Perampasan
Tanah
Sebab,
Bentuk dan Akibatnya bagi Kaum Tani
Disusun oleh Aliansi
Gerakan Reforma Agraria (AGRA)
Jakarta, 24
September 2010
Pengantar
Risalah ringkas tentang situasi agraria nasional
dan hubungannya dengan krisis umum imperialisme ini, bermaksud menjelaskan beberapa
masalah penting yang perlu diketahui oleh kaum tani Indonesia dewasa ini dalam
rangka memperjuangkan hak atas tanahnya. Pusat perhatian risalah ini adalah mengenai
perampasan tanah (land grabbing) yang hari ini telah menjadi sorotan
banyak kalangan.
Dalam risalah ini yang dimaksudkan dengan kaum tani adalah mereka yang pada
pokoknya menggantungkan kehidupannya dari pengolahan tanah seperti bercocok tanam
(pertanian), perkebunan, perladangan menetap maupun berpindah, serta memungut
hasil hutan, meramu, dan berburu. Dengan pengertian semacam ini, maka kaum tani
yang dimaksudkan dalam risalah ini dapat mencakup apa yang biasa dikenal
sebagai (1) kaum tani (peasantry), yang dalam kepustakaan biasa disebut
tani tak bertanah (landless peasant) dan tani berlahan sempit atau tani
gurem (small farmers), maupun (2) masyarakat adat atau suku bangsa
minoritas (national minority), dan (3) nelayan.
Berdasarkan data yang tersedia pada saat ini, maka ketiga golongan
masyarakat ini merupakan penduduk Indonesia yang jumlahnya terbanyak
(mayoritas) dari total jumlah penduduk Indonesia yang pada saat ini berjumlah
238 juta jiwa (hasil Sensus Penduduk Indonesia oleh Biro Pusat Statistik
Republik Indonesia, pada bulan Mei 2010). Oleh karenanya, tepatlah jika kita
menjelaskan bahwa negeri Indonesia adalah negeri agraris, sejalan dengan
kenyataan di atas.
Guna memudahkan memahami risalah ini, maka
pertama-tama akan dijelaskan mengenai situasi atau keadaan di mana kita hidup,
yakni di masa imperialisme sedang mengalami krisis, terutama krisis finansial,
krisis pangan dan krisis energi. Oleh karenanya penjelasan mengenai situasi
yang terjadi hari ini, yaitu krisis umum imperialisme akan mengawali risalah
ini. Setelah itu, akan dijelaskan mengenai dasar-dasar serta latar belakang
mengapa perampasan tanah terjadi dan apa saja bentuk-bentuk perampasan tanah
yang terjadi terutama dalam masa pemerintahan rezim Susilo Bambang Yudhono
(SBY) selama periode 2004 sampai dengan 2010. Risalah ini selanjutnya akan
menjelaskan bagaimana mekanisme atau metode perampasan tanah yang terjadi dalam
masa enam tahun terakhir ini (2004-2010), yang mengatur atau melegalkan
perampasan tanah. Akibat dari perampasan tanah yang terjadi terhadap kehidupan
rakyat pada umumnya dan kaum tani pada khususnya, akan menjadi bahasan
selanjutnya. Risalah ini akan diakhiri dengan sejumlah kesimpulan dan sikap
yang diambil oleh penyusun risalah atas perampasan tanah, kekerasan terhadap
kaum tani dan monopoli tanah.
1. Situasi Krisis Umum
Imperialisme
Krisis umum imperialisme saat ini sudah menjadi
kenyataan kehidupan seluruh rakyat di berbagai penjuru dunia yang hidup di
negeri-negeri jajahan, setengah jajahan dan bergantung lainnya, karena watak
ketergantungan dari sistem ekonomi kapitalisme dan watak boneka dari
pemerintahan di negeri-negeri tersebut. Golongan rakyat yang paling menderita
di dalam krisis umum imperialisme dewasa ini adalah sudah tentu golongan rakyat
yang selama ini tertindas dan terhisap, seperti kelas buruh, kaum tani,
golongan perempuan dan pemuda mahasiswa, serta golongan rakyat miskin lainnya.
Krisis umum imperialisme hari ini semakin
menghebat dan diyakini akan menjadi kuburan dari sistem kapitalisme monopoli, yang
selama ini telah menindas dan menghisap rakyat. Dalam upaya mencegah
kebangkrutan sistem kapitalisme monopoli itu, kaum kapitalis monopoli tidak
akan berdiam diri dan telah dan akan terus meminta dukungan luar biasa dari
alat kelasnya, yakni pemerintahan dari negeri-negeri imperialis dan
negeri-negeri boneka imperialis. Dukungan dari alat kelasnya ini telah
diperoleh dengan cepat antara lain melalui skema dana talangan dan dana
stimulus yang terutama diberikan kepada perusahaan-perusahaan keuangan besar
dan perbankan.
Dalam krisis umum imperialisme dewasa ini,
setidak-tidaknya ada tiga perwujudan krisis yang paling nyata, yakni krisis
ekonomi dan keuangan dunia (krisis finansial), krisis pangan, dan krisis energi.
Di bawah ini akan diuraikan satu per satu wujud krisis umum imperialisme, yang
mendasari perampasan tanah pada hari ini.
1.1 Krisis ekonomi dan keuangan (krisis
finansial)
Di akhir tahun 2007,
diskusi tentang isu instabilitas finansial menghangat seiring dengan
meningkatnya resiko resesi ekonomi pada perekonomian Amerika Serikat (AS).
Penyebabnya adalah terjadinya krisis di pasar finansial yang bersumber dari
masalah kredit perumahan berkualitas rendah (subprime mortgage).
Pengaruh yang ditimbulkan dari gejolak di pasar finansial AS sangatlah besar
bagi dinamika perekonomian global.
Sampai-sampai, lembaga-lembaga multilateral seperti IMF (Dana Moneter
Internasional) harus berkali-kali merevisi target pertumbuhan ekonomi global
terkait dengan masalah tersebut.
Resesi merupakan penurunan
pada ukuran kegiatan ekonomi seperti tenaga kerja, investasi, dan keuntungan
perusahaan. Resesi juga dapat dikaitkan dengan penurunan harga (deflasi) atau
sebaliknya, kenaikan harga (inflasi). Resesi yang berkepanjangan akan
menyebabkan depresi. Tim ekonomi dari firma keuangan Goldman Sachs mengatakan,
pertanda resesi AS sudah di depan mata karena penurunan pasar perumahan dan
masalah kredit perumahan sudah melebar ke aspek ekonomi lainnya. Salah satu
indikasinya adalah belanja konsumen yang terpukul. Mereka juga mengemukakan
data kenaikan angka pengangguran, penurunan pada penjualan rumah dan aktivitas
manufaktur.
Berdasarkan data yang
keluar dari pemerintah AS, pada Desember 2007 tingkat pengangguran naik menjadi
5% dan pengangguran berjumlah 7,7 juta jiwa. Angka pengangguran tahun 2006
hanya 4,4% dengan 6,8 juta penganggur.
Apa sebenarnya akar
dari krisis yang menimpa aset-aset finansial di pasar finansial AS tersebut?
Kenyataan pahit yang dialami oleh perekonomian AS ini tidak bisa dipisahkan
dari kebijakan uang longgar yang diterapkan oleh Gubernur Bank Sentral AS (Alan
Greenspan) pada periode 2001-2003. Akibatnya, banyak orang berlomba-lomba
meminjam uang di bank untuk membeli rumah yang dianggap bisa menjadi instrumen
investasi. Karena itu pulalah, berbagai produk sekuritisasi kredit perumahan
bermunculan. Salah satunya adalah kredit perumahan berkualitas rendah (subprime
mortgage).
Dengan kata lain,
kebijakan uang longgar yang diterapkan oleh Bank Sentral AS (The Fed), telah
memompakan likuiditas secara berlebihan dalam perekonomian domestik. Gejala
alamiah yang muncul berikutnya adalah menggelembungnya pasar finansial.
Sehingga, ketika terjadi koreksi, kerusakan yang ditimbulkannya sangatlah
parah.
Gejalanya yang terjadi
pada akhir tahun 2007 mirip dengan kejadian 1930. Dua kejadian datang
bersamaan. Pertama, kepanikan di pasar finansial. Kedua, lonjakan harga minyak.
Pada tahun 2008, dampak krisis kredit perumahan di AS telah merembet ke
berbagai sektor sehingga meningkatkan kepanikan dari para pelaku ekonomi,
terutama di pasar finansial. Kepanikan ini sekaligus juga menyumbang pada
peningkatan ketidakpastian global. Selain itu, harga minyak terus menerus
mencetak rekor tertinggi, yaitu menyentuh harga US$ 110 per barrel.
Bagi perekonomian AS,
krisis kredit perumahan berkualitas rendah harus dibayar sangat mahal. Pertama,
untuk merelaksasi pasar finansial yang mengalami kontraksi, Bank Sentral AS
harus secara beruntun menurunkan tingkat suku bunganya. Penurunan suku bunga
itu sendiri telah mendorong pelemahan nilai tukar dollar AS terhadap beberapa
mata uang kuat dunia, seperti poundsterling, euro, dollar Kanada, yen, dan
lain-lain. Terhadap euro, dollar AS mencapai titik terendahnya.
Kedua, Bank Sentral AS
terpaksa harus mengucurkan dana segar untuk menyelamatkan aset-aset yang sedang
mengalami masalah. Salah satu contoh yang fenomenal adalah usaha menyelamatkan
Bear Stearns & Co. Inc. yang terancam bangkrut akibat kerugian keuangan
menyusul krisis kredit perumahan berkualitas rendah. Menyusul pengumuman
kerugian salah satu perusahaan investasi tersebut, para investor mengalami
kepanikan. Akibatnya, dalam sepekan, harga sahamnya anjlok dari US$ 60 menjadi
US$ 2. Setelah Bear Stearns kolaps, JP Morgan Chase membeli perusahaan tersebut
dengan dukungan langsung berupa suntikan dana segar dari Bank Sentral AS,
senilai US$ 30 miliar pada tanggal 17 Maret 2008.
Bank Sentral AS, selain
terus menurunkan suku bunga guna menggerakkan ekonomi, dia juga bertugas
meredam gejolak pasar. Salah satunya memberikan suntikan likuiditas langsung
untuk membeli aset-aset yang bangkrut akibat krisis kredit perumahan
berkualitas rendah. Jadi, semacam mendanai lembaga penjaminan melalui kebijakan
dana talangan (bail out guarantee) yang disalurkan oleh perusahaan
swasta. Dulu, Indonesia dalam krisis finansial 1998 menerapkan kebijakan
tersebut dalam bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang hingga kini
tak pernah terselesaikan itu.
Mengapa perusahaan
seperti Bear Stearns perlu diselamatkan? Dalam hal ini, seperti dalam kasus
perbankan 1998 di Indonesia, jika perusahaan investasi tidak diselamatkan
gejolak akan merembet pada skala ekonomi yang lebih luas. Dampaknya akan
terlalu besar jika harus bangkrut. Harapannya, jika perusahaan-perusahaan yang
terancam kebangkrutan bisa diselamatkan, kepercayaan investor akan pulih
kembali. Dalam hal ini, ekonomi digerakkan oleh “harapan” dan bukan oleh
“realita.”
Upaya penyelamatan ini
merupakan kerjasama antara Bank Sentral AS dan Departemen Keuangan AS. Menteri
Keuangan Henry Paulson mengambil prakarsa mendirikan semacam lembaga penjaminan
swasta yang disebut Superfund. Lembaga ini didukung Citigroup Inc, JP
Morgan Chase Co., dan Bank of America Corp. Selain Bear Stearns, krisis kredit
perumahan juga telah menyeret Merrill Lynch dalam kerugian amat besar, yaitu
mencapai sekitar US$ 8 miliar. Bencana ruginya perusahaan-perusahaan investasi
kelas dunia menjalar ke Eropa dan Jepang. UBS dan Barclays (Eropa), serta
Mizuho (Jepang), mengalami kerugian serius, akibat krisis kredit perumahan
berkualitas rendah. Krisis finansial ini juga telah membangkrutkan Lehman
Brothers.
Meningkatnya kasus
gagal bayar pada kredit perumahan beresiko tinggi (subprime mortgage)
dan meningkatnya gagal bayar pada kartu kredit yang mencapai US$ 7 miliar, atau
hampir setara dengan anggaran belanja RI yang sebesar Rp 854,7 triliun, membawa
kekacauan di pasar keuangan dunia.
Perusahaan-perusahaan
keuangan besar seperti Merrill Lynch, Citigroup, dan perbankan seperti Bear
Stearns, HSBC, UBS (bank terbesar Swiss) ramai-ramai mengumumkan kerugian yang
mencengangkan akibat turunnya harga surat berharga berbasis kredit perumahan
AS. Kerugian itu belum pernah terjadi sepanjang sejarah keuangan AS. Citigroup
menyatakan telah merugi sebesar US$ 8-11 miliar. Dengan cepat, 4,9% saham
Citigroup beralih tangan ke Abu Dhabi Investment Authority. Abu Dhabi
Investment Authority pun menjadi pemegang saham terbesar Citigroup. Harga saham
Citigroup sudah merosot 45% dari awal tahun 2007.
Kerugian lembaga keuangan
perbankan dan institusi keuangan nonbank menembus US$ 1,4 triliun (sekitar Rp
13 ribu triliun). Bukan tidak mungkin jumlahnya bakal naik lagi karena total kapitalisasi
surat utang di pasar perumahan itu, menurut Mortgage Bankers Association di
Washington, mencapai US$ 6 triliun (Rp 58.800 triliun).
Berbeda dengan krisis
yang menimpa Asia pada tahun 1997, ketika Dana Moneter Internasional (IMF)
menjadi salah satu penyelamat, pada krisis kali ini tak satupun lembaga
internasional mampu menanganinya. Kerugian yang diderita puluhan lembaga
keuangan kali ini memang luar biasa, mencapai hampir US$ 1,4 triliun – US$ 800
miliar di antaranya dialami lembaga keuangan non-bank. Pada tahun 1997,
kerugian perbankan tak sampai US$ 400 miliar.
Perbankan dunia juga
menghadapi persoalan likuiditas. Saat ini perbankan kesulitan mendapatkan
pinjaman jangka panjang dan jangka pendek. Itu sebabnya sejumlah negeri kini
berkonsentrasi menyelamatkan perbankan mereka. Inggris misalnya, selain
merekapitalisasi banknya, akan menyediakan pinjaman jangka pendek kepada
perbankan sampai tiga bulan.
Krisis paling tajam
terjadi di AS yang memaksa negeri tersebut mengeluarkan dana tidak kurang dari
US$ 993 miliar untuk menalangi kerugian dan menyelamatkan industri keuangannya
dari kebangkrutan. Langkah yang dilakukan AS juga diikuti oleh negeri-negeri
lain. Untuk melihat secara keseluruhan, rencana stimulus pada skala global
lihat Tabel 1. Inilah yang sudah dikerjakan oleh pemerintahan negeri-negeri
imperialis dalam upaya mencegah kebangkrutan sistem kapitalisme monopoli ini. Yakni
menggunakan uang rakyat sebesar US$ 3.910,5 miliar (atau US$ 3,9 triliun),
untuk membantu perusahaan-perusahaan keuangan besar dan perbankan yang
mengalami kebangkrutan dalam krisis finansial global kali ini.
Tabel 1 Rencana Suntikan Dana Segar secara Global, Maret 2009
No
|
Negeri
|
Jumlah Rencana
Stimulus (US$ miliar)
|
1
|
Amerika Serikat
|
993
|
2
|
China (termasuk untuk proyek-proyek daerah)
|
2.046,6
|
3
|
Uni Eropa
|
256,9
|
4
|
Kanada
|
32,2
|
5
|
Rusia
|
20
|
6
|
Korea Selatan
|
10,1
|
7
|
Jepang
|
484,6
|
8
|
Thailand
|
8,6
|
9
|
Taiwan
|
5,4
|
10
|
India
|
10
|
11
|
Singapura
|
3,5
|
12
|
Australia
|
36,1
|
13
|
Selandia Baru
|
3,5
|
|
Total
|
3.910,5
|
Sumber: Majalah berita ekonomi dan bisnis Trust, edisi 16-22 Maret
2009, hal. 14.
Hingga akhir tahun 2008
saja, nilai kerugian dari krisis ini menurut perkiraan Bank Pembangunan Asia
(ADB) sudah mencapai US$ 50 triliun.
Angka ini setara dengan 200 kali PDB Indonesia. Bank Dunia menyebutkan, krisis
akan melempar dunia ke situasi seperti sehabis Perang Dunia ke-2.
Akibat krisis finansial
ini, Dana Moneter Internasional (IMF) melalui pernyataan Direktur Pelaksananya
pada bulan Maret 2009 memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2009
kemungkinan berada di bawah 0% alias negatif. Dasar dari penyataan Direktur
Pelaksana IMF itu, tak lain karena merosotnya tingkat perdagangan dunia serta
ambruknya kepercayaan pelaku bisnis dan konsumen di seantero jagat. Faktanya,
perusahaan-perusahaan kelas dunia yang selama ini memiliki rating AAA, seperti
Berkshire Hathaway, General Electic, dan Toyota pun tak kuasa mengelak dari
terjangan krisis.
Melihat situasi semacam ini, menarik untuk
menyimak apa pikiran kaum imperialis untuk mengatasi krisis finansial ini.
Deutsche Bank, bank asal Jerman merekomendasikan agar investor global
berinvestasi di bidang pertanian, emas dan hedge fund. “Kami memiliki
pandangan positif terhadap komoditas pertanian karena populasi dan pendapatan
penduduk global akan meningkat, lahan pertanian mulai terbatas sehingga memicu
permintaan protein,” menurut pandangan Chief Investment Officer Deutcsche Bank
Asia.
Inilah salah satu pandangan yang paling eksplisit disampaikan oleh kaum
imperialis, mengenai pentingnya sektor pertanian menjadi sasaran investor
global menyusul krisis finansial yang terjadi. Artinya, inilah kaitan langsung
antara krisis finansial global dan perampasan tanah.
1.2 Krisis pangan
Saat ini, baik pada skala global maupun nasional, komoditas
pertanian pangan sedang dialihkan pemanfaatannya dari yang semula merupakan
bahan makanan pokok manusia (pangan), menjadi bahan baku untuk energi alternatif
(bahan bakar nabati). Hal itu dikarenakan bahan bakar minyak bumi sudah mulai
menyusut akibat eksploitasi dan konsumsi yang luar biasa sejak masa Revolusi
Industri. Sehingga terciptalah sebuah situasi di mana komoditas pertanian
menjadi barang rebutan sengit antara manusia versus mesin.
Oleh karenanya, peningkatan permintaan terhadap
bahan bakar nabati yang diproduksi dalam tanah pertanian skala luas dan
komersial (agrofuel), telah menjadi
salah satu pemicu utama dari naiknya harga komoditas pangan dunia, selain
dipengaruhi oleh spekulasi harga saham komoditas pangan dan perkebunan maupun
monopoli agroindustri.
Persoalannya menjadi makin rumit, karena yang
dimaksud petani dalam paragraf yang sedang kita diskusikan ini bukanlah petani
secara perseorangan, tetapi melibatkan industri pertanian yang sangat besar.
Mereka adalah perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang komoditas
pertanian dan melakukan monopoli agroindustri, seperti Monsanto, Cargill, DuPont,
Dow Agrisciences, Syngenta. Perusahaan-perusahaan ini telah mengubah secara
drastis lahan-lahan yang tadinya ditanam padi dan komoditas pangan lainnya,
menjadi lahan yang lebih memiliki nilai jual yang lebih tinggi, seperti jagung,
kedelai, dan lain sebagainya, untuk diolah menjadi bahan baku energi
alternatif.
Naiknya harga komoditas pangan dunia, yang
mencerminkan adanya krisis pangan dunia, menyebabkan ratusan juta penduduk
dunia mengalami kesulitan untuk memperoleh pangan (beras, gula, jagung,
kedelai, minyak goreng, singkong, gandum). Namun sebenarnya, pada tingkat global apa yang
disebut sebagai krisis pangan dunia dalam pengertian tidak mencukupinya
produksi pangan untuk konsumsi pangan dunia adalah mitos. Mitos ini sengaja
dihembuskan oleh kaum imperialis agar skema untuk keluar dari krisis pangan
dalam sudut pandang mereka adalah dengan menggenjot produksi lebih masif
melalui industri pertanian, bukannya memperbaiki distribusi dan daya beli
rakyat terhadap pangan.
Memang musim kering dan banjir telah mempengaruhi
produksi dan hasil panen dan meningkatnya harga bahan bakar minyak telah
mendorong peralihan ke produksi bahan bakar nabati yang pada gilirannya semakin
menyebabkan produksi pangan tertekan. Meskipun demikian, produksi dan konsumsi
pangan dunia yang sesungguhnya pada tahun 2007 memperlihatkan bahwa produksi
hampir semua bahan pangan utama dunia adalah di atas konsumsi, kecuali untuk
produksi gandum dan jagung. Lihat Tabel 2 dan Tabel 3.
Menilai situasi semacam ini, dapat dijelaskan
bahwa kepanikan atas krisis pangan dunia, lebih disebabkan oleh faktor
spekulasi dalam rangka mengambil keuntungan dari perdagangan komoditas pangan. Hal ini menyebabkan harga-harga
komoditas pangan lebih mudah bergejolak dan membuat masalah kenaikan
harga-harga pangan sama sekali tidak terkait dari realitas produksi. Terbukti
dalam kepanikan terhadap adanya krisis pangan, membuat perusahaan-perusahaan
kaum imperialis dengan cepat meraup keuntungan yang luar biasa.
Perusahaan-perusahaan transnasional agribisnis raksasa seperti Cargill dan
perusahaan dagang untuk produk biji-bijian seperti Archer Daniels Midland (ADM)
terus mengeruk keuntungan dari perdagangan komoditas pangan pada kwartal
pertama tahun 2008, masing-masing sebesar 86% dan 67%. Charoen Pokhand Foods
dari Thailand, yang merupakan pemain kunci dalam industri pangan di Asia,
memperkirakan kenaikan pendapatan sebesar 237% pada tahun 2008.
Tabel 2 Produksi, Konsumsi dan Stok
Gandum Dunia
Produksi,
Konsumsi dan Stok Gandum Dunia (dalam Ribuan Metrik Ton)
|
|
2003/04
|
2004/05
|
2005/06
|
2006/07
|
2007/08
|
2008/09Mei
|
Total Produksi (Dunia)
|
553,823
|
625,728
|
620,840
|
591,997
|
606,400
|
656,013
|
Total Konsumsi (Dunia)
|
588,613
|
606,942
|
624,180
|
615,447
|
620,430
|
642,043
|
Stok Akhir (Dunia)
|
132,057
|
150,843
|
147,503
|
124,053
|
110,023
|
123,993
|
Sumber: FAO (Food and Agriculture Organization).
Tabel 3 Produksi, Konsumsi dan Stok
Beras Dunia
Produksi,
Konsumsi dan Stok Beras Dunia (dalam Ribuan Metrik Ton)
|
|
2003/04
|
2004/05
|
2005/06
|
2006/07
|
2007/08
|
2008/09Mei
|
Total Produksi (Dunia)
|
391,513
|
400,868
|
418,153
|
420,596
|
427,069
|
432,045
|
Total Konsumsi (Dunia)
|
413,656
|
408,861
|
415,623
|
420,450
|
424,396
|
427,974
|
Stok Akhir (Dunia)
|
81,152
|
73,159
|
75,689
|
75,835
|
78,508
|
82,579
|
Sumber: FAO (Food and Agriculture Organization).
Faktor yang sifatnya lebih struktural, menyangkut
aspek produksi dan konsumsi pangan, tidak begitu menonjol dalam menyumbang
kepanikan terhadap krisis pangan. Malah secara keseluruhan, yang terjadi adalah
krisis overproduksi dalam produksi pertanian, di mana produk-produk pertanian
dari negeri-negeri imperialis terutama Eropa Barat dan Amerika Serikat
membanjiri pasar dari negeri-negeri jajahan, setengah jajahan, dan bergantung
lainnya melalui skema impor pangan. Dengan kata lain, dunia memproduksi cukup
pangan untuk semua orang.
Oleh karenanya, kepanikan terhadap adanya krisis
pangan dunia, memang dengan sengaja dihembuskan oleh kaum imperialis sebagai
pintu masuk untuk menata kembali produksi pangan melalui pertanian pangan skala
raksasa. Juru bicara dari korporat pertanian pangan raksasa ini, tidak
main-main, yakni bos tertinggi dari lembaga dunia yang mengurus pangan, yaitu
Direktur Jenderal FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB) Jacques Diouf. Dia
menyatakan bahwa untuk meningkatkan percepatan produksi pangan, tidak ada
pilihan lain bagi dunia selain memanfaatkan teknologi. Dia menegaskan,
teknologi merupakan kunci peningkatan produktivitas tanaman pangan. Karena itu,
menurutnya, swasta perlu lebih banyak berperan.
Dengan sigap Indonesia melalui Wakil Presiden Budiono menanggapinya. Dalam
pidatonya yang disampaikan dalam Konferensi FAO di Roma pada November tahun
2009, Wakil Presiden Budiono menyatakan bahwa Indonesia siap memberikan
dukungannya bagi pemenuhan pangan dunia, termasuk cita-cita besar menjadikan
Indonesia sebagai lumbung pangan dunia yang siap kapan saja memasok pangan
seperti beras.
Situasi yang sama menyambut kampanye produksi
pangan global dengan mengandalkan skema pertanian pangan skala raksasa (food
estate) ini juga terjadi di mana-mana. Pada bulan November 2008, Daewoo
Logistics perusahaan milik Korea Selatan, menyatakan akan menanam modal sebesar
US$ 6 miliar untuk mengembangkan lahan seluas 1,3 juta hektar di Madagaskar.
Rencananya, Daewoo Logistics akan memproduksi 4 juta ton jagung dan 500.000 ton
kelapa sawit per tahun. Sebagian besar hasil produksi akan dibawa keluar
Madagaskar. Di Kamboja, negeri kaya minyak, Kuwait, menyediakan dana pinjaman
sebesar US$ 546 juta sebagai imbalan atas produksi pertanian. Kuwait memerlukan
lahan untuk ditanami padi dan bukannya mengimpor beras. Di Filipina, pemerintah
telah membuka pembicaraan dengan Qatar soal kontrak sedikitnya 100.000 hektar
lahan pertanian. Di Laos, para pakar memperkirakan 2 juta hektar hingga 3 juta
hektar lahan pertanian telah “dihadiahkan” kepada pihak asing secara tidak
terkendali.
1.3 Krisis energi
Akibat konsumsi energi yang luar biasa borosnya
dari AS untuk tetap menjaga tingkat perkembangan industrinya, maka dunia saat
ini mengalami krisis energi, terutama krisis energi minyak bumi yang luar biasa,
dalam bentuk naiknya harga minyak dunia dalam tahun 2008-2009. Munculnya krisis
energi, selain dipicu oleh tingkat konsumsi yang boros dari AS yang merupakan konsumen
energi nomor satu dunia, juga disertai dengan spekulasi. Saat ini, AS
mengkonsumsi sekitar 25% dari total persediaan minyak bumi dunia. Jika tingkat
konsumsi minyak bumi AS ini tetap seperti ini, maka pada tahun 2025, AS akan
mengkonsumsi 50% dari total persediaan minyak bumi dunia.
Namun terjadinya krisis energi saat ini juga
ditambah dengan satu kenyataan, bahwa cadangan minyak dunia sebagai bahan bakar
fosil yang tidak bisa diperbarui dan tenaga penggerak roda industri sistem
kapitalisme, akan terus menyusut dalam waktu kira-kira 20 tahun yang datang. Diperkirakan
cadangan minyak bumi yang terkandung di wilayah Timur Tengah dan Kawasan Teluk,
yang merupakan wilayah penghasil minyak bumi terbesar dunia saat ini, akan mulai
habis dalam waktu 20 tahun mendatang.
Itu artinya, bisa dipastikan bahwa kaum imperialis akan mencari pengganti
energi berbahan fosil dengan bahan bakar alternatif, guna mengantisipasi krisis
energi yang dahsyat ini.
Bukti dari adanya krisis energi ini bukan hanya
dapat dilihat dari makin menipisnya sumber-sumber minyak bumi dan energi
berbahan bakar fosil yang ada, tapi juga dari konsekuensi-konsekuensi kerusakan
lingkungan yang menyertai penggunaan bahan bakar fosil, seperti tercermin dari
pemanasan global dan perubahan iklim. Sepuluh negeri terkaya di dunia ini mengkonsumsi
hampir seluruh energi berbahan fosil dunia yang komposisinya terdiri dari
minyak bumi (sekitar 35-38%), batu bara (23%) dan gas alam (21%), yang bahan
bakunya kebanyakan dihasilkan dari tanah dan teritori negeri-negeri lain.
Energi berbahan bakar fosil inilah yang mendorong
pertumbuhan kapitalisme sejak masa Revolusi Industri ke tingkat yang tidak
pernah dikenal sebelumnya. Dan menurut data yang tersedia, produksi energi
berbahan bakar fosil ini akan mencapai puncaknya (oil peak) pada masa
sekitar sebelum tahun 2020, dan setelah mencapai titik maksimum produksi
historisnya ini, produksi bahan bakar fosil (terutama minyak bumi) akan
menurun, sementara tingkat konsumsinya terus menaik. Pada saat itulah momentum puncak krisis energi
berbahan bakar fosil akan terjadi. Dan pada saat itulah salah satu energi
penggerak dan pelumas roda industri kapitalisme global akan betul-betul
menyusut. Data dari tahun 2005 memperlihatkan bahwa konsumsi global per tahun
minyak bumi adalah 30 miliar barrel dibandingkan dengan temuan baru minyak bumi
yang jumlahnya hanya 8 miliar barrel per tahun.
Oleh karenanya, sebelum sumber minyak tersebut
benar-benar habis, perang pendudukan dan perampasan sumber-sumber energi minyak
bumi akan terus dilakukan oleh pimpinan imperialis dunia AS, untuk memastikan
penguasaan mereka atas sumber-sumber energi minyak bumi dunia yang masih
tersisa. Untuk menutupi motif ekonomi di dalam perampasan sumber-sumber minyak
bumi yang masih tersisa ini, maka AS membungkusnya dengan kampanye global “perang
melawan terorisme.”
Politik dan kampanye “perang melawan terorisme”
dan perang agresi imperialisme AS memang dipusatkan pada Kawasan Teluk dan
negeri-negeri Timur Tengah, yang seperti diperlihatkan pada Tabel 4, merupakan
kawasan penghasil minyak bumi terbesar dunia. Inilah peta pembagian wilayah
kaum imperialis dunia dewasa ini, terkait dengan persoalan krisis energi dan
perebutan sumber-sumber kekayaan minyak bumi. Di kawasan inilah teknologi
tinggi dan persenjataan militer kaum imperialis pimpinan AS, mendapatkan
pasarnya, guna memecahkan problem overproduksi di bidang persenjataan.
Sementara itu, pada sisi yang lain, untuk
mengatasi krisis energi atau krisis bahan bakar minyak bumi tersebut, dewasa
ini telah dikembangkan energi berbahan bakar nabati. Penggunaan energi berbahan
bakar nabati ini telah menjadi kebijakan energi dari sejumlah negeri imperialis
utama seperti AS, kawasan Uni Eropa, Jepang, dan Brazil. Di AS sendiri,
kebijakan untuk mengunakan energi berbahan bakar nabati (agrofuel) telah
mulai diperkenalkan sejak tahun 1973, saat terjadinya krisis minyak, saat
negeri-negeri Arab menghentikan pasokan minyaknya ke AS.
Kebijakan untuk menggunakan energi berbahan bakar
nabati dewasa ini diikuti secara serentak oleh berbagai negeri jajahan, setengah
jajahan dan negeri bergantung lainnya, karena kebijakan penggunaan energi
nabati tersebut menjadi prasyarat-prasyarat baru bagi bantuan pembangunan
(utang, hibah, dan proyek) dari lembaga-lembaga kreditor multilateral seperti
Bank Dunia dan ADB (Asian Development Bank/Bank Pembangunan Asia). Catatan
menunjukkan bahwa Amerika Serikat adalah konsumen energi nabati terbesar,
terutama bioetanol, dengan pasokan bioetanol dari Brazil yang diolah dari
komoditas pangan tebu. Sementara Uni Eropa adalah konsumen terbesar biodiesel (bio
solar) terbesar dengan pasokan bahan baku komoditas pertanian kelapa sawit dari
Indonesia dan Malaysia.
Dalam tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dimiliki kaum imperialis sekarang, setidak-tidaknya ada tujuh
komoditas pertanian pangan yang dapat diubah menjadi bahan baku energi nabati.
Tujuh komoditas tersebut adalah tebu, kedelai, jagung, gandum, tanaman jarak,
kelapa sawit, dan singkong. Inilah yang dimaksudkan dengan bahan baku energi
nabati atau bioenergi generasi pertama. Kaum imperialis juga sedang
mengembangkan energi nabati generasi kedua (antara lain tanaman eucalyptus),
untuk mengantisipasi kritik-kritik yang muncul terhadap ekspansi produksi untuk
bahan bakar energi nabati generasi pertama melalui pertanian skala luas atau
perkebunan (agrofuel), yang meluas
dalam 10 tahun terakhir (2000-2010).
Tabel 4
Cadangan Minyak Bumi yang Telah
Diketahui dari Negeri-negeri Penghasil
Minyak Bumi Utama, akhir tahun 2002
Produsen utama minyak bumi
(dalam urutan ranking)
|
Cadangan yang telah diketahui
(miliar barrel)
|
Persentase dari total dunia
|
1. Arab Saudi
|
261.8
|
25.0
|
2. Irak
|
112.5
|
10.7
|
3. Uni Emirat Arab (UEA)
|
97.8
|
9.3
|
4. Kuwait
|
96.5
|
9.2
|
5. Iran
|
89.7
|
8.5
|
6. Venezuela
|
77.8
|
7.4
|
7. Federasi Rusia dan negeri-negeri Laut Kaspia
|
77.1
|
7.4
|
8. Amerika Serikat
|
30.4
|
2.9
|
9. Libya
|
29.5
|
2.8
|
10. Nigeria
|
24.0
|
2.3
|
11. China
|
18.3
|
1.7
|
12. Laut Utara (Norwegia, Inggris, Denmark)
|
16.3
|
1.6
|
13. Qatar
|
15.2
|
1.5
|
14. Mexico
|
12.6
|
1.2
|
Negeri-negeri lain
|
90.2
|
8.6
|
Total Dunia
|
1047.7
|
100.0
|
Sumber: Michael Klare, Blood and
Oil: How America’s Thirst for Petrol is Killing Us, 2004, hal. 19.
Penggunaan bahan bakar nabati, telah dikampanyekan
oleh negeri-negeri imperialis yang menandatangani Protokol Kyoto (berlaku
sampai dengan tahun 2012), sebagai sumbangan negeri-negeri imperialis terhadap
pengurangan emisi gas rumah kaca (terutama emisi karbon). Karena menurut
Protokol Kyoto, hanya negeri-negeri imperialis yang mayoritas terletak di
belahan bumi bagian Utara, yang diberikan target spesifik untuk mengurangi
emisi gas rumah kaca. Jadi, klaim dari negeri-negeri belahan bumi Utara ini
adalah mereka telah mengurangi emisi gas rumah kaca, yang diwajibkan oleh
Protokol Kyoto dengan target spesifik pada masing-masing negeri ini, melalui
penggantian penggunaan bahan bakar minyak bumi dengan penggunaan bahan bakar
nabati (agrofuel).
Bahan baku untuk produksi energi nabati, umumnya diproduksi
di tanah-tanah di belahan bumi bagian Selatan, kecuali untuk kedelai (produsen
terbesarnya Amerika Serikat dan Brazil) dan gandum (tanaman sub-tropis dan
belahan bumi Utara). Di dalam Protokol Kyoto, negeri-negeri di belahan bumi
bagian Selatan, yang umumnya merupakan negeri-negeri jajahan, setengah jajahan,
dan bergantung, tidak dibebani kewajiban target spesifik untuk menurunkan emisi
karbonnya. Oleh karenanya, meskipun terjadi emisi karbon yang luar biasa
sebagai akibat perluasan perkebunan biodiesel (terutama kelapa sawit) dan
perkebunan bioetanol (terutama tebu), melalui pembukaan hutan primer, hutan
produksi dan hutan konversi yang kemudian mengakibatkan penggundulan dan
perusakan hutan (deforestasi) dan pembakaran hutan, di wilayah bumi bagian
Selatan, hal ini menurut Protokol Kyoto, tidak merupakan persoalan pokok,
karena negeri-negeri ini sesungguhnya tidak dibebani kewajiban menurunkan emisi
karbonnya.
Dengan demikian, negeri-negeri imperialis tetap
dapat menjaga pertumbuhan industrinya melalui tingkat konsumsi energi yang sama,
dengan beralih menggunakan bahan bakar nabati yang bahan bakunya diproduksi di
tanah-tanah perkebunan dan pertanian di negeri-negeri jajahan, setengah jajahan,
dan bergantung lainnya. Untuk konteks Indonesia, misalnya di Kalimantan dan
Papua, tanah yang digunakan adalah tanah gambut, selain tanah hutan. Bahkan
banyak yang masih merupakan tanah hutan primer, langsung dibabat menjadi
perkebunan biodiesel (kelapa sawit di Kalimantan dan Papua, Indonesia) dan
perkebunan bioetanol (tebu di Amazon, Brazil). Sehingga perusahaan-perusahaan
yang mendapat konsesi semacam ini, dapat mereguk dua keuntungan sekaligus,
yakni kayu gelondongan dan komoditas perkebunan yang harganya semakin mahal.
2. Sebab-sebab terjadinya
Perampasan Tanah
2.1 Konteks Global yang Menyebabkan Perampasan
Tanah
Untuk mengatasi kebangkrutan kapitalisme dan
krisis-krisis yang dihadapinya, kaum kapitalis monopoli (kaum imperialis)
menyodorkan berbagai jalan keluar. Guna mengatasi krisis finansial global,
seperti telah dijelaskan di muka, mereka mendesak negara-negara untuk
mengeluarkan dana talangan (uang rakyat yang dikelola negara) yang jumlahnya
pada akhir tahun 2008 saja telah mencapai US$ 50 triliun. Untuk mengatasi
krisis pangan, mereka mempromosikan jalan keluarnya adalah menggenjot produksi dan
produktivitas pertanian pangan, dengan mengandalkan perluasan pertanian skala
raksasa (food estates), dan melibatkan industri pertanian
(perusahaan-perusahaan agrobisnis). Sementara dalam mengatasi krisis energi,
kaum imperialis mempromosikan penggunaan energi berbahan bakar nabati, sebagai
pengganti energi berbahan bakar fosil (minyak bumi), yang diperkirakan akan
terus menyusut produksinya pada tahun 2020 nanti. Dengan peralihan pemakaian
energi ke energi berbahan bakar nabati, maka diperlukan perluasan tanah-tanah
perkebunan untuk meningkatkan produksi energi berbahan nabati.
Inilah konteks dan sebab-sebab dari terjadinya
perampasan tanah secara meluas hari ini. Jadi ringkasnya, perampasan tanah
terjadi karena paksaan kaum imperialis guna mengatasi berbagai krisis hebat
yang sedang mereka hadapi saat ini, dengan melemparkan seluruh beban dan
ongkosnya kepada seluruh rakyat di negeri-negeri jajahan, setengah jajahan dan
bergantung lainnya.
Di dalam sektor pertanian yang merupakan sektor
produksi utama di dalam hampir semua negeri-negeri jajahan, setengah jajahan
dan bergantung lainnya, jalan keluar yang disodorkan oleh kaum kapitalis
monopoli adalah semakin mengintensifkan dan memperhebat monopoli tanah melalui
perampasan tanah secara global dan nasional. Perampasan tanah ini umumnya
ditempuh melalui pengembangan pertanian pangan skala raksasa, pembangunan
proyek-proyek infrastruktur, pembukaan perkebunan-perkebunan baru untuk
pengembangan proyek bio-energi, mengintensifkan eksploitasi barang tambang, dan
perluasan proyek-proyek konservasi hutan, reforestasi dan taman nasional serta
pembangunan prasarana dan infrastruktur militer.
Jalan keluar semacam ini hanya akan semakin
memperburuk krisis pangan global dan sebaliknya semakin meningkatkan keuntungan
perusahaan-perusahaan transnasional (TNC).
Demikian pula perluasan perkebunan skala raksasa untuk produksi bahan bakar
nabati, hanya akan semakin memperluas perampasan tanah di negeri-negeri
jajahan, setengah jajahan dan bergantung lainnya dan memperhebat krisis iklim dan
pemanasan global yang sedang terjadi saat ini. Karena banyak sekali hutan-hutan
tropis di negeri-negeri ini yang harus dikonversi menjadi perkebunan-perkebunan
skala raksasa untuk produksi bahan bakar nabati (kedelai, tebu, kelapa sawit,
jagung, tanaman jarak, singkong, dan gandum).
Sesungguhnya, krisis pangan dunia bukanlah
kejadian yang berlangsung begitu saja. Dampak-dampak negatif yang saat ini
terjadi memperlihatkan bahwa krisis ini merupakan krisis yang wataknya
sistematis dan struktural. Dalam periode tahun 1980-an, negeri-negeri jajahan,
setengah jajahan, dan bergantung lainnya dipaksa untuk menerapkan
kebijakan-kebijakan neoliberal melalui Program-program Penyesuaian Struktural
Bank Dunia/IMF yang kemudian diikuti dengan Program Strategi Pengurangan
Kemiskinan (Poverty Reduction Strategy
Program); dan lebih jauh lagi diintensifkan oleh WTO serta
perjanjian-perjanjian perdagangan regional maupun bilateral.
Bahkan jauh sebelumnya, dalam periode 1960-an, negeri-negeri
jajahan, setengah jajahan, dan bergantung lainnya telah dipaksa untuk
menerapkan program Revolusi Hijau, untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
Di dalam soal pangan dan pertanian, kebijakan-kebijakan globalisasi ini
mencakup liberalisasi perdagangan dan investasi dalam pertanian, privatisasi
sektor-sektor publik seperti irigasi, perdagangan pangan, dan pengurangan
peran-peran pemerintah dalam penentuan harga dan pemasaran.
Bagian dari paket neoliberal ini adalah tekanan
untuk perluasan produk tanaman ekspor, konversi tanah-tanah pertanian, promosi
industri ekstraktif dan proyek-proyek “pembangunan” lain di bawah dominasi
modal asing yang semakin menguatkan kontrol monopoli dari usaha-usaha agrobisnis
bekerjasama dengan elit-elit nasional. Dampaknya terhadap kaum tani, buruh
pertanian dan buruh perkebunan, kaum perempuan, produsen-produsen pangan kecil
dan kaum miskin pada umumnya sangat dahsyat, termasuk penggusuran masyarakat
pedesaan, makin hilangnya sumber-sumber penghidupan, dan meningkatnya kelaparan
dan kemiskinan.
Saat ini, krisis pangan dan finansial, telah
menjadi pemicu terjadinya perampasan tanah secara global. Di satu sisi,
pemerintah dari negeri-negeri yang rentan pasokan pangannya dan menggantungkan
kebutuhan pangan penduduknya pada impor melakukan perampasan tanah pertanian
secara besar-besaran di luar negeri untuk kebutuhan produksi mereka sendiri.
Sementara di sisi lain, perusahaan pangan dan investor swasta, yang rakus akan
keuntungan di saat terjadi krisis berkepanjangan, melihat investasi atas lahan
pertanian di luar negeri sebagai sebuah sumber utama keuntungan yang baru.
Alhasil, lahan pertanian yang subur sedikit demi sedikit telah menjadi milik
swasta dan terpusat. Jika tidak dikendalikan, perampasan lahan pertanian yang
dilakukan secara global ini akan berdampak pada berakhirnya model pertanian
skala kecil dan kehidupan pedesaan di banyak tempat di seluruh dunia.
Oleh karenanya, dua krisis global yang terjadi
selama kurun waktu 15 tahun terakhir—krisis pangan dunia dan krisis finansial
global di mana krisis pangan menjadi salah satu bagiannya—telah menelurkan
kecenderungan baru yang sekaligus sangat menganggu yakni pembelian lahan dalam
skala besar untuk kepentingan produksi bahan pangan. Terdapat dua agenda yang
saling berhubungan yang semuanya menuntun pada dua macam perampasan tanah.
Agenda pertama adalah ketahanan pangan. Beberapa
negeri yang menggantungkan kebutuhan pangannya pada impor dan merasa khawatir
pada pasar yang semakin ketat, padahal memiliki dana tunai untuk itu, berupaya
memenuhi kebutuhan pangan mereka dari luar negeri melalui penguasaan kontrol
atas tanah pertanian di negeri lain. Negeri-negeri tersebut melihat cara ini
sebagai strategi jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat mereka
yang memberi keuntungan baik dari segi harga maupun jaminan ketersediaan pangan
dibandingkan yang terjadi saat ini. Negeri-negeri seperti Arab Saudi, Jepang,
China, India, Korea Selatan, Libya dan Mesir telah menjalankan sistem ini. Para
pejabat tinggi negeri-negeri tersebut sejak Maret 2008 telah melakukan
kesepakatan diplomatik guna mencari lahan-lahan subur di tempat-tempat seperti
Uganda, Brazil, Kamboja, Sudan dan Pakistan. Hal-hal tersebut di ataslah yang
terjadi hari ini. Karena meyakini kesempatan bertani di negeri mereka sendiri
semakin terbatas, sementara pasar yang ada tidak dapat diandalkan,
negeri-negeri dengan ketahanan pangan yang rentan tersebut mencoba membeli
tanah di berbagai tempat untuk memproduksi kebutuhan pangan mereka sendiri. Di
sisi lain, negeri penyedia lahan rata-rata menyambut gembira kesempatan memperoleh
dana segar dari investasi asing ini.
Agenda kedua adalah keuntungan keuangan. Karena
berlangsungnya krisis keuangan saat ini, ketika semua pelaku bisnis keuangan
dan industri pangan mencari strategi baru untuk tetap berkembang, mengalihkan
investasinya pada tanah, baik untuk produksi pangan maupun produksi bahan bakar
nabati, sebagai sumber keuntungan yang baru. Tanah sendiri sebenarnya bukanlah
bentuk investasi yang lazim dilakukan bagi banyak perusahaan transnasional ini.
Hal ini karena masalah tanah sarat dengan konflik politik yang di kebanyakan
negeri melarang orang asing untuk memiliki tanah di negeri mereka. Namun
kombinasi krisis pangan dan keuangan telah mengubah lahan pertanian menjadi
salah satu strategi baru dalam pengelolaan aset. Di banyak tempat di dunia,
harga pangan sangat tinggi sementara harga tanah sangat rendah. Solusi yang
paling banyak ditawarkan saat bicara tentang krisis pangan adalah memproduksi
lebih banyak bahan makanan dari lahan yang dimiliki.
Di saat pemerintah memilik agenda dalam
menciptakan ketahanan pangan, investor swasta memiliki agenda yang berbeda,
yakni menghasilkan keuntungan. Krisis pangan bersama dengan krisis keuangan
global telah mengubah kontrol atas tanah menjadi magnet baru yang penting bagi
swasta. Kita tidak sedang membicarakan mengenai praktek bisnis pertanian antar
bangsa yang khas, di mana Cargill kemungkin besar terlibat dalam penghancuran
perkebunan kacang kedelai di Mato Grosso di Brazil. Tapi kita sedang berbicara
mengenai kepentingan baru dalam memperoleh kontrol atas lahan itu sendiri. Ada
uang orang pemain di sini, yakni industri pangan (food industry) dan
yang lebih signifikan adalah industri keuangan (finance industry).
Dalam lingkaran industri pangan, perusahaan
perdagangan dan pengolahan Jepang dan Arab mungkin adalah perusahaan-perusahaan
yang paling sering terlibat dalam perampasan tanah di luar negeri saat ini.
Bagi perusahaan Jepang, strategi ini menyatukan pertumbuhan organik mereka.
Sedangkan bagi perusahaan Timur Tengah, mereka menunggang pada kebijakan
pemerintahan negara mereka yang membuka pintu dan bergerak keluar
mengatasnamakan ketahanan pangan.
Berdasarkan sejumlah laporan,
perusahaan-perusahaan perdagangan Jepang yang mendominasi pasar makanan dan
bisnis pertanian di Jepang, yakni Mitsubishi, Itochu, Mitsui, Marubeni, dan
Sumitomo, telah memiliki 12 juta hektar lahan pertanian di luar negeri untuk
memproduksi pangan dan pakan ternak.
Masalah dalam industri keuanganlah yang porsinya
lebih besar. Bagi sebagian besar orang yang berada di tampuk kekuasaan, dalam
krisis pangan global ini terdapat masalah yang besar: yakni apa pun
persoalannya, perubahan iklim, penurunan kesuburan tanah, berkurangnya pasokan
air dan peningkatan jumlah perkebunan monokultur telah mengemuka dan menjadi
tantangan terbesar dalam ketersediaan pangan bagi planet kita di masa depan.
Hal ini diartikan bahwa akan terjadi pasar yang lebih ketat, harga yang tinggi,
dan tekanan untuk mendapatkan yang lebih banyak dari lahan.
Pada saat yang sama, industri keuangan, yang
bertaruh sangat besar atas uang yang terbatas akibat utang dan kerugian, tengah
mencari tempat yang aman untuk berlindung. Seluruh faktor ini membuat lahan
pertanian menjadi mainan baru yang dapat digunakan untuk meraih keuntungan.
Pangan harus diproduksi, harga akan selalu tinggi, lahan murah telah tersedia,
semuanya akan terbayar—itulah racikannya. Hasilnya? Sepanjang tahun 2008,
sepasukan biro investasi, lembaga pemegang modal swasta, dana pelindung dan
sejenisnya, secara cepat telah mengambil lahan-lahan pertanian di seluruh
dunia—dan dengan pertolongan yang sangat besar dari lembaga-lembaga keuangan
seperti Bank Dunia, dan Perusahaan Keuangan Internasionalnya, serta Bank
Pembangunan dan Rekonstruksi Eropa (European Bank for Reconstruction and
Development atau EBRD). Lembaga-lembaga inilah yang melumasi jalan aliran
investasi ini dan “membujuk” pemerintah untuk mengubah kebijakan kepemilikan
tanah mereka sehingga dapat diganti. Hasilnya, harga tanah mulai naik.
Sektor swasta pada tahun
2008 tengah pusing tujuh keliling karena harus segera melakukan perampasan
lahan pertanian. Deutsche Bank dan Goldman Sachs, misalnya, sedang memegang
kendali atas industri peternakan di China. Sementara ketika seluruh pandangan
tengah fokus pada Wall Street di akhir September 2008, keduanya memasukkan uang
mereka ke peternakan babi terbesar di China, peternakan unggas dan tempat
pengolahan daging—termasuk di dalamnya hak atas
lahan pertanian. Black Rock Inc. yang berkantor pusat di New York, lembaga
pengelola uang terbesar di dunia dengan lebih dari US$ 1,5 triliun dalam buku
keuangannya, baru saja merancang dana pelindung pertanian sejumlah US$ 200 juta,
yang US$ 30 juta di antaranya akan digunakan untuk memperoleh lahan pertanian
di seluruh dunia. Morgan Stanley, yang baru saja bergabung dalam antrian
membantu Departemen Keuangan AS, belakangan membeli 40 ribu hektar lahan
pertanian di Ukraina.
Namun tetap kalah jika
dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Renaissance Capital, sebuah biro
investasi dari Rusia, yang memiliki hak perolehan lahan pertanian di Ukraina
seluas 300 ribu hektar. Faktanya, wilayah paling subur yang terbentang mulai
dari Ukraina hingga selatan Rusia menjadi arena kompetisi perebutan tanah yang
paling panas. Black Earth Farming, kelompok investor asing dari Swedia,
memegang kendali akuisisi 331 ribu hektar lahan pertanian di wilayah bumi hitam
Rusia. Alpcot-Agro,
perusahaan investasi Swedia yang lain, telah membeli hak atas lahan seluas 128
ribu hektar juga di sana. Sementara Landkom, kelompok investor asing dari
Inggris, telah membeli lahan pertanian hingga 100 ribu hektar di Ukraina dan
berjanji akan memperluasnya hingga 350 ribu hektar pada tahun 2011. Semua lahan
ini akan digunakan untuk memproduksi padi, minyak nabati, daging dan susu untuk
memenuhi pasar dunia yang tengah kelaparan dan terutama bagi mereka yang mampu
membayarnya.
Kecepatan dan
ketepatan trend investasi jenis baru ini sangat mencengangkan. Berikut ini
adalah daftar negeri-negeri yang menjadi target investasi, yakni: Malawi,
Senegal, Nigeria, Ukraina, Rusia, Georgia, Kazakhstan, Uzbekistan, Brazil,
Paraguay bahkan hingga Australia. Negeri-negeri ini telah diidentifikasi
sebagai negeri-negeri yang menawarkan tanah yang subur, ketersediaan air yang
mencukupi dan pada bebeberapa level memiliki lahan potensial dalam hal
pertumbuhan produktivitas. Rata-rata para investor ini menetapkan batas waktu
atas tanah-tanah tersebut hingga 10 tahun, tentu saja dengan pengertian yang
sangat jelas bahwa mereka harus membuat tanah tersebut sangat-sangat produktif
dan membangun infrastruktur pemasaran. Dengan cara ini diperkirakan setiap
tahunnya mereka memperoleh tingkat keuntungan 10-40% di Eropa dan 400% di Afrika. Sekali lagi hal yang
baru dan khusus pada fenomena perampasan tanah ini adalah bahwa kalangan
industri keuangan ini telah memperoleh hak yang sesungguhnya atas tanah, dan
kebanyakan langkah ini terjadi hanya dalam beberapa bulan terakhir ketika pasar
keuangan global tengah mengalami kebangkrutan.
2.2 Indonesia Menjadi Boneka Kaum Imperialis
dalam Merampas Tanah Rakyat
Watak boneka pemerintah Indonesia tercermin dengan
cepatnya Indonesia menanggapi tawaran penyelesaian krisis pangan yang
dipromosikan dalam skema kaum imperialis. Dalam pidato yang disampaikan oleh
Wakil Presiden Indonesia Budiono dalam Konferensi Tingkat Tinggi Dunia mengenai
Ketahanan Pangan yang diselenggarakan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO)
di Roma pada tanggal 13-17 November 2009, Indonesia menyatakan kesiapan untuk
memberikan dukungan bagi pemenuhan pangan dunia. Di tingkat nasional, pidato
Wakil Presiden Indonesia Budiono ini telah menjadi kebijakan nasional untuk
memproduksi pangan secara besar-besaran, yang dilakukan dengan mengubah
orientasi kebijakan pembangunan sektor pertanian dari yang semula mengandalkan
petani kecil menuju industrialisasi pertanian, yang mulai memberikan ruang
gerak lebih lebar bagi masuknya pemodal. Sama halnya dengan pidato Presiden
Indonesia SBY pada bulan Januari 2010 ketika mempromosikan pertanian pangan
skala raksasa terintegrasi dengan proyek energi nabati di Merauke, Papua,
menyebutkan bahwa Indonesia berambisi menjadi lumbung pangan dunia.
Dipercayai, dengan melibatkan industri, produksi
pangan bisa ditingkatkan berlipat-lipat dibandingkan bila lahan pertanian
dikelola petani kecil. Inilah kebijakan nasional untuk mendukung pertanian
pangan skala raksasa, yang dikandung dalam Undang-Undang No.41 tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,
yang memberikan jalan masuknya pengusaha pertanian, baik tingkat lokal,
nasional maupun multinasional mengolah lahan di Indonesia dan
memperdagangkannya baik untuk pasar domestik maupun ekspor.
Dalam situasi semacam ini, Indonesia sendiri telah
menegaskan niatnya untuk menjadi lumbung padi dunia melalui pencanangan program
pertanian pangan dan energi terintegrasi di Merauke (MIFEE atau Merauke
Integrated Food and Energy Estate) yang akan merampas tanah kaum tani seluas 2,8
juta hektar di Merauke, Papua. Investor utama dari rencana ini adalah kelompok
usaha BinLaden dari Arab Saudi yang pada bulan Agustus 2008 mentargetkan tanah
Merauke untuk produksi beras basmati, yang kemudian akan diekspor kembali ke
Arab Saudi, dalam rangka program ketahanan pangan negeri padang pasir itu.
Demikian pula dalam konteks untuk mengatasi krisis
energi, Indonesia juga menyatakan diri siap menjalankan tugasnya untuk
memproduksi energi nabati bagi kaum imperialis. Dengan kampanye membuat
perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia seluas 1,8 juta hektar di perbatasan
Indonesia dan Malaysia di Kalimantan (Kalimantan Border Oil Palm Mega Project),
yang dikampanyekan oleh pemerintah pada tahun 2005. Melalui pernyataan Menteri
Pertanian Republik Indonesia Anton Apriantono pada bulan Juni 2005 disebutkan
bahwa proyek kebun sawit terbesar di seluruh dunia ini, akan dimaksudkan untuk
menghasilkan energi nabati untuk konsumsi domestik dan ekspor.
Untuk mendukung skema kaum imperialis ini,
pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah aturan yang terkait dengan
pengaturan tanah dan kekayaan alam di Indonesia seperti Undang-Undang (UU) No.
18 tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), dan UU No.41 tahun
2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Semua aturan terkait
perkebunan, pertambangan mineral dan batubara, penanaman modal dan pertanian
pangan tersebut mencerminkan watak komprador dari rezim Susilo Bambang
Yudhoyono dan Budiono (SBY-Budiono). Karena memberikan fasilitas sedemikian
luas kepada modal asing untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia, baik melalui
konsesi hak guna usaha, kontrak karya pertambangan maupun kemudahan-kemudahan investasi
lainnya bagi investor asing untuk menguasai tanah di Indonesia.
Dalam pandangan kaum tani Indonesia yang tergabung
dalam Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), aturan-aturan yang disebutkan di
atas, memberikan pengesahan atas terjadinya perampasan tanah dalam bentuk
perluasan perkebunan skala raksasa dan pertanian pangan skala raksasa (food
estates), yang dilakukan oleh rezim SBY-Budiono.
Melalui skema pertanian pangan skala raksasa,
produksi pangan akan diandalkan pada perusahaan-perusahaan industri pangan.
Dengan demikian, melalui skema pertanian pangan skala raksasa ini, tanah kaum
tani akan dirampas secara brutal dan setelah itu, kaum tani akan dipaksa
menjadi buruh tani secara besar-besaran di kawasan industri pertanian itu.
Tentu saja, hal ini akan menyebabkan akses rakyat terhadap pangan semakin
sulit, apalagi jika sebelumnya Indonesia adalah negeri pengimpor pangan.
Indonesia sendiri selama sepuluh tahun terakhir
merupakan negeri pengimpor utama bahan pangan (antara lain beras, kedelai,
gula, garam, jagung), tentu dapat dipastikan mendapatkan pukulan yang paling
hebat, karena krisis pangan dunia ini. Setiap tahun Pemerintah Indonesia harus
menguras devisa lebih dari US$ 5 miliar atau senilai dengan Rp 50 triliun,
untuk mengimpor pangan.
Ironisnya, sementara banyak negeri penghasil
pangan utama bergerak cepat untuk melarang ekspor beras karena krisis
imperialisme ini akan terus berlanjut, pejabat-pejabat Indonesia malah bergerak
cepat untuk mempromosikan ekspor beras, karena panen padi awal tahun 2008, yang
dianggap berhasil. Sikap ini sungguh menyakitkan hati rakyat tani. Karena
kenyataan di lapangan, petani penghasil padi menjerit harga jual padinya
merosot drastis dan dipermainkan oleh tengkulak dan Bulog.
Meskipun rezim politik di Indonesia telah berganti
beberapa kali sejak Soeharto ditumbangkan tahun 1998, watak penghisap dan
penindas dari rezim politiknya tidak pernah berubah. Wataknya tetap sama, yakni
menguras sumber daya alam yang masih tersisa sampai kering, memonopoli industri
bahan baku sampai dengan industri pengolahan, menggantungkan diri pada utang,
mengedepankan proyek-proyek infrastruktur raksasa yang rakus akan tanah-tanah
yang luas, mengundang kemudahan investor asing untuk melakukan penanaman modal,
merampas upah kelas buruh, dan mencaplok tanah-tanah milik kaum tani, yang
dalam krisis umum imperialisme sekarang, perampasan tanah tersebut akan
diabdikan guna memproduksi pangan dan bahan bakar nabati.
3. Bentuk-bentuk Perampasan
Tanah
Selama
Periode 2004-2010
Perampasan tanah di masa SBY-Kalla dan SBY-Budiono
yang coba dikupas dalam risalah ini adalah perampasan tanah yang terjadi dalam
kurun waktu tahun 2004 hingga 2010. Ini adalah kurun waktu di mana krisis
finansial, krisis pangan dan krisis energi terjadi secara global. Dalam kurun
waktu ini, kita melihat bagaimana kaum imperialis dunia berupaya sekuat
tenaganya untuk mencari jalan keluar dari krisis umum yang mereka hadapi,
terutama di dalam krisis finansial, pangan dan energi. Dengan demikian, kupasan
pada bagian ini bermaksud mengaitkan antara konteks global dan nasional dari
perampasan tanah dan bagaimana caranya rezim boneka imperialisme di Indonesia melayani
seluruh kepentingan kaum imperialis.
Pada pokoknya perampasan tanah yang terjadi dewasa
ini, berlandaskan pada monopoli tanah yang telah ada sebelumnya. Monopoli tanah
yang telah ada sebelumnya di Indonesia yang telah dibangun selama 32 tahun masa
rezim fasis Orde Baru (1966-1998), sesungguhnya telah lebih memudahkan
proses-proses perampasan tanah yang terjadi dewasa ini. Monopoli tanah yang
terjadi di masa Orde Baru terutama terjadi dalam bentuk konsentrasi penguasaan
tanah-tanah pertanian melalui skema Revolusi Hijau, penguasaan tanah-tanah
perkebunan melalui skema Hak Guna Usaha (HGU), penguasaan tanah-tanah hutan
melalui konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI),
penetapan kawasan taman nasional, penguasaan tanah-tanah pertambangan melalui
konsesi pertambangan seperti kontrak karya pertambangan, serta konsentrasi
penguasaan tanah untuk pembangunan infrastruktur, pemukiman (properti), dan
pembangunan infrastruktur militer.
Bentuk-bentuk perampasan tanah yang terjadi saat
ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah terjadi di masa Orde
Baru. Yang membedakannya adalah perampasan tanah yang dilakukan saat ini adalah
dalam rangka mencari jalan keluar dari krisis umum imperialisme yang sedang
mengalami kebangkrutannya. Sehingga tingkat kekerasan dan penghisapannya terhadap
rakyat serta manipulasinya jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan masa-masa
sebelumnya. Karena bila tidak mereka lakukan secara vulgar, maka krisis yang
ada sekarang akan betul-betul menjadi kuburan bagi kaum imperialis tersebut.
Pada garis besarnya, kita akan mengupas
bentuk-bentuk perampasan tanah yang terjadi dalam sektor perkebunan dan
pertanian pangan, yang saat ini merupakan bentuk perampasan tanah yang paling
vulgar dalam upaya kaum imperialis dan bonekanya di Indonesia mencari jalan
keluar terhadap krisis energi dan pangan yang sedang mereka hadapi.
3.1 Perkebunan dan Produksi Energi Nabati
Perampasan tanah dalam sektor perkebunan yang
paling menonjol dewasa ini adalah perampasan tanah untuk perluasan perkebunan
kelapa sawit. Kenapa kaum imperialis menyasar perkebunan kelapa sawit? Karena
biaya produksinya per hektar paling murah dibandingkan dengan komoditas
perkebunan yang lain dan dapat dipanen dalam waktu relatif pendek, yakni mulai
umur tiga tahun. Dan harga jual tandan kelapa sawit segar maupun CPO-nya paling
menguntungkan bagi kaum imperialis. Selain itu, yang paling utama adalah
komoditi kelapa sawit bisa diolah menjadi bahan baku energi alternatif, yakni
bahan baku untuk pembuatan biodiesel.
Oleh karenanya hampir semua target produksi yang
sudah ada (existing) maupun perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia
dibebani target untuk produksi energi nabati, selain target produksi untuk
diolah menjadi minyak goreng, kosmetika, dan bahan olahan lainnya. Demikian
pula hampir sebagian besar komoditas perkebunan lain yang utama seperti
perkebunan tebu dan teh di seluruh Indonesia, juga sedang dikonversi menjadi perkebunan
kelapa sawit.
Ini menunjukkan bahwa krisis energi betul-betul
sedang melanda kaum imperialis. Karena hal yang sama juga sedang terjadi di
tempat-tempat lain. Brazil misalnya telah dibebani target produksi tebu yang
diperuntukkan bagi pasokan bioetanol untuk AS. Demikian pula AS telah
mengkonversi produksi perkebunan jagung milik mereka menjadi bioetanol demi
pemenuhan konsumsi energi nabatinya yang sangat boros, seperti borosnya mereka
mengkonsumsi energi berbahan bakar fosil sebelumnya. China dan India juga
merupakan produsen bioetanol terbesar dunia setelah Brazil dan AS. Secara
total, pada tahun 2008, hampir 50 miliar liter bioetanol telah diproduksi
secara global, menurut United Kingdom Renewable Fuels Agency.
Bagaimana halnya dengan produksi biodiesel? Produksi
energi nabati jenis biodiesel terutama dihasilkan dari minyak kelapa sawit,
kedelai dan minyak lobak. Pada tahun 2007, secara global, ada sekitar 10 miliar
liter yang diproduksi. Pasar global terbesar untuk biodiesel saat ini adalah Uni
Eropa, yang telah menetapkan target utama untuk pemakaian biodiesel dan di mana
biodiesel merupakan 82% dari pasar energi nabati. Eropa juga menyumbang 95%
dari total produksi global untuk biodiesel.
Di antara 80 dan 85% produksi biodiesel Uni Eropa berasal
dari minyak lobak (rapeseed oil). Sementara AS memproduksi biodiesel
dari kedelai, dan sejumlah negeri lain juga sedang meningkatkan produksinya. Brazil
berharap dapat menyalip produksi AS dan Uni Eropa pada tahun 2015. Sementara
Indonesia dan Malaysia memimpin produksi biodiesel dari minyak kelapa sawit (palm
oil). Indonesia sendiri pada tahun 2007, mengekspor 500.000 ton biodiesel
dengan sasaran ekspor terbesar adalah Eropa lalu disusul AS.
Pengalihan produksi Eropa untuk biodiesel melalui jalur impor minyak nabati,
membuat posisi Indonesia dan Malaysia menjadi sangat penting. Oleh karenanya,
kemudian, Indonesia dan Malaysia meningkatkan produksi dan ekspor minyak kelapa
sawit untuk memenuhi pasar biodiesel Uni Eropa.
Uni Eropa telah membuat target pemakaian bahan
bakar nabati sebanyak 10% pada tahun 2020—tahun mana diperkirakan produksi
energi bahan bakar fosil akan makin terus menurun dan membuat ketentuan
pelarangan perkebunan nabati ditanam di tanah-tanah seperti wilayah hutan
lindung, hutan, tanah basah, dan tanah-tanah yang mengandung keanekaragaman
hayati yang tinggi.
Oxfam telah membuat perkiraan mengenai dampak dari
target pemakaian energi nabati Uni Eropa terhadap kecenderungan produksi kelapa
sawit Indonesia dan Malaysia saat ini. Mereka memperkirakan bahwa emisi gas
rumah kaca yang dikeluarkan adalah setara 3,1 miliar ton CO2 sebagai
akibat perubahan tata guna tanah secara tidak langsung dalam sektor perkebunan
kelapa sawit guna memenuhi target Uni Eropa tersebut.
Berapa luas tanah Indonesia yang diperlukan untuk
perkebunan yang memproduksi biodiesel buat negeri-negeri Eropa ini?
Analisis yang dibuat United Kingdom Renewable
Fuels Agency menyebutkan bahwa terdapat sekitar 10,8 juta hektar tanah yang
dapat ditanami tapi belum digunakan yang ada di kawasan Uni Eropa sendiri, guna
mencapai target permintaan energi nabati Uni Eropa itu. Meskipun demikian, Uni
Eropa telah menetapkan bahwa untuk mencapai target tersebut mereka membaginya
dalam dua kategori: antara 22-54% dari targetnya akan dipenuhi dari impor dan
37% sisanya akan diperoleh dari pemindahan produksinya ke tanah-tanah di luar
Uni Eropa. Ini berarti akan menyebabkan antara 5 sampai 10 juta hektar
perubahan tata guna tanah di luar Uni Eropa, tergantung pada tingkat
targetnya—suatu peningkatan yang luar biasa terkait dengan tata guna tanah
untuk bahan bakar nabati.
Sementara itu, sebuah lembaga dari Belanda yang
bernama The Dutch Environment Assessment Agency telah menaksir berapa luas
tanah yang diperlukan untuk memenuhi target energi nabati Eropa. Mereka
memperkirakan sekitar 20-30 juta hektar tanah dibutuhkan untuk memenuhi target permintaan
energi nabati 10% Uni Eropa itu.
Konsumsi energi nabati Uni Eropa pada tahun 2020 akan dibagi dalam dua jenis
energi nabati, yakni biodiesel dan bioetanol. Berikut adalah perhitungan The
Ducth Environment Assessment Agency atas kebutuhan tanah yang diperlukan dari
negeri-negeri jajahan, setengah jajahan, dan bergantung lainnya guna memenuhi
target permintaan energi nabati 10% Uni Eropa pada tahun 2020:
v Sekitar 2,5-3 juta tanah di Indonesia dan
Malaysia dibutuhkan untuk memasok minyak kelapa sawit.
v Sekitar 2-2,5 juta tanah di Brazil
dibutuhkan untuk memasok etanol dari tebu.
v Sekitar 1-2 juta tanah di Afrika dan Asia
Selatan dibutuhkan untuk biodiesel dari tanaman jarak (jatropha).
v Sumber-sumber tanah yang lain—seperti
kedelai dari Argentina dan Brazil, dibutuhkan sekitar 8-10 juta hektar.
Sementara itu, dari sisi konsumsi biodiesel dan
bioetanol Uni Eropa pada tahun 2020, berdasarkan sumbernya dapat dilihat pada
Tabel 5.
Dengan demikian, sudah terang bahwa ancaman
perampasan tanah dalam bentuk perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia
asal muasalnya adalah untuk memenuhi target konsumsi energi nabati
negeri-negeri Eropa tahun 2020. Artinya, jalan keluar kaum imperialis untuk
menyelesaikan krisis energinya dengan cara merampas tanah-tanah di
negeri-negeri jajahan, setengah jajahan, dan bergantung lainnya, sudah terbukti
di sini.
Untuk Indonesia sendiri, target perampasan tanah
untuk perkebunan dan produksi kelapa sawit untuk diolah menjadi biodiesel yang
diabdikan untuk kepentingan konsumsi negeri-negeri Eropa adalah sekitar 2,5-3
juta tanah rakyat (termasuk dengan Malaysia). Menarik untuk dicatat dalam
kaitan ini adalah pernyataan Menteri Pertanian Republik Indonesia Anton
Apriantono pada bulan Januari 2006. Dalam pernyataannya yang dikutip kantor
berita Reuters tersebut, dia menjelaskan bahwa Indonesia akan mengembangkan 3
juta hektar perkebunan kelapa sawit baru dalam lima tahun ke depan, guna
memenuhi permintaan yang semakin meningkat atas bahan bakar nabati, sebagai
sumber energi alternatif. Dari jumlah ini, 2 juta hektarnya akan dikembangkan
di sepanjang perbatasan Kalimantan – Malaysia.
Dari keseluruhan konsumsi biodiesel Uni Eropa pada
tahun 2020, Indonesia diperkirakan akan menyumbang sekitar 25% yang diproduksi
dari kebun-kebun kelapa sawitnya, yang penuh dengan kekerasan dan pembantaian
terus menerus terhadap kaum tani Indonesia.
Tabel 5
Konsumsi Biodiesel
dan Etanol Uni Eropa berdasarkan sumbernya pada tahun 2020
Konsumsi biodiesel Uni Eropa berdasarkan sumbernya pada tahun 2020
(Total = 27,5 miliar liter)
|
Persentase
|
Konsumsi etanol Uni Eropa berdasarkan sumbernya pada tahun 2020
(Total = 27,5 miliar liter)
|
Persentase
|
Minyak kelapa
sawit Indonesia
|
25%
|
Tebu Brazil
|
44%
|
Minyak kelapa
sawit Malaysia
|
23%
|
Gandum Uni Eropa
|
35%
|
Minyak lobak Uni
Eropa
|
22%
|
Jagung Uni Eropa
|
8%
|
Kedelai Argentina
|
10%
|
Bit gula Uni
Eropa
|
5%
|
Kedelai AS
|
8%
|
Lain-lain
|
8%
|
Kedelai Brazil
|
7%
|
|
|
Lain-lain (termasuk
tanaman jarak)
|
5%
|
|
|
|
|
|
|
Source: Tim Rice, “Meals
per gallon: The Impact of industrial biofuels on people and global hunger,”
Januari 2010, hal.35.
Untuk melihat perkembangan di mana saja
tanah-tanah di Indonesia yang dirampas untuk perluasan perkebunan kelapa sawit
dan produksi energi nabati, di bawah ditampilkan masing-masing bagan ringkas
kelompok-kelompok usaha pemilik kebun sawit terbesar di Indonesia, luas konsesi
kebun yang mereka miliki, serta kapasitas produksi CPOnya. Dan selanjutnya
ditampilkan pula luasan kelapa sawit di seluruh Indonesia, guna memperlihatkan
watak ekspansi perampasan tanah dari industri sawit dan produksi energi nabati
ini.
Berdasarkan data yang disajikan dalam Tabel 6, pada
tahun 2002, terdapat 27 kelompok usaha perkebunan kelapa sawit yang memegang
konsesi kelapa sawit seluas total area 4,6 juta hektar. Yang artinya jumlah
konsesi itu merupakan sekitar 60% dari total area konsesi yang dikeluarkan
untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2002. Secara keseluruhan,
kelompok usaha ini telah menanam pada area sekitar 1,8 juta hektar, yang
merupakan 60%
Tabel 6
Kelompok usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia,
berdasarkan ranking aset total pada tahun 2002
|
Kelompok usaha
|
Negeri asal
|
Area konsesi (ha)
|
Area tanam (ha)
|
Produksi CPO (ton)
|
Aset Total (US$ juta)
|
Perkebunan Nusantara
|
Indonesia
|
770,000
|
561,126
|
2,094,364
|
1,400.0
|
Sinar Mas
|
Indonesia
|
591,000
|
282,000
|
1,105,000
|
1,285.2
|
Raja Garuda Mas
|
Indonesia
|
543,000
|
?
|
600,000
|
1,000.0
|
Kumpulan Guthrie
|
Malaysia
|
215,973
|
162,213
|
329,524
|
728.9
|
Salim
|
Indonesia
|
230,000
|
161,973
|
775,651
|
597.1
|
Napan & Risjadson
|
Indonesia
|
340,000
|
40,534
|
259,492
|
330.0
|
Astra
|
Hong Kong
|
290,621
|
189,970
|
543,635
|
277.5
|
Lyman
|
Indonesia
|
160,000
|
?
|
?
|
160.0
|
Tirtamas and Maharani
|
Indonesia
|
270,000
|
105,282
|
?
|
150.0
|
Incasi Raya & Metro
|
Indonesia
|
200,000
|
?
|
?
|
150.0
|
Benua Indah
|
Indonesia
|
180,000
|
?
|
?
|
150.0
|
Cargill
|
United States
|
27,000
|
27,000
|
100,000
|
150.0
|
Kuala Lumpur Kepong
|
Malaysia
|
52,000
|
31,808
|
?
|
106.0
|
Sungai Budi
|
Indonesia
|
62,015
|
12,000
|
?
|
102.9
|
Duta Palma
|
Indonesia
|
65,800
|
25,450
|
?
|
100.0
|
Surya Dumai
|
Indonesia
|
154,133
|
23,975
|
?
|
95.0
|
Anglo-Eastern
|
Malaysia
|
33,692
|
18,389
|
63,240
|
92.1
|
Johor
|
Malaysia
|
140,000
|
19,622
|
?
|
90.0
|
REA
|
United Kingdom
|
125,000
|
13,209
|
28,557
|
82.2
|
Bakrie
|
Indonesia
|
80,000
|
34,681
|
55,401
|
71.9
|
Oriental
|
Malaysia
|
43,900
|
?
|
?
|
66.7
|
CDC
|
United Kingdom
|
45,400
|
?
|
100,000
|
60.0
|
Sipef
|
Belgium
|
65,000
|
29,364
|
127,003
|
53.0
|
Carson Cumberbatch
|
Sri Lanka
|
15,934
|
12,557
|
26,570
|
48.8
|
Bolloré
|
France
|
37,467
|
37,467
|
182,628
|
42.3
|
Rowe Evans
|
United Kingdom
|
35,304
|
25,136
|
0
|
36.6
|
Hasko
|
Indonesia
|
8,000
|
?
|
?
|
8.0
|
Double-counting
|
|
(220,000)
|
(20,000)
|
(500,000)
|
|
Total
|
|
4,561,239
|
1,793,756
|
5,891,065
|
7,434.2
|
Source: Jan Willem van
Gelder, “Financing of the Indonesian palm oil sector”, draft, p.2.
dari total area tanam di Indonesia pada tahun 2002
itu. Dan mereka menghasilkan produksi CPO tahunan sekitar kurang lebih 5,9 juta
ton, yang merupakan 65% dari total produksi CPO Indonesia pada tahun 2002.
Dari total area konsesi perkebunan pada tahun
2002, yang dikuasai oleh negara Indonesia melalui Badan Usaha Milik Negara
yakni PT.Perkebunan Nusantara (PTPN) hanya sekitar 770.000 dari total area
konsesi keseluruhan sekitar 4,6 juta hektar. Sisanya, yakni sekitar 3,8 juta
hektar dikuasai oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS), termasuk salah satunya
Cargill dari AS, pimpinan kaum imperialis dunia dan sejumlah perusahaan dari
negeri-negeri Eropa.
Di sisi lain, berdasarkan data pada tahun 2008,
ada sedikitnya 10 juta jiwa petani yang hidup dari kebun kelapa sawit swadaya.
Dari 6,7 juta hektar perkebunan kelapa sawit pada tahun 2008, sebanyak 2,7 juta
hektar milik rakyat.
Oleh karenanya tepat jika kita mengatakan bahwa
dengan penguasaan tanah yang begitu luas, Perkebunan Besar Swasta (PBS) ini
dapat digolongkan sebagai tuan tanah besar tipe baru yang mempunyai hubungan
langsung dengan imperialis, dan melakukan monopoli tanah serta menyebabkan
kerusakan lingkungan. Sementara PTPN dapat digolongkan dalam kategori negara
sebagai tuan tanah.
Sementara itu, berdasarkan data yang dikumpulkan tentang tata guna tanah
provinsi, laporan media massa koran dan sumber-sumber lain yang ada, lembaga
Sawit Watch memperkirakan bahwa ada sekitar hampir 20 juta hektar tanah
Indonesia yang telah diusulkan oleh pemerintah provinsi untuk pengembangan
kelapa sawit. Pengembangan kebun-kebun baru yang ekstensif terutama terjadi di
Sumatera dan Kalimantan, dengan perluasan yang mencolok juga terjadi di
Sulawesi dan Papua dalam tahun-tahun terakhir. Ringkasan perluasan perkebunan
kelapa sawit di Indonesia dari tahun 2005 menuju tahun 2020 dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7
Rencana Pemerintah Provinsi
untuk Memperluas Perkebunan Kelapa Sawit, 2005-2010
Provinsi
|
Area tahun 2005 (ha)
|
Rencana area ekspansi 2020 (ha)
|
Pulau Sumatera
|
|
|
Aceh
|
222,389
|
340,000
|
Sumatera Utara
|
1,093,033
|
1,000,000
|
Sumatera Barat
|
489,000
|
500,000
|
Riau
|
1,486,989
|
3,000,000
|
Jambi
|
350,000
|
1,000,000
|
Sumatera Selatan
|
416,000
|
1,000,000
|
Bangka Belitung
|
112,762
|
-
|
Bengkulu
|
81,532
|
-
|
Lampung
|
145,619
|
500,000
|
Pulau Jawa
|
|
|
Jawa Barat
|
3,747
|
-
|
Banten
|
17,375
|
-
|
Pulau Kalimantan
|
|
|
Kalimantan Barat
|
349,101
|
5,000,000
|
Kalimantan Tengah
|
583,000
|
1,000,000
|
Kalimantan Selatan
|
391,671
|
500,000
|
Kalimantan Timur
|
303,040
|
1,000,000
|
Pulau Sulawesi
|
|
|
Sulawesi Tengah
|
43,032
|
500,000
|
Sulawesi Selatan
|
72,133
|
500,000
|
Sulawesi Tenggara
|
3,602
|
500,000
|
Pulau Papua
|
|
|
Papua
|
40,889
|
3,000,000
|
TOTAL
|
6,059,441
|
19,840,000
|
Source: Marcus Colchester et.al.,
Promised Land, 2007, hal. 25-28.
3.2 Pertanian Pangan Skala Raksasa
Krisis pangan dunia dan krisis finansial global
telah mendorong negeri-negeri imperialis untuk melakukan perampasan tanah di
negeri-negeri miskin. Perampasan tanah itu akan memperburuk kemiskinan dan
kekurangan gizi di negeri-negeri miskin, yang umumnya masih merupakan negeri jajahan,
setengah jajahan dan bergantung lainnya.
Negeri-negeri yang lapar akan sumber daya
cepat-cepat membeli lahan pertanian yang luas di negeri-negeri Asia dan Afrika
guna memenuhi kebutuhan mereka. Tren global, termasuk tingginya harga minyak
dunia, maraknya bahan bakar nabati, dan perlambatan ekonomi global, memacu
negeri-negeri yang bergantung pada impor untuk mengamankan sumber pangan
mereka.
Perampasan tanah telah mulai berlangsung secara
intensif di banyak negeri selama 10-15 tahun terakhir, melalui kebijakan
deregulasi, kesepakatan perdagangan dan investasi, serta pembaruan pemerintahan
yang berorientasi pasar.
Krisis pangan dunia dan krisis finansial global terbaru telah memberikan sebuah
gelombang baru dalam perampasan tanah oleh para pemerintahan dan
investor-investor finansial yang mencoba memastikan kapasitas produksi
pertanian dan persediaan pangan masa depan maupun sebagai aset yang akan
memberikan keuntungan yang tinggi. Pemerintahan dari negeri-negeri kaya telah
berupaya untuk menyewa tanah-tanah pertanian dalam jangka waktu yang panjang
guna menyediakan pangan bagi penduduk dan industri mereka. Pada saat yang sama,
perusahaan-perusahaan agroindustri mencari konsesi ekonomi jangka panjang bagi pertanian
perkebunan untuk memproduksi bahan bakar nabati, karet, dan lain sebagainya.
Kecenderungan ini juga terlihat di wilayah-wilayah pantai, di mana tanah,
sumber daya laut dan perairan dijual, disewakan, atau dikembangkan untuk
turisme kepada investor-investor korporat dan elit lokal, atas ongkos para
nelayan dan masyarakat pesisir pantai.
Pemerintah Indonesia sendiri dalam menyikapi
krisis pangan dunia dan krisis finansial global, telah menyatakan niatnya
secara terbuka ke depan publik dunia, bahwa Indonesia berambisi untuk menjadi
lumbung beras nomor satu di dunia, melalui pidato Presiden SBY, dalam rangka
membantu dunia mengatasi krisis pangan.
Melihat pintu terbuka semacam ini, dengan cepat
investor besar masuk ke Indonesia. Saat ini sudah ada tiga kawasan di Indonesia
yang telah menjadi target sasaran, yakni di Sumatera Utara, di Dumai, Riau
serta di Merauke, Papua. Nilai investasi yang dapat ditampung di kawasan eks
Inalum di Sumatera Utara sekitar Rp 12,5 triliun. Adapun di Dumai, pemerintah
memperkirakan, investasi yang akan masuk mencapai Rp 20 triliun, sedangkan di
Merauke bisa dikembangkan pusat pertanian pangan terbesar di Asia dengan
investasi Rp 60 triliun. Untuk Dumai dan Sumatera Utara, basis industri yang
dikembangkan adalah industri hilir CPO (minyak kelapa sawit mentah). Adapun
untuk Merauke, pemerintah menyediakan 1,62 juta hektar lahan sebagai pusat
pengembangan pertanian pangan. Namun dalam jangka menengah, lahan yang akan
dikembangkan seluas 500.000 hektar. Tahun 2010 pemerintah berupaya menawarkan
100.000 hektar terlebih dahulu. Pertanian pangan yang akan dikembangkan tidak
terbatas jenisnya, mulai dari padi hingga kelapa sawit.
Dalam laporan GRAIN—kelompok hak asasi bidang
pertanian yang berbasis di Spanyol, disebutkan bahwa Saudi Binladen Group
menargetkan 500.000 hektar tanah pertanian di Merauke, Papua untuk produksi
beras basmati dengan menggunakan benih padi Saudi, yang akan diekspor ke Arab
Saudi untuk memenuhi kebutuhan domestik mereka. Menurut laporan ini, Kelompok
BinLaden pada bulan Agustus 2008 menandatangani perjanjian investasi senilai
kurang lebih US$ 4,3 miliar, sebagai perwakilan dari konsorsium 15 investor
Arab yang dikenal dengan nama Konsorsium Produk Pangan Timur Tengah, untuk
membangun 500 ribu lahan padi di Indonesia. BinLaden adalah perusahaan yang
ditunjuk oleh pemerintah Arab Saudi untuk mengatasi masalah kerentanan pasokan
bahan pangan negeri kerajaan itu melalui pengadaan proyek pangan di luar
negeri. Pada tanggal 14 Agustus 2008, kelompok BinLaden menandatangani sebuah
MoU (nota kesepakatan) dengan pemerintah Sulawesi Utara, di mana kelompok
BinLaden akan diberikan lahan seluas 80 ribu hektar.
Dalam proyek pangan di Merauke, rencana
investasinya diperkirakan akan mencapai hingga US$ 43 juta per 5 (lima) ribu
hektar. Kelompok ini juga mempertimbangkan untuk menyediakan sejumlah beras
untuk pasar lokal (agar masyarakat setempat tidak mempermasalahkan keberadaan
proyek tersebut). Mitra lokalnya di Indonesia adalah Medco (minyak dan
pertambangan), Sumber Alam Sutera (benih padi hibrida), dan Bangun Cipta Sarana
(konstruksi).
Kerjasama dengan Saudi Binladen Group ini
merupakan bagian dari proyek pusat pengembangan pertanian pangan dan energi seluas
1,62 juta hektar di atas, yang tidak saja mencakup padi, tapi juga jagung,
sorghum, kacang kedelai, dan tebu, yang sebagian besar akan dikonversi menjadi bahan
bakar nabati. Saudi Binladen Group memiliki 15% saham di dalam perkebunan
kelapa sawit dan konglomerat pertambangan Bakrie and Brothers.
Rencana pertanian pangan skala raksasa di Merauke,
Papua Barat ini telah dituduh oleh organisasi petani, organisasi mahasiswa, dan
organisasi lingkungan sebagai perampasan tanah karena akan menghancurkan 2 juta
hektar hutan purba (virgin forest). Program Merauke Integrated Food and
Energy Estate (MIFEE) diluncurkan oleh pada tanggal 17 Januari 2010 oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Slogan dari proyek ini adalah “Feed
Indonesia and then the world” (Indonesia Berswasembada Pangan, Agar Bisa
Mengatasi Krisis Pangan Dunia), namun para petani lokal berpandangan bahwa
proyek tersebut akan merusak pertanian tradisional dan kedaulatan pangan di
kawasan ini. Proyek MIFEE akan menyewakan tanah untuk selama 90 tahun.
Data Pemerintah Kabupaten Merauke menunjukkan,
luas lahan untuk investasi proyek MIFEE adalah 2,823 juta hektar. Lahan yang
berizin lokasi 670.659 hektar. Dengan MIFEE, Merauke dijadikan basis produksi
pangan nasional Indonesia di bagian timur. Dalam konsepnya, masyarakat di
Merauke tak akan jadi penonton. Mereka berkolaborasi menjadi petani plasma.
Mereka tidak menjual lahan pertanian kepada pihak lain, tetapi menyewakan
kepada para pengusaha.
Dalam menyongsong prospek komoditas pangan dunia yang kian mahal, sejumlah
konglomerat besar Indonesia masuk kembali ke bidang pertanian pangan. Grup Salim
misalnya, berancang-ancang melakukan ekspansi ke sektor perkebunan tebu di Nusa
Tenggara Barat. Setelah mengeduk keuntungan di bisnis sawit penghasil CPO,
Salim berniat menanam duit di lahan tebu. Rencananya, konglomerasi yang
dinakhodai Anthony Salim itu mendirikan pabrik gula dan membuka perkebunan tebu
seluas 120.000 hektar di lahan berstatus area peruntukan lain.
Selain Grup Salim, ada tiga grup lain yang mengepakkan sayap di bisnis
industri pemanis itu. Yakni Medco, Bakrie, dan Wilmar. Tiga konglomerat papan
atas itu berniat mengembangkan perkebunan tebu yang terintegrasi dengan pabrik
gula dan etanol di Merauke, Papua. Diperkirakan, total investasinya di lahan
seluas 300.000 hektar itu mencapai Rp 9 triliun. Grup Medco sendiri sebenarnya
sudah mengembangkan bioetanol berbahan baku tebu dan singkong dengan produksi
1.200 barel per hari di Lampung, menurut keterangan Sekretaris Medco Holding,
Widjajanto. Sebelumnya, Arifin Panigoro selaku pemilik Medco mengungkapkan,
Medco Energy International akan bekerjasama dengan PT Petrogas, Brazil, untuk
ekspansi bioetanol tebu dan singkong. Total dana yang disiapkan guna membangun
pabrik dan perkebunan pemasok bahan bakunya mencapai US$ 350 juta.
Selain berburu dolar di lahan tebu, Medco dan Bakrie plus Grup Artha Graha
milik Tommy Winata pun berniat terjun ke ladang kedelai. Dirjen Tanaman Pangan
Departemen Pertanian, Sutarto Alimoeso, mengungkap bahwa Kelompok Usaha Bakrie
tertarik membuka lahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Grup Medco di Kabupaten
Merauke, sedangkan Grup Artha Graha di beberapa provinsi, antara lain Jawa
Timur, Jawa Tengah, dan Lampung.
Turunnya para konglomerat ke ladang kedelai itu dipicu oleh target produksi
kedelai nasional tahun 2008, yang didongkrak pemerintah menjadi 1,7 juta ton.
Diproyeksikan, luas tanam kedelai mencapai 1 juta hektar. Berdasarkan catatan
Badan Pusat Statistik, tahun 2007 produksi kedelai nasional turun 20,76 persen
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Lantaran produksi anjlok, tahun 2007
impor kedelai Indonesia mencapai 1,3 juta ton dari total kebutuhan domestik 1,9
juta ton. Pasokan impor kedelai Indonesia pada tahun 2007 mengalami gangguan,
karena impor kedelai yang diandalkan dari AS sebagian besar telah dikonversi
menjadi bahan bakar nabati (biodiesel) untuk industri AS sendiri. Sehingga pada
tahun 2008, ribuan petani kedelai dan pengrajin tempe Indonesia melakukan
demonstrasi ke Istana Negara di Jakarta, guna memprotes krisis kedelai ini.
4. Metode Perampasan Tanah
Secara umum, metode atau mekanisme perampasan
tanah yang terjadi dewasa ini dapat digolongkan dalam dua metode, yakni metode
lunak dan metode keras. Kedua metode ini sama efektifnya di tangan para
perampas tanah di Indonesia.
4.1 Metode Lunak
Metode lunak umumnya dijalankan melalui kebijakan
atau aturan-aturan yang dikeluarkan oleh negara (pemerintah). Perampasan tanah
dalam sektor perkebunan misalnya, secara legal seakan-akan dibenarkan dalam
aturan hukum yang bernama Undang-Undang (UU) No.18 tahun 2004 tentang
Perkebunan. Demikian pula halnya dengan proyek Merauke Integrated Food and
Energy Estate (MIFEE), bisa ditemukan pengesahan hukumnya dalam UU No.41 tahun
2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Peraturan
Pemerintah (PP) No.18 tahun 2010 tentang Budidaya Tanaman. Perampasan tanah di
dalam sektor kehutanan juga dibentengi dengan alasan hukum UU No.41 tahun 1999
tentang Kehutanan.
Ambil contoh metode lunak yang dikandung dalam UU
No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,
yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 16
September 2009. Dalam Bab IV Pasal 27 ayat (2) dari undang-undang ini dijelaskan
bahwa korporasi juga diberi izin melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi
pertanian. Korporasi yang dimaksud dapat berbentuk koperasi atau perusahaan
inti plasma dengan mayoritas sahamnya dikuasai warga negara Indonesia. Hal ini
patut dikhawatirkan sebagai ancaman mengingat sedemikian mungkin
diselenggarakan Hak Guna Usaha (HGU) atas korporasi yang pada akhirnya rentan
terhadap praktek perampasan tanah dengan dalih perluasan/ekstensifikasi lahan
pertanian.
Melalui metode lunak ini, maka para perampas tanah
rakyat (baik pemerintah maupun swasta) ditampilkan sebagai pihak yang mendukung
pembangunan ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan dan menambah devisa negara,
dan sebagainya, melalui program ataupun proyeknya. Sementara rakyat pemilik
tanah ditampilkan sebagai pihak yang tidak mau berkorban bagi pembangunan, ataupun
menghalangi pembangunan. Pihak pemerintah juga sering menyatakan bahwa hambatan
investasi di Indonesia adalah masalah ganti rugi tanah. Metode lunak, dengan
demikian selalu menempatkan rakyat pemilik tanah sebagai pihak yang salah.
Sementara di sisi lain, menempatkan posisi perampas tanah (baik pemerintah
maupun swasta) sebagai pihak yang benar.
Dengan metode lunak, perampasan tanah menjadi hal
yang dibenarkan secara hukum dan aturan yang ada. Penggunaan aturan dan
kebijakan, sejak undang-undang sampai dengan peraturan menteri yang merupakan
aturan pelaksanaan dari undang-undang yang dirujuknya, merupakan satu kesatuan
metode perampasan tanah yang dilakukan secara lunak.
4.2 Metode Keras
Jika metode lunak tidak memberikan hasil dalam memperoleh tanah yang
diinginkan, maka biasanya para perampas tanah menggunakan aparat keamanan
negara yang tersedia dan yang dengan senang hati menjalankan tugas ini.
Dalam konflik agraria yang wujudnya paling keras, maka aparat kepolisian
dan militer biasanya dikerahkan oleh para perampas tanah untuk memastikan bahwa
rakyat pemilik tanah tidak akan bisa lagi mengganggu gugat. Karena aparat
kepolisian dan militer, hanya mengenal popor dan bedil dalam kesehariannya,
ketika menghadapi rakyat pemilik tanah yang sedang bersengketa, cara itulah
yang mereka andalkan.
Tidak heran dalam konflik agraria yang telah mengundang keterlibatan
kepolisian dan militer, yang sering terjadi adalah penembakan, pembunuhan dan
pembantaian terhadap rakyat pemilik tanah. Dan setelah kekerasan bersenjata
yang dilakukan oleh aparat keamanan kepada rakyat pemilik tanah, maka satu
keanehan lagi terjadi, yakni sang korban kekerasan yang disalahkan. Dalam
pembelaan-pembelaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian dan militer setelah
kejadian-kejadian yang mengakibatkan kekerasan fisik, penembakan dan kematian,
mereka menjelaskan misalnya kekerasan itu dilakukan oleh melindungi diri, atau kaum
taninya mengamuk dan datang dalam jumlah massa besar, sehingga tembakan
dikeluarkan untuk membubarkan massa, dan lain sebagainya.
Metode perampasan tanah yang termasuk keras lainnya adalah intimidasi,
pemenjaraan, penculikan, pemidanaan, dan teror terhadap kaum tani agar
melepaskan tanahnya. Metode ini biasanya dilakukan guna mencegah kaum tani
bangkit bersatu dalam melakukan perlawanan terhadap para perampas tanah rakyat.
Dan yang terakhir, biasanya metode keras yang digunakan adalah menghambat
kebebasan berorganisasi. Umumnya dilakukan dalam terhadap rakyat pemilik tanah
yang telah mulai kompak dan mulai merasakan perlunya menghadapi para perampas
tanah secara bersama-sama. Untuk mencegah berkembangnya gerakan melawan
perampasan tanah secara luas, biasanya para perampas tanah menggunakan metode
ini.
5. Dampak Perampasan Tanah
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, perampasan
tanah yang dilakukan di Indonesia semakin intensif selama 10-15 tahun terakhir.
Secara mudah hal ini dapat dibuktikan dari perubahan kuantitas (luasan) tanah-tanah
yang telah berhasil dirampas dari tangan rakyat, baik melalui metode lunak
maupun metode keras. Selain itu akibat dari perampasan tanah juga bisa dilihat
dari kehidupan kaum tani secara umum setelah perampasan tanah terjadi ataupun
potensi kehilangan sumber mata pencaharian, kebudayaan, dan lain sebagainya,
serta kekerasan yang menyertai peristiwa-peristiwa perampasan tanah.
5.1 Jumlah Tanah Yang Dirampas dan Kaum Tani
yang Menderita
Selama periode 2004-2010, ada pertambahan dalam
jumlah luasan tanah yang dimiliki perkebunan. Dari data yang berhasil
dikumpulkan dari Dirjen Perkebunan maupun catatan dari Sawit Watch, ternyata
dalam periode 2004-2010 total luas tanah perkebunan yang dikuasai oleh
perkebunan swasta besar (PBS) untuk 7 komoditas (sawit, karet, kakao, teh,
tebu, kelapa, pulp and paper) adalah 21.267.510 hektar. Sementara total luas
perkebunan yang dikuasai oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) untuk lebih dari 7
komoditas di luar Rajawali, adalah sebesar 1.729.251,48 hektar.
Angka-angka ini hendaklah dibaca sebagai berikut:
v Pertama, bahwa sektor perkebunan swasta
besar (PBS) terbukti semakin menguasai perkebunan di seluruh Indonesia
dibandingkan dengan perusahaan milik negara (PTPN). Bila dipersentasekan,
kepemilikan swasta besar dalam sektor perkebunan Indonesia adalah sebesar 92,5%
untuk periode 2004-2010.
v Kedua, luasan tanah di mana pun adalah
tetap alias tidak berubah. Berarti dari total luas gabungan perkebunan yang
dikuasai swasta dan negara selama periode 2004-2010 seluas kurang lebih 22,9
juta hektar itu adalah tanah kepunyaan pemilik tanah sebelumnya (kaum tani) yang
telah beralih penguasaannya ke perkebunan besar swasta dan negara. Jadi,
pertambahan dalam jumlah luasan tanah yang dimiliki perkebunan pada satu sisi,
berarti pada sisi lainnya adalah kehilangan tanah bagi kaum tani.
Ini belum termasuk tanah yang dicadangkan untuk
proyek pengembangan perkebunan kelapa sawit di perbatasan Indonesia – Malaysia
di Kalimantan (Kalimantan Border Oil Palm Mega Project), yang jumlahnya
mencapai 1,8 juta hektar. Secara ringkas, jumlah tanah yang dirampas dari
rakyat untuk pengembangan perkebunan selama periode 2004-2010, dapat dilihat
pada Tabel 8.
Tabel 8
Jumlah Tanah Rakyat yang Dirampas dalam
Periode 2004-2010 untuk Sektor Perkebunan
No
|
Pelaku – Proyek – Program
|
Lokasi
|
Jumlah (hektar)
|
Keterangan
|
Masyarakat yang Kena
|
1
|
PT Perkebunan Nusantara (PTPN)
|
Seluruh Indonesia
|
1.729.251
|
Meliputi lebih dari 7 komoditas perkebunan, di luar
Rajawali
|
Berdasarkan data pada tahun 2008, sedikitnya
10 juta jiwa petani yang hidup dari kebun kelapa sawit swadaya.
|
2
|
Perkebunan Besar Swasta (Cargill, Sinar Mas, dan
lain-lain)
|
Seluruh Indonesia
|
21.267.510
|
Meliputi 7 komoditas perkebunan
|
3
|
Kalimantan Border Oil Palm Mega Project
|
Perbatasan Indonesia – Malayasia
|
1.800.000
|
Komoditas sawit untuk produksi energi nabati
|
1-1,4 juta suku bangsa minoritas Dayak di Provinsi
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.
|
|
Total
|
|
24.796.761
|
|
11,4 juta orang
|
Sumber: Eric Wakker, 2006, publikasi
Sawit Watch tentang ekspansi perkebunan kelapa sawit dan Direkorat Jenderal
Perkebunan Republik Indonesia, tentang komoditas perkebunan.
Berdasarkan data yang disajikan dalam tabel ini, maka selama periode
2004-2010, perampasan tanah yang terjadi di sektor perkebunan besar swasta dan
negara meliputi 24,7 juta hektar tanah dan menyengsarakan lebih dari 11,4 juta
orang kaum tani. Jumlah rakyat yang menderita akibat perampasan tanah dalam
sektor perkebunan, diperkirakan jauh lebih besar lagi. Karena ini baru
merupakan jumlah petani yang hidup dari kebun kelapa sawit swadaya. Dengan
demikian, data ini belum mencakup jumlah petani yang hidup dan bekerja dari perkebunan-perkebunan
komoditas lainnya.
Untuk perampasan tanah yang terjadi di dalam sektor pertanian pangan skala
besar, dapat diringkas sebagai berikut:
Tabel 9
Jumlah Tanah Rakyat yang Dirampas dalam
Periode 2004-2010
untuk Sektor Pertanian Pangan Skala
Besar
No
|
Pelaku – Proyek – Program
|
Lokasi
|
Jumlah (hektar)
|
Keterangan
|
Masyarakat yang kena
|
1
|
Merauke Integrated Food and Energy
Estate (MIFEE)
|
Merauke, Papua
|
2.823.000
|
Pertanian pangan dan energi nabati
terintegrasi.
|
175.000
|
2
|
Grup Salim
|
Nusa Tenggara Barat
|
120.000
|
Tebu
|
?
|
3
|
Bakrie Group
|
Nusa Tenggara Timur
|
1.000.000*
|
Kedelai
|
?
|
4
|
Artha Graha Group
|
Jawa Timur, Jawa Tengah dan Lampung
|
Kedelai
|
?
|
|
Total
|
|
3.943.000
|
|
175.000
|
Sumber: Majalah GATRA, 03-09 April 2008,
hal.16-19, harian Kompas, 4 Agustus 2010, hal.21, Green Left online,
10 April 2010 dan laporan GRAIN tentang krisis pangan dan perampasan tanah,
Oktober 2008.
* Medco, Bakrie dan Artha Graha Group berinvestasi untuk
ladang kedelai seluas total 1 juta hektar, menyusul terjadinya krisis kedelai
tahun 2008. Investasi Medco masuk dalam Kabupaten Merauke. Angka 1 juta hektar
adalah angka luas tanam kedelai secara nasional pada tahun 2007.
Berdasarkan tabel ini, setidak-tidaknya ada sekitar 3.943.000 hektar lahan
pertanian untuk skema pertanian pangan berskala besar yang akan dirampas oleh
para investor besar. Dan akan membuat sedikitnya 175.000 jiwa menderita dan
tersingkir dari tanah pertaniannya semula.
Khusus untuk perampasan tanah pertanian, proyek MIFEE di Merauke, Papua
yang banyak menyita perhatian. Karena proyek ini akan merusak hutan purba
Papua, mengancam akses pangan rakyat, membangkitkan kembali program
transmigrasi guna mendatangkan tenaga kerja proyek dari pulau-pulau di luar
Papua, dan pembangunan infrastruktur proyek yang begitu luasnya (jalan-jalan
baru, pabrik-pabrik pengolahan energi nabati, dan lain sebagainya). Jumlah
tenaga kerja yang diperlukan untuk proyek pertanian skala raksasa ini adalah
sekitar 6,4 juta orang—tiga kali lipat dari jumlah penduduk Papua yang saat ini
berjumlah 2,1 juta jiwa.
5.2 Sengketa Tanah dan Kekerasan terhadap
Kaum Tani dalam Periode 2004-2010
Perampasan tanah pasti melibatkan kekerasan
terhadap kaum tani. Dalam sejarah perampasan tanah yang terjadi di Indonesia,
penggunaan aparat kekerasan negara seperti kepolisian dan militer sering
digunakan oleh para perampas tanah (pemerintah dan investor modal besar) untuk
menyingkirkan rakyat dari tanah-tanahnya. Seluruh proses perampasan tanah ini
kemudian mengakibatkan terjadinya konsentrasi penguasaan tanah (monopoli tanah)
di tangan para perampas tanah, yang dalam sistem agraria Indonesia dewasa ini mencakup
sistem perkebunan skala besar, industri pangan, pertambangan raksasa, konsesi
kehutanan, infrastruktur pembangunan (bendungan, bandara, jalan), pemukiman
mewah, kawasan taman nasional, dan sarana militer.
Dalam catatan yang ada, kekerasan yang dialami
kaum tani mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
fenomena perampasan tanah di Indonesia dalam periode 2004-2010 memang merupakan
peristiwa yang sehari-hari dihadapi oleh kaum tani Indonesia. Selain itu,
fenomena perampasan tanah pada tingkat nasional menunjukkan kembalinya wujud
pemerintahan yang berwajah fasis (mengandalkan kekerasan militer dan
kepolisian) dalam menyelesaikan konflik-konflik sosial yang ada di dalam
masyarakat, khususnya konflik dan sengketa tanah, yang melibatkan kaum tani.
Di bawah akan kita paparkan secara ringkas,
sejumlah sengketa agraria dan kekerasan yang dialami oleh kaum tani dalam periode
2004-2010, di beberapa provinsi dan sektor guna memperlihatkan wajah fasisme dan
watak boneka dari rezim ini di wilayah pedesaan Indonesia pada hari ini.
Sejak tahun 2004 hingga
Agustus 2008, di Jawa Timur tercatat 25 sengketa tanah yang melibatkan
masyarakat dan militer. Luas tanah yang disengketakan adalah 15.374 hektar.
Sementara itu, Sekretaris
Komisi A DPRD Jawa Barat Syaiful Huda mengungkapkan, dari data BPN (Badan
Pertanahan Nasional) terdapat 1.200 kasus sengketa tanah di Jawa Barat.
Sengketa tanah itu semuanya terjadi antara petani penggarap dengan pemilik perkebunan
swasta yang menelantarkan lahan garapannya. Menurutnya, sengketa itu melibatkan
1 juta petani penggarap yang menduduki lahan milik perkebunan swasta yang
ditelantarkan. Luas lahan sengketa itu diperkirakan mencapai 500.000 hektar
tersebar di Garut, Cianjur, Bogor, Sukabumi, dan Ciamis. Sampai saat ini semua
pengusaha perkebunan swasta masih menunggu keluarnya izin perpanjangan hak guna
usaha yang rata-rata habis pada 2005 lalu. Huda meminta pemerintah
memprioritaskan rencana pembagian lahan bagi penduduk miskin agar diberikan pada
petani penggarap.
Untuk kawasan Riau, dalam kurun waktu 20 tahun
terakhir ini, sekitar 3,3 juta hektar hutan alam di Provinsi Riau hilang.
Musnahnya kawasan hutan alam ini disebabkan maraknya investasi sektor kehutanan
dan perkebunan di Riau sejak era tahun 80-an serta aktivitas pembalakan liar (illegal
logging). Sementara itu, menurut laporan Human Rights Watch tahun 2003,
untuk PT. Caltex Pacific Indonesia (CPI) atau PT. Chevron Pacific Indonesia
(CPI) saja mendapatkan jatah seluas 3,2 juta hektar. Dari sekitar 6 juta hektar
HPH di Riau merupakan milik kaum elit di luar Riau. Jika ditotalkan
keseluruhannya, maka peruntukan lahan bagi perkebunan/industri kehutanan skala besar
di Riau seluas 9,5 juta hektar.
Mahkamah Agung (MA) mengaku kewalahan mengatasi
kasus sengketa tanah yang jumlahnya semakin banyak. Menurut Ketua MA Bagir
Manan, dibanding perkara lain, masalah sengketa tanah mendominasi pekerjaan di
lembaga yang dipimpinnya.
"Separo lebih kasus yang masuk MA adalah perkara tanah," ungkap
Bagir. Tak mau dianggap tak becus mengatasi sengketa tanah, Bagir melempar
kesalahan ke pemerintah. Menurutnya, akar permasalahan sengketa tanah adalah
kacaunya administrasi pertanahan.
Sementara untuk tahun 2009, dari 60 kasus konflik
lingkungan yang diadvokasi oleh Walhi selama tahun 2009, 19 kasus berhubungan
dengan perkebunan besar dan 14 kasus berhubungan dengan hutan. Dari 19 kasus
perkebunan, 68% merupakan konflik agraria di mana kaum tani harus berhadapan
dengan korporasi besar.
Mengacu data yang dikeluarkan oleh Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Semarang pada tahun 2008, tercatat sejak 2005 ada sembilan kasus
tanah berbasis hutan, dengan total luas lahan yang bersengketa 1.039,59 hektar,
dan 36 kasus tanah berbasis perkebunan di wilayah Jawa Tengah. Di tahun 2006,
kasus tanah hutan meningkat menjadi 16 kasus dengan total luas lahan yang
disengketakan lebih dari 1.722,59 hektar.
Tabel 10 di bawah ini memperlihatkan sejumlah
perampasan tanah dan kekerasan yang dialami oleh kaum tani Indonesia selama
periode 2004-2010 di beberapa wilayah dan sektor.