Sejarah Pertamina Sejarah Nasionalisasi Sumber Daya Alam
Indonesia
Oleh
Aryo Nugroho Waluyo
Dalam sejarah industri perminyakan dunia, Indonesia
termasuk salah satu daerah penghasil minyak penting yang pertama sekitar
penghujung abad ke-19. Permulaan pencarian minyak di negeri ini hanya
berselisih waktu dua belas tahun dengan kejadian penting di Amerika serikat
pada tahun 1859 ketika Kolonel Drake di Titusville, Pennsylvania melakukan
pemboran sumur pertamanya. Pencarian tersebut dilakukan oleh Jan Reering, yang
kemudian tercatat sebagai orang pertama yang melakukan pencarian minyak secara
komersil di negeri ini.
Di Cibodas, di lereng Gunung Ciremai (Jawa Barat) tahun 1871
Reering membuat sebuah kamp dimana ia menggunakan menara
pengeboran model Pennsylvania yang digerakkan oleh lembu, tapi tidak satu pun
dari empat buah sumur yang digalinya menghasilkan minyak secara komersil sekali
pun di tempat itu banyak terdapat “Oil seepages”, yaitu rengkah-rengkahan tanah
yang mengandung minyak. Dua belas tahun sesudah usaha Reering yaitu pada tahun
1833 seorang inspektur perkebunan di daerah Langkat (Sumatera Utara) Aeilko
Jana Zijlker, merupakan orang kedua yang tercatat sebagai pencari minyak di
negeri ini. Pada suatu hari ketika sedang melaksanakan inspeksi, Zijlker berteduh
di sebuah tempat karena hujan sampai larut malam, kemudian salah seorang pembantunya
menyalakan sebuah obor yang sebelumnya dicelupkan ke dalam cairan hitam yang
terdapat dipermukaan sebuah genangan air di tempat itu. Ternyata nyala api obor
yang berbeda dengan nyala api biasa membuat Zijlker pada keesokan harinya
memeriksa genangan tersebut, yang kemudian mengenal bau khas tempat itu sebagai
bau minyak bumi.
Dengan modal yang didatangkan dari Negeri Belanda,
Zijlker membentuk sebuah perusahaan. Tempat dimana ia menemukan minyak tadi,
dikenal dengan nama Telaga Tiga, ia mencoba melakukan pemboran pada tahun
berikutnya tapi hasilnya kurang memuaskan. Pemboran kedua dilakukannya di
Telaga Tunggal (15 Juni 1885) yang kemudian terbukti bahwa daerah itu mempunyai
potensi komersial. Di pangkalan Brandan sebagai kantor pusatnya dibangun sebuah
pengilangan minyak yang rampung dikerjakan pada bulan Februari 1892. Enam tahun
kemudian (1898) dibangun tanki-tanki penimbunan serta fasilitas penimbunan dan
fasilitas pelabuhan di Pangkalan Susu, tempat ini kemudian terkenal sebagai
pelabuhan ekspor minyak pertama di Indonesia.
1.1.1 Kebijaksanaan
Pemerintah Hindia Belanda
Kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda yang berkaitan
dengan kegiatan pencarian minyak bumi bertolak dari Undang-Undang Pertambangan
(Mijnwet) tahun 1899. Menurut Undang-Undang tersebut kegiatan di bidang ini
dapat diproduksi oleh perusahaan minyak atas dasar system “konsesi”. Konsesi
ini berlaku untuk 75 tahun yang setiap acrenya dipungut pajak sebesar satu
persen dan pungutan lainnya yang diperoleh dari nilai setiap minyak yang
dihasilkan. Sebelumnya pada
tahun 1918 konsesi-konsesi untuk dioperasikan di daerah-daerah di wilayah
Indonesia sepenuhnya ditujukan terhadap perusahaan-perusahaan asing Amerika
serikat. Tetapi alasan diadakannya perubahan terhadap kebijaksanaan itu
tidaklah semata-mata karena adanya tekanan dari pihak Amerika serikat, akan
tetapi disebabkan pula Pemerintahan Hindia Belanda tidak mampu lagi melakukan
kegiatan perminyakan sendiri yang membutuhkan modal yang sangat besar.
Kontrak
baru itu mulai dikenal dengan nama Kontrak 5-A dimana dalam paragraf 5-A dari
Undang-Undang itu ditentukan pendapat yang lebih tinggi bagi Pemerintah dari
setiap konsesi baru yang diberikan, antara lain dalam kontrak itu ditetapkan
bahwa Pemerintah menarik cukai sebesar empat persen dari harga minyak yang
dikapalkan dan 20 persen pajak umum terhadap “corporate profits”.. Dengan
demikian pemerintah menerima 50 persen kurang sedikit dari laba (profits), yang
berarti suatu penerimaan yang pada dasarnya lebih tinggi dari penerimaan
Negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah pada masa sebelum Perang Dunia
Kedua.
Daerah
yang pertama-tama diharapkan dapat beroperasi ialah daerah Jambi (Sumatera),
Daerah ini oleh ahli-ahli geologi dinilai sangat menarik karena memiliki oil
seepages. Pada akhirnya daerah-daerah tersebut diserahkan kepada NIAM (Nederlandsch Indisch Aardolie
Maatscahappij) pada tahun 1921 yaitu sebuah perusahaan patungan antara Shell
dan pemerintah Hindia Belanda sendiri.
1.1.2
Perusahaan minyak asing sebelum
Perang Dunia ke-2
Diantara
perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia sebelum Perang Dunia
Kedua adalah NIAM (Nederlandsch Indisch Aardolie Maatscahappij) yang mendapat
hak konsesi mulai bulan Juli 1921 dan berlaku sampai dengan 31 Desember 1960
keuntungan NIAM dibagi 50-50 dengan Pemerintah Hindia Belanda. Tanggung jawab
manajemen seluruhnya diberikan kepada SHELL, termasuk juga pengembangan dan
operasi lapangan. Selain Jambi, perusahaan ini mendapat tambahan daerah konsesi
di Kalimantan yaitu di pulau Bunyu, dan daerah Teluk Aru di Sumatera Utara.
Pada
saat Jepang berhasil menguasai negeri ini dari Belanda, kehadiran perusahaan
minyak Amerika ini tetap tidak diinginkan oleh Pemerintah Hindia Belanda,
sekalipun perusahaan tersebut diberikan daerah konsesi.
Gulf Oil adalah
sebuah perusahaan Amerika lain yang masuk Hindia Belanda (Indonesia) pada tahun
1928. Ia memilih suatu daerah di Sumatera Utara yang tadinya telah diberikan
kepada suatu perusahaan Belanda Permintaan mereka terhadap daerah konsesi itu
ditolak.
Standar Oil Of
California mengalami kesulitan yang sama seperti
standar oil of New Jersey. Permintaan konsesi mereka di
Sumatera ditolak tahun 1929, demikian juga yang di Kalimantan dan yang di Irian
Jaya tahun 1922. Pada tahun 1936 Standar Oil of California mengadakan kerjasama
dengan Texas Company (Texaco) untuk usaha-usahanya di luar negeri, terutama di
Asia. Sebagai bagian dari kerjasama, NPPM menjadi pemilik dengan jumlah sama
dengan bagian kedua perusahaan Amerika tersebut dan juga menjadi anggota
kelompok yang terkenal dari California Texas Oil Company (Caltex).
Caltex menggali sumur eksplorasinya yang pertama di Rokan
Blok (1939) di Sebanga, 65 km sebelah Utara Pekanbaru Sumatera Tengah. Hasilnya
menunjukkan bahwa di tempat itu memang terdapat minyak. Setelah perang Dunia
Kedua selesai lapangan Minas berkembang menjadi salah satu dari 25 lapangan
minyak terbesar di dunia.
1.1.3 Minyak
setelah Kemerdekaan
Selama Perang Kemerdekaan kegiatan pencarian minyak
terhenti berkenaan dengan situasi dan kondisi tanah air yang sedang terancam.
Pada masa ini timbul apa yang dinamakan “Laskar Minyak” yang terdiri dari
karyawan-karyawan dan veteran-veteran yang pernah berkecimpung dalam kegiatan
perminyakan, baik dilapangan maupun di pabrik-pabrik pengilangan. Mereka ini
sangat berjasa dalam menunjang roda revolusi dengan mensuplai minyak tanah dan
bahan bakar bagi keperluan kapal terbang dan kendaraan-kendaraan lain yang
sangat sulit diperoleh pada saat itu.
Di
Sumatera Selatan, kelompok laskar minyak membentuk “Perusahaan Minyak Republik
Indonesia” (PERMIRI). Setelah
peristiwa “Perang Lima Hari” di Palembang pada awal Januari 1947 PERMIRI memindahkan
kantornya ke Prabumulih. Bersamaan dengan itu, Belanda yang berhasil menduduki
kota Palembang berusaha memperbaiki pengilangan minyak di Plaju. Dengan majunya
pasukan-pasukan Belanda ke daerah pedalaman setelah melancarkan “aksi
polisional pertama” PERMIRI kehilangan kontrol atas minyak-minyak utamanya.
Menurut
sejarah dari Kenali Asam, pada saat itulah mulai diproduksi bensin kapal
terbang pertama oleh pegawai perusahaan asing sebelum perang dunia II yang
dipakai untuk menerbangkan para pejabat dan anggota misi-misi Negara asing yang
datang ke Indonesia selama perang kemerdekaan, operasi minyak ini berlanjut
sampai “Aksi Polisional kedua” bulan Desember 1948 ketika PERMIRI terpaksa untuk kedua kalinya
meninggalkan daerah operasi terakhirnya dan membubarkan diri. Di pulau Jawa,
Pemerintah Republik membentuk “Perusahaan Tambang Minyak Nasional” (PTMN) di daerah Shell lama, yaitu di
sekitar Kawengan dan Kilang minyak Cepu
dimana perusahaan ini sudah mulai aktif mengadakan kegiatannya.
Setelah
penyerahan kedaulatan tahun 1949, timbul masalah baru mengenai status konsesi
SHELL (salah satu perusahaan asing Belanda yang memegang kendali besar selain
STANVAC dan CALTEX) di Sumatera Utara dan Jawa Tengah, yang selama perang
kemerdekaan tetap berada di tangan Republik. Publik opini ada saat itu
menentang dikembalikannya kedua konsesi tersebut kepada SHELL, pada saat yang
tidak menentu itu Kepala Operasi Perminyakan di Jawa Tengah mengambil suatu
tindakan yang didukung oleh Serikat Buruh Minyak (SBM) yang beraliran kiri
yaitu dengan membentuk Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia (PTMRI).
Di
Sumatera Utara, bekas perusahaan SHELL di Pangkalan Brandan, perusahaan serupa
(PTMRI) juga dibentuk dan mulai dibuka perundingan dengan pihak ketiga untuk
mengekspor hasil produksinya ke Singapura. Rencana mereka ini dibatalkan oleh
pemerintah karena khawatir timbulnya tuduhan penyelundupan, namun di Jawa
Tengah pengurusan perusahaan itu tetap diberikan kepada PTMRI yang kemudian pada tahun 1957 jatuh dibawah
kendali militer yang merubah statusnya menjadi “Tambang Minyak Ngoblo” (TMN). Setelah
dikeluarnya Undang-Undang No. 44 Tahun 1960 status perusahaan dirubah lagi
menjadi PN. PERMIGRAN.
Pada tanggal 16 Juni 1957, sekelompok pemimpin masyarakat
di Pangkalan Brandan mengadakan rapat raksasa yang diperkirakan dihadiri lebih
kurang 15.000 orang. Mereka menuntut supaya Pemerintah Pusat segera mengambil
alih kepengurusan TMSU ( Tambang
Minyak Sumatera Utara) demi kepentingan rakyat banyak, dan meminta supaya
penjualan besi tua yang dilakukan oleh Koordinator TMSU segera dihentikan.
Sebulan kemudian setelah rapat itu pada tanggal 22 Juli 1957, Menteri Perindustrian
dan Perdagangan melimpahkan tugas untuk mengoperasikan perusahaan tambang
minyak Sumatera Utara kepada Staf Angkatan Darat yang pada saat itu dipegang
oleh Mayjen. A.H. Nasution. Prioritas tugas yang diberikan diletakkan pada
rehabilitasi lapangan-lapangan yang ada supaya hasilnya bisa diekspor untuk
mendapatkan dana bagi pengembangan selanjutnya.
Pada tanggal 15 Oktober 1957 oleh Mayjen Nasution
menunjuk Dr. Ibnu Sutowo sebagai pemimpin. Pada tanggal (10 Desember 1957) nama
perusahaan itu dirubah menjadi PT. PERUSAHAAN MINYAK NASIONAL (PT. PERMINA) agar lebih bersifat
nasional dan disahkan oleh Menteri Kehakiman pada tanggal 5 April 1958.
Pada saat peralihan pemerintahan Hindia belanda ke
Pemerintah Republik Indonesia, status perusahaan minyak NIAM (Nederlandsch Indisch Aardolie Maatscahappij) pun turut
berubah. lima puluh persen saham yang tadinya dimiliki oleh Pemerintahan Hindia
Belanda beralih tangan ke Pemerintahan RI dan tahun 1958 namanya lalu diganti menjadi
PT.
PERMINDO (PT. Pertambangan Minyak
Indonesia). Pada tahun 1961 status PERMINDO dirubah menjadi P.N Pertambangan
Minyak Indonesia (P.N. PERTAMIN) dan
kerjasama dengan pihak SHELL tetap diteruskan, disamping itu P.N. PERTAMIN juga
ditugaskan untuk memonitor kegiatan dari perusahaan PAN AM.
Antara Juli 1964 dan Juli 1965 terjadi penandatanganan
persetujuan pembelian
fasilitas-fasilitas pemasaran dari SHELL, STANVAC, dan CALTEX dengan PERTAMIN
yang disebut dengan Kontrak Karya. Pembelian Kilang minyak Stanvac di Sungai
Gerong Baru mulai dilaksanakan mulai tahun 1969. pengoperasian
lapangan-lapangan Ex Shell maupun kilang Plaju dilakukan oleh PERMINA yang
kemudian dikenal dengan Permina “Gaya Baru”. Akhirnya pemikiran tentang adanya
suatu kesatuan perusahaan minyak Nasional menjadi terwujud dengan penggabungan
PERTAMIN dan PERMINA pada tanggal 20 Agustus 1968 dengan nama P.N. PERTAMINA singkatan dari
Perusahaan Negara Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional.
Di bawah kepemimpinan yang dinamis dan ditunjang oleh
semangat kerja yang tinggi PERTAMINA kemudian berkembang dengan pesat.
Kemajuan-kemajuan yang nyata juga terlihat dibidang pengilangan. Pabrik
pencarian gas alam (LNG) dibangun di Arun Aceh sebanyak tiga proses train. Adapun
lima unit Daerah Operasi Produksi Minyak di Indonesia adalah sebagai berikut :
Tabel 1.1
Unit Operasi Daerah Produksi
Unit
|
Wilayah
|
Kantor
|
I
|
Sumatera Utara dan Aceh
|
Pangkalan Brandan
|
II
|
Jambi, Sumatera Selatan dan lampung
|
Plaju
|
III
|
Jawa dan Madura
|
Jakarta
|
IV
|
Kalimantan, Tarakan, Bunyu
|
Balikpapan
|
V
|
Indonesia Bagian
Timur (Sulawesi, Maluku dan Irian Barat)
|
Sorong
|
Sumber : www.pertamina.com
Pesatnya perkembangan PERTAMINA ini
tentunya perlu juga ditunjang oleh sarana administrasi yang lengkap dan
teratur, yang diatur oleh Undang-Undang No.8 tahun 1971 yang kemudian dikenal
dengan Undang-Undang Pertamina. Pada tanggal 17 September 1971 diperingati sebagai
hari jadi PERTAMINA, sedangkan
tanggal 10 Desember 1957 diperingati sebagai hari ulang tahun Pertamina (Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara) yang sejak tahun 2003 statusnya
menjadi PERSERO bukan lagi sebagai Badan Usaha Milik Negara.
Era UU MIGAS No.22/2001, Era
Liberalsime Kapitalistik
Negara imprealis
tidak akan membiarkan begitu saja Indonesia mengelola sumber daya alamnya
dimana dimasa penjajahan mereka mengeruk habis-habisan sumber daya alam kita
khsususnya perminyakan. Imperialisme
ialah sebuah kebijakan di mana sebuah negara besar dapat memegang kendali
atau pemerintahan atas daerah lain agar negara itu bisa dipelihara
atau berkembang. Sebuah contoh imperialisme terjadi saat negara-negara itu menaklukkan
atau menempati tanah-tanah itu. Inilah
yang terjadi model penjajahan ala baru yang sering disebut dengan era Neo
Kolonialsime. Di era Neo-Kolonialisme penjajahan tidak dasarkan penjajahan
secara fisik dengan adanya romusa, rodi
yaitu kerja-kerja paksa dimana rakyat Indonesia dijadikan budak. Pada era
Neo-Kolonialisme mereka masuk lewat undang-undang dimana semua produk
undang-undang selalu menguntungkan pihak Negara-Negara Imprealis.
Masa
ORDE BARU adalah masa dimana kedaulatan sumber daya alam kita telah tergadaikan
dengan adanya undang-undang penanaman modal asing, lewat undang-undang inilah
perekonomian kita berganti wujud menjadi liberalistik dan kapitalistik. Ekonomi
Liberalistik dan Kapitalistik memposisikan Negara tidak berperan dalam hal
penyelengarakan ekonomi semuanya diserahkan kepasar dan diatur oleh pasar
internasional.
Menyoroti
Undang-Udang No.22 tahun 2001 tentang minyak dan gas Dr.Kurtubi (pengamat
perminyakan Indonesia) menyatakan : "Dalam
pasal 1 angka 23 pasal 4 menyatakan bahwa pengelolaan migas ini diserahkan ke
BP Migas yang merupakan wakil dari pemerintah. Lalu BP migas menandatangani
kontrak dengan kontraktor minyak.[1]
Berarti di sini polanya telah melanggar konstitusi,
karena di sini pemerintah ditempatkan sebagai pihak yang melakukan kontrak,
status pemerintah diturunkan," ujar Kurtubi di MK, Jalan Medan Merdeka
Barat, Jakarta, Rabu (6/6/2012).
Kesalahan UU Migas selanjutnya yaitu memisahkan usaha
hilir dan hulu. Hal ini dinilai menyalahi konstitusi yang mengamanatkan
pengelolaan secara integral.
"Dalam UU migas ini yang menyatakan bahwa perusahaan
migas harus dikelola secara terpisah antara bidang usaha hulu dengan bidang
usaha hilir. Padahal amanah konstitusi kita pasal 33 menyatakan bahwa minyak
bumi dan gas dikuasai negara. Sehingga amanat konstitusi menyatakan bahwa pengelolaan
migas harus secara terintegrasi antara hulu dan hilir," ungkap Kurtubi.
Berdasakan berbagai argumen dalam sidang tersebut dia
berharap UU Migas dihapus. "Intinya, cabut semua pasal dalam UU No
22/2001. Pada sektor hulu, BP Migas dibubarkan dan dilikuidasi ke dalam
Pertamina sehingga sistem pengelolaannya menjadi sederhana. Di sisi hilir, kita
imbau BP Migas dilikuidasi ke dalam Dirjen Migas," ujar Kurtubi.
Masalah perminyakan Indonesia tidak akan selesai jika
masih adanya intervensi dari Negara Imprealis oleh sebab itu kembali ke
Undang-undang Dasar 1945 dan Trisakti Bung Karno. Dengan sangat jelas dan
secara terang benerang Bung Karno menyatakan bahwa bangsa Indonesia harus
berdikari atau berdiri dikaki sendiri. Berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi,
berkepribadian secara sosial
budaya adalah seruan Bung Karno pada pidatonya pada Tahun 1963.
Dalam bidang
kemandirian politik, Soekarno telah berhasil memperjuangkan Pancasila sebagai
kemandirian bangsa Indonesia dengan memiliki ideologi negara sendiri.
Soekarno juga telah berhasil mempertahankan persatuan dengan menumpas setiap
pemberontakan yang terjadi seperti Permesta, PRRI, DI/NII, dan persoalan Papua.
Hanya saja karena kurangnya kemandirian dalam persoalan persenjataan, Soekarno
cenderung mendapatkan pasokan senjata dari Rusia, sehingga ideologi komunis
berkembang di Indonesia yang puncaknya adalah pertistiwa gerakan 30S/PKI.
Sedangkan dalam politik luar negerinya, Soekarno menerapkan politik bebas aktif
di mana tidak berpihak pada salah satu blok dunia, sosialis atau kapitalis,
namun ikut proaktif dalam mendorong terciptanya perdamaian dunia. Dalam politik
ini, Soekarno berhasil mengadakan Konferensi Asia-Afrika (KAA), namun karena
negara-negara yang hadir memiliki afiliasi politik terhadap kekuatan Komunis,
sehingga kemandirian politik yang dicita-citakan makin bias, terlebih lagi
ketika terjadi konfrontasi dengan negara Malaysia. Ketika itu yang dianggap
penyelewengan ideologis, adalah banyaknya konsepsi Presiden Soekarno yang
diletakkan lebih tinggi dari Pancasila. Misalnya, Nasakom dan Manipol-Usdek.
Pidato-pidato Soekarno saat itu, kerap dianggap menggeser kedudukan Pancasila
sebagai dasar negara. Meskipun, Soekarno sendiri berpendapat konsep-konsep itu
merupakan penjabaran Pancasila.
Dalam kemandirian sosial
budaya, Soekarno secara tegas menolak budaya asing, padahal secara
natural suatu bangsa tidak dapat mengisolasi diri dari pengaruh asing dan
buktinya nilai-nilai komunis juga telah masuk di Indonesia. Demi mewujukan
kemandirian sosial budaya, pada era Soekarno hampir terperosok pada paham
chauvinistik dengan mengisolasi diri dan fasisme dengan merendahkan bangsa
lain, sehingga sering terjadi konflik dengan negara-negara tetangga.
Sedangkan dalam
kemandirian secara ekonomi ditegaskan Soekarno, bahwa lebih baik potensi
sumberdaya alam Indonesia dibiarkan, hingga para putra bangsa mampu untuk
mengelolanya. Bung Karno menolak eksploitasi atau penjajahan oleh kekuatan
asing. Sayang sekali, sikap kemandirian itu bias oleh pertarungan politik
internal sehingga yang muncul adalah konfrontasi melawan Barat dan tampak
keberpihakan atau kedekatan kepada negera-negara komunis. Pada masa ini,
semangat nasionalisme mengarahkan pada nasionalisasi perusahaan asing menjadi
perusahaan milik negara. Peluang bagi swasta besar untuk berkembang dapat
dikatakan minim. Pandangan liberalisasi ekonomi pada masa itu dapat dikatakan
sebagai musuh negara. Kecenderungan dan keberpihakan Soekarno mengakibatkan
terjadinya krisis politik dan ekonomi yang terjadi pada tahun 1965, sehingga
ada tuntutan Ampera (amanat penderitaan rakyat), yaitu bubarkan PKI, perombakan
kabinet dan turunkan harga.
Ajaran Soekarno yang
diadopsi oleh Fidel Castro dalam konteks Kuba adalah ajaran Trisakti.
Yang menarik adalah bahwa Fidel Castro mengadopsi dan menerapkan prinsip
Soekarno itu secara konsisten dan tegar dalam seluruh sistem
pemerintahannya. Konsistensi yang paling kentara adalah menolak segala bentuk imperialisme
dan kapitalisme yang merupakan pendiktean oleh Barat tentang ekonomi,
politik dan budaya. Castro sangat jelas menolak kehadiran dan campur tangan IMF
dalam negaranya, bahkan menyerukan agar lembaga pendanaan kapitalis
internasional yang menindas negara-negara berkembang itu semestinya dibubarkan
dan dihentikan perannya. Ini merupakan wujud pelaksanaan Trisakti yang
konsisten oleh Castro dalam konteks Kuba, yakni kemandirian dalam politik,
berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Kekuatan ekonomi
sendiri merupakan landasan bagi pemerintah Kuba untuk membangun negara dan
rakyatnya. Tidak ada hutang luar negeri yang diterima sebagai landasan,
sehingga tak ada kewajiban cicilan bunga hutang yang tinggi yang harus dibayar
oleh pemerintah Kuba. Seluruh pendapatan negara dialokasikan pertama-tama untuk
belanja tunjangan sosial, dan kedua untuk belanja pendidikan. Kepentingan lain
berada dalam urutan prioritas berikutnya. Karena berdikari dalam bidang
ekonomi, Kuba telah mampu mempertahankan kedaulatan dalam bidang politik dan
kedaulatan dalam kebudayaan nasionalnya.
Haruskah kita
melupakan Laskar Minyak, JAS MERAH, Sahabatmu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar