berbahan bakar nabati. Penggunaan energi berbahan
bakar nabati ini telah menjadi kebijakan energi dari sejumlah negeri imperialis
utama seperti AS, kawasan Uni Eropa, Jepang, dan Brazil. Di AS sendiri,
kebijakan untuk mengunakan energi berbahan bakar nabati (agrofuel) telah
mulai diperkenalkan sejak tahun 1973, saat terjadinya krisis minyak, saat
negeri-negeri Arab menghentikan pasokan minyaknya ke AS.
Kebijakan untuk menggunakan energi berbahan bakar
nabati dewasa ini diikuti secara serentak oleh berbagai negeri jajahan, setengah
jajahan dan negeri bergantung lainnya, karena kebijakan penggunaan energi
nabati tersebut menjadi prasyarat-prasyarat baru bagi bantuan pembangunan
(utang, hibah, dan proyek) dari lembaga-lembaga kreditor multilateral seperti
Bank Dunia dan ADB (Asian Development Bank/Bank Pembangunan Asia). Catatan
menunjukkan bahwa Amerika Serikat adalah konsumen energi nabati terbesar,
terutama bioetanol, dengan pasokan bioetanol dari Brazil yang diolah dari
komoditas pangan tebu. Sementara Uni Eropa adalah konsumen terbesar biodiesel (bio
solar) terbesar dengan pasokan bahan baku komoditas pertanian kelapa sawit dari
Indonesia dan Malaysia.
Dalam tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dimiliki kaum imperialis sekarang, setidak-tidaknya ada tujuh
komoditas pertanian pangan yang dapat diubah menjadi bahan baku energi nabati.
Tujuh komoditas tersebut adalah tebu, kedelai, jagung, gandum, tanaman jarak,
kelapa sawit, dan singkong. Inilah yang dimaksudkan dengan bahan baku energi
nabati atau bioenergi generasi pertama. Kaum imperialis juga sedang
mengembangkan energi nabati generasi kedua (antara lain tanaman eucalyptus),
untuk mengantisipasi kritik-kritik yang muncul terhadap ekspansi produksi untuk
bahan bakar energi nabati generasi pertama melalui pertanian skala luas atau
perkebunan (agrofuel), yang meluas
dalam 10 tahun terakhir (2000-2010).
Tabel 4
Cadangan Minyak Bumi yang Telah
Diketahui dari Negeri-negeri Penghasil
Minyak Bumi Utama, akhir tahun 2002
Produsen utama minyak bumi
(dalam urutan ranking)
|
Cadangan yang telah diketahui
(miliar barrel)
|
Persentase dari total dunia
|
1. Arab Saudi
|
261.8
|
25.0
|
2. Irak
|
112.5
|
10.7
|
3. Uni Emirat Arab (UEA)
|
97.8
|
9.3
|
4. Kuwait
|
96.5
|
9.2
|
5. Iran
|
89.7
|
8.5
|
6. Venezuela
|
77.8
|
7.4
|
7. Federasi Rusia dan negeri-negeri Laut Kaspia
|
77.1
|
7.4
|
8. Amerika Serikat
|
30.4
|
2.9
|
9. Libya
|
29.5
|
2.8
|
10. Nigeria
|
24.0
|
2.3
|
11. China
|
18.3
|
1.7
|
12. Laut Utara (Norwegia, Inggris, Denmark)
|
16.3
|
1.6
|
13. Qatar
|
15.2
|
1.5
|
14. Mexico
|
12.6
|
1.2
|
Negeri-negeri lain
|
90.2
|
8.6
|
Total Dunia
|
1047.7
|
100.0
|
Sumber: Michael Klare, Blood and
Oil: How America’s Thirst for Petrol is Killing Us, 2004, hal. 19.
Penggunaan bahan bakar nabati, telah dikampanyekan
oleh negeri-negeri imperialis yang menandatangani Protokol Kyoto (berlaku
sampai dengan tahun 2012), sebagai sumbangan negeri-negeri imperialis terhadap
pengurangan emisi gas rumah kaca (terutama emisi karbon). Karena menurut
Protokol Kyoto, hanya negeri-negeri imperialis yang mayoritas terletak di
belahan bumi bagian Utara, yang diberikan target spesifik untuk mengurangi
emisi gas rumah kaca. Jadi, klaim dari negeri-negeri belahan bumi Utara ini
adalah mereka telah mengurangi emisi gas rumah kaca, yang diwajibkan oleh
Protokol Kyoto dengan target spesifik pada masing-masing negeri ini, melalui
penggantian penggunaan bahan bakar minyak bumi dengan penggunaan bahan bakar
nabati (agrofuel).[17]
Bahan baku untuk produksi energi nabati, umumnya diproduksi
di tanah-tanah di belahan bumi bagian Selatan, kecuali untuk kedelai (produsen
terbesarnya Amerika Serikat dan Brazil) dan gandum (tanaman sub-tropis dan
belahan bumi Utara). Di dalam Protokol Kyoto, negeri-negeri di belahan bumi
bagian Selatan, yang umumnya merupakan negeri-negeri jajahan, setengah jajahan,
dan bergantung, tidak dibebani kewajiban target spesifik untuk menurunkan emisi
karbonnya. Oleh karenanya, meskipun terjadi emisi karbon yang luar biasa
sebagai akibat perluasan perkebunan biodiesel (terutama kelapa sawit) dan
perkebunan bioetanol (terutama tebu), melalui pembukaan hutan primer, hutan
produksi dan hutan konversi yang kemudian mengakibatkan penggundulan dan
perusakan hutan (deforestasi) dan pembakaran hutan, di wilayah bumi bagian
Selatan, hal ini menurut Protokol Kyoto, tidak merupakan persoalan pokok,
karena negeri-negeri ini sesungguhnya tidak dibebani kewajiban menurunkan emisi
karbonnya.
Dengan demikian, negeri-negeri imperialis tetap
dapat menjaga pertumbuhan industrinya melalui tingkat konsumsi energi yang sama,
dengan beralih menggunakan bahan bakar nabati yang bahan bakunya diproduksi di
tanah-tanah perkebunan dan pertanian di negeri-negeri jajahan, setengah jajahan,
dan bergantung lainnya. Untuk konteks Indonesia, misalnya di Kalimantan dan
Papua, tanah yang digunakan adalah tanah gambut, selain tanah hutan. Bahkan
banyak yang masih merupakan tanah hutan primer, langsung dibabat menjadi
perkebunan biodiesel (kelapa sawit di Kalimantan dan Papua, Indonesia) dan
perkebunan bioetanol (tebu di Amazon, Brazil). Sehingga perusahaan-perusahaan
yang mendapat konsesi semacam ini, dapat mereguk dua keuntungan sekaligus,
yakni kayu gelondongan dan komoditas perkebunan yang harganya semakin mahal.
2. Sebab-sebab terjadinya
Perampasan Tanah
2.1 Konteks Global yang Menyebabkan Perampasan
Tanah
Untuk mengatasi kebangkrutan kapitalisme dan
krisis-krisis yang dihadapinya, kaum kapitalis monopoli (kaum imperialis)
menyodorkan berbagai jalan keluar. Guna mengatasi krisis finansial global,
seperti telah dijelaskan di muka, mereka mendesak negara-negara untuk
mengeluarkan dana talangan (uang rakyat yang dikelola negara) yang jumlahnya
pada akhir tahun 2008 saja telah mencapai US$ 50 triliun. Untuk mengatasi
krisis pangan, mereka mempromosikan jalan keluarnya adalah menggenjot produksi dan
produktivitas pertanian pangan, dengan mengandalkan perluasan pertanian skala
raksasa (food estates), dan melibatkan industri pertanian
(perusahaan-perusahaan agrobisnis). Sementara dalam mengatasi krisis energi,
kaum imperialis mempromosikan penggunaan energi berbahan bakar nabati, sebagai
pengganti energi berbahan bakar fosil (minyak bumi), yang diperkirakan akan
terus menyusut produksinya pada tahun 2020 nanti. Dengan peralihan pemakaian
energi ke energi berbahan bakar nabati, maka diperlukan perluasan tanah-tanah
perkebunan untuk meningkatkan produksi energi berbahan nabati.
Inilah konteks dan sebab-sebab dari terjadinya
perampasan tanah secara meluas hari ini. Jadi ringkasnya, perampasan tanah
terjadi karena paksaan kaum imperialis guna mengatasi berbagai krisis hebat
yang sedang mereka hadapi saat ini, dengan melemparkan seluruh beban dan
ongkosnya kepada seluruh rakyat di negeri-negeri jajahan, setengah jajahan dan
bergantung lainnya.
Di dalam sektor pertanian yang merupakan sektor
produksi utama di dalam hampir semua negeri-negeri jajahan, setengah jajahan
dan bergantung lainnya, jalan keluar yang disodorkan oleh kaum kapitalis
monopoli adalah semakin mengintensifkan dan memperhebat monopoli tanah melalui
perampasan tanah secara global dan nasional. Perampasan tanah ini umumnya
ditempuh melalui pengembangan pertanian pangan skala raksasa, pembangunan
proyek-proyek infrastruktur, pembukaan perkebunan-perkebunan baru untuk
pengembangan proyek bio-energi, mengintensifkan eksploitasi barang tambang, dan
perluasan proyek-proyek konservasi hutan, reforestasi dan taman nasional serta
pembangunan prasarana dan infrastruktur militer.
Jalan keluar semacam ini hanya akan semakin
memperburuk krisis pangan global dan sebaliknya semakin meningkatkan keuntungan
perusahaan-perusahaan transnasional (TNC).[18]
Demikian pula perluasan perkebunan skala raksasa untuk produksi bahan bakar
nabati, hanya akan semakin memperluas perampasan tanah di negeri-negeri
jajahan, setengah jajahan dan bergantung lainnya dan memperhebat krisis iklim dan
pemanasan global yang sedang terjadi saat ini. Karena banyak sekali hutan-hutan
tropis di negeri-negeri ini yang harus dikonversi menjadi perkebunan-perkebunan
skala raksasa untuk produksi bahan bakar nabati (kedelai, tebu, kelapa sawit,
jagung, tanaman jarak, singkong, dan gandum).
Sesungguhnya, krisis pangan dunia bukanlah
kejadian yang berlangsung begitu saja. Dampak-dampak negatif yang saat ini
terjadi memperlihatkan bahwa krisis ini merupakan krisis yang wataknya
sistematis dan struktural. Dalam periode tahun 1980-an, negeri-negeri jajahan,
setengah jajahan, dan bergantung lainnya dipaksa untuk menerapkan
kebijakan-kebijakan neoliberal melalui Program-program Penyesuaian Struktural
Bank Dunia/IMF yang kemudian diikuti dengan Program Strategi Pengurangan
Kemiskinan (Poverty Reduction Strategy
Program); dan lebih jauh lagi diintensifkan oleh WTO serta
perjanjian-perjanjian perdagangan regional maupun bilateral.
Bahkan jauh sebelumnya, dalam periode 1960-an, negeri-negeri
jajahan, setengah jajahan, dan bergantung lainnya telah dipaksa untuk
menerapkan program Revolusi Hijau, untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
Di dalam soal pangan dan pertanian, kebijakan-kebijakan globalisasi ini
mencakup liberalisasi perdagangan dan investasi dalam pertanian, privatisasi
sektor-sektor publik seperti irigasi, perdagangan pangan, dan pengurangan
peran-peran pemerintah dalam penentuan harga dan pemasaran.
Bagian dari paket neoliberal ini adalah tekanan
untuk perluasan produk tanaman ekspor, konversi tanah-tanah pertanian, promosi
industri ekstraktif dan proyek-proyek “pembangunan” lain di bawah dominasi
modal asing yang semakin menguatkan kontrol monopoli dari usaha-usaha agrobisnis
bekerjasama dengan elit-elit nasional. Dampaknya terhadap kaum tani, buruh
pertanian dan buruh perkebunan, kaum perempuan, produsen-produsen pangan kecil
dan kaum miskin pada umumnya sangat dahsyat, termasuk penggusuran masyarakat
pedesaan, makin hilangnya sumber-sumber penghidupan, dan meningkatnya kelaparan
dan kemiskinan.
Saat ini, krisis pangan dan finansial, telah
menjadi pemicu terjadinya perampasan tanah secara global. Di satu sisi,
pemerintah dari negeri-negeri yang rentan pasokan pangannya dan menggantungkan
kebutuhan pangan penduduknya pada impor melakukan perampasan tanah pertanian
secara besar-besaran di luar negeri untuk kebutuhan produksi mereka sendiri.
Sementara di sisi lain, perusahaan pangan dan investor swasta, yang rakus akan
keuntungan di saat terjadi krisis berkepanjangan, melihat investasi atas lahan
pertanian di luar negeri sebagai sebuah sumber utama keuntungan yang baru.
Alhasil, lahan pertanian yang subur sedikit demi sedikit telah menjadi milik
swasta dan terpusat. Jika tidak dikendalikan, perampasan lahan pertanian yang
dilakukan secara global ini akan berdampak pada berakhirnya model pertanian
skala kecil dan kehidupan pedesaan di banyak tempat di seluruh dunia.[19]
Oleh karenanya, dua krisis global yang terjadi
selama kurun waktu 15 tahun terakhir—krisis pangan dunia dan krisis finansial
global di mana krisis pangan menjadi salah satu bagiannya—telah menelurkan
kecenderungan baru yang sekaligus sangat menganggu yakni pembelian lahan dalam
skala besar untuk kepentingan produksi bahan pangan. Terdapat dua agenda yang
saling berhubungan yang semuanya menuntun pada dua macam perampasan tanah. [20]
Agenda pertama adalah ketahanan pangan. Beberapa
negeri yang menggantungkan kebutuhan pangannya pada impor dan merasa khawatir
pada pasar yang semakin ketat, padahal memiliki dana tunai untuk itu, berupaya
memenuhi kebutuhan pangan mereka dari luar negeri melalui penguasaan kontrol
atas tanah pertanian di negeri lain. Negeri-negeri tersebut melihat cara ini
sebagai strategi jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat mereka
yang memberi keuntungan baik dari segi harga maupun jaminan ketersediaan pangan
dibandingkan yang terjadi saat ini. Negeri-negeri seperti Arab Saudi, Jepang,
China, India, Korea Selatan, Libya dan Mesir telah menjalankan sistem ini. Para
pejabat tinggi negeri-negeri tersebut sejak Maret 2008 telah melakukan
kesepakatan diplomatik guna mencari lahan-lahan subur di tempat-tempat seperti
Uganda, Brazil, Kamboja, Sudan dan Pakistan. Hal-hal tersebut di ataslah yang
terjadi hari ini. Karena meyakini kesempatan bertani di negeri mereka sendiri
semakin terbatas, sementara pasar yang ada tidak dapat diandalkan,
negeri-negeri dengan ketahanan pangan yang rentan tersebut mencoba membeli
tanah di berbagai tempat untuk memproduksi kebutuhan pangan mereka sendiri. Di
sisi lain, negeri penyedia lahan rata-rata menyambut gembira kesempatan memperoleh
dana segar dari investasi asing ini.
Agenda kedua adalah keuntungan keuangan. Karena
berlangsungnya krisis keuangan saat ini, ketika semua pelaku bisnis keuangan
dan industri pangan mencari strategi baru untuk tetap berkembang, mengalihkan
investasinya pada tanah, baik untuk produksi pangan maupun produksi bahan bakar
nabati, sebagai sumber keuntungan yang baru. Tanah sendiri sebenarnya bukanlah
bentuk investasi yang lazim dilakukan bagi banyak perusahaan transnasional ini.
Hal ini karena masalah tanah sarat dengan konflik politik yang di kebanyakan
negeri melarang orang asing untuk memiliki tanah di negeri mereka. Namun
kombinasi krisis pangan dan keuangan telah mengubah lahan pertanian menjadi
salah satu strategi baru dalam pengelolaan aset. Di banyak tempat di dunia,
harga pangan sangat tinggi sementara harga tanah sangat rendah. Solusi yang
paling banyak ditawarkan saat bicara tentang krisis pangan adalah memproduksi
lebih banyak bahan makanan dari lahan yang dimiliki.
Di saat pemerintah memilik agenda dalam
menciptakan ketahanan pangan, investor swasta memiliki agenda yang berbeda,
yakni menghasilkan keuntungan. Krisis pangan bersama dengan krisis keuangan
global telah mengubah kontrol atas tanah menjadi magnet baru yang penting bagi
swasta. Kita tidak sedang membicarakan mengenai praktek bisnis pertanian antar
bangsa yang khas, di mana Cargill kemungkin besar terlibat dalam penghancuran
perkebunan kacang kedelai di Mato Grosso di Brazil. Tapi kita sedang berbicara
mengenai kepentingan baru dalam memperoleh kontrol atas lahan itu sendiri. Ada
uang orang pemain di sini, yakni industri pangan (food industry) dan
yang lebih signifikan adalah industri keuangan (finance industry).
Dalam lingkaran industri pangan, perusahaan
perdagangan dan pengolahan Jepang dan Arab mungkin adalah perusahaan-perusahaan
yang paling sering terlibat dalam perampasan tanah di luar negeri saat ini.
Bagi perusahaan Jepang, strategi ini menyatukan pertumbuhan organik mereka.
Sedangkan bagi perusahaan Timur Tengah, mereka menunggang pada kebijakan
pemerintahan negara mereka yang membuka pintu dan bergerak keluar
mengatasnamakan ketahanan pangan.
Berdasarkan sejumlah laporan,
perusahaan-perusahaan perdagangan Jepang yang mendominasi pasar makanan dan
bisnis pertanian di Jepang, yakni Mitsubishi, Itochu, Mitsui, Marubeni, dan
Sumitomo, telah memiliki 12 juta hektar lahan pertanian di luar negeri untuk
memproduksi pangan dan pakan ternak.
Masalah dalam industri keuanganlah yang porsinya
lebih besar. Bagi sebagian besar orang yang berada di tampuk kekuasaan, dalam
krisis pangan global ini terdapat masalah yang besar: yakni apa pun
persoalannya, perubahan iklim, penurunan kesuburan tanah, berkurangnya pasokan
air dan peningkatan jumlah perkebunan monokultur telah mengemuka dan menjadi
tantangan terbesar dalam ketersediaan pangan bagi planet kita di masa depan.
Hal ini diartikan bahwa akan terjadi pasar yang lebih ketat, harga yang tinggi,
dan tekanan untuk mendapatkan yang lebih banyak dari lahan.
Pada saat yang sama, industri keuangan, yang
bertaruh sangat besar atas uang yang terbatas akibat utang dan kerugian, tengah
mencari tempat yang aman untuk berlindung. Seluruh faktor ini membuat lahan
pertanian menjadi mainan baru yang dapat digunakan untuk meraih keuntungan.
Pangan harus diproduksi, harga akan selalu tinggi, lahan murah telah tersedia,
semuanya akan terbayar—itulah racikannya. Hasilnya? Sepanjang tahun 2008,
sepasukan biro investasi, lembaga pemegang modal swasta, dana pelindung dan
sejenisnya, secara cepat telah mengambil lahan-lahan pertanian di seluruh
dunia—dan dengan pertolongan yang sangat besar dari lembaga-lembaga keuangan
seperti Bank Dunia, dan Perusahaan Keuangan Internasionalnya, serta Bank
Pembangunan dan Rekonstruksi Eropa (European Bank for Reconstruction and
Development atau EBRD). Lembaga-lembaga inilah yang melumasi jalan aliran
investasi ini dan “membujuk” pemerintah untuk mengubah kebijakan kepemilikan
tanah mereka sehingga dapat diganti. Hasilnya, harga tanah mulai naik.
Sektor swasta pada tahun
2008 tengah pusing tujuh keliling karena harus segera melakukan perampasan
lahan pertanian. Deutsche Bank dan Goldman Sachs, misalnya, sedang memegang
kendali atas industri peternakan di China. Sementara ketika seluruh pandangan
tengah fokus pada Wall Street di akhir September 2008, keduanya memasukkan uang
mereka ke peternakan babi terbesar di China, peternakan unggas dan tempat
pengolahan daging—termasuk di dalamnya hak atas
lahan pertanian. Black Rock Inc. yang berkantor pusat di New York, lembaga
pengelola uang terbesar di dunia dengan lebih dari US$ 1,5 triliun dalam buku
keuangannya, baru saja merancang dana pelindung pertanian sejumlah US$ 200 juta,
yang US$ 30 juta di antaranya akan digunakan untuk memperoleh lahan pertanian
di seluruh dunia. Morgan Stanley, yang baru saja bergabung dalam antrian
membantu Departemen Keuangan AS, belakangan membeli 40 ribu hektar lahan
pertanian di Ukraina.
Namun tetap kalah jika
dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Renaissance Capital, sebuah biro
investasi dari Rusia, yang memiliki hak perolehan lahan pertanian di Ukraina
seluas 300 ribu hektar. Faktanya, wilayah paling subur yang terbentang mulai
dari Ukraina hingga selatan Rusia menjadi arena kompetisi perebutan tanah yang
paling panas. Black Earth Farming, kelompok investor asing dari Swedia,
memegang kendali akuisisi 331 ribu hektar lahan pertanian di wilayah bumi hitam
Rusia. Alpcot-Agro,
perusahaan investasi Swedia yang lain, telah membeli hak atas lahan seluas 128
ribu hektar juga di sana. Sementara Landkom, kelompok investor asing dari
Inggris, telah membeli lahan pertanian hingga 100 ribu hektar di Ukraina dan
berjanji akan memperluasnya hingga 350 ribu hektar pada tahun 2011. Semua lahan
ini akan digunakan untuk memproduksi padi, minyak nabati, daging dan susu untuk
memenuhi pasar dunia yang tengah kelaparan dan terutama bagi mereka yang mampu
membayarnya.
Kecepatan dan
ketepatan trend investasi jenis baru ini sangat mencengangkan. Berikut ini
adalah daftar negeri-negeri yang menjadi target investasi, yakni: Malawi,
Senegal, Nigeria, Ukraina, Rusia, Georgia, Kazakhstan, Uzbekistan, Brazil,
Paraguay bahkan hingga Australia. Negeri-negeri ini telah diidentifikasi
sebagai negeri-negeri yang menawarkan tanah yang subur, ketersediaan air yang
mencukupi dan pada bebeberapa level memiliki lahan potensial dalam hal
pertumbuhan produktivitas. Rata-rata para investor ini menetapkan batas waktu
atas tanah-tanah tersebut hingga 10 tahun, tentu saja dengan pengertian yang
sangat jelas bahwa mereka harus membuat tanah tersebut sangat-sangat produktif
dan membangun infrastruktur pemasaran. Dengan cara ini diperkirakan setiap
tahunnya mereka memperoleh tingkat keuntungan 10-40% di Eropa dan 400% di Afrika. Sekali lagi hal yang
baru dan khusus pada fenomena perampasan tanah ini adalah bahwa kalangan
industri keuangan ini telah memperoleh hak yang sesungguhnya atas tanah, dan
kebanyakan langkah ini terjadi hanya dalam beberapa bulan terakhir ketika pasar
keuangan global tengah mengalami kebangkrutan.
2.2 Indonesia Menjadi Boneka Kaum Imperialis
dalam Merampas Tanah Rakyat
Watak boneka pemerintah Indonesia tercermin dengan
cepatnya Indonesia menanggapi tawaran penyelesaian krisis pangan yang
dipromosikan dalam skema kaum imperialis. Dalam pidato yang disampaikan oleh
Wakil Presiden Indonesia Budiono dalam Konferensi Tingkat Tinggi Dunia mengenai
Ketahanan Pangan yang diselenggarakan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO)
di Roma pada tanggal 13-17 November 2009, Indonesia menyatakan kesiapan untuk
memberikan dukungan bagi pemenuhan pangan dunia. Di tingkat nasional, pidato
Wakil Presiden Indonesia Budiono ini telah menjadi kebijakan nasional untuk
memproduksi pangan secara besar-besaran, yang dilakukan dengan mengubah
orientasi kebijakan pembangunan sektor pertanian dari yang semula mengandalkan
petani kecil menuju industrialisasi pertanian, yang mulai memberikan ruang
gerak lebih lebar bagi masuknya pemodal. Sama halnya dengan pidato Presiden
Indonesia SBY pada bulan Januari 2010 ketika mempromosikan pertanian pangan
skala raksasa terintegrasi dengan proyek energi nabati di Merauke, Papua,
menyebutkan bahwa Indonesia berambisi menjadi lumbung pangan dunia.
Dipercayai, dengan melibatkan industri, produksi
pangan bisa ditingkatkan berlipat-lipat dibandingkan bila lahan pertanian
dikelola petani kecil. Inilah kebijakan nasional untuk mendukung pertanian
pangan skala raksasa, yang dikandung dalam Undang-Undang No.41 tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, [21]
yang memberikan jalan masuknya pengusaha pertanian, baik tingkat lokal,
nasional maupun multinasional mengolah lahan di Indonesia dan
memperdagangkannya baik untuk pasar domestik maupun ekspor.
Dalam situasi semacam ini, Indonesia sendiri telah
menegaskan niatnya untuk menjadi lumbung padi dunia melalui pencanangan program
pertanian pangan dan energi terintegrasi di Merauke (MIFEE atau Merauke
Integrated Food and Energy Estate) yang akan merampas tanah kaum tani seluas 2,8
juta hektar di Merauke, Papua. Investor utama dari rencana ini adalah kelompok
usaha BinLaden dari Arab Saudi yang pada bulan Agustus 2008 mentargetkan tanah
Merauke untuk produksi beras basmati, yang kemudian akan diekspor kembali ke
Arab Saudi, dalam rangka program ketahanan pangan negeri padang pasir itu.
Demikian pula dalam konteks untuk mengatasi krisis
energi, Indonesia juga menyatakan diri siap menjalankan tugasnya untuk
memproduksi energi nabati bagi kaum imperialis. Dengan kampanye membuat
perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia seluas 1,8 juta hektar di perbatasan
Indonesia dan Malaysia di Kalimantan (Kalimantan Border Oil Palm Mega Project),
yang dikampanyekan oleh pemerintah pada tahun 2005. Melalui pernyataan Menteri
Pertanian Republik Indonesia Anton Apriantono pada bulan Juni 2005 disebutkan
bahwa proyek kebun sawit terbesar di seluruh dunia ini, akan dimaksudkan untuk
menghasilkan energi nabati untuk konsumsi domestik dan ekspor.[22]
Untuk mendukung skema kaum imperialis ini,
pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah aturan yang terkait dengan
pengaturan tanah dan kekayaan alam di Indonesia seperti Undang-Undang (UU) No.
18 tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal,[23]
UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), dan UU No.41 tahun
2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Semua aturan terkait
perkebunan, pertambangan mineral dan batubara, penanaman modal dan pertanian
pangan tersebut mencerminkan watak komprador dari rezim Susilo Bambang
Yudhoyono dan Budiono (SBY-Budiono). Karena memberikan fasilitas sedemikian
luas kepada modal asing untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia, baik melalui
konsesi hak guna usaha, kontrak karya pertambangan maupun kemudahan-kemudahan investasi
lainnya bagi investor asing untuk menguasai tanah di Indonesia.
Dalam pandangan kaum tani Indonesia yang tergabung
dalam Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), aturan-aturan yang disebutkan di
atas, memberikan pengesahan atas terjadinya perampasan tanah dalam bentuk
perluasan perkebunan skala raksasa dan pertanian pangan skala raksasa (food
estates), yang dilakukan oleh rezim SBY-Budiono.
Melalui skema pertanian pangan skala raksasa,
produksi pangan akan diandalkan pada perusahaan-perusahaan industri pangan.
Dengan demikian, melalui skema pertanian pangan skala raksasa ini, tanah kaum
tani akan dirampas secara brutal dan setelah itu, kaum tani akan dipaksa
menjadi buruh tani secara besar-besaran di kawasan industri pertanian itu.
Tentu saja, hal ini akan menyebabkan akses rakyat terhadap pangan semakin
sulit, apalagi jika sebelumnya Indonesia adalah negeri pengimpor pangan.
Indonesia sendiri selama sepuluh tahun terakhir
merupakan negeri pengimpor utama bahan pangan (antara lain beras, kedelai,
gula, garam, jagung), tentu dapat dipastikan mendapatkan pukulan yang paling
hebat, karena krisis pangan dunia ini. Setiap tahun Pemerintah Indonesia harus
menguras devisa lebih dari US$ 5 miliar atau senilai dengan Rp 50 triliun,
untuk mengimpor pangan.[24]
Ironisnya, sementara banyak negeri penghasil
pangan utama bergerak cepat untuk melarang ekspor beras karena krisis
imperialisme ini akan terus berlanjut, pejabat-pejabat Indonesia malah bergerak
cepat untuk mempromosikan ekspor beras, karena panen padi awal tahun 2008, yang
dianggap berhasil. Sikap ini sungguh menyakitkan hati rakyat tani. Karena
kenyataan di lapangan, petani penghasil padi menjerit harga jual padinya
merosot drastis dan dipermainkan oleh tengkulak dan Bulog.
Meskipun rezim politik di Indonesia telah berganti
beberapa kali sejak Soeharto ditumbangkan tahun 1998, watak penghisap dan
penindas dari rezim politiknya tidak pernah berubah. Wataknya tetap sama, yakni
menguras sumber daya alam yang masih tersisa sampai kering, memonopoli industri
bahan baku sampai dengan industri pengolahan, menggantungkan diri pada utang,
mengedepankan proyek-proyek infrastruktur raksasa yang rakus akan tanah-tanah
yang luas, mengundang kemudahan investor asing untuk melakukan penanaman modal,
merampas upah kelas buruh, dan mencaplok tanah-tanah milik kaum tani, yang
dalam krisis umum imperialisme sekarang, perampasan tanah tersebut akan
diabdikan guna memproduksi pangan dan bahan bakar nabati.
3. Bentuk-bentuk Perampasan
Tanah
Selama
Periode 2004-2010
Perampasan tanah di masa SBY-Kalla dan SBY-Budiono
yang coba dikupas dalam risalah ini adalah perampasan tanah yang terjadi dalam
kurun waktu tahun 2004 hingga 2010. Ini adalah kurun waktu di mana krisis
finansial, krisis pangan dan krisis energi terjadi secara global. Dalam kurun
waktu ini, kita melihat bagaimana kaum imperialis dunia berupaya sekuat
tenaganya untuk mencari jalan keluar dari krisis umum yang mereka hadapi,
terutama di dalam krisis finansial, pangan dan energi. Dengan demikian, kupasan
pada bagian ini bermaksud mengaitkan antara konteks global dan nasional dari
perampasan tanah dan bagaimana caranya rezim boneka imperialisme di Indonesia melayani
seluruh kepentingan kaum imperialis.
Pada pokoknya perampasan tanah yang terjadi dewasa
ini, berlandaskan pada monopoli tanah yang telah ada sebelumnya. Monopoli tanah
yang telah ada sebelumnya di Indonesia yang telah dibangun selama 32 tahun masa
rezim fasis Orde Baru (1966-1998), sesungguhnya telah lebih memudahkan
proses-proses perampasan tanah yang terjadi dewasa ini. Monopoli tanah yang
terjadi di masa Orde Baru terutama terjadi dalam bentuk konsentrasi penguasaan
tanah-tanah pertanian melalui skema Revolusi Hijau, penguasaan tanah-tanah
perkebunan melalui skema Hak Guna Usaha (HGU), penguasaan tanah-tanah hutan
melalui konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI),
penetapan kawasan taman nasional, penguasaan tanah-tanah pertambangan melalui
konsesi pertambangan seperti kontrak karya pertambangan, serta konsentrasi
penguasaan tanah untuk pembangunan infrastruktur, pemukiman (properti), dan
pembangunan infrastruktur militer.
Bentuk-bentuk perampasan tanah yang terjadi saat
ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah terjadi di masa Orde
Baru. Yang membedakannya adalah perampasan tanah yang dilakukan saat ini adalah
dalam rangka mencari jalan keluar dari krisis umum imperialisme yang sedang
mengalami kebangkrutannya. Sehingga tingkat kekerasan dan penghisapannya terhadap
rakyat serta manipulasinya jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan masa-masa
sebelumnya. Karena bila tidak mereka lakukan secara vulgar, maka krisis yang
ada sekarang akan betul-betul menjadi kuburan bagi kaum imperialis tersebut.
Pada garis besarnya, kita akan mengupas
bentuk-bentuk perampasan tanah yang terjadi dalam sektor perkebunan dan
pertanian pangan, yang saat ini merupakan bentuk perampasan tanah yang paling
vulgar dalam upaya kaum imperialis dan bonekanya di Indonesia mencari jalan
keluar terhadap krisis energi dan pangan yang sedang mereka hadapi.
3.1 Perkebunan dan Produksi Energi Nabati
Perampasan tanah dalam sektor perkebunan yang
paling menonjol dewasa ini adalah perampasan tanah untuk perluasan perkebunan
kelapa sawit. Kenapa kaum imperialis menyasar perkebunan kelapa sawit? Karena
biaya produksinya per hektar paling murah dibandingkan dengan komoditas
perkebunan yang lain dan dapat dipanen dalam waktu relatif pendek, yakni mulai
umur tiga tahun. Dan harga jual tandan kelapa sawit segar maupun CPO-nya paling
menguntungkan bagi kaum imperialis. Selain itu, yang paling utama adalah
komoditi kelapa sawit bisa diolah menjadi bahan baku energi alternatif, yakni
bahan baku untuk pembuatan biodiesel.
Oleh karenanya hampir semua target produksi yang
sudah ada (existing) maupun perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia
dibebani target untuk produksi energi nabati, selain target produksi untuk
diolah menjadi minyak goreng, kosmetika, dan bahan olahan lainnya. Demikian
pula hampir sebagian besar komoditas perkebunan lain yang utama seperti
perkebunan tebu dan teh di seluruh Indonesia, juga sedang dikonversi menjadi perkebunan
kelapa sawit.
Ini menunjukkan bahwa krisis energi betul-betul
sedang melanda kaum imperialis. Karena hal yang sama juga sedang terjadi di
tempat-tempat lain. Brazil misalnya telah dibebani target produksi tebu yang
diperuntukkan bagi pasokan bioetanol untuk AS. Demikian pula AS telah
mengkonversi produksi perkebunan jagung milik mereka menjadi bioetanol demi
pemenuhan konsumsi energi nabatinya yang sangat boros, seperti borosnya mereka
mengkonsumsi energi berbahan bakar fosil sebelumnya. China dan India juga
merupakan produsen bioetanol terbesar dunia setelah Brazil dan AS. Secara
total, pada tahun 2008, hampir 50 miliar liter bioetanol telah diproduksi
secara global, menurut United Kingdom Renewable Fuels Agency.[25]
Bagaimana halnya dengan produksi biodiesel? Produksi
energi nabati jenis biodiesel terutama dihasilkan dari minyak kelapa sawit,
kedelai dan minyak lobak. Pada tahun 2007, secara global, ada sekitar 10 miliar
liter yang diproduksi. Pasar global terbesar untuk biodiesel saat ini adalah Uni
Eropa, yang telah menetapkan target utama untuk pemakaian biodiesel dan di mana
biodiesel merupakan 82% dari pasar energi nabati. Eropa juga menyumbang 95%
dari total produksi global untuk biodiesel.[26]
Di antara 80 dan 85% produksi biodiesel Uni Eropa berasal
dari minyak lobak (rapeseed oil). Sementara AS memproduksi biodiesel
dari kedelai, dan sejumlah negeri lain juga sedang meningkatkan produksinya. Brazil
berharap dapat menyalip produksi AS dan Uni Eropa pada tahun 2015. Sementara
Indonesia dan Malaysia memimpin produksi biodiesel dari minyak kelapa sawit (palm
oil). Indonesia sendiri pada tahun 2007, mengekspor 500.000 ton biodiesel
dengan sasaran ekspor terbesar adalah Eropa lalu disusul AS.[27]
Pengalihan produksi Eropa untuk biodiesel melalui jalur impor minyak nabati,
membuat posisi Indonesia dan Malaysia menjadi sangat penting. Oleh karenanya,
kemudian, Indonesia dan Malaysia meningkatkan produksi dan ekspor minyak kelapa
sawit untuk memenuhi pasar biodiesel Uni Eropa.
Uni Eropa telah membuat target pemakaian bahan
bakar nabati sebanyak 10% pada tahun 2020—tahun mana diperkirakan produksi
energi bahan bakar fosil akan makin terus menurun dan membuat ketentuan
pelarangan perkebunan nabati ditanam di tanah-tanah seperti wilayah hutan
lindung, hutan, tanah basah, dan tanah-tanah yang mengandung keanekaragaman
hayati yang tinggi.
Oxfam telah membuat perkiraan mengenai dampak dari
target pemakaian energi nabati Uni Eropa terhadap kecenderungan produksi kelapa
sawit Indonesia dan Malaysia saat ini. Mereka memperkirakan bahwa emisi gas
rumah kaca yang dikeluarkan adalah setara 3,1 miliar ton CO2 sebagai
akibat perubahan tata guna tanah secara tidak langsung dalam sektor perkebunan
kelapa sawit guna memenuhi target Uni Eropa tersebut.
Berapa luas tanah Indonesia yang diperlukan untuk
perkebunan yang memproduksi biodiesel buat negeri-negeri Eropa ini?
Analisis yang dibuat United Kingdom Renewable
Fuels Agency menyebutkan bahwa terdapat sekitar 10,8 juta hektar tanah yang
dapat ditanami tapi belum digunakan yang ada di kawasan Uni Eropa sendiri, guna
mencapai target permintaan energi nabati Uni Eropa itu. Meskipun demikian, Uni
Eropa telah menetapkan bahwa untuk mencapai target tersebut mereka membaginya
dalam dua kategori: antara 22-54% dari targetnya akan dipenuhi dari impor dan
37% sisanya akan diperoleh dari pemindahan produksinya ke tanah-tanah di luar
Uni Eropa. Ini berarti akan menyebabkan antara 5 sampai 10 juta hektar
perubahan tata guna tanah di luar Uni Eropa, tergantung pada tingkat
targetnya—suatu peningkatan yang luar biasa terkait dengan tata guna tanah
untuk bahan bakar nabati.[28]
Sementara itu, sebuah lembaga dari Belanda yang
bernama The Dutch Environment Assessment Agency telah menaksir berapa luas
tanah yang diperlukan untuk memenuhi target energi nabati Eropa. Mereka
memperkirakan sekitar 20-30 juta hektar tanah dibutuhkan untuk memenuhi target permintaan
energi nabati 10% Uni Eropa itu.[29]
Konsumsi energi nabati Uni Eropa pada tahun 2020 akan dibagi dalam dua jenis
energi nabati, yakni biodiesel dan bioetanol. Berikut adalah perhitungan The
Ducth Environment Assessment Agency atas kebutuhan tanah yang diperlukan dari
negeri-negeri jajahan, setengah jajahan, dan bergantung lainnya guna memenuhi
target permintaan energi nabati 10% Uni Eropa pada tahun 2020:
v Sekitar 2,5-3 juta tanah di Indonesia dan
Malaysia dibutuhkan untuk memasok minyak kelapa sawit.
v Sekitar 2-2,5 juta tanah di Brazil
dibutuhkan untuk memasok etanol dari tebu.
v Sekitar 1-2 juta tanah di Afrika dan Asia
Selatan dibutuhkan untuk biodiesel dari tanaman jarak (jatropha).
v Sumber-sumber tanah yang lain—seperti
kedelai dari Argentina dan Brazil, dibutuhkan sekitar 8-10 juta hektar.
Sementara itu, dari sisi konsumsi biodiesel dan
bioetanol Uni Eropa pada tahun 2020, berdasarkan sumbernya dapat dilihat pada
Tabel 5.
Dengan demikian, sudah terang bahwa ancaman
perampasan tanah dalam bentuk perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia
asal muasalnya adalah untuk memenuhi target konsumsi energi nabati
negeri-negeri Eropa tahun 2020. Artinya, jalan keluar kaum imperialis untuk
menyelesaikan krisis energinya dengan cara merampas tanah-tanah di
negeri-negeri jajahan, setengah jajahan, dan bergantung lainnya, sudah terbukti
di sini.
Untuk Indonesia sendiri, target perampasan tanah
untuk perkebunan dan produksi kelapa sawit untuk diolah menjadi biodiesel yang
diabdikan untuk kepentingan konsumsi negeri-negeri Eropa adalah sekitar 2,5-3
juta tanah rakyat (termasuk dengan Malaysia). Menarik untuk dicatat dalam
kaitan ini adalah pernyataan Menteri Pertanian Republik Indonesia Anton
Apriantono pada bulan Januari 2006. Dalam pernyataannya yang dikutip kantor
berita Reuters tersebut, dia menjelaskan bahwa Indonesia akan mengembangkan 3
juta hektar perkebunan kelapa sawit baru dalam lima tahun ke depan, guna
memenuhi permintaan yang semakin meningkat atas bahan bakar nabati, sebagai
sumber energi alternatif. Dari jumlah ini, 2 juta hektarnya akan dikembangkan
di sepanjang perbatasan Kalimantan – Malaysia.[30]
Dari keseluruhan konsumsi biodiesel Uni Eropa pada
tahun 2020, Indonesia diperkirakan akan menyumbang sekitar 25% yang diproduksi
dari kebun-kebun kelapa sawitnya, yang penuh dengan kekerasan dan pembantaian
terus menerus terhadap kaum tani Indonesia.
Tabel 5
Konsumsi Biodiesel
dan Etanol Uni Eropa berdasarkan sumbernya pada tahun 2020
Konsumsi biodiesel Uni Eropa berdasarkan sumbernya pada tahun 2020
(Total = 27,5 miliar liter)
|
Persentase
|
Konsumsi etanol Uni Eropa berdasarkan sumbernya pada tahun 2020
(Total = 27,5 miliar liter)
|
Persentase
|
Minyak kelapa
sawit Indonesia
|
25%
|
Tebu Brazil
|
44%
|
Minyak kelapa
sawit Malaysia
|
23%
|
Gandum Uni Eropa
|
35%
|
Minyak lobak Uni
Eropa
|
22%
|
Jagung Uni Eropa
|
8%
|
Kedelai Argentina
|
10%
|
Bit gula Uni
Eropa
|
5%
|
Kedelai AS
|
8%
|
Lain-lain
|
8%
|
Kedelai Brazil
|
7%
|
|
|
Lain-lain (termasuk
tanaman jarak)
|
5%
|
|
|
|
|
|
|
Source: Tim Rice, “Meals
per gallon: The Impact of industrial biofuels on people and global hunger,”
Januari 2010, hal.35.
Untuk melihat perkembangan di mana saja
tanah-tanah di Indonesia yang dirampas untuk perluasan perkebunan kelapa sawit
dan produksi energi nabati, di bawah ditampilkan masing-masing bagan ringkas
kelompok-kelompok usaha pemilik kebun sawit terbesar di Indonesia, luas konsesi
kebun yang mereka miliki, serta kapasitas produksi CPOnya. Dan selanjutnya
ditampilkan pula luasan kelapa sawit di seluruh Indonesia, guna memperlihatkan
watak ekspansi perampasan tanah dari industri sawit dan produksi energi nabati
ini.
Berdasarkan data yang disajikan dalam Tabel 6, pada
tahun 2002, terdapat 27 kelompok usaha perkebunan kelapa sawit yang memegang
konsesi kelapa sawit seluas total area 4,6 juta hektar. Yang artinya jumlah
konsesi itu merupakan sekitar 60% dari total area konsesi yang dikeluarkan
untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2002. Secara keseluruhan,
kelompok usaha ini telah menanam pada area sekitar 1,8 juta hektar, yang
merupakan 60%
Tabel 6
Kelompok usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia,
berdasarkan ranking aset total pada tahun 2002
|
|||||
Kelompok usaha
|
Negeri asal
|
Area konsesi (ha)
|
Area tanam (ha)
|
Produksi CPO (ton)
|
Aset Total (US$ juta)
|
Perkebunan Nusantara
|
Indonesia
|
770,000
|
561,126
|
2,094,364
|
1,400.0
|
Sinar Mas
|
Indonesia
|
591,000
|
282,000
|
1,105,000
|
1,285.2
|
Raja Garuda Mas
|
Indonesia
|
543,000
|
?
|
600,000
|
1,000.0
|
Kumpulan Guthrie
|
Malaysia
|
215,973
|
162,213
|
329,524
|
728.9
|
Salim
|
Indonesia
|
230,000
|
161,973
|
775,651
|
597.1
|
Napan & Risjadson
|
Indonesia
|
340,000
|
40,534
|
259,492
|
330.0
|
Astra
|
Hong Kong
|
290,621
|
189,970
|
543,635
|
277.5
|
Lyman
|
Indonesia
|
160,000
|
?
|
?
|
160.0
|
Tirtamas and Maharani
|
Indonesia
|
270,000
|
105,282
|
?
|
150.0
|
Incasi Raya & Metro
|
Indonesia
|
200,000
|
?
|
?
|
150.0
|
Benua Indah
|
Indonesia
|
180,000
|
?
|
?
|
150.0
|
Cargill
|
United States
|
27,000
|
27,000
|
100,000
|
150.0
|
Kuala Lumpur Kepong
|
Malaysia
|
52,000
|
31,808
|
?
|
106.0
|
Sungai Budi
|
Indonesia
|
62,015
|
12,000
|
?
|
102.9
|
Duta Palma
|
Indonesia
|
65,800
|
25,450
|
?
|
100.0
|
Surya Dumai
|
Indonesia
|
154,133
|
23,975
|
?
|
95.0
|
Anglo-Eastern
|
Malaysia
|
33,692
|
18,389
|
63,240
|
92.1
|
Johor
|
Malaysia
|
140,000
|
19,622
|
?
|
90.0
|
REA
|
United Kingdom
|
125,000
|
13,209
|
28,557
|
82.2
|
Bakrie
|
Indonesia
|
80,000
|
34,681
|
55,401
|
71.9
|
Oriental
|
Malaysia
|
43,900
|
?
|
?
|
66.7
|
CDC
|
United Kingdom
|
45,400
|
?
|
100,000
|
60.0
|
Sipef
|
Belgium
|
65,000
|
29,364
|
127,003
|
53.0
|
Carson Cumberbatch
|
Sri Lanka
|
15,934
|
12,557
|
26,570
|
48.8
|
Bolloré
|
France
|
37,467
|
37,467
|
182,628
|
42.3
|
Rowe Evans
|
United Kingdom
|
35,304
|
25,136
|
0
|
36.6
|
Hasko
|
Indonesia
|
8,000
|
?
|
?
|
8.0
|
Double-counting
|
|
(220,000)
|
(20,000)
|
(500,000)
|
|
Total
|
|
4,561,239
|
1,793,756
|
5,891,065
|
7,434.2
|
Source: Jan Willem van
Gelder, “Financing of the Indonesian palm oil sector”, draft, p.2.
dari total area tanam di Indonesia pada tahun 2002
itu. Dan mereka menghasilkan produksi CPO tahunan sekitar kurang lebih 5,9 juta
ton, yang merupakan 65% dari total produksi CPO Indonesia pada tahun 2002.
Dari total area konsesi perkebunan pada tahun
2002, yang dikuasai oleh negara Indonesia melalui Badan Usaha Milik Negara
yakni PT.Perkebunan Nusantara (PTPN) hanya sekitar 770.000 dari total area
konsesi keseluruhan sekitar 4,6 juta hektar. Sisanya, yakni sekitar 3,8 juta
hektar dikuasai oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS), termasuk salah satunya
Cargill dari AS, pimpinan kaum imperialis dunia dan sejumlah perusahaan dari
negeri-negeri Eropa.
Di sisi lain, berdasarkan data pada tahun 2008,
ada sedikitnya 10 juta jiwa petani yang hidup dari kebun kelapa sawit swadaya.
Dari 6,7 juta hektar perkebunan kelapa sawit pada tahun 2008, sebanyak 2,7 juta
hektar milik rakyat.[31]
Oleh karenanya tepat jika kita mengatakan bahwa
dengan penguasaan tanah yang begitu luas, Perkebunan Besar Swasta (PBS) ini
dapat digolongkan sebagai tuan tanah besar tipe baru yang mempunyai hubungan
langsung dengan imperialis, dan melakukan monopoli tanah serta menyebabkan
kerusakan lingkungan. Sementara PTPN dapat digolongkan dalam kategori negara
sebagai tuan tanah.
Sementara itu, berdasarkan data yang dikumpulkan tentang tata guna tanah
provinsi, laporan media massa koran dan sumber-sumber lain yang ada, lembaga
Sawit Watch memperkirakan bahwa ada sekitar hampir 20 juta hektar tanah
Indonesia yang telah diusulkan oleh pemerintah provinsi untuk pengembangan
kelapa sawit. Pengembangan kebun-kebun baru yang ekstensif terutama terjadi di
Sumatera dan Kalimantan, dengan perluasan yang mencolok juga terjadi di
Sulawesi dan Papua dalam tahun-tahun terakhir. Ringkasan perluasan perkebunan
kelapa sawit di Indonesia dari tahun 2005 menuju tahun 2020 dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7
Rencana Pemerintah Provinsi
untuk Memperluas Perkebunan Kelapa Sawit, 2005-2010
Provinsi
|
Area tahun 2005 (ha)
|
Rencana area ekspansi 2020 (ha)
|
Pulau Sumatera
|
|
|
Aceh
|
222,389
|
340,000
|
Sumatera Utara
|
1,093,033
|
1,000,000
|
Sumatera Barat
|
489,000
|
500,000
|
Riau
|
1,486,989
|
3,000,000
|
Jambi
|
350,000
|
1,000,000
|
Sumatera Selatan
|
416,000
|
1,000,000
|
Bangka Belitung
|
112,762
|
-
|
Bengkulu
|
81,532
|
-
|
Lampung
|
145,619
|
500,000
|
Pulau Jawa
|
|
|
Jawa Barat
|
3,747
|
-
|
Banten
|
17,375
|
-
|
Pulau Kalimantan
|
|
|
Kalimantan Barat
|
349,101
|
5,000,000
|
Kalimantan Tengah
|
583,000
|
1,000,000
|
Kalimantan Selatan
|
391,671
|
500,000
|
Kalimantan Timur
|
303,040
|
1,000,000
|
Pulau Sulawesi
|
|
|
Sulawesi Tengah
|
43,032
|
500,000
|
Sulawesi Selatan
|
72,133
|
500,000
|
Sulawesi Tenggara
|
3,602
|
500,000
|
Pulau Papua
|
|
|
Papua
|
40,889
|
3,000,000
|
TOTAL
|
6,059,441
|
19,840,000
|
Source: Marcus Colchester et.al.,
Promised Land, 2007, hal. 25-28.
3.2 Pertanian Pangan Skala Raksasa
Krisis pangan dunia dan krisis finansial global
telah mendorong negeri-negeri imperialis untuk melakukan perampasan tanah di
negeri-negeri miskin. Perampasan tanah itu akan memperburuk kemiskinan dan
kekurangan gizi di negeri-negeri miskin, yang umumnya masih merupakan negeri jajahan,
setengah jajahan dan bergantung lainnya.
Negeri-negeri yang lapar akan sumber daya
cepat-cepat membeli lahan pertanian yang luas di negeri-negeri Asia dan Afrika
guna memenuhi kebutuhan mereka. Tren global, termasuk tingginya harga minyak
dunia, maraknya bahan bakar nabati, dan perlambatan ekonomi global, memacu
negeri-negeri yang bergantung pada impor untuk mengamankan sumber pangan
mereka.[32]
Perampasan tanah telah mulai berlangsung secara
intensif di banyak negeri selama 10-15 tahun terakhir, melalui kebijakan
deregulasi, kesepakatan perdagangan dan investasi, serta pembaruan pemerintahan
yang berorientasi pasar.[33]
Krisis pangan dunia dan krisis finansial global terbaru telah memberikan sebuah
gelombang baru dalam perampasan tanah oleh para pemerintahan dan
investor-investor finansial yang mencoba memastikan kapasitas produksi
pertanian dan persediaan pangan masa depan maupun sebagai aset yang akan
memberikan keuntungan yang tinggi. Pemerintahan dari negeri-negeri kaya telah
berupaya untuk menyewa tanah-tanah pertanian dalam jangka waktu yang panjang
guna menyediakan pangan bagi penduduk dan industri mereka. Pada saat yang sama,
perusahaan-perusahaan agroindustri mencari konsesi ekonomi jangka panjang bagi pertanian
perkebunan untuk memproduksi bahan bakar nabati, karet, dan lain sebagainya.
Kecenderungan ini juga terlihat di wilayah-wilayah pantai, di mana tanah,
sumber daya laut dan perairan dijual, disewakan, atau dikembangkan untuk
turisme kepada investor-investor korporat dan elit lokal, atas ongkos para
nelayan dan masyarakat pesisir pantai.
Pemerintah Indonesia sendiri dalam menyikapi
krisis pangan dunia dan krisis finansial global, telah menyatakan niatnya
secara terbuka ke depan publik dunia, bahwa Indonesia berambisi untuk menjadi
lumbung beras nomor satu di dunia, melalui pidato Presiden SBY, dalam rangka
membantu dunia mengatasi krisis pangan.
Melihat pintu terbuka semacam ini, dengan cepat
investor besar masuk ke Indonesia. Saat ini sudah ada tiga kawasan di Indonesia
yang telah menjadi target sasaran, yakni di Sumatera Utara, di Dumai, Riau
serta di Merauke, Papua. Nilai investasi yang dapat ditampung di kawasan eks
Inalum di Sumatera Utara sekitar Rp 12,5 triliun. Adapun di Dumai, pemerintah
memperkirakan, investasi yang akan masuk mencapai Rp 20 triliun, sedangkan di
Merauke bisa dikembangkan pusat pertanian pangan terbesar di Asia dengan
investasi Rp 60 triliun. Untuk Dumai dan Sumatera Utara, basis industri yang
dikembangkan adalah industri hilir CPO (minyak kelapa sawit mentah). Adapun
untuk Merauke, pemerintah menyediakan 1,62 juta hektar lahan sebagai pusat
pengembangan pertanian pangan. Namun dalam jangka menengah, lahan yang akan
dikembangkan seluas 500.000 hektar. Tahun 2010 pemerintah berupaya menawarkan
100.000 hektar terlebih dahulu. Pertanian pangan yang akan dikembangkan tidak
terbatas jenisnya, mulai dari padi hingga kelapa sawit.[34]
Dalam laporan GRAIN—kelompok hak asasi bidang
pertanian yang berbasis di Spanyol, disebutkan bahwa Saudi Binladen Group
menargetkan 500.000 hektar tanah pertanian di Merauke, Papua untuk produksi
beras basmati dengan menggunakan benih padi Saudi, yang akan diekspor ke Arab
Saudi untuk memenuhi kebutuhan domestik mereka. Menurut laporan ini, Kelompok
BinLaden pada bulan Agustus 2008 menandatangani perjanjian investasi senilai
kurang lebih US$ 4,3 miliar, sebagai perwakilan dari konsorsium 15 investor
Arab yang dikenal dengan nama Konsorsium Produk Pangan Timur Tengah, untuk
membangun 500 ribu lahan padi di Indonesia. BinLaden adalah perusahaan yang
ditunjuk oleh pemerintah Arab Saudi untuk mengatasi masalah kerentanan pasokan
bahan pangan negeri kerajaan itu melalui pengadaan proyek pangan di luar
negeri. Pada tanggal 14 Agustus 2008, kelompok BinLaden menandatangani sebuah
MoU (nota kesepakatan) dengan pemerintah Sulawesi Utara, di mana kelompok
BinLaden akan diberikan lahan seluas 80 ribu hektar.
Dalam proyek pangan di Merauke, rencana
investasinya diperkirakan akan mencapai hingga US$ 43 juta per 5 (lima) ribu
hektar. Kelompok ini juga mempertimbangkan untuk menyediakan sejumlah beras
untuk pasar lokal (agar masyarakat setempat tidak mempermasalahkan keberadaan
proyek tersebut). Mitra lokalnya di Indonesia adalah Medco (minyak dan
pertambangan), Sumber Alam Sutera (benih padi hibrida), dan Bangun Cipta Sarana
(konstruksi).
Kerjasama dengan Saudi Binladen Group ini
merupakan bagian dari proyek pusat pengembangan pertanian pangan dan energi seluas
1,62 juta hektar di atas, yang tidak saja mencakup padi, tapi juga jagung,
sorghum, kacang kedelai, dan tebu, yang sebagian besar akan dikonversi menjadi bahan
bakar nabati. Saudi Binladen Group memiliki 15% saham di dalam perkebunan
kelapa sawit dan konglomerat pertambangan Bakrie and Brothers.[35]
Rencana pertanian pangan skala raksasa di Merauke,
Papua Barat ini telah dituduh oleh organisasi petani, organisasi mahasiswa, dan
organisasi lingkungan sebagai perampasan tanah karena akan menghancurkan 2 juta
hektar hutan purba (virgin forest). Program Merauke Integrated Food and
Energy Estate (MIFEE) diluncurkan oleh pada tanggal 17 Januari 2010 oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Slogan dari proyek ini adalah “Feed
Indonesia and then the world” (Indonesia Berswasembada Pangan, Agar Bisa
Mengatasi Krisis Pangan Dunia), namun para petani lokal berpandangan bahwa
proyek tersebut akan merusak pertanian tradisional dan kedaulatan pangan di
kawasan ini. Proyek MIFEE akan menyewakan tanah untuk selama 90 tahun.[36]
Data Pemerintah Kabupaten Merauke menunjukkan,
luas lahan untuk investasi proyek MIFEE adalah 2,823 juta hektar. Lahan yang
berizin lokasi 670.659 hektar. Dengan MIFEE, Merauke dijadikan basis produksi
pangan nasional Indonesia di bagian timur. Dalam konsepnya, masyarakat di
Merauke tak akan jadi penonton. Mereka berkolaborasi menjadi petani plasma.
Mereka tidak menjual lahan pertanian kepada pihak lain, tetapi menyewakan
kepada para pengusaha.[37]
Dalam menyongsong prospek komoditas pangan dunia yang kian mahal, sejumlah
konglomerat besar Indonesia masuk kembali ke bidang pertanian pangan. Grup Salim
misalnya, berancang-ancang melakukan ekspansi ke sektor perkebunan tebu di Nusa
Tenggara Barat. Setelah mengeduk keuntungan di bisnis sawit penghasil CPO,
Salim berniat menanam duit di lahan tebu. Rencananya, konglomerasi yang
dinakhodai Anthony Salim itu mendirikan pabrik gula dan membuka perkebunan tebu
seluas 120.000 hektar di lahan berstatus area peruntukan lain.
Selain Grup Salim, ada tiga grup lain yang mengepakkan sayap di bisnis
industri pemanis itu. Yakni Medco, Bakrie, dan Wilmar. Tiga konglomerat papan
atas itu berniat mengembangkan perkebunan tebu yang terintegrasi dengan pabrik
gula dan etanol di Merauke, Papua. Diperkirakan, total investasinya di lahan
seluas 300.000 hektar itu mencapai Rp 9 triliun. Grup Medco sendiri sebenarnya
sudah mengembangkan bioetanol berbahan baku tebu dan singkong dengan produksi
1.200 barel per hari di Lampung, menurut keterangan Sekretaris Medco Holding,
Widjajanto. Sebelumnya, Arifin Panigoro selaku pemilik Medco mengungkapkan,
Medco Energy International akan bekerjasama dengan PT Petrogas, Brazil, untuk
ekspansi bioetanol tebu dan singkong. Total dana yang disiapkan guna membangun
pabrik dan perkebunan pemasok bahan bakunya mencapai US$ 350 juta.[38]
Selain berburu dolar di lahan tebu, Medco dan Bakrie plus Grup Artha Graha
milik Tommy Winata pun berniat terjun ke ladang kedelai. Dirjen Tanaman Pangan
Departemen Pertanian, Sutarto Alimoeso, mengungkap bahwa Kelompok Usaha Bakrie
tertarik membuka lahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Grup Medco di Kabupaten
Merauke, sedangkan Grup Artha Graha di beberapa provinsi, antara lain Jawa
Timur, Jawa Tengah, dan Lampung.
Turunnya para konglomerat ke ladang kedelai itu dipicu oleh target produksi
kedelai nasional tahun 2008, yang didongkrak pemerintah menjadi 1,7 juta ton.
Diproyeksikan, luas tanam kedelai mencapai 1 juta hektar. Berdasarkan catatan
Badan Pusat Statistik, tahun 2007 produksi kedelai nasional turun 20,76 persen
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Lantaran produksi anjlok, tahun 2007
impor kedelai Indonesia mencapai 1,3 juta ton dari total kebutuhan domestik 1,9
juta ton. Pasokan impor kedelai Indonesia pada tahun 2007 mengalami gangguan,
karena impor kedelai yang diandalkan dari AS sebagian besar telah dikonversi
menjadi bahan bakar nabati (biodiesel) untuk industri AS sendiri. Sehingga pada
tahun 2008, ribuan petani kedelai dan pengrajin tempe Indonesia melakukan
demonstrasi ke Istana Negara di Jakarta, guna memprotes krisis kedelai ini.
4. Metode Perampasan Tanah
Secara umum, metode atau mekanisme perampasan
tanah yang terjadi dewasa ini dapat digolongkan dalam dua metode, yakni metode
lunak dan metode keras. Kedua metode ini sama efektifnya di tangan para
perampas tanah di Indonesia.
4.1 Metode Lunak
Metode lunak umumnya dijalankan melalui kebijakan
atau aturan-aturan yang dikeluarkan oleh negara (pemerintah). Perampasan tanah
dalam sektor perkebunan misalnya, secara legal seakan-akan dibenarkan dalam
aturan hukum yang bernama Undang-Undang (UU) No.18 tahun 2004 tentang
Perkebunan. Demikian pula halnya dengan proyek Merauke Integrated Food and
Energy Estate (MIFEE), bisa ditemukan pengesahan hukumnya dalam UU No.41 tahun
2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Peraturan
Pemerintah (PP) No.18 tahun 2010 tentang Budidaya Tanaman. Perampasan tanah di
dalam sektor kehutanan juga dibentengi dengan alasan hukum UU No.41 tahun 1999
tentang Kehutanan.
Ambil contoh metode lunak yang dikandung dalam UU
No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,
yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 16
September 2009. Dalam Bab IV Pasal 27 ayat (2) dari undang-undang ini dijelaskan
bahwa korporasi juga diberi izin melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi
pertanian. Korporasi yang dimaksud dapat berbentuk koperasi atau perusahaan
inti plasma dengan mayoritas sahamnya dikuasai warga negara Indonesia. Hal ini
patut dikhawatirkan sebagai ancaman mengingat sedemikian mungkin
diselenggarakan Hak Guna Usaha (HGU) atas korporasi yang pada akhirnya rentan
terhadap praktek perampasan tanah dengan dalih perluasan/ekstensifikasi lahan
pertanian. [39]
Melalui metode lunak ini, maka para perampas tanah
rakyat (baik pemerintah maupun swasta) ditampilkan sebagai pihak yang mendukung
pembangunan ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan dan menambah devisa negara,
dan sebagainya, melalui program ataupun proyeknya. Sementara rakyat pemilik
tanah ditampilkan sebagai pihak yang tidak mau berkorban bagi pembangunan, ataupun
menghalangi pembangunan. Pihak pemerintah juga sering menyatakan bahwa hambatan
investasi di Indonesia adalah masalah ganti rugi tanah. Metode lunak, dengan
demikian selalu menempatkan rakyat pemilik tanah sebagai pihak yang salah.
Sementara di sisi lain, menempatkan posisi perampas tanah (baik pemerintah
maupun swasta) sebagai pihak yang benar.
Dengan metode lunak, perampasan tanah menjadi hal
yang dibenarkan secara hukum dan aturan yang ada. Penggunaan aturan dan
kebijakan, sejak undang-undang sampai dengan peraturan menteri yang merupakan
aturan pelaksanaan dari undang-undang yang dirujuknya, merupakan satu kesatuan
metode perampasan tanah yang dilakukan secara lunak.
4.2 Metode Keras
Jika metode lunak tidak memberikan hasil dalam memperoleh tanah yang
diinginkan, maka biasanya para perampas tanah menggunakan aparat keamanan
negara yang tersedia dan yang dengan senang hati menjalankan tugas ini.
Dalam konflik agraria yang wujudnya paling keras, maka aparat kepolisian
dan militer biasanya dikerahkan oleh para perampas tanah untuk memastikan bahwa
rakyat pemilik tanah tidak akan bisa lagi mengganggu gugat. Karena aparat
kepolisian dan militer, hanya mengenal popor dan bedil dalam kesehariannya,
ketika menghadapi rakyat pemilik tanah yang sedang bersengketa, cara itulah
yang mereka andalkan.
Tidak heran dalam konflik agraria yang telah mengundang keterlibatan
kepolisian dan militer, yang sering terjadi adalah penembakan, pembunuhan dan
pembantaian terhadap rakyat pemilik tanah. Dan setelah kekerasan bersenjata
yang dilakukan oleh aparat keamanan kepada rakyat pemilik tanah, maka satu
keanehan lagi terjadi, yakni sang korban kekerasan yang disalahkan. Dalam
pembelaan-pembelaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian dan militer setelah
kejadian-kejadian yang mengakibatkan kekerasan fisik, penembakan dan kematian,
mereka menjelaskan misalnya kekerasan itu dilakukan oleh melindungi diri, atau kaum
taninya mengamuk dan datang dalam jumlah massa besar, sehingga tembakan
dikeluarkan untuk membubarkan massa, dan lain sebagainya.
Metode perampasan tanah yang termasuk keras lainnya adalah intimidasi,
pemenjaraan, penculikan, pemidanaan, dan teror terhadap kaum tani agar
melepaskan tanahnya. Metode ini biasanya dilakukan guna mencegah kaum tani
bangkit bersatu dalam melakukan perlawanan terhadap para perampas tanah rakyat.
Dan yang terakhir, biasanya metode keras yang digunakan adalah menghambat
kebebasan berorganisasi. Umumnya dilakukan dalam terhadap rakyat pemilik tanah
yang telah mulai kompak dan mulai merasakan perlunya menghadapi para perampas
tanah secara bersama-sama. Untuk mencegah berkembangnya gerakan melawan
perampasan tanah secara luas, biasanya para perampas tanah menggunakan metode
ini.
5. Dampak Perampasan Tanah
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, perampasan
tanah yang dilakukan di Indonesia semakin intensif selama 10-15 tahun terakhir.
Secara mudah hal ini dapat dibuktikan dari perubahan kuantitas (luasan) tanah-tanah
yang telah berhasil dirampas dari tangan rakyat, baik melalui metode lunak
maupun metode keras. Selain itu akibat dari perampasan tanah juga bisa dilihat
dari kehidupan kaum tani secara umum setelah perampasan tanah terjadi ataupun
potensi kehilangan sumber mata pencaharian, kebudayaan, dan lain sebagainya,
serta kekerasan yang menyertai peristiwa-peristiwa perampasan tanah.
5.1 Jumlah Tanah Yang Dirampas dan Kaum Tani
yang Menderita
Selama periode 2004-2010, ada pertambahan dalam
jumlah luasan tanah yang dimiliki perkebunan. Dari data yang berhasil
dikumpulkan dari Dirjen Perkebunan maupun catatan dari Sawit Watch, ternyata
dalam periode 2004-2010 total luas tanah perkebunan yang dikuasai oleh
perkebunan swasta besar (PBS) untuk 7 komoditas (sawit, karet, kakao, teh,
tebu, kelapa, pulp and paper) adalah 21.267.510 hektar. Sementara total luas
perkebunan yang dikuasai oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) untuk lebih dari 7
komoditas di luar Rajawali, adalah sebesar 1.729.251,48 hektar.
Angka-angka ini hendaklah dibaca sebagai berikut:
v Pertama, bahwa sektor perkebunan swasta
besar (PBS) terbukti semakin menguasai perkebunan di seluruh Indonesia
dibandingkan dengan perusahaan milik negara (PTPN). Bila dipersentasekan,
kepemilikan swasta besar dalam sektor perkebunan Indonesia adalah sebesar 92,5%
untuk periode 2004-2010.
v Kedua, luasan tanah di mana pun adalah
tetap alias tidak berubah. Berarti dari total luas gabungan perkebunan yang
dikuasai swasta dan negara selama periode 2004-2010 seluas kurang lebih 22,9
juta hektar itu adalah tanah kepunyaan pemilik tanah sebelumnya (kaum tani) yang
telah beralih penguasaannya ke perkebunan besar swasta dan negara. Jadi,
pertambahan dalam jumlah luasan tanah yang dimiliki perkebunan pada satu sisi,
berarti pada sisi lainnya adalah kehilangan tanah bagi kaum tani.
Ini belum termasuk tanah yang dicadangkan untuk
proyek pengembangan perkebunan kelapa sawit di perbatasan Indonesia – Malaysia
di Kalimantan (Kalimantan Border Oil Palm Mega Project), yang jumlahnya
mencapai 1,8 juta hektar. Secara ringkas, jumlah tanah yang dirampas dari
rakyat untuk pengembangan perkebunan selama periode 2004-2010, dapat dilihat
pada Tabel 8.
Tabel 8
Jumlah Tanah Rakyat yang Dirampas dalam
Periode 2004-2010 untuk Sektor Perkebunan
No
|
Pelaku – Proyek – Program
|
Lokasi
|
Jumlah (hektar)
|
Keterangan
|
Masyarakat yang Kena
|
1
|
PT Perkebunan Nusantara (PTPN)
|
Seluruh Indonesia
|
1.729.251
|
Meliputi lebih dari 7 komoditas perkebunan, di luar
Rajawali
|
Berdasarkan data pada tahun 2008, sedikitnya
10 juta jiwa petani yang hidup dari kebun kelapa sawit swadaya.[40]
|
2
|
Perkebunan Besar Swasta (Cargill, Sinar Mas, dan
lain-lain)
|
Seluruh Indonesia
|
21.267.510
|
Meliputi 7 komoditas perkebunan
|
|
3
|
Kalimantan Border Oil Palm Mega Project
|
Perbatasan Indonesia – Malayasia
|
1.800.000
|
Komoditas sawit untuk produksi energi nabati
|
1-1,4 juta suku bangsa minoritas Dayak di Provinsi
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.[41]
|
|
Total
|
|
24.796.761
|
|
11,4 juta orang
|
Sumber: Eric Wakker, 2006, publikasi
Sawit Watch tentang ekspansi perkebunan kelapa sawit dan Direkorat Jenderal
Perkebunan Republik Indonesia, tentang komoditas perkebunan.
Berdasarkan data yang disajikan dalam tabel ini, maka selama periode
2004-2010, perampasan tanah yang terjadi di sektor perkebunan besar swasta dan
negara meliputi 24,7 juta hektar tanah dan menyengsarakan lebih dari 11,4 juta
orang kaum tani. Jumlah rakyat yang menderita akibat perampasan tanah dalam
sektor perkebunan, diperkirakan jauh lebih besar lagi. Karena ini baru
merupakan jumlah petani yang hidup dari kebun kelapa sawit swadaya. Dengan
demikian, data ini belum mencakup jumlah petani yang hidup dan bekerja dari perkebunan-perkebunan
komoditas lainnya.
Untuk perampasan tanah yang terjadi di dalam sektor pertanian pangan skala
besar, dapat diringkas sebagai berikut:
Tabel 9
Jumlah Tanah Rakyat yang Dirampas dalam
Periode 2004-2010
untuk Sektor Pertanian Pangan Skala
Besar
No
|
Pelaku – Proyek – Program
|
Lokasi
|
Jumlah (hektar)
|
Keterangan
|
Masyarakat yang kena
|
1
|
Merauke Integrated Food and Energy
Estate (MIFEE)
|
Merauke, Papua
|
2.823.000
|
Pertanian pangan dan energi nabati
terintegrasi.
|
175.000
|
2
|
Grup Salim
|
Nusa Tenggara Barat
|
120.000
|
Tebu
|
?
|
3
|
Bakrie Group
|
Nusa Tenggara Timur
|
1.000.000*
|
Kedelai
|
?
|
4
|
Artha Graha Group
|
Jawa Timur, Jawa Tengah dan Lampung
|
Kedelai
|
?
|
|
|
Total
|
|
3.943.000
|
|
175.000
|
Sumber: Majalah GATRA, 03-09 April 2008,
hal.16-19, harian Kompas, 4 Agustus 2010, hal.21, Green Left online,
10 April 2010 dan laporan GRAIN tentang krisis pangan dan perampasan tanah,
Oktober 2008.
* Medco, Bakrie dan Artha Graha Group berinvestasi untuk
ladang kedelai seluas total 1 juta hektar, menyusul terjadinya krisis kedelai
tahun 2008. Investasi Medco masuk dalam Kabupaten Merauke. Angka 1 juta hektar
adalah angka luas tanam kedelai secara nasional pada tahun 2007.
Berdasarkan tabel ini, setidak-tidaknya ada sekitar 3.943.000 hektar lahan
pertanian untuk skema pertanian pangan berskala besar yang akan dirampas oleh
para investor besar. Dan akan membuat sedikitnya 175.000 jiwa menderita dan
tersingkir dari tanah pertaniannya semula.
Khusus untuk perampasan tanah pertanian, proyek MIFEE di Merauke, Papua
yang banyak menyita perhatian. Karena proyek ini akan merusak hutan purba
Papua, mengancam akses pangan rakyat, membangkitkan kembali program
transmigrasi guna mendatangkan tenaga kerja proyek dari pulau-pulau di luar
Papua, dan pembangunan infrastruktur proyek yang begitu luasnya (jalan-jalan
baru, pabrik-pabrik pengolahan energi nabati, dan lain sebagainya). Jumlah
tenaga kerja yang diperlukan untuk proyek pertanian skala raksasa ini adalah
sekitar 6,4 juta orang—tiga kali lipat dari jumlah penduduk Papua yang saat ini
berjumlah 2,1 juta jiwa.[42]
5.2 Sengketa Tanah dan Kekerasan terhadap
Kaum Tani dalam Periode 2004-2010
Perampasan tanah pasti melibatkan kekerasan
terhadap kaum tani. Dalam sejarah perampasan tanah yang terjadi di Indonesia,
penggunaan aparat kekerasan negara seperti kepolisian dan militer sering
digunakan oleh para perampas tanah (pemerintah dan investor modal besar) untuk
menyingkirkan rakyat dari tanah-tanahnya. Seluruh proses perampasan tanah ini
kemudian mengakibatkan terjadinya konsentrasi penguasaan tanah (monopoli tanah)
di tangan para perampas tanah, yang dalam sistem agraria Indonesia dewasa ini mencakup
sistem perkebunan skala besar, industri pangan, pertambangan raksasa, konsesi
kehutanan, infrastruktur pembangunan (bendungan, bandara, jalan), pemukiman
mewah, kawasan taman nasional, dan sarana militer.
Dalam catatan yang ada, kekerasan yang dialami
kaum tani mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
fenomena perampasan tanah di Indonesia dalam periode 2004-2010 memang merupakan
peristiwa yang sehari-hari dihadapi oleh kaum tani Indonesia. Selain itu,
fenomena perampasan tanah pada tingkat nasional menunjukkan kembalinya wujud
pemerintahan yang berwajah fasis (mengandalkan kekerasan militer dan
kepolisian) dalam menyelesaikan konflik-konflik sosial yang ada di dalam
masyarakat, khususnya konflik dan sengketa tanah, yang melibatkan kaum tani.
Di bawah akan kita paparkan secara ringkas,
sejumlah sengketa agraria dan kekerasan yang dialami oleh kaum tani dalam periode
2004-2010, di beberapa provinsi dan sektor guna memperlihatkan wajah fasisme dan
watak boneka dari rezim ini di wilayah pedesaan Indonesia pada hari ini.
Sejak tahun 2004 hingga
Agustus 2008, di Jawa Timur tercatat 25 sengketa tanah yang melibatkan
masyarakat dan militer. Luas tanah yang disengketakan adalah 15.374 hektar. [43]
Sementara itu, Sekretaris Komisi A DPRD Jawa Barat Syaiful Huda mengungkapkan, dari data BPN (Badan Pertanahan Nasional) terdapat 1.200 kasus sengketa tanah di Jawa Barat. Sengketa tanah itu semuanya terjadi antara petani penggarap dengan pemilik perkebunan swasta yang menelantarkan lahan garapannya. Menurutnya, sengketa itu melibatkan 1 juta petani penggarap yang menduduki lahan milik perkebunan swasta yang ditelantarkan. Luas lahan sengketa itu diperkirakan mencapai 500.000 hektar tersebar di Garut, Cianjur, Bogor, Sukabumi, dan Ciamis. Sampai saat ini semua pengusaha perkebunan swasta masih menunggu keluarnya izin perpanjangan hak guna usaha yang rata-rata habis pada 2005 lalu. Huda meminta pemerintah memprioritaskan rencana pembagian lahan bagi penduduk miskin agar diberikan pada petani penggarap.[44]
Untuk kawasan Riau, dalam kurun waktu 20 tahun
terakhir ini, sekitar 3,3 juta hektar hutan alam di Provinsi Riau hilang.
Musnahnya kawasan hutan alam ini disebabkan maraknya investasi sektor kehutanan
dan perkebunan di Riau sejak era tahun 80-an serta aktivitas pembalakan liar (illegal
logging). Sementara itu, menurut laporan Human Rights Watch tahun 2003,
untuk PT. Caltex Pacific Indonesia (CPI) atau PT. Chevron Pacific Indonesia
(CPI) saja mendapatkan jatah seluas 3,2 juta hektar. Dari sekitar 6 juta hektar
HPH di Riau merupakan milik kaum elit di luar Riau. Jika ditotalkan
keseluruhannya, maka peruntukan lahan bagi perkebunan/industri kehutanan skala besar
di Riau seluas 9,5 juta hektar.[45]
Mahkamah Agung (MA) mengaku kewalahan mengatasi
kasus sengketa tanah yang jumlahnya semakin banyak. Menurut Ketua MA Bagir
Manan, dibanding perkara lain, masalah sengketa tanah mendominasi pekerjaan di
lembaga yang dipimpinnya.
"Separo lebih kasus yang masuk MA adalah perkara tanah," ungkap Bagir. Tak mau dianggap tak becus mengatasi sengketa tanah, Bagir melempar kesalahan ke pemerintah. Menurutnya, akar permasalahan sengketa tanah adalah kacaunya administrasi pertanahan.[46]
"Separo lebih kasus yang masuk MA adalah perkara tanah," ungkap Bagir. Tak mau dianggap tak becus mengatasi sengketa tanah, Bagir melempar kesalahan ke pemerintah. Menurutnya, akar permasalahan sengketa tanah adalah kacaunya administrasi pertanahan.[46]
Sementara untuk tahun 2009, dari 60 kasus konflik
lingkungan yang diadvokasi oleh Walhi selama tahun 2009, 19 kasus berhubungan
dengan perkebunan besar dan 14 kasus berhubungan dengan hutan. Dari 19 kasus
perkebunan, 68% merupakan konflik agraria di mana kaum tani harus berhadapan
dengan korporasi besar.[47]
Mengacu data yang dikeluarkan oleh Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Semarang pada tahun 2008, tercatat sejak 2005 ada sembilan kasus
tanah berbasis hutan, dengan total luas lahan yang bersengketa 1.039,59 hektar,
dan 36 kasus tanah berbasis perkebunan di wilayah Jawa Tengah. Di tahun 2006,
kasus tanah hutan meningkat menjadi 16 kasus dengan total luas lahan yang
disengketakan lebih dari 1.722,59 hektar.
Tabel 10 di bawah ini memperlihatkan sejumlah
perampasan tanah dan kekerasan yang dialami oleh kaum tani Indonesia selama
periode 2004-2010 di beberapa wilayah dan sektor.
Tabel 10
Kekerasan yang Dialami Kaum Tani dalam
Periode 2004-2010
No
|
Tempat
|
Waktu
|
Kekerasan
|
Keterangan tentang Sengketa Tanah dan
Kekerasan serta Perlawanan Kaum Tani
|
||
Mati
|
Luka
|
Ditangkap - disiksa
|
||||
|
|
Th 2004
|
|
|
|
|
1
|
DesaTambusai Timur, Riau
|
24 November 2004
|
3
|
4
|
|
Ribuan tani dari desa Tambusai Timur dan Kepenuhan Hulu
melakukan demonstrasi menolak PT Panca Surya Agrindo (PT PSA) yang terus
melanjutkan pendudukan dan operasinya di tanah masyarakat adat. Dalam
demonstrasi itu, sekelompok pamswakarsa (milisi) yang bekerja buat perusahaan
itu, menyerbu para demonstran. Dua orang tani ditusuk sampai mati oleh milisi
perusahaan, yang bersenjatakan panah dan pedang. Selain itu, ada lima orang
menderita luka parah, dan seorang di antaranya kemudian meninggal dunia,
akibat luka-luka yang dialaminya. Protes rakyat dilakukan karena PT PSA
mengembangkan perkebunan kelapa sawit tanpa izin apa pun di atas tanah seluas
2.880 hektar, termasuk di antaranya 2.185 hektar tanah adat kepunyaan desa
Tambusai Timur dan Tambusai Utara.[48]
|
|
Sub Total Th 2004
|
|
3
|
4
|
|
|
|
|
Th 2005
|
|
|
|
|
1
|
Tanak Awu, Lombok Tengah, NTB
|
18 September 2005
|
|
37
|
|
Polisi membubarkan paksa acara peringatan hari tani
nasional, yang diadakan oleh Serikat Tani NTB, yang diikuti oleh seribu
petani. 37 petani menjadi korban, serta seorang perempuan tani hamil
mengalami keguguran, karena diseret dan ditendang aparat. [49]
|
2
|
Kecamatan Pangalengan, Kab Bandung, Jabar
|
10 Desember 2005
|
|
|
|
Didorong oleh adanya tekad untuk mempertahankan hidup
dan mendapatkan penghidupan yang layak, sejak pertengahan tahun 2004,
masyarakat petani setempat yang saat itu berjumlah 700 penggarap mulai
melakukan penggarapan lahan seluas 134 hektar. Tanah itu nyatanya memang
tidak dikelola oleh pihak Perusahaan Daerah Kerta Sari Mamin. Petani melakukan
kegiatan usaha pertanian palawija dan sayur-mayur, yang hasilnya diharapkan
dapat mencukui kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Belakangan mereka
mendapatkan penekanan dari pihak PT. Sada Eka Perkasa dengan alasan akan
dilakukan pembenahan atas lahan dimaksud. Tanggal 10 Desember 2005, sebagian
lahan garapan (kebun palawija dan sayur-mayur) masyarakat diratakan dengan
menggunakan bolduser yang disertai berbagai bentuk ancaman, yang menyebabkan
masyarakat merasa tidak memiliki rasa aman dalam menjalankan kehidupannya
sebagai petani. Namun demikian, kaum tani setempat tetap berusaha
mempertahankan lahan-lahan garapannya.[50]
|
3
|
Desa Semunying Jaya, Kab Bengkayang, Kalimantan Barat
|
12 Desember 2005
|
|
|
|
Warga merampas sebuah beko Komatsu dan enam gergaji
kayu mesin dalam upaya menghentikan penebangan hutan milik rakyat seluas
9.000 hektar. Pembabatan hutan ini dilakukan oleh perusahaan perkebunan
kelapa sawit swasta PT Ledo Lestari sejak bulan Agustus 2005.[51]
|
4
|
Desa Krenceng, Kabupaten Kediri, Jatim
|
Maret 2005
|
|
|
|
Kesatuan Pemangku Hutan Krenceng, Kabupaten Kediri,
membabat ratusan hektar jagung milik petani di atas lahan Perhutani. Pada
tahun 2004, Pengadilan Negeri Kediri memenangkan Perhutani sebagai pemilik
lahan, tetapi petani tetap menanam lahan tersebut dengan berbagai tanaman
pertanian, seperti jagung dan tebu.[52]
|
5
|
Desa Sihaporas, Kec Pematang Sidamanik, Kab Simalungun,
Sumut
|
September 2005
|
|
|
|
Warga desa ini protes dan menuntut pengembalian 1.500
hektar tanah adat mereka yang diklaim masuk areal hak pengelolaan hutan
tanaman industri milik PT Toba Pulp Lestari.[53]
|
|
Sub Total Th 2005
|
|
|
37
|
|
|
|
|
Th 2006
|
|
|
|
|
1
|
Garut, Jabar
|
14 Januari 2006
|
|
|
|
Petani ditangkap dan ditahan oleh Polres Garut, dengan
tuduhan perambahan hutan.
|
2
|
Register 45 Sungai Buaya, Tulangbawang, Lampung
|
20 Februari 2006
|
|
|
1
|
74 rumah petani dirobohkan Satpam PT Silva Inhutani
yang dikawal petugas Dalmas, Brimob, Koramil Mesuji, Polisi Pamong Praja dan
Polisi Kehutanan. Lahan di kawasan Register
45 yang dikuasai oleh PT Silva Inhutani adalah lahan tidur atau tanah terlantar.
PT Silva Inhutani terbukti tidak mampu mengelola lahan seluas 43.000 hektar
dan diperkirakan hanya mampu melakukan penanaman pohon akasia seluas 20.000
hektar.
|
3
|
Kabupaten Timika, Papua
|
21-23 Februari 2006
|
|
|
10
|
Meletus bentrokan terkait protes terhadap pertambangan
Freeport, antara warga dengan keamanan Freeport. 10 orang ditahan. Freeport McMoran (perusahaan tambang dari AS) mengantongi lisensi pertambangan
seluas 2,6 juta hektar di bumi Papua Barat, yang merupakan lokasi
pertambangan emas terbesar di dunia dan pertambangan tembaga ketiga terbesar
di dunia.
|
4
|
Desa Semunying Jaya, Kab Bengkayang, Kalimantan Barat
|
30 Januari – 7 Februari 2006
|
|
|
2
|
Polisi menahan dua orang warga Desa Semunying Jaya yang
memprotes operasi pembabatan hutan
milik rakyat secara ilegal oleh perusahaan sawit swasta PT Ledo Lestari. Protes warga itu
dilakukan pada 12 Desember 2005. Jadi polisi menahan warga satu bulan setelah
kejadian protes tersebut.
|
5
|
Desa Senujuh, Kalimantan Barat
|
19 Maret 2006
|
|
|
|
Para petani menghentikan 31 pekerja PT WSP dan menyita
sebuah beko dan 5 gergaji kayu mesin yang digunakan para pekerja itu untuk
membabat hutan dan kebun karet milik masyarakat. PT WSP dimiliki hampir
seluruhnya oleh keluarga pimpinan Wilmar International, yang merupakan salah
satu perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia, menguasai sekitar 573.000
hektar tanah perkebunan. Selain itu, Wilmar Group merupakan salah satu pabrikan
energi nabati terbesar di dunia, yang sedang gencar-gencarnya melakukan
ekspansi perkebunan sawitnya di Kalimantan Barat.[54]
|
6
|
Desa Talang Tujuh Bawah Tangga, Rakit Kulim, Kab Indragiri
Hulu, Riau
|
September 2006
|
|
|
|
Hak ulayat masyarakat suku Talang Mamak, penghuni desa
tersebut, hilang setelah lahan seluas 6.600 hektar yang semula merupakan
areal HPH diubah menjadi HTI. Berdasarkan UU No 41/1999, konsesi HPH tidak
boleh dialihfungsikan menjadi HTI. Puncak sengketa, masyarakat melakukan
unjuk rasa dan terjadi bentrokan dengan petugas keamanan.
|
|
Sub Total Th 2006
|
|
|
|
13
|
|
|
|
Th 2007
|
|
|
|
|
1
|
Desa Rambai, Kec. Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir
(OKI), Sumsel
|
25 April 2007
|
|
1
|
2
|
2 petani
dtangkap dan 1 ditembak oleh Polsek Pampangan, Polres OKI. Penangkapan ini mengikutsertakan pamswakarsa dari PT.
Persada Sawit Mas (PSM). Kasus ini disebabkan oleh izin
lokasi PT PSM yang diterbitkan oleh Bupati OKI ternyata berada pada wilayah
pertanian warga masyarakat Rambai. Sehingga mendapatkan perlawanan
masyarakat.
|
2
|
Desa Kuala Mulya, Kec.Kuala Cenaku, Kab.Indragiri Hulu,
Riau
|
16-20 April 2007
|
|
|
3
|
3 orang ditangkap saat ratusan warga berusaha
menghentikan aktivitas PT Banyu Bening Utama (Grup Duta Palma) yang
beroperasi di lahan ber-status quo.
|
3
|
Dusun Persaguan Nagori Mariah Hombing, Kec. Huta Bayu
Raja, Kab Simalungun, Sumut
|
19 April 2007
|
|
20
|
17
|
2 truk polisi dan pamswakarsa mendatangi desa tersebut
mencari anggota Forum Petani Nagori Mariah Hombing karena masyarakat menolak rencana
perusahaan PT Kuala Gunung membuat saluran air di desa mereka untuk mengairi
kebun sawit perusahaan. Rencana ini ditolak oleh warga, karena tanah
perkebunan tersebut dalam sengketa dengan tani. Selain itu, pembangunan kanal
air oleh perusahaan akan mengakibatkan pertanian masyarakat terancam kering.
Kedatangan polisi dan pamswakarsa memicu perhatian warga. Warga yang datang
justru ditangkap dan dipukuli polisi. Terdapat 20 petani yang mendapatkan
perlakuan kekerasan ini. Sementara, 17 petani ditangkap dan ditahan tanpa
alasan jelas.
|
4
|
Desa Sigedang, Kec.Kejajar, Kab Wonosobo, Jateng
|
19 April 2007
|
|
|
50
|
50 petani ditangkap Polres Wonosobo karena menggarap
lahan yang diklaim milik Perhutani.[55]
|
5
|
Desa Bukit Keramat, Desa Minas Asal, Kab Siak, Riau
|
13-14 April 2007
|
|
|
1
|
Seorang ibu ditangkap dan 100 orang diusir dalam
sengketa antara warga yang tergabung dalam Komite Perjuangan Pengembalian
Tanah Rakyat Riau dan PT Arara Abadi (anak perusahaan PT Indah Kiat Pulp and
Paper, Grup Sinar Mas).
|
6
|
Desa Kaliputih, Banyuringin, Singorojo, Kendal Jateng
|
5 April 2007
|
|
|
|
Ribuan pohon pisang, singkong, dan tanaman lain di
areal 120 hektar dirusak orang perusahaan. Aksi
perusakan ini merupakan kelanjutan dari surat pemberitahuan PTPN IX tentang
rencana PTPN IX melakukan penanaman pohon karet di lahan yang bersengketa.
|
7
|
Desa Kebonrejo, Kalibaru, Banyuwangi, Jatim
|
15 Maret 2007
|
|
|
17
|
17 petani anggota Petani Penggarap Margo Rukun Lestari
(Marules) ditahan aparat polres setempat tanpa surat tugas. Akibatnya, 496 kepala keluarga (KK) yang mengelola 570 ha
lahan yang diklaim sebagai wilayah HGU PTPN XII mengungsi ke Masjid karena
ketakutan.
|
8
|
Desa Kuanoel, Fatumnasi, Timor Tengah Selatan (TTS),
NTT
|
23 Februari 2007
|
|
|
1
|
Polres TTS menangkap paksa seorang warga setelah
menolak kehadiran PT Teja Sekawan untuk menambang marmer.
|
9
|
Desa Kontu, Muna, Sulawesi Tenggara
|
19 Februari 2007
|
|
|
|
Petani Kontu-Muna terancam digusur setelah berselisih
dengan Bupati Muna.
|
10
|
Desa Sukamulya Rumpin, Bogor, Jabar
|
22 Januari 2007
|
|
2
|
10
|
2 petani ditembak,
5 disiksa, 4 ditahan, 1 diculik dalam konflik agraria dengan TNI AU. Sekitar
500 orang kaum tani, dari bapak-bapak, ibu-ibu dan anak-anak melakukan
penghadangan terhadap pasukan TNI AU
yang menggunakan seragam dengan dilengkapi senjata. Dalam aksinya, kaum tani ada yang membawa alat pertanian seperti pacul,
ada pula yang membawa potongan bambu.
|
11
|
Desa Salulebo, Topoyo, Mamuju, Sulawesi Barat
|
14-17 Februari 2007
|
|
9
|
19
|
Forum
Aliansi Masyarakat Tani Mamuju diserang oleh milisi sipil bayaran PT. Astra
Agro Lestari bersama dengan Brimob Sulbar saat sedang berada di lahan garapan
mereka. Kaum tani melawan. Akibat bentrokan ini, 1 orang anggota milisi
perusahaan tewas. Di pihak kaum tani, ada 9 orang mengalami luka-luka
dan 19 orang kaum tani ditangkap.
|
12
|
Bandar Betsi, Deli Serdang, Sumut
|
23 Januari 2007
|
|
|
|
Bentrok antara
Brimob dan Rakyat Tani Bandar Betsi. Warga yang
telah mempunyai pengalaman perjuangan panjang merebut hak atas lahan,
melakukan perlawanan atas pengusiran paksa ini yang berakhir dengan
bentrokan, hingga aparat brimob, PTPN dan aparat birokrasi
mundur.
|
13
|
Desa Runtu Arut Selatan, Kotawaringan Barat, Kalteng
|
14 Januari 2007
|
|
|
|
Sengketa masyarakat Runtu dengan PT Mitra Mendawai
Sejati.
|
14
|
Desa Alas Tlogo, Kec Lekok, Kab Pasuruan, Jatim
|
30 Mei 2007
|
4
|
8
|
|
4 petani tewas, dan 8 luka-luka setelah ditembak
Marinir TNI AL. Peristiwa ini dipicu sengketa tanah seluas 539 hektar, yang
juga diklaim oleh PT Rajawali Nusantara.[56]
|
|
SubTotal Th 2007
|
|
4
|
40
|
120
|
|
|
|
Th 2008
|
|
|
|
|
1
|
Desa Karangsari, Kec Pakenjeng, Kab Garut, Jabar
|
30 April 2008
|
|
|
10
|
Ribuan masyarakat dari Kecamatan Bungbulang, Pakenjeng,
Cikelet dan Caringin, Kabupaten Garut mendatangi lokasi perkebunan besar
swasta (PBS) PT Condong Garut. Mereka menginginkan sebagian tanah perkebunan
seluas 7.981 hektar yang dikelola PT Condong Garut dikembalikan. Setelah aksi
ini, pada tanggal 10 Juni 2008, 10 orang petani desa Karangsari dipanggil oleh pihak
kepolisian resort Garut dengan tuduhan melakukan tindak pidana pembakaran. 9
orang terkena pasal KUHP, dan 1 orang terkena pasal UU No.18/2004 tentang Perkebunan.
|
2
|
Desa Kebon IX dan Desa Talang Belido, Kec Sungai Gelam,
Kab Muara Jambi, Jambi
|
Mei 2008
|
|
|
|
Pada pertengahan bulan Mei 2008 Polda Jambi datang ke
areal lahan milik masyarakat dengan mengerahkan pasukan BRIMOBnya dan mengukur
lahan milik masyarakat yang telah dikelola masyarakat sejak tahun 1982. Menurut
pihak Polda mereka telah mendapatkan izin dan pelimpahan lahan tersebut dari
Pemda Jambi seluas 40 ha untuk lokasi pembangunan MAKOPOLDA Jambi dan Mako Sat
Brimobda Jambi, seluas 30 ha. Lahan itu adalah areal eks PT. Kemenyan yang berada di
dalam kawasan Desa Kebon IX dan Desa
Talang Belido Kecamatan Sungai Gelam, Kabupaten Muara Jambi. PT Kemenyan mempunyai
izin HGU seluas 726 hektar. Sekitar
tahun 1982, setelah HGU PT Kemenyan habis dan belum diperbaharui lahan
tersebut menjadi terlantar dan saat itulah masyarakat mulai masuk dan
menggarap lahan tersebut. Pada tahun 1983 telah ada 140 KK yang mengelola
lahan tersebut dan hingga sekarang dalam kurun waktu 25 tahun, telah berkembang
menjadi lebih kurang 900 jiwa dan telah menjadi sebuah perkampungan dan
perkebunan milik masyarakat. Masyarakat menolak penggusuran dan menghadang serta
melarang alat berat milik Polda beroperasi pada pertengahan bulan Mei 2008.
|
3
|
Desa Durin Tonggal, Pancur Batu, Deliserdang, Sumatera
Utara
|
23 Juni 2008
|
|
|
6
|
Penangkapan kepada petani warga Dusun 4+5 (Kutalepar
& Tebing Ganjang) Desa Durin Tonggal yang tergabung dalam kelompok Tani
Arih Ersada Aron Bolon (AEAB) yang berjuang untuk mendapatkan hak-hak atas
penghidupannya (lahan seluas 102 Ha) kembali terjadi yakni tertanggal 23 Juni
2008 yang menimpa 1 orang petani atas nama Sastra Perangin-angin, setelah
penangkapan sebelumnya yang menimpa 5 orang petani (Jusia, Simson, Muliono,
Udin dan Julianton) pada Maret-April
2008. Dan penangkapan yang terjadi ini layaknya seperti bentuk penculikan
hingga penganiayaan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian dari Polsek Pancur
Batu. Tanah 102 hektar yang disengketakan berada dalam areal
Eks PTPN II di luar HGU, Desa Durin Tonggal, Pancur Batu, Kabupaten Deli
Serdang.
|
4
|
Ujung Genteng, Kabupaten Sukabumi, Jabar
|
Juli – Agustus 2008
|
|
|
|
Konflik sengketa tanah antara masyarakat desa Ujung
Genteng dengan TNI Angkatan Udara (TNI AU) berbuntut intimidasi dan
tindak kekerasan yang dilakukan aparat TNI AU terhadap masyarakat setempat. Konflik tanah ini bermula ketika TNI AU
memancang sejumlah patok di desa yang dihuni 592 kepala keluarga. Warga yang
tidak senang mencabut patok di atas tanah sengketa seluas 85 hektar tersebut.
Warga beralasan, tanah yang dipatok merupakah wilayah mereka secara de facto,
dan de jure. De Jure, mereka memiliki sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh
Badan Pertanahan Nasional sejak 1998, sementara de facto mereka mendiami
kawasan itu sejak tahun 1945.
|
5
|
Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar,
Sulawesi Selatan
|
10 Oktober 2008
|
|
2
|
|
Tanggal 10 Oktober 2008 beberapa
warga Polombangkeng Utara yang telah mengolah kembali kembali lahan mereka
yang dikuasai oleh PTPN XIV dengan asumsi kontrak sewa PTP XIV telah berakhir,
mengalami kekerasan yang kemudian dikenal dengan “Insiden Pakkawa”. Warga dan
Brimob terlibat pertengkaran yang memerintahkan warga untuk membubarkan diri
dan pulang sambil mendorong-dorong warga dengan dipepet dan dipiting pada leher.
Karena tidak mau bersitegang dan melihat gelagat yang tidak baik, maka
masyarakat berinisiatif mundur dan berbalik untuk pulang. Pada saat warga
berbalik untuk pulang tiba-tiba terdengar suara rentetan senjata yang
diarahkan ke bawah tepat dibelakang warga. Penembakan serta penangkapan
dilakukan terhadap warga. Dalam insiden tersebut menimbulkan korban di pihak
warga; yakni 2 orang terkena tembak dan beberapa korbannya mengalami
luka-luka.[57]
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sub Total Th 2008
|
|
|
2
|
16
|
|
|
|
Th 2009
|
|
|
|
|
1
|
Kecamatan Polongbangkeng Utara dan Kecamatan Polongbangkeng Selatan, Kabupaten
Takalar, Sulawesi Selatan
|
15 Juli 2009
|
|
|
10
|
Tanggal
15 Juli 2009 warga melakukan aksi unjuk rasa di lokasi PTPN XIV hingga sempat
terjadi keributan antara warga dengan pihak PTPN XIV yang melakukan aktivitas
pengolahan tebu di lahan masyarakat. Bentrok ini dipicu oleh pernyataan staf
PTPN VIV di tengah-tengah perkebunan dan kerumunan warga/petani yang
menyatakan warga tidak berhak atas lahan tersebut. Warga pun memprotes dan
mengejar staf PTPN tersebut serta menghadang laju alat-alat berat PTPN XIV.
Akibat kejadian tersebut pihak kepolisian Polres Takalar melakukan
pemanggilan, penangkapan dan pemeriksaan terhadap 10 orang warga yang,
beberapa diantaranya dijemput paksa dan 2 orang ditahan di Kantor Polres
Takalar. [58]
|
2
|
Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah
|
30 September 2009
|
|
|
|
Ribuan petani yang tergabung dalam Koalisi Petani
Kabupaten Banggai untuk Keadilan berdemonstrasi di Kantor Kepolisian Resort
(Polres), Kantor Pengadilan Negeri dan Kantor Bupati Banggai pada tanggal 30
September 2009. Mereka menuntut penyelesaian sejumlah kasus tanah di dataran
Toili. Petani mendesak Pemkab Banggai untuk menghentikan ekspansi perkebunan
sawit di Banggai, agar mengembalikan tanah rakyat yang digusur oleh PT KLS
(Kurnia Luwuk Sejati), menyetop penebangan hutan yang menyebabkan erosi,
banjir, dan kekeringan. [59]
|
|
Sub Total Th 2009
|
|
|
|
10
|
|
|
|
Th 2010
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1
|
Desa Moilong, Kec Toili, Kab Banggai, Sulawesi Tengah
|
5 Januari 2010
|
|
|
1
|
Ratusan warga di Desa Moilong, Kecamatan Toili,
Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah, terlibat bentrok dengan karyawan
perusahaan kelapa sawit PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS), saat melakukan
pendudukan kembali lahan sengketa seluas 1.500 hektar. Seorang tim advokasi warga
sempat ditahan oleh pihak PT KLS.[60]
|
|
|
|
|
|
|
|
2
|
Kecamatan Toili dan Toili Barat, Kab Banggai, Sulawesi
Tengah
|
26 Mei 2010
|
|
|
3
|
Massa petani yang berasal dari 5 desa (Singkoyo,
Moilong, Piondo, Bukit Jaya), Kecamatan Toili dan desa Mekarsari Kecamatan
Toili Barat, berkumpul di desa Piondo untuk kembali melakukan aksi tekanan
terhadap pihak perusahaan PT Berkat Hutan Pusaka (BHP) agar segera membuka
jalur transportasi petani menuju kebun dan sawah petani. Massa aksi petani
yang berjumlah 250 orang secara spontan melempari kantor HTI kemudian
membakar 1 unit buldoser, 1 unit eskavator, serta membakar camp divisi 3
milik PT BHP. Pada sore harinya, Polsek Toili dan Polres Banggai menangkap dan
menahan Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) dan Ketua PEPSI, dan
kemudian salah satu petani lainnya. Sebagai respon terhadap penahanan dan
penangkapan atas 2 aktivis dan 1 petani itu, sekitar 500 orang massa petani
dari beberapa desa di Kecamatan Toili Kabupaten Banggai mendatangi Polsek
Toili pada malam harinya.[61]
|
3
|
Desa Koto Cengar, Kec Kuantan Mudik, Kab Kuantan
Singingi, Riau
|
8 Juni 2010
|
2
|
45
|
11
|
Ada 2 petani yang menemui ajalnya
karena ditembak oleh aparat Brimob Kepolisian Polda Riau pada tanggal 8 Juni
2010. Diketahui dua petani yang ditembak mati oleh polisi itu bernama Yusniar
(45 thn) dan Disman (43). Petani
perempuan yang bernama Yusniar meninggal dtembak peluru polisi tembus di
bagian dada dari belakang. Selain itu, akibat tindakan brutal aparat Brimob
ini telah teridentifikasi 20 petani luka berat dan 25 petani luka ringan, 11
orang ditahan, ratusan orang disandera di PT Tri Bakti Sarimas (TBS), 1 mobil
masyarakat rusak berat, dan 30 kendaraan sepeda motor masyarakat rusak berat.
Peristiwa kekerasan yang menimpa petani Riau ini berawal dari aksi demonstrasi
petani kelapa sawit, yang selama ini berkonflik dengan PT TBS. Massa tani masuk
areal perkebunan untuk memanen tandan sawit. Ketika panen sedang berlangsung,
polisi masuk dan menghadang, mengejar bahkan menembaki petani dengan senjata
api, yang menyebabkan tewasnya dua petani.[62]
|
4
|
Desa Pering Baru, Kec Semidang Alas Maras, Kab Seluma, Bengkulu
|
23 Juli 2010
|
|
|
21
|
Bentrokan antara petani dengan aparat
kepolisian yang terjadi pada tanggal 23 Juli 2010, bermula dari masalah
sengketa tanah antara PTPN VII dengan masyarakat setempat. Lahan sengketa
tersebut seluas 518 hektar yang dipinjam oleh PTPN VII selama 25 tahun, dan
seharusnya dikembalikan pada bulan Februari 2010. Sejak tahun 1985, lahan
warga di 4 desa, yaitu Pering Baru, Tebat Sibun, Padang Kelapo, dan desa Tabo
telah dicaplok oleh PTPN VII untuk dijadikan kawasan kebun inti kelapa sawit.
Seorang warga tewas yang memprotes perampasan tanah ini diterjang peluru dari
pasukan Brimob yang menjaga lahan PTPN VII pada tahun 2003. Karena hal
itulah, maka pada tanggal 23 Juli 2010, petani memprotes PTPN VII dan hendak
merebut kembali tanah mereka. Namun pihak kepolisian akhirnya membubarkan
secara paksa demonstras itu dan melakukan pelecehan seksual kepada 6 orang
perempuan yang ikut dalam massa aksi, di mana mereka disuruh membuka baju
oleh aparat kepolisian. Akibatnya, dari pembubaran paksa itu, 21 orang yang
terdiri dari 2 orang aktivis Walhi dan 19 petani Pering Baru ditangkap dan
disiksa terlebih dahulu. Orang-orang yang ditangkap mengalami penyiksaan
hingga patah kaki, pingsan, dan sebagainya.[63]
|
5
|
Desa Kepil, Kec Kepil, Kab Wonosobo, Jateng
|
26 Juli 2010
|
|
|
2
|
Pada tanggal 26 Juli 2010, seorang
petani bernama Faizin di Desa Kepil, Kecamatan Kepil Kabupaten Wonosobo
sedang memanen sebagian kayunya untuk dijual dengan tujuan memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari keluarganya. Di tengah-tengah aktivitas tersebut, tiba-tiba
10 orang polisi hutan (Polhut) mendatangi dan menangkapnya dengan tuduhan
mencuri kayu milik perhutani setempat dan langsung dibawa ke Polsek Kepil.
Setelah itu, polisi hutan (Polhut) menangkap seorang lagi bernama Fathul
Rohman, kakaknya Faizin di rumahnya dan langsung dibawa ke Polsek Kepil juga.
Kedua orang kakak beradik itu kemudian langsung di bawa ke Polres wonosobo dan
ditahan.[64]
|
6
|
Desa Senyarang, Kec Senyarang, Kab Tanjung Jabung
Barat, Jambi
|
3 Agustus 2010
|
|
5
|
|
Tindakan represif dilakukan oleh aparat Kepolisian
Resor Tanjung Jabung Barat berlangsung ketika ribuan petani tengah menduduki
kebun akasia PT Wira Karya Sakti (WKS) yang diklaim sebagai lahan rakyat seluas
7.224 hektar, pada tanggal 3 Agustus 2010.
Atas dasar itulah, PT WKS, yang merupakan anak perusahaan Sinar Mas,
kemudian mendatangkan aparat gabungan Kepolisian yang berkekuatan 3-4 SSK
dengan senjata lengkap dan unit Dalmas Satuan Brimob, yang dipimpin langsung
oleh Wakapolres Tanjung Jabung Barat, Komisaris Polisi Bambang H. Konflik
antara petani dengan perusahaan hutan tanaman industri (HTI) ini sudah
berlangsung selama 3 tahun. Akibat pembubaran aksi massa petani oleh polisi
ini, akhirnya menyebabkan 3 orang petani terluka, 2 orang petani (Iman dan
Yusuf) tertembak dan mengalami luka-luka di wajahnya.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sub Total Th 2010
|
|
2
|
50
|
38
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
TOTAL 2004-2010
|
|
9
|
133
|
197
|
|
Sumber: Laporan-laporan AGRA; Kompas, 30 Juni
2007; Kompas, 31 Mei 2007; Kompas,
2 Mei 2008; Laporan-laporan dan website KPA dan Walhi;
PBHI, Right to Food: From Justicibiality to Agrarian
Reform, 2007; Serge Marti, Losing Ground, 2008, dan lihat catatan
kaki dari masing-masing konflik tanah yang diuraikan dalam tabel ini.
Dari data yang terungkap dalam Tabel 10, terlihat
bahwa kekerasan terhadap kaum tani begitu mendominasi fenomena perampasan tanah
yang terjadi selama periode 2004-2010. Data ini hanyalah puncak dari gunung es
dalam perampasan tanah di Indonesia pada hari ini, karena hanya berhasil
mendata sebagian kecil dari perampasan tanah dan kekerasan terhadap kaum tani yang
menyertainya, yang terjadi dalam periode 2004-2010.
Menurut angka sementara yang dihasilkan dari Tabel
10 – yang sumber datanya diperoleh melalui saluran-saluran terbuka seperti laporan
media massa, laporan-laporan organisasi yang terlibat dalam membantu perjuangan
kaum tani (organisasi petani dan kalangan lembaga swadaya masyarakat dan
lain-lain), saksi mata yang terlibat dalam aksi kaum tani dan lain sebagainya –
selama periode 2004-2010, rezim politik hari ini paling sedikit telah
membunuh 9 orang petani, melukai melalui tembakan senjata api dan bacokan
senjata tajam terhadap 133 orang petani, dan menangkap, menyiksa dan menahan
sekitar 197 orang petani.
Oleh karenanya, kita dapat menyimpulkan tiga pandangan
berikut yang menyangkut fenomena perampasan tanah dan kekerasan terhadap kaum
tani selama periode 2004-2010, dari data yang berhasil dihimpun dalam Tabel 10,
yakni:
Pertama, dalam setiap kasus perampasan tanah, hampir
selalu pihak pemerintah dan perusahaan skala besar yang bersengketa dengan kaum
tani, mengundang keterlibatan aparat keamanan (kepolisian dan militer), untuk
mengatasi demonstrasi dan protes kaum tani yang menuntut hak atas tanahnya. Hal
ini menimbulkan kekerasan terhadap kaum tani. Kekerasan yang semakin meningkat
terhadap kaum tani ini (pembunuhan, penembakan, penyiksaan, penangkapan,
penahanan, dan teror) dengan jelas memperlihatkan bahwa rezim SBY-Budiono mengandalkan
alat kekerasan negara untuk memadamkan protes-protes kaum tani. Dengan kata
lain, kecenderungan fasisme (watak militeristik) dari rezim SBY-Budiono telah mulai
terwujud dalam seluruh proses perampasan tanah yang terjadi yang diuraikan
dalam periode ini.
Kedua, selama periode 2004-2010, perlawanan kaum tani
terhadap perampasan tanah begitu gigih dan militan, sehingga dibutuhkan
kekuatan bersenjata dan aparat kekerasan negara untuk memadamkan protes dan
perlawanan kaum tani itu. Bahkan kaum tani di beberapa tempat telah memberikan
perlawanan setimpal atas perampasan tanah yang sedang terjadi hari ini, yang
pada gilirannya juga menyebabkan kaum perampas tanah dan para pendukungnya
menemui ajalnya. Keberhasilan kaum tani dalam memukul mundur para perampas
tanah di beberapa lokasi sengketa tanah, dan setelah itu, menduduki dan
mengolah tanah yang sedang dipersengketakan tersebut – yang dalam banyak
sengketa, dapat dibuktikan secara sosiologis maupun hukum merupakan tanah milik
kaum tani – menunjukkan bahwa persoalan tanah
adalah soal hidup atau mati bagi kaum tani. Tidak ada jalan mundur bagi kaum
tani dalam perjuangan menuntut tanah, melawan atau tumpas. Artinya, meskipun
perampasan tanah terus mengalami kenaikan dan kaum tani mengalami kekerasan
bersenjata yang dilakukan oleh aparat keamanan negara (polisi dan tentara) maupun
oleh pamswakarsa atau milisi sipil yang dibayar oleh perusahaan-perusahaan
besar yang bersengketa dengan kaum tani, hal tersebut tidak menyurutkan
kebangkitan kaum tani untuk melawan perampasan tanah tersebut. Dengan demikian,
hal ini membuktikan bahwa kaum tani adalah salah satu kekuatan politik yang sedang
bangkit dan melawan rezim SBY-Budiono.
Ketiga, jumlah kaum tani yang sedang bangkit dan melawan
rezim SBY-Budiono ini mencapai ratusan ribu kaum tani, bahkan jutaan kaum tani,
jika data ini bisa dilengkapi dan diperiksa dengan lebih baik. Hal ini bisa
dilihat dari sejumlah aksi petani yang dilakukan di lokasi-lokasi sengketa
tanah, jumlah massa petani yang melawan
dan melakukan aksi protes petani, dapat mencapai angka ribuan orang atau paling
sedikit ratusan orang, dalam satu kali aksi protes. Dan perlawanan kaum tani
ini tersebar merata dan meluas di seluruh penjuru Indonesia, serta meliputi
berbagai sektor yang ada, baik di perkebunan, kehutanan, pertanian pangan,
pertambangan, pembangunan infrastruktur militer, pembangunan infrastruktur
jalan tol dan arteri, bahkan pembangunan kawasan pemukiman mewah (properti),
lapangan golf, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, bisa dikatakan perlawanan
kaum tani dalam periode 2004-2010 terhadap rezim sudah bersifat nasional.
6. Kesimpulan
Perampasan tanah pada hari ini yang terjadi dalam
konteks baru dan menggunakan segala macam cara untuk membenarkannya, perlu
dimengerti oleh kaum tani. Konteks baru tersebut adalah krisis umum
imperialisme telah memberikan tekanan yang luar biasa kuatnya kepada kaum
imperialis untuk melakukan investasi secara besar-besaran di dalam sektor
pertanian dan perkebunan. Artinya, perampasan tanah kaum tani merupakan
fenomena atau kejadian yang mendominasi dalam krisis umum imperialisme, yang
terjadi dalam waktu 10-15 tahun terakhir. Hal ini dilakukan kaum imperialis guna
menyelamatkan mereka sendiri dari kebangkrutannya, yang tercermin dalam krisis
menyeluruh yang terjadi secara sekaligus dan serentak yakni krisis finansial
global, krisis pangan dunia, dan krisis energi. Krisis yang sifatnya menyeluruh
ini bukanlah sekedar krisis yang biasa-biasa saja bagi kaum imperialis, tapi
merupakan krisis kontemporer dari kapitalisme monopoli yang selama ini telah
menghancurkan kehidupan milyaran orang di seluruh dunia.
Tepat pada saat menjelang kebangkrutannya
tersebut, kaum imperialis menyadari bahwa satu-satunya jalan guna menyelamatkan
dirinya adalah menindas lebih keras dan mengeksploitasi lebih dalam terhadap
rakyat dan kekayaan alam yang masih ada. Dalam latar belakang itulah perampasan
tanah yang terjadi pada hari ini menjadi lebih vulgar dan brutal.
Guna menutupi kebrutalan mereka dalam merampas
tanah pertanian misalnya, kaum imperialis memakai topeng peningkatan produksi
pangan. Mereka dengan gencar mempromosikan bahwa pertanian skala kecil yang
dikerjakan oleh kaum tani pemilik tanah-tanah pertanian yang sempit, tidak
mampu memproduksi pangan secara berkelanjutan, sehingga untuk memproduksi
pangan harus diserahkan kepada pertanian skala besar dan industri pangan.
Artinya tanah-tanah pertanian skala sempit yang saat ini dikuasai oleh para
petani gurem dan petani sedang-bawah akan dikonsolidasikan secara besar-besaran
untuk menjadi lahan pertanian skala raksasa, di mana relasi produksi dalam
sistem perkebunan yang selama ini dikenal yakni relasi inti dan plasma akan
mendominasi wajah pertanian skala besar ini. Dengan kata lain, perampasan tanah
untuk dijadikan pertanian pangan skala besar, di mana kaum tani akan
ditempatkan semata-mata sebagai buruh upahan dalam skema ini, akan semakin
menyebabkan krisis pangan makin hebat.
Demikian pula halnya, guna menutupi kebrutalan
kaum imperialis dalam merampas tanah-tanah perkebunan, mereka tutupi dengan
topeng memproduksi bahan bakar nabati sebagai bahan energi alternatif yang
ramah lingkungan. Padahal maksud sesungguhnya adalah memproduksi profit
semaksimal mungkin, karena kecenderungan harga bakar bakar minyak yang semakin
mahal dan produksinya yang semakin menyusut dalam masa 20 tahun yang akan
datang. Dalam situasi semacam ini, maka bahan bakar nabati akan menjadi emas
hijau, di mana harganya akan semakin menguntungkan bagi kaum imperialis yang telah
menanamkan uangnya dalam produksi bahan bakar nabati. Oleh karenanya, kita
melihat kecenderungan kaum imperialis untuk menanamkan investasinya dalam
sektor perkebunan untuk memproduksi bahan bakar nabati (agrofuel/biofuel)
begitu maraknya pada hari ini. Dan untuk mengamankan perkebunan-perkebunan ini,
maka alat represi (kepolisian dan militer) digunakan seefektif mungkin oleh
kaum imperialis. Dengan demikian, wujud fasisme sangat terasa dalam sengketa di
tanah-tanah perkebunan, di mana aparat kepolisian dan militer, dengan mudahnya membunuh,
menembak, menangkap, menyiksa, menteror, dan menahan kaum tani.
Untuk konteks Indonesia sendiri, selama periode
2004-2010, rezim politik hari ini paling sedikit telah membunuh 9 orang petani,
menembak dan membacok yang mengakibatkan 133 orang petani mengalami luka-luka
parah maupun ringan, dan menangkap, menyiksa dan menahan sekitar 197 orang
petani, dalam upaya mengamankan perampasan tanah yang mereka lakukan.
Dalam periode yang sama, perampasan tanah yang
terjadi di sektor perkebunan besar swasta dan negara meliputi 24,7 juta hektar
tanah dan menyengsarakan lebih dari 11,4 juta orang kaum tani. Jumlah rakyat
yang menderita akibat perampasan tanah dalam sektor perkebunan, diperkirakan
jauh lebih besar lagi. Karena data ini baru merupakan jumlah petani yang hidup
dari kebun kelapa sawit swadaya.
Sementara untuk perluasan skema pertanian pangan skala raksasa, setidak-tidaknya
ada sekitar 3.943.000 hektar lahan pertanian yang akan dirampas oleh para
investor besar dan akan membuat sedikitnya 175.000 jiwa menderita dan
tersingkir dari tanah pertaniannya semula. Termasuk salah satunya adalah proyek
Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau Proyek Pengembangan
Energi dan Pangan Terintegrasi Merauke di Kabupaten Merauke, Papua, yang
bermaksud memproduksi pangan dan energi bahan bakar nabati secara besar-besaran
di atas tanah seluas 2,8 juta hektar.
Menghadapi konteks baru dari penindasan dan
penghisapan dalam latar belakang krisis umum imperialisme ini, maka tiada lain
jawaban kaum tani, kecuali memperhebat perlawanan, berjuang secara teguh, dan
mendidik diri lebih keras, memperkuat kerja-kerja aliansi, dan memperbanyak
aktivis-aktivis massa yang sungguh-sungguh mengabdikan diri guna membebaskan
kaum tani Indonesia dari musuh-musuhnya yakni imperialisme dan feodalisme.
Karena bagi kaum tani Indonesia soal tanah adalah soal hidup atau mati, maka
tiada jalan lain yang harus dilakukan oleh kaum tani, kecuali melawan melalui
perjuangan massa atau tumpas digusur oleh para perampas tanah.
Melalui perjuangan massa, gerakan kaum tani harus
menekankan pentingnya reforma agraria (land reform) sebagai kesimpulan
umum yang semakin tegas pada saat ini. Naiknya gerakan massa kaum tani di
berbagai penjuru negeri dan tingginya kekerasan bersenjata yang dilakukan oleh
aparat kekerasan negara dalam sengketa-sengketa tanah di Indonesia memberikan
dasar politik yang konkret untuk pelaksanaan reforma agraria.
Dengan menggunakan momentum krisis umum
imperialisme saat ini, gerakan kaum tani harus terus memperhebat perjuangan
massa untuk menuntut hak-hak sosial ekonomi dan sekaligus meningkatkan
perjuangannya ke bentuk-bentuk perjuangan politik yang lebih maju. Inilah saat
yang tepat bagi gerakan rakyat Indonesia dan gerakan kaum tani pada khususnya
untuk mengambil prakarsa politik memimpin sendiri perjuangannya melawan rezim
anti-rakyat dan anti-kaum tani.
***
[1] Lihat selanjutnya
ulasan A. Prasetyantoko, Bencana Finansial: Stabilitas sebagai Barang
Publik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, November 2008, hal. 163-204.
[3]Lihat majalah mingguan Tempo, edisi
19 Oktober 2008, Laporan Utama: Krisis Ekonomi Global, “Pontang-panting Meredam
Prahara,” hal. 92.
[4] Lihat “Akuisisi: Berkah Terselubung dari
Guncangan Finansial di AS,” dalam harian umum Kompas, 12 Januari 2008,
hal.21.
[5] Lihat “Akuisisi:
Berkah Terselubung dari Guncangan Finansial di AS,” dalam harian umum Kompas,
12 Januari 2008, ibid.
[6] Lihat majalah
mingguan Tempo, edisi 19 Oktober 2008, Laporan Utama: Krisis Ekonomi
Global, “Pontang-panting Meredam Prahara,” hal. 91-101.
[7] Lihat majalah
berita ekonomi dan bisnis Trust, edisi 16-22 Maret 2009, “Dunia Makin
Meleleh,” hal. 10-17.
[9] Lihat “Ekonomi
Global Diprediksi Melambar,” dalam harian umum Koran Tempo, 31 Januari
2008, hal.B7.
[10] Fueling
Disaster: A Community Food Security Perspective on Agrofuels, Laporan oleh
the Community Food Security Coalition International Links Committee, Desember
2007, hal. 9.
[11] Lihat Hermas E Prabowo, “Menyongsong
Industrialisasi Pertanian”, dalam harian umum Kompas, Selasa, 22 Desember 2009.
[12] “Tren Global: Negara Maju “Merampas” Lahan,”
dalam harian umum Kompas, Senin, 5
Januari 2009.
[13] Lihat Michael
Klare, Blood and Oil: How America’s Thirst for Petrol is Killing Us.
London: Penguin Books, 2004, hal. 11.
[14] Lihat laporan
GRAIN tentang perampasan tanah dan krisis pangan, “Seized! The 2008 landgrab
for food and financial security,” Oktober 2008. http://www.grain.org/go/landgrab
[15] Lihat Gerardo Cerdas Vega, “Monocultures
and agrofuels: key elements for debate,” dalam Red Sugar, Green Deserts:
Latin American report on monocultures and violations of the human rights to
adequate food and housing, to water, to land and to territory. Editor Maria
Silvia Emanuelli, Jennie Jonsen dan Sofia Monsalve Suarez. Heidelberg: FIAN
International, Desember 2009, hal. 49-65.
[16] Lihat Gerardo
Cerdas Vega, “Monocultures and agrofuels: key elements for debate,” dalam Red
Sugar, Green Deserts, ibid., Desember 2009, hal. 51.
[17] Lihat artikel
Almuth Ernsting, “Agrofuels in Asia: Fuelling poverty, conflict, deforestation
and climate change,” dalam buletin Seedling, Juli 2007, hal. 25- 33.
[18] Kampanye dalam
rangka World Foodless Day (Hari
Kekurangan Pangan Dunia), sebagai alternatif dari World Food Day yang
diperkenalkan oleh FAO, yang secara global dikoordinir oleh Pesticide Action
Network Asia and the Pacific (PAN AP) dan People’s Coalition on Food
Sovereignty (PCFS), 16 Oktober 2008.
[19] Lihat selanjutnya
laporan GRAIN tentang perampasan tanah dan krisis pangan, “Seized! The 2008
landgrab for food dan financial security,” Oktober 2008.
[20] Lihat selanjutnya
laporan GRAIN tentang perampasan tanah dan krisis pangan, Oktober 2008, ibid.,
yang menjelaskan mengenai peran pemerintah, industri pangan, dan industri
keuangan dalam melakukan perampasan tanah di seluruh dunia.
[21] Gagasan
Undang-Undang terbaru tentang pangan yang dikeluarkan oleh Presiden SBY pada
tahun 2009 ini adalah dengan melibatkan industri, produksi pangan bisa
ditingkatkan berlipat-lipat dibandingkan bila lahan pertanian dikelola petani
kecil. Jelas ini merupakan pikiran yang anti-rakyat dan anti-kaum tani. Dan
undang-undang terbaru tentang pangan ini, merupakan bukti langsung dari
membebeknya rezim SBY-Budiono terhadap skema imperialis dalam menyelesaikan
krisis pangan.
[22] Eric Wakker, “The Kalimantan Border Palm
Oil Mega-project,” laporan yang dibuat untuk Friends of the Earth Netherlands
and the Swedish Society for Nature Conservation (SSNC), April 2006.
[23] UU
No.25/2007 tentang Penanaman Modal memberi Hak Guna Usaha (HGU) tanpa pembedaan
asing dan nasional kepada sebuah perusahaan selama 90 tahun.
[25] Dikutip dari
Eliot Whittington, “Growing Pains: The Possibilities and Problems of Biofuels.”
Laporan Christian Aid tentang energi nabati (biofuel), Agustus 2009, hal. 6-8.
[26] Lihat selanjutnya
Eliot Whittington, “Growing Pains: The Possibilities and Problems of Biofuels.”
Ibid., Agustus 2009, hal.7.
[27] Lihat “Regulasi Komisi Eropa Rugikan
Biodiesel CPO, Dibentuk Konsorsium Penelitian Kelapa Sawit,” dalam harian umum Kompas,
1 Februari 2008.
[28]Lihat selanjutnya Eliot Whittington,
“Growing Pains: The Possibilities and Problems of Biofuels.” Ibid.,
Agustus 2009, hal. 26.
[29] Dikutip dari tulisan Tim Rice, “Meals per
gallon: The Impact of industrial biofuels on people and global hunger,” Laporan
ActionAid, Januari 2010, hal.35-37.
[30] Eric Wakker, “The
Kalimantan Border Palm Oil Mega-project,” laporan yang dibuat untuk Friends of
the Earth Netherlands and the Swedish Society for Nature Conservation (SSNC),
April 2006, hal. 7.
[31] Lihat “Bea Keluar
CPO Rp 9 Triliun: Dampak Langsung Belum Sentuh Petani Kelapa Sawit,” dalam
harian umum Kompas, 22 Februari 2008.
[33] Lihat statemen
bersama bertajuk “Stop Land Grabbing Now! Say No to the principles of
“responsible” agro-enterprise investment promoted by the World Bank,” dibuat
oleh La Via Campesina, FIAN, Land Research Action Network (LRAN) dan GRAIN,
tertanggal 22 April 2010, yang didukung oleh berbagai organisasi petani
termasuk AGRA.
[34] Lihat harian umum Kompas, Sabtu, 6 Februari 2010, hal. 18, “Investasi di Kawasan”.
[35] Lihat laporan Grain, “Seized! The 2008
land grab for food and financial security.” Grain briefing, Oktober 2008.
[36] Lihat Peter
Robson, “West Papua: Land grab to displace locals”, dalam Green Left online,
10 April 2010.
[37] Lihat Hermas E. Prabowo, “Kawasan Pangan:
Pertanian Kian Meninggalkan Petani Kecil,” dalam harian umum Kompas,
edisi 4 Agustus 2010, hal.21.
[38] Lihat Laporan
Utama majalah berita GATRA, “Krisis
Pangan, Konglomerat Ikut Bercocok Tanam,” No.21 Tahun XIV, 03-09 April 2008,
hal. 16-19.
[39] Lihat Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), “Indonesia Tanah Air Kita”, Environmental
Outlook 2010. Jakarta, 8 Januari 2010, hal.25.
[40] Lihat “Bea Keluar
CPO Rp 9 Triliun: Dampak Langsung Belum Sentuh Petani Kelapa Sawit,” dalam
harian umum Kompas, 22 Februari 2008.
[41] Lihat “Request for Consideration of the
Situation of Indigenous Peoples in Kalimantan, Indonesia, under the United
Nations Committee on the Elimination of Racial Discrimination’s Urgent Action
and Early Warning Procedures,” Committee on the Elimination of Racial
Discrimination, Seventy-First Session, 30 July – 18 August 2007. Disampaikan
oleh Perkumpulan Sawit Watch dkk, 25 Juni 2007, hal. 6.
[42] Lihat Peter
Robson, “West Papua: Land grab to displace locals”, dalam Green Left online,
10 April 2010.
[44] “Tanah Sengketa Jadi Prioritas Pembagian
Lahan,” dalam TEMPO Interaktif, 6 Juni 2007.
[46] “MA Kewalahan
Urus Perkara Sengketa Tanah,” 18 Juni 2007. Sumber: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=290498
[47] Wahana Lingkungan Hidup, “Indonesia Tanah
Air Kita,” Environmental Outlook 2010, Jakarta: Walhi, 8 Januari 2010, hal. 18.
[48] Serge Marti, Losing
Ground: The Human Rights Impacts of Oil Palm Expansions in Indonesia.
Bogor: FoE, LifeMosaic dan Sawit Watch, 2008, hal. 40-41.
[49] PBHI, Right to
Food: From Justicibiality to Agrarian Reform. Jakarta: PBHI dan University
of Oslo, 2007, hal. 304-305.
[50] Lihat “Saran dan Pertimbangan
dalam Penyelesaian Konflik Agraria di Kecamatan Pangalengan,” disusun oleh
AGRA, KPA dan LBH Bandung, 11 Januari 2006.
[51] Serge Marti, Losing Ground: The Human Rights Impacts of Oil Palm Expansions in Indonesia.
2008, hal. 42.
[52] Harian umum Kompas,
“Sengketa Tanah Melanda Berbagai Sektor Pembangunan,” edisi 30 Juni 2007,
hal.35.
[53] Harian umum Kompas,
“Sumatera Utara: Dari Perang Sunggal sampai Lahan Kuala Namu,” edisi 30
Juni 2007, hal. 38.
[54] Serge Marti, Losing Ground: The Human Rights Impacts of Oil Palm Expansions in Indonesia.
2008, hal. 43.
[57] Lihat Tim Pembela
Umum LBH Makassar, “Pendapat Hukum (Legal Opinion) Sengketa Lahan
Perkebunan Tebu PTP XIV Kabupaten Takalar,” Makassar, 28 Juli 2009, hal.8.
[58] Lihat Tim Pembela
Umum LBH Makassar, “Pendapat Hukum (Legal Opinion) Sengketa Lahan
Perkebunan Tebu PTP XIV Kabupaten Takalar,” Makassar, 28 Juli 2009.
[59] Lihat Radar
Sulteng Online, edisi 30 September 2010, “Ribuan Petani Banggai
Berdemonstrasi, Tuntut Pengusutan Tanah di Toili.”
[60] Lihat TEMPO
Interaktif, edisi 06 Januari 2010, “Pendudukan Lahan Sengketa Toili
Berakhir Ricuh.”
[64] Lihat “Pernyataan
Sikap Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria (PP AGRA),” Jakarta, 26
Juli 2010.
Saya Widya Okta, saya ingin memberi kesaksian tentang karya bagus Tuhan dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari pinjaman di Asia dan sebagian lain dari kata tersebut, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman yang curang di sini di internet, tapi mereka tetap asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban penipuan pemberi pinjaman 6-kredit, saya kehilangan banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka.
BalasHapusSaya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari hutang saya sendiri, sebelum saya dibebaskan dari penjara dan teman saya yang saya jelaskan situasi saya, kemudian mengenalkan saya ke perusahaan pinjaman yang andal yaitu SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya sebesar Rp900.000.000 dari SANDRAOVIALOANFIRM dengan tarif rendah 2% dalam 24 jam yang saya gunakan tanpa tekanan atau tekanan. Jika Anda membutuhkan pinjaman Anda dapat menghubungi dia melalui email: (sandraovialoanfirm@gmail.com)
Jika Anda memerlukan bantuan dalam melakukan proses pinjaman, Anda juga bisa menghubungi saya melalui email: (widyaokta750@gmail.com) dan beberapa orang lain yang juga mendapatkan pinjaman mereka Mrs. Jelli Mira, email: (jellimira750@gmail.com). Yang saya lakukan adalah memastikan saya tidak pernah terpenuhi dalam pembayaran cicilan bulanan sesuai kesepakatan dengan perusahaan pinjaman.
Jadi saya memutuskan untuk membagikan karya bagus Tuhan melalui SANDRAOVIALOANFIRM, karena dia mengubah hidup saya dan keluarga saya. Itulah alasan Tuhan Yang Mahakuasa akan selalu memberkatinya.
KABAR BAIK!!!
BalasHapusNama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.
Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.
BalasHapusSaya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.
Jika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.
saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp15 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.
Pembayaran yang fleksibel,
Suku bunga rendah,
Layanan berkualitas,
Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan
Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)
Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)
Saya Widya Okta, saya ingin bersaksi pekerjaan Tuhan yang baik dalam hidup saya untuk orang-orang saya yang mencari pinjaman di Asia dan bagian lain dari kata itu, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara.
BalasHapusApakah mereka mencari pinjaman di antara Anda? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan kredit palsu di internet, tetapi mereka masih asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban penipuan pemberi pinjaman 6 kredit, saya kehilangan banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka.
Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari hutang saya sendiri, sebelum saya dibebaskan dari penjara dan seorang teman saya yang saya jelaskan situasi saya kemudian memperkenalkan saya kepada perusahaan pinjaman yang dapat diandalkan yaitu SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapatkan pinjaman saya sebesar Rp900.000.000 dari SANDRAOVIALOANFIRM pada tingkat rendah 2% dalam 24 jam yang saya terapkan tanpa tekanan atau stres. Jika Anda membutuhkan pinjaman, Anda dapat menghubungi dia melalui email: (sandraovialoanfirm@gmail.com)
Jika Anda memerlukan bantuan dalam proses pinjaman, Anda dapat menghubungi saya melalui email: (widyaokta750@gmail.com) dan beberapa orang lain yang juga mendapatkan pinjaman mereka, Mrs. Jelli Mira, email: (jellimira750@gmail.com). Yang saya lakukan adalah memastikan saya tidak pernah membayar pembayaran cicilan bulanan seperti yang disepakati dengan perusahaan pinjaman.
Jadi saya memutuskan untuk membagikan karya baik Tuhan melalui SANDRAOVIALOANFIRM, karena dia mengubah hidup saya dan keluarga saya. Itulah alasan Tuhan Mahakuasa akan selalu memberkatinya.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Halo, saya Ny. Sandra Ovia, pemberi pinjaman pribadi uang, apakah Anda berutang? Anda membutuhkan dorongan keuangan? pinjaman untuk membangun bisnis baru, untuk memenuhi tagihan Anda, memperluas bisnis Anda di tahun ini, renovasi rumah Anda dan kami juga memberikan pinjaman BITCOIN dengan suku bunga sangat rendah 2%. Anda dapat menghubungi kami melalui Email: (sandraovialoanfirm@gmail.com)
BalasHapusAnda dipersilakan ke perusahaan pinjaman kami dan kami akan memberikan yang terbaik dari layanan kami.
Saya sangat bersyukur kepada Ibu Fraanca Smith karena telah memberi saya
BalasHapuspinjaman sebesar Rp900.000.000,00 saya telah berhutang selama
bertahun-tahun sehingga saya mencari pinjaman dengan sejarah kredit nol dan
saya telah ke banyak rumah keuangan untuk meminta bantuan namun semua
menolak saya karena rasio hutang saya yang tinggi dan sejarah kredit rendah
yang saya cari di internet dan tidak pernah menyerah saya membaca dan
belajar tentang Franca Smith di salah satu blog saya menghubungi franca
smith konsultan kredit via email:(francasmithloancompany@gmail.com) dengan
keyakinan bahwa pinjaman saya diberikan pada awal tahun ini tahun dan
harapan datang lagi, kemudian saya menyadari bahwa tidak semua perusahaan
pinjaman di blog benar-benar palsu karena semua hautang finansial saya
telah diselesaikan, sekarang saya memiliki nilai yang sangat besar dan
usaha bisnis yang patut ditiru, saya tidak dapat mempertahankan ini untuk
diri saya jadi saya harus memulai dengan membagikan kesaksian perubahan
hidup ini yang dapat Anda hubungi Ibu franca Smith via email:(
francasmithloancompany@gmail.com)
Nama saya Puan Batrisyia Imran dan saya dari Indonesia. Terkadang, saya telah menemukan pemberi pinjaman Pinjaman yang dapat saya pinjam untuk mengembangkan bisnis saya dan juga menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Pengalaman pertama saya dengan pemberi pinjaman internet sangat buruk dan saya kehilangan 37 juta karena saya mengajukan 850 juta untuk meningkatkan bisnis saya. Setelah pengalaman saya, saya berjanji pada diri sendiri bahwa saya tidak akan meminjam dari internet karena saya telah scammed.
BalasHapusJadi, suatu hari saya setia membaca sebuah artikel di blog dan setelah saya selesai membaca, saya memeriksa bagian komentar untuk mengetahui apa yang mereka pikirkan. jadi saya melihat komentar seorang wanita bernama SETIA AHMAD dan dia berbagi cerita tentang bagaimana dia meminjam pinjaman besar dari seorang wanita bernama MARIA ALEXANDER.
Kemudian, saya memutuskan untuk menghubungi SETIA AHMAD dan saya menceritakan kisah saya tentang bagaimana saya kehilangan 37 juta dari pemberi pinjaman yang buruk kepadanya. Saya ingat dengan jelas bagaimana dia memberi tahu saya bahwa semua pencarian saya untuk pemberi pinjaman yang andal telah berakhir. dia mengirimi saya nomor teleponnya dan saya meneleponnya untuk memastikan karena saya tidak ingin kehilangan uang lagi. dia berbicara kepada saya dan berkata saya perlu menghubungi rincian perusahaan tempat Mrs. MARIA ALEXANDER bekerja dan saya akan menerima pinjaman saya tanpa penundaan dan saya harus mencoba untuk membagikan kabar baik saya sehingga orang lain dapat diselamatkan dari pemberi pinjaman yang buruk.
Jadi saya menghubungi Bu MARIA ALEXANDER melalui email: (mariaalexander818@gmail.com) DAN whatsapp: (+1 254-276-8402) yang saya hubungi.
Setelah saya menghubungi Ny. MARIA ALEXANDER, saya diminta untuk menyerahkan semua yang diminta dari saya sebagai peminjam dan setelah beberapa saat, pinjaman itu disetujui untuk saya dan saya menerima pinjaman saya tanpa penundaan atau stres dalam bentuk apa pun.
Jadi, saya menambahkan informasi pribadi saya untuk siapa saja yang mencari pemberi pinjaman yang dapat diandalkan untuk menghubungi saya dan saya bersedia membantu Anda karena saya ingin orang lain diselamatkan dari pemberi pinjaman yang buruk. (batrisyiaimran4@gmail.com)
Saya berdoa agar Tuhan memberi orang yang membutuhkan pinjaman untuk melihat cerita saya sehingga mereka dapat diselamatkan ketika saya diselamatkan. Saya selalu siap untuk memberikan bantuan kepada siapa pun yang membutuhkan, jadi hubungi saya kapan saja karena saya tidak membuat orang-orang saya jatuh ke tangan pencuri !!! , saya mendapat pinjaman tahun ini 2022 .... kegembiraan masih mengalir di hati saya. semoga TUHAN memberkati Bu MARIA ALEXANDER