Rabu, 18 April 2012

Mendua ( Borjuasi Itu Berwatak Bimbang) Bagian I


Menarik untuk disimak bahwa meskipun Soekarno amat berapi-api dalam melawan kolonialisme, imperialisme dan elitisme, sebenarnya perlawanan itu tidak total, dalam arti tidak sepenuhnya dimaksudkan untuk menuntaskan ketiga tantangan itu. Hal ini tampak misalnya ketika ia mendirikan PNI. Di satu pihak memang dengan jelas digariskan bahwa tujuan utama PNI adalah mencapai Indonesia merdeka. Tetapi di lain pihak cita-cita kemerdekaan itu tidak disertai hasrat untuk mengubah sistem politik yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial dengan sistem politik yang sama sekali baru.

Alih-alih perubahan total, Soekarnosebagaimana banyak aktivis pergerakan waktu itu-berkeinginan bahwa negeri yang merdeka itu nanti akan ditopang oleh sistem yang mirip dengan sistem yang menopangnya saat terjajah. Hanya elitenya akan diganti dengan elite baru, yakni elite pribumi.

Pemakaian Soekarno atas gagasan-gagasan Marxis amat selektif. Ia tertarik dengan pengertian proletariat-nya Marx, tetapi ia memperluasnya menjadi Marhaenisme. Di satu pihak perluasan itu membuat revolusi menjadi lebih jauh daripada sekadar pertarungan antara buruh pabrik melawan para kapitalis, tetapi di lain pihak hal ini juga membuat fokus revolusi menjadi kabur. Kekaburan ini menjadi bertambah ketika disadari bahwa pemerintah kolonial, yakni pihak yang mau dilawan oleh kaum Marhaen, melibatkan juga banyak sekali pejabat dan pegawai pribumi. Dan dalam hal ini rupa-rupanya Soekarno memang tidak bermaksud mengadakan suatu perubahan total. "Kita berjuang bukan untuk melawan orang kaya," tulisnya di harian Fikiran Rakjat tahun 1932, "melainkan untuk melawan sistem."

Betapapun "galak"-nya Soekarno muda dalam menentang kolonialisme dan imperialisme dengan menggunakan prinsip nonkooperasi, ternyata ia tidak selalu konsisten. Sekitar bulan-bulan Agustus-September 1933, sebagaimana dilaporkan oleh pemerintah kolonial, ia menyatakan mundur dari keanggotaan Partindo, memohon maaf, dan meninggalkan prinsip nonkooperasi. Ia bahkan dilaporkan bersedia untuk bekerja sama dengan pemerintah penjajah Belanda. Lepas dari benar atau tidaknya laporan pemerintah itu, berita ini mengagetkan dan mengecewakan para pendukung gerakan kemerdekaan waktu itu. Mereka kecewa karena tokoh perjuangan yang mereka agung-agungkan, telah menyerah. Dalam koran Daulat Ra'jat edisi 30 November 1933 Mohammad Hatta bahkan menyebut peristiwa ini sebagai "Tragedie-Soekarno." Hatta amat menyesalkan inkonsistensi serta lemahnya semangat perlawanan tokoh taktik nonkooperasi itu.

Berhubungan dengan sikap anti-elitismenya perlu dilihat bahwa meskipun dalam pidato dan tulisan-tulisannya Soekarno tampak melawan elitisme, tetapi sebenarnya bisa diragukan apakah ia sepenuhnya demikian. Hal ini tampak misalnya dalam pidato yang ia sampaikan pada tanggal 26 November 1932 di Yogyakarta, kota pusat aristokrasi Jawa. Dalam pidato itu Soekarno mengajak setiap orang, apa pun status sosialnya, untuk bersatu demi kemerdekaan. Tetapi sekaligus ia menegaskan bahwa bersama Partindo dirinya tidak menginginkan perjuangan kelas.

Dalam tulisan Nasionalisme, Islam dan Marxisme, sebagaimana disinyalir oleh McVey, sebenarnya Soekarno sama sekali tidak sedang bicara dengan rakyat banyak. Dalam tulisan itu ia, menurut McVey, "tidak menyampaikan imbauannya kepada kelompok-kelompok radikal pedesaan dan proletar yang telah memelopori pemberontakan komunis setahun sebelumnya, atau kepada para santri-santri taat pejuang Islam, atau kepada rakyat kebanyakan di dalam maupun di sekitar wilayah perkotaan yang bergabung ke dalam PNI yang didirikan oleh Soekarno saat mereka sedang mencari pegangan di tengah lunturnya nilai-nilai tradisional." Soekarno, sebaliknya, lebih mengalamatkan imbauannya kepada sesama kaum elite pergerakan, atau kepada apa yang disebut oleh McVey sebagai "elite metropolitan," yang keanggotaannya biasanya ditentukan oleh tingkat pendidikan Barat yang diperoleh seseorang.

Kelompok elite metropolitan yang dituju oleh tulisan Soekarno itu sebenarnya jumlahnya amat kecil, dan kebanyakan dari mereka tinggal di kota-kota dengan pengaruh Eropa, seperti misalnya Bandung, Surabaya, Medan atau Jakarta. Di satu pihak, kelompok elite ini mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kemerdekaan Indonesia serta telah berpikir dalam rangka identitas nasional dan tidak lagi dalam rangka identitas regional seperti generasi pendahulunya. Di lain pihak, kelompok ini tidak melihat perlunya mengadakan suatu revolusi sosial yang akan secara total mengubah sistem yang ada, dengan segala corak kolonialkapitalisnya.

Yang lebih mendesak menurut para aktivis generasi ini adalah melengserkan elite pemerintahan kolonial asing dan menggantinya dengan elite lokal yang dalam hal ini adalah diri mereka sendiri. Dengan kata lain, mereka menghendaki adanya revolusi nasional, tetapi bukan revolusi sosial. Dalam kaitannya dengan rakyat banyak, anggota kelompok elite ini merasakan perlunya dukungan rakyat dalam perjuangan melawan pemerintah kolonial. Pada saat yang sama mereka berupaya mengikis sikap-sikap tradisional rakyat yang mereka pandang sebagai penghalang bagi langkah menuju dunia modern, yakni dunia sebagaimana tercermin dalam kaum kolonialis Barat.

Perasaan yang serupa tampaknya juga dimiliki oleh Soekarno. Bagi Soekarno muda, massa rakyat-betapapun tampak penting sebagai simbol dan sebagai potensi politik-sebenarnya lebih dibutuhkan sebagai sumber dukungan baginya dalam mengambil langkah-langkah politis. Oleh karena itu tidak mengherankan, sebagaimana pernah dikeluhkan oleh Hatta, jika kontak Soekarno dengan rakyat kebanyakan itu sebenarnya amat sedikit, terbatas pada kontak melalui pidato-pidato yang penuh tepuk tangan dan sorak-sorai.

Dikatakan oleh Bernhard Dahm, penulis biografi Bung Karno, di satu pihak Soekarno menentang sikap rakyat yang mudah pasrah pada nasib, tetapi di lain pihak ia "membutuhkan sorak-sorai tepuk tangan (mereka) guna mendukung rasa percaya dirinya." Dengan demikian tampak adanya sikap mendua (ambivalen) dalam sikap-sikap Soekarno terhadap kapitalisme, imperialisme maupun elitisme: Di satu pihak ia membenci ketiganya. Di lain pihak, sadar atau tidak, ia melihat bahwa beberapa aspek di dalam ketiganya layak untuk dipertahankan atau setidaknya untuk tidak dikutak-katik.

Sumber : 100 Tahun Bung Karno
Sang Penggoda !
Front Marhenis

1 komentar: