Di penghujung pemerintahan Soekarno, PKI dibubarkan,
ajarannya dilarang, para pengikutnya diadili, keturunannya pun tak luput dari
kecaman. Di era pemerintahan Gus Dur, isu komunisme kembali menghangat dengan
kebijakan Gus Dur waktu itu yang ingin menghapuskan Tap MPR mengenai pelarangan
ajaran komunisme. Tindakan ini pun kemudian memperoleh berbagai respon. Gus Dur
dianggap ingin menghidupkan ajaran yang sangat-sangat anti terhadap ajaran
ketuhanan, kafir dan yang lainnya. Terlepas dari stigma negatif yang disandang
PKI dan Komunisme, pada dasarnya memang perlu dilakukan sebuah kajian yang
benar-benar mendalam guna memahami esensi pokok komunisme sebelum kemudian
muncul kesimpulan untuk menentang atau bahkan menerima dengan legowo.
Sekilas
Marxisme
Karl Marx adalah pemilik gagasan marxisme yang kita
kenal sekarang, bernama lengkap Karl Heinrich Marx. Lahir di kota Trier ,
terletak diJerman (Prusia) pada 5 Mei 1818. lahir dalam keluarga yang memiliki
garis keturunan Yahudi yang sangat kental. Ketika berumur 6 tahun, seluruh
keluarganya berpindah agama dari Yahudi menjadi Kristen. Peristiwa ini jelas
akan sangat berpengaruh pada perkembangan berpikir Marx nantinya. Di usia 17
tahun, Marx menamatkan pendidikannya di sekolah menengah atas dan melanjutkan
studi ke Fakultas Hukum Universitas Bonn. Setahun kemudian ia tak betah dan
kemudian pindah ke Universitas Berlin dan berkonsentrasi mempelajari filsafat.
Disinilah awal dimana ia mulai membangun komunikasi dengan komunitas Hegelian.
Ia menjadi anggota dari “Club Young Hegelian”, kelompok yang mempelajari
pemikiran-pemikiran Hegel yang pada waktu itu menjadi ideology resmi Jerman.
Dalam memahami gagasan Karl Marx, seringkali kita
kenal pembagian fase berpikir Marx dalam dua tahap, Marx muda dan Marx tua.
Pada awalnya, kerangka teori yang dipakai Marx sangat terpengaruh oleh
dialektika Hegel. Inilah yang dinamakan periode Marx muda. Hegel berpandangan
bahwa, pertama, masyarakat berkembang secara evolutif serta didasari oleh
proses dialektis antara tesis melawan antitesis yang kemudian menghasilkan
sintesis. Proses masyarakat adalah proses negasi yang membentuk sebuah siklus
dialektis yang tak ada ujungnya.
Kedua, Hegel berpendapat bahwa kesadaran manusia
sangat ditentukan oleh idealitas. Dengan kata lain tanpa ide, perubahan sosial
takan pernah terjadi. Ide manusia kemudian menjadi pusat perhatian kajian
hegelian. Kesadaran individu dan social akan mengalami proses evolusi menuju
tingkat kesadaran yang lebih tinggi dikarenakan pertarungan yang terus
menerusantara ide dan realita sosial. Proses pembentukan kesadaran menurut
Hegel sangatlah dipengaruhi oleh dua hal di atas. Proses negativitas realita
sosial akan berjalan terus menerus yang justru akan menjadi pemicu bagi
munculnya bentuk kesadaran baru. Proses negasi selalu dimaknai dengan
penggemblengan moralitas individu tanpa henti. Ide dialektika idealistis Hegel
ini disepakati oleh Marx muda yang kemudian ditinggalkannya. Inilah era Marx
tua dimana ia mulai memupuk teorinya secara mandiri. Marx mengambil pemikiran
dialektis Hegel, akan tetapi baginya dialektika yang didasari idealitas
sebagaimana dikemukakan Hegel justru akan membawa manusia menuju angan-angan
utopis karena suatu keyakinan bahwa kesadaran pasti datang dengan sendirinya
seiring berjalannya waktu. Proses semacam ini hanya akan berjalan di ranah ide
semata dan tidak akan membawa bentuk perubahan di masyarakat secara konkrit.
Dengan berpikir semacam ini, manusia akan semakin larut dalam gaya hidup yang
penuh dengan spekulasi, asumsi, interpretasi yang tak memberik efek apa-apa
bagi fenomena konkrit. Marx menempatkan manusia secara materi sebagai subyek
dalam proses menuju kesadaran individu yang kemudian menjadi cikal bakal
perubahan sosial. Manusialah yang menentukan arah idenya berdialektis.
Hakekatnya, manusia adalah materi yang kemudian harus
diarahkan dengan kesadaran penuh agar kemudian bisa mengendalikan semua yang
ada baik di dalam maupun luar dirinya. Dalam hal ini, Marx sangat dipengaruhi
oleh ide Ludwig Andreas Feurbach yang terkenal dengan semboyannya homo homini
deus, Manusia sebagai Allah bagi sesamanya. Sebagaimana Marx, Feurbach pun
menerima dialektis Hegel namun menolak isi ajaran Hegel yang berlandaskan
otoritas ide. Baginya, pergerakan manusia adalah pergerakan materi dan bukanlah
ide, sehingga, manusia memiliki otoritas penuh untuk melakukan pengelolaan
terhadap ide bukan sebaliknya. Baginya materi memegang peranan penting dalam
proses kehidupan. Perubahan sosial yang konkrit hanya bisa tercapai dengan
dialektika di alam materialis. Semua entitas baik suprastruktur maupun
infrastruktur bergerak sesuai dengan pergerakan materi. Ranah kesadaran manusia
pun merupakan ekses dari proses tersebut. Dalam hal agama, ajaran marxisme yang
sering diidentikkan sebagai ateis ini malah memposisikan agama sama seperti
produk budaya yang lain. Agama adalah realisasi kemanusiaan yang tentu
seharusnya tidak menjadi suatu nilai yang penuh dengan tekanan-tekanan
eksternal.
Berangkat dari sini, Marx kemudian merintis gagasannya
yang dikenal sebagai Materialisme Dialektis. Proses pergerakan dunia baginya
adalah proses materi sehingga kemudian masyarakat harus mencapai kesadaran
bahwa sejarah masyarakat ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini
sekaligus membantah dogma gereja waktu itu yang senantiasa melarutkan
masyarakat dalam khayalan akan kehidupan bahagia di akhirat dengan konsekwensi
bersikap pasif terhadap penderitaan yang hari itu menimpanya. Satu hal yang
ditambahkan Marx dalam aliran filsafatnya yang sering dilupakan oleh
paradigma-paradigma filsafat yang ada. Marx menggagas ide revolusi dalam
perspektifnya. Bagi Marx, para filosof seharusnya tidak hanya sibuk
membolak-balik literatur, menciptakan berbagai macam teori, mengasah kemampuan
untuk menginterpretasikan perspektif filsafat saja. Lebih dari itu, para
filosof seharusnya bisa kemudian mengkondisikan perubahan sosial yang lebih
nyata. Dalam konteks eropa waktu itu, marx menawarkan perubahan di wilayah
struktural yang sangat berpengaruh pada seluruh konteks sosial yang ada pada
waktu itu. Marxisme, Kritik Kapitalisme Sebagaimana yang telah dijelaskan
diatas, konteks sosial yang membangun pemikiran Marx pada waktu itu adalah
konteks industrialisasi kapitalistik. Marx jengah menyaksikan kondisi
masyarakatnya yang sarat dengan kemelaratan serta ketergantungan terhadap modal
yang tak terkendalikan. Marx kemudian melakukan penelusuran pola kerja
kapitalistik yang menurutnya menyesatkan masyarakat. Kapitalisme memiliki dua
factor penting yang kemudian menggiring masyarakatnya dalam kemelaratan yakni:
sifatnya yang eksploitatif serta alienasi yang merupakan akibat sistem tak
sehat dari ekonomi kapitalistik.
a. Eksploitatif
Dalam sistem kapitalisme, persaingan individu menjadi hal yang wajar .
Asumsinya, bila setiap individu saling bersaing, maka masyarakat yang merupakan
individu-individu yang bergabung secara komunal ini pun akan maju bersama.
Namun dalam prakteknya, tidak semua individu dapat bersaing secara seimbang.
Kapasitas personal menjadi problem, sebab tak semua orang memiliki kapabilitas
sama. Hal ini diperparah lagi dengan eksistensi modal yang sangat berperan
membentuk persaingan-persaingan ini. Golongan yang terlanjur memiliki modal
besar akan dengan mudah mempermainkan dan menguasai golongan yang terlanjur tak
memiliki apa-apa.
Marx berpendapat, ada nilai lebih yang diambil kaum majikan dari para
pekerjanya yang sama sekali tidak diketahui oleh kaum pekerja. Nilai lebih ini
yang semakin menguatkan karakter ekploitatif kaum borjuasi. Relasi yang terjadi
antara buruh dan majikan adalah relasi ekonomi sebagai berikut; majikan
memiliki modal, buruh memiliki tenaga –yang juga merupakan modal walaupun
kecil–. Majikan membutuhkan tenaga buruh untuk menjalankan roda produksi
perusahaannya. Dengan argumentasi semacam ini, majikan kemudian menawarkan
proses barter dengan buruh. Tenaga buruh dibeli majikan, tenaga buruh tersebut
kemudian harus diarahkan sesuai dengan keinginan majikan. Walaupun ada proses kesepakatan
di awal, namun kesepakatan itu tetap saja dimanipulasi oleh majikan. Semisal,
tenaga buruh dihargai oleh majikan sebesar Rp. 100,-/hari untuk kemudian
dipakai selama 8 jam. Setelah diteliti ternyata buruh bisa menghasilkan nilai
produksi sebesar Rp. 100,- hanya dalam waktu 4 jam per hari.
Dengan kata lain, tenaga buruh yang dibeli oleh majikan sebesar Rp. 100,-
seharusnya hanya diganti oleh buruh dengan bekerja selama 4 jam saja.
Kenyataannya majikan masih terus menambah waktu kerja sehingga melipatgandakan
keuntungan majikan tanpa disadari buruh. Marx melihat kenyataan ini. Secara
sederhana tentu terlihat jelas bahwa telah terjadi penghisapan secara diam-diam
dalam hal ini.
Teori nilai lebih Marx ini hanyalah gambaran sederhana yang diberikan dalam
merespon kondisi obyektif yang terjadi dalam masyarakatnya. Inilah titik dimana
Marx sangat terlihat sebagai seorang ekonom. Dari titik inilah kemudian marx
semakain tertarik untuk menelusuri kondisi mengenasskan masyarakatnya yang
menurutnya merupakan imbas dari pola ekonomi tak berperasaan ala kapitalis.
Masyarakat, menurut Marx, terjebak dalam alienasi yaitu keterasingan dirinya
dari dirinya sendiri bahkan dari lingkungan sosialnya.
b. Alienasi
Alienasi memang bukanlah terminologi baru dalam ranah kefilsafatan. Sebagaimana
yang kita ketahui, terminologi yang sama juga sempat digunakan oleh para filsuf
sebelum Marx seperti Hegel dan Feurbach. Konsep alienasi Marx berkaitan dengan
motif di balik kepemilikan dan pengelolaan modal dalam relasi produksi masyarakat
waktu itu. Dalam kenyataannya, buruh atau pekerja mengalami degradasi nilai
yang luar biasa. Buruh dianggap tak lebih dari sekedar komoditi belaka yang
siap dimanfaatkan oleh golongan borjuasi. Bagi Marx, buruh adalah manusia yang
juga memiliki hakekat diri sebagaimana manusia yang lainnya.
Hakekat manusia adalah kesadaran, tanpa kesadaran maka manusia tak lebih dari
binatang. Fungsi kesadaran inilah yang kemudian dimainkan oleh sistem
kapitalistik. Manusia tak lagi mengerti untuk apa hidupnya, yang dia tahu
hanyalah bagaimana cara mempertahankan hidup, dan dalam konteks masyarakat
industri, persaingan individu menjadi satu-satunya cara bertahan hidup.
Marx membagi alienasi manusia menjadi tiga bagian, pertama, alienasi pekerja
terhadap obyek pekerjaannya (alienation of worker in his object),
alienasi pekerja terhadap dirinya sendiri (self alienation), serta
alienasi tenaga kerja (alienation of labour). Alienasi obyek pekerjaan
adalah keterasingan manusia terhadap produk buatannya. Pekerja tidak lagi memiliki
barang hasil produksinya sendiri. Pada hakekatnya manusia harus mengenali,
memiliki serta menguasai dirinya serta semua potensi yang merupakan
representasi dirinya, namun dalam pola kapitalistik hal ini tidak terjadi.
Faktor eksternal dari pekerja lebih dominan sehingga kemudian mempengaruhi pola
tindak pekerja dalam hal menyikapi produk buatannya. Kenyataan semacam ini
sering ditemukan di dalam badan usaha yang menerapkan sistem kapitalistik
dimana yang menguasai hasil produksi bukanlah pekerja namun mereka yang
dikatakan sebagai pemilik perusahaan yang tentunya memiliki saham (modal)
terbesar . Sementara itu, para pekerja yang menghasilkan langsung produk
tersebut hanya dihargai tenaganya dengan nilai yang sama sekali tidak sebanding
dengan hasil kerjanya.
Bentuk alienasi selanjutnya adalah alienasi pekerja terhadap dirinya sendiri.
Dalam hal ini, pekerja sama sekali tidak menyadari tujuan ia bekerja dan
menghasilkan produk. Pekerja menciptakan sebuah produk yang sama sekali bukan
representasi dirinya dikarenakan tekanan faktor eksternal yang sangat kuat.
Pada akhirnya, pekerja kehilangan orientasi hidupnya yang hakiki. Pada
hakekatnya, manusia ada adalah dalam rangka mengoptimalkan fungsi internal
dirinya yang tak lain adalah menciptakan dirinya sendiri.
Masyarakat seharusnya bisa berpikir dan berbuat secara bebas tanpa ada tekanan
dari segala faktor eksternal dirinya sebab itulah hakekat dari manusia yang
merupakan makhluk hidup. Karena manusia merupakan subyek dari gerak alam, maka
sudah sepatutnyalah manusia mengambil posisi sebagai poros dari segala pola
dialektika yang terjadi di alam. Dalam proses produksi, kedudukan manusia dan
hewan adalah kontradiktif. Walaupun kemudian hewan juga melakukan proses
produksi, namun hal tersebut dilandasi oleh kebutuhan fisik yang harus
dipenuhi.Selain itu, kesadaran hewan pun hanya sampai pada taraf insting yang
sama sekali berbeda dengan manusia. Berbeda dengan hewan, manusia yang
melakukan proses produksi seharusnya bukan hanya dilandasi oleh pemenuhan kebutuhan
fisik semata. Lebih dari itu, proses produksi yang dilakukan manusia adalah
proses realisasi diri sebagai manusia yang mampu berdialektika dalam kerangka
kesadaran yang benar-benar kritis. Apabila proses produksi manusia hanya
berorientasi pada bagaimana memenuhi kebutuhan fisik semata, maka dengan
sendirinya sekat antara kesadaran hewan dan manusia secara otomatis telah
dihancurkan.
Manusia adalah entitas yang pada hakekatnya harus mengerti esensi hidup.
Sebagai bagian dari alam, maka manusia pun tak bisa dilepaskan begitu saja dari
alam. Hasil produksi manusia merupakan realisasi diri yang lebih dari sekedar
pemenuhan kebutuhan fisik semata, selain itu merupakan bentuk pembuktian bahwa
manusia bisa menguasai keinginan dalam dirinya. Karena inilah hakekat dari
manusia bebas dab merdeka dan bebas dari alienasi. Bila manusia kemudian
teralienasi dari dirinya dan produksinya, maka sudah bisa dipastikan bahwa dia
benar-benar terasing dari rekannya sesama manusia. Nilai sosial manusia lama
akan semakin pudar semata-mata dikarenakan pola diferensiasi yang diciptakan
kapitalisme. Dalam konteks pekerjaan, manusia hanya mengorientasikan dirinya
pada pemenuhan bkebutuhan fisk yang itu semua tak lain untuk dirinya dan
keluarganya. Sementara itu, komunikasi antar manusia kemudian menjadi bentuk
formalitas belaka.
Konflik Kelas, dan Komunisme Pola industrialisasi kapitalisme telah mendesak
masyarakat untuk terstratifikasikan dalam kelas-kelas sosial. Hal ini
disebutkan dalam the Communist Manifesto, bahwa sejarah dari semua masyarakat
yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas. Sistem produksi
dalam masyarakatnya waktu itu telah menimbulkan dua kelas sosial, borjuasi
yakni kelompok minoritas yang memiliki modal lebih besar sehingga menguasai
sarana produksi, serta kelas proletar yang merupakan golongan pekerja yang
sangat bergantung pada borjuasi sebab modal yang dimiliki jauh lebih kecil
dibanding borjuasi. Dengan kekuatan modal yang besar, borjuasi bisa dengan
mudah menikmati nilai produksi jauh lebih besar dibanding para pekerja yang
menghasilkan nilai tersebut. Marx menyatakan:
Mereka yang memiliki modal dan alat-alat produksi
menentukan upah para pekerja. Penentuan upah itu melewati suatu perjuangan,
tarik-menarik antara pemilik modal dan pekerja. Kemenangan sudah barangtentu
mudah dipastikan, yaitu di tangan pemilik modal. Pemilik modal dapat hidup
lebih lama tanpa para pekerja, sementara kaum pekerja tidak mungkin hidup lebih
lama tanpa pemilik modal. Kumpulan pemilik modal adalah sesuatu yang biasa dan
efektif, tetapi kumpulan para pekerja dianggap membahayakan dan membawa
konsekuensi yang tidak menyenangkan bagi pemilik modal. Lebih dari itu, tuan
tanah dan pemilik modal dapat menambah kekayaannya dan keuntungannya dari usaha
industri, sedangkan pekerja tidak memperoleh keuntungan maupun memiliki modal
yang bisa menambah penghasilan dari keterlibatannya dalam kerja industri. (Karl Marx, “Wages of Labour”)
Marx sendiri berteori bahwa proses social akan
mengalami evolusi sejarah dalam kerangka tahapan kehidupan masyarakat. Gambaran
relasi borjuasi-proletar diatas oleh Marx dikatakan sebagai suatu tahapan yang
memang harus dilalui demi terwujudnya masyarakat komunis yang merupakan tahapan
selanjutnya. Setiap tahapan evolusi social, menurut Marx, memiliki potensi
untuk menghancurkan dirinya sendiri. Sistem kapitalis akan menciptakan tatanan
social yang selalu akan bersaing demi mendapatkan posisi kelas yang lebih
tinggi. Persaingan yang rentan konflik ini pun terjadi secara individualistik.
Setiap individu akan terus bersaing untuk memprivatisasi alam, dengan begitu,
modalnya akan semakin bertambah, dengan modal kuat kekuasaan dapat diraih dan
dengan kekuasaan, maka akan semakin mudah untuk mengumpulkan modal yang lebih
banyak lagi.
Persaingan individu inilah yang oleh Marx dikatakan
akan mengalienasi setiap individu dari individu yang lain. Dengan demikian,
manusia yang pada hakekatnya merupakan makhluk social akan menjadi semakin
apatis dengan kehidupan social yang kemudian juga akan berakibat fatal dalam
relasi social yang terbangun.
Harus diakui bahwa Marx yang telah meninggalkan pola
pikir dialektika idealis Hegel memang mengkonsentrasikan kajiannya pada sektor
ekonomi. Sarana produksi memiliki peran penting dalam pembentukan berbagai
varian sistem sosial seperti agama, hukum, poloitik, budaya bahkan kesadaran
berpikir masyarakat. Pola pikir Marx yang semacam ini sedikit banyak
dipengaruhi oleh nalar zamannya pada waktu itu dimana terjadi krisis sosial
yang diakibatkan oleh Revolusi Industri. Kondisi masyarakat dipenuhi dengan
kemelaratan, bergantung dan kehilangan jati diri sebagai manusia. Sistem kelas
yang tercipta akibat industrialisasi memaksa setiap individu untuk bersaing
meraih posisi yang lebih baik.
Bagi Marx, penyebab terbesar atas kemelaratan yang
terjadi dalam masyaraktnya adalah kepemilikan secara pribadi sarana-sarana
produksi. Hal ini yang kemudian memicu setiap person untuk berjuang agar
mendapatkan status kepemilikan yang semakin banyak. Proses ini tidak akan
berhenti sampai kapanpun, sehingga akan menimbulkan konflik yang semuanya
berlandaskan pada nafsu untuk memiliki lebih banyak lagi. Marx kemudian
menawarkan suatu konsepsi kepemilikan yang didasarkan pada konsensus komunal
dimana masyarakat memiliki dan mengelola secara komunal semua asset yang
diberikan alam. Dari sinilah diharapkan persaingan-persaingan kelas yang tak
sehat akan lenyap dan akhirnya tak ada lagi penghisapan atas nama modal.
Walau demikian, apakah pola pikir yang ditawarkan ini
masih relevan untuk konteks hari ini?