Satu lagi
korban dari pasal pidana pencemaran nama baik. Entah mengapa pasal ini begitu
menakutkan semua orang, padahal di situ tertulis ada hal yang 'baik'. Tentu,
hal-hal yang baik tidak perlu ditakutkan. Tetapi tunggu dulu, entah suatu nama
memiliki kebaikan atau malah sebaliknya, tetap saja pasal ini mengerikan.
Buktinya, sudah banyak yang dipenjara!
Jujur saja, saya sendiri masih belum paham betul, apa yang dimaksud dengan "nama baik". Dalam undang-undang sekalipun tidak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan nama baik. Aneh sekali, walaupun tidak jelas, istilah ini tetap digunakan sebagai sebuah standar untuk menentukan orang bersalah atau tidak. Istilah "nama baik" itu sendiri merupakan ungkapan yang masih perlu diterjemahkan lagi. Jadi, bila undang-undang mengatur tentang nama baik, sudah seharusnya ada kriteria yang jelas mengenai makna suatu nama baik.
Jujur saja, saya sendiri masih belum paham betul, apa yang dimaksud dengan "nama baik". Dalam undang-undang sekalipun tidak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan nama baik. Aneh sekali, walaupun tidak jelas, istilah ini tetap digunakan sebagai sebuah standar untuk menentukan orang bersalah atau tidak. Istilah "nama baik" itu sendiri merupakan ungkapan yang masih perlu diterjemahkan lagi. Jadi, bila undang-undang mengatur tentang nama baik, sudah seharusnya ada kriteria yang jelas mengenai makna suatu nama baik.
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, "nama baik" itu sama dengan
"harga diri". Nah, ungkapan lagi, menjadi semakin bingung. Kalau
menurut seorang teman, kalau saja dia mempunyai harga diri, sudah dijualnya
sejak dulu (saking dia tidak punya uang).
Di sinilah permasalahannya, hukum mengadopsi istilah yang sebenarnya masih belum jelas batasan maknanya. Sebagai perbandingan, seorang penjahat apakah memiliki nama baik? Menurut pengertian umum, penjahat pasti tidak mempunyai nama baik. Namun, walaupun dia tidak punya nama baik, seorang penjahat dapat menuntut orang lain dengan alasan telah mencemarkan nama baiknya (bingung, kan?)
Di sinilah permasalahannya, hukum mengadopsi istilah yang sebenarnya masih belum jelas batasan maknanya. Sebagai perbandingan, seorang penjahat apakah memiliki nama baik? Menurut pengertian umum, penjahat pasti tidak mempunyai nama baik. Namun, walaupun dia tidak punya nama baik, seorang penjahat dapat menuntut orang lain dengan alasan telah mencemarkan nama baiknya (bingung, kan?)
Menurut R.
Soesilo, pencemaran nama baik itu lebih mengacu pada hal yang menimbulkan
"rasa malu". Rasa malu apalagi nih? Apa batasan rasa malu? Sejauh apa
malunya? Aduh....
Coba kita
lihat saja salah satu ketentuan KUHPidana yang mengatur masalah pencemaran nama
baik:
Pasal 310:
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan
menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum,
diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena
pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Jadi,
menurut KUHP, pencemaran nama baik harus memenuhi dua unsur, yaitu ada tuduhan
dan tuduhan dimaksudkan menjadi konsumsi publik. Dalam penjelasannya, R.
Soesilo juga mengatakan bahwa tuduhan ini harus dialamatkan kepada
orang-perorangan. Jadi, tidak berlaku apabila yang merasa terhina ini adalah
lembaga atau instansi. Namun, apabila tuduhan itu dimaksudkan untuk kepentingan
umum, artinya agar tidak merugikan hak-hak orang banyak atau atas dasar membela
diri (berdasarkan pertimbangan hakim), maka sang penuduh tidak dapat dihukum.
Singkatnya,
agar dapat terhindar dari pasal ini, setiap orang harus menjaga agar
omongan/tulisannya tidak bersifat menuduh. Entah ada dasar atau tidak, karena
prinsipnya, kita sesama warga negara tidak boleh saling menuduh. Undang-undang
hanya mengizinkan seorang Jaksa yang dapat menuduh. Itupun harus di dalam
pengadilan. :-)
Sekarang,
mari kita lihat UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang terkait
dengan pencemaran nama baik:
Pasal 27:
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik.
Dalam hal
ini, UU ITE melarang perbuatan yang mempublikasikan informasi atau dokumen yang
bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Namun, Pasal 27 UU ITE tidak
dapat diterapkan apabila tidak memenuhi dua unsur yang penting, yaitu perbuatan
publikasi tersebut dilakukan secara sengaja dan perbuatan itu harus dilakukan
tanpa hak. Artinya, apabila publikasi tersebut dilakukan karena seseorang
berhak melakukannya, maka UU ITE tidak berlaku. Apabila dikaitkan dengan kasus
Prita Mulyasari, sulit untuk menentukan apakah ia melakukannya karena berhak
atau tidak. Apa dasarnya? Setiap orang bebas untuk menulis, tidak perlu harus menjadi
wartawan atau jurnalis. Singkatnya, UU ITE tidak dapat digunakan sebagai dasar
tuntutan tersebut.
Kasus Prita Mulyasari pada dasarnya merupakan cermin bahwa konsumen kesehatan di Indonesia masih begitu lemah kedudukannya. Boleh jadi, kondisi ini disebabkan oleh lemahnya/kurang-menggigitnya ketentuan perundangan-undangan mengenai perlindungan terhadap konsumen, terutama yang berkaitan dengan produk (barang dan jasa) kesehatan. Mungkin kita masih ingat kasus pasien yang digari di Medan, dsb. Mengapa konsumen yang seharusnya dilindungi, malah tidak terlindungi. Ini yang menjadi aneh, terlepas apakah ia melakukan pencemaran nama baik (huh apaan tuh).
Kalau membaca artikel-artikel di Internet, disebutkan bahwa di banyak negara, tuntutan pidana pencemaran nama baik tidak relevan lagi dalam kehidupan yang modern. Meski demikian, perlindungan hukum bagi mereka yang merasa dituduh dapat dilakukan melalui jalur perdata untuk memperoleh ganti-rugi. Jadi, wajar saja, apabila ada aspirasi dari para pegiat online yang sering menulis untuk menghapuskan pasal pencemaran nama baik karena memang sangat berpotensi untuk menciprati semua orang.
Inilah kelemahannya apabila masih menggunakan undang-undang 'baheulak' jaman kompeni. Kondisinya sudah jauh berbeda dengan saat ini. Sementara, ada pendapat yang mengatakan bahwa hukum dituntut untuk selalu berada di depan agar tidak ketinggalan jaman. Mau bagaimana lagi, sepertinya sistem hukum di Indonesia sudah terjebak dalam sebuah "kemalasan". Banyak yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia memang dididik oleh penjajah untuk menjadi malas. Sepertinya, tidak demikian, karena toh banyak yang protes dengan pasal peninggalan jaman Belanda ini. Masalahnya, wakil-wakil rakyat kita menutup telinga dan mata dan lebih terfokus kepada pembaruan undang-undang yang menghasilkan uang (iiii... takut dituduh mencemarkan nama baik DPR nih....)
sumber : http://bh4kt1.multiply.com/journal/item/65/Pencemaran_Nama_Baik_yang_Salah-Kaprah?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar