Mungkin sebagian khalayak ramai
mengetahui sang proklamator selalu diindentikan dengan perempuan namun dalam
ranah istrinya banyak (baca: lebih dari satu), bahkan konon katanya hampir diseluruh
wilayah Indonesia Bung Karno memiliki isteri bahkan sampai keluar Negeri.
Terlepas opini ini benar atau tidak, tujuan tulisan ini adalah memberikan sisi
yang berbeda atas pandangan Bung Karno terkait gerakan perempuan Indonesia yang
secara gamblang dijelaskan dalam bukunnya dengan judul Sarinah.
Buku Sarinah sengaja diterbitkan oleh Bung Karno ditujukan sebagai
rujukan atas peran perempuan untuk secara bahu-membahu bersama kaum laki-laki
untuk menuju dunia baru. Dalam teks Sarinah, dunia baru, merupakan istilah yang
di gunakan Bung Karno untuk menggambarkan : Masyarakat yang adil dan sejahtera,
tidak ada eksploitasion antar manusia, maupun antar Negara, tidak ada
kemiskinan dan kapitalisme, tidak ada perbudakan, serta tidak ada lagi
perempuan yang sengsara. Degan kata lain: suatu tatanan masyarkat yang penuh
keadilan dan kesejahteraan, di mana laki – laki dan perempuan sama – sama
merdeka dan sejahtera.
Sedangkan mengenai judul buku sarinah, Bung
Karno dalam bukunya yang lain yaitu “ Penyambung Lidah Rakyat”, menceritakan
Sarinah sebagai gadis pembantu yang membantu membesarkan Bung Karno. Tetapi,
kata Bung Karno, kata pembantu rumah tangga di sini tidak sama dengan
pengertian orang di barat. Selain mengurusi Bung Karno kecil, Sarinah pula yang memberikan
pendidikan budi-pekerti dan nilai-nilai kemanusiaan kepada Bung Karno. “Sarinah
mengadjarku untuk mentjintai rakjat. Massa rakjat, rakjat djelata,” ujar Bung
Karno dalam otobiografinya yang ditulis oleh penulis dan kolumnis Amerika,
Cindy Adams.
Sosok Perempuan Pejuang Indonesia
Dalam buku
Sarinah Bung Karno ingin menggugah kesadaran para perempuan Indonesia yang pada
saat itu telah memasuki babak pengisian kemerdekaan. Beliau mengajak seluruh
perempuan Indonesia untuk segera insyaf dan ikut serta dengan segera dalam perjuangan.
Dan Bung Karno mengutip seruan seorang tokoh pergerakan dari Spanyol yaitu La
Passionaria yang menyerukan bahwa perempuan-perempuan Spanyol untuk menjadi
revolusioner maka Soekarno ingin juga mengatakan :” Hai Perempuan-perempuan Indonesia, jadilah revolusioner,- tiada
kemenangan revolusioner, jika tiada perempuan revolusioner, dan tiada perempuan
revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner!”.
Ucapan diatas
merupakan suatu variant dari ajaran yang mengatakan bahwa ;”Tiada aksi
revolusioner, jika tiada teori revolusioner”.”Teori tak disertai perbuatan,
tiada tujuan, perbuatan tiada pakai teori, tiada berarah tujuan”. Dari ungkapan
ini teringat kita akan doktrin yang diungkapkan oleh Kierkegaard yang
mengatakan bahwa manusia harus selalu mewujudkan anggan-anggannya atau
cita-citanya atau ada proses menjadi, dengan kata lain jangan kita melulu
membicarakan teori tanpa mempraktekannya tanpa berani membuktikan kebenaran
dari teori tersebut.
Revolusi merupakan suatu gerakan yang bertingkat dan masing-masing
tingkatan harus dilalui satu persatu, tidak bisa satu tingkatan tidak dilalui
atau satu tingkatan dijalankan bersamaan dengan tingkatan yang didepannya.
Masing-masing tingkatan yang hadir terlebih dahulu merupakan dasar atau fondasi
bagi tingkatan revolusi didepannya. Adapun elaborasi tingkatan itu dijelaskan
oleh Bung Karno :
Tingkat pertama, perempuan berusaha menyempurnakan “keperempuanannya” (Bung Karno
menggunakan tanda kutip di bukunya). Kelihatannya, “keperempuanan” di sini
dapat diartikan sebagai cara-pandang umum masyarakat—tentunya dalam masyarakat patriarchal—mengenai kodrat perempuan, seperti memasak,
menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak, dan sebagainya. Meskipun sudah
mendirikan perkumpulan, dan anggotanya seluruhnya perempuan, tetapi mereka
belum menyinggung soal hak-hak perempuan. Mereka tidak menyinggung sedikitpun
patriarkisme dan ekses-eksesnya. Kalaupun mereka mendirikan sekolah bagi
perempuan, lagi-lagi itu tidak lebih sebagai bentuk “pembekalan” agar perempuan
siap berkeluarga. “Sekolah-sekolah mereka tak ubahnya sekolah-sekolah
berumah-tangga di zaman sekarang. Mereka mendidik wanita agar laku di kalangan
pemuda bangsawan dan hartawan,” ungkap Bung Karno. Pelopor gerakan ini, tulis
Bung Karno, adalah Madame de Maintenon di Perancis dan A. H Francke di Jerman.
Gerakan ini, ungkap Bung Karno, tidak memberikan penyadaran kepada perempuan.
Gerakan ini masih tunduk pada hukum patriarchal, yang merendahkan martabat kaum
perempuan.
Tingkatan kedua, pergerakan perempuan yang menuntut persamaan hak dengan kaum
laki-laki, khususnya dalam melakukan pekerjaan dan hak pilih dalam pemilu.
Gerakan ini sering diberi label “emansipasi perempuan”. Bagi Bung Karno,
kelahiran gerakan tingkat kedua ini tidak terlepas dari perkembangan
kapitalisme. Ia menjelaskan, perubahan corak produksi, dalam hal ini dari
feodalisme ke kapitalisme, turut mengubah anggapan-anggapan (cara-pandang) di
dalam masyarakat, termasuk cara pandang terhadap perempuan. Kapitalisme butuh
menarik perempuan keluar rumah agar menjadi buruh di pabrik-pabrik kapitalis. Pelopor
gerakan tingkat kedua ini adalah Mercy Otis Waren dan Abigail Smith Adams di
Amerikat Serikat; Madame Roland, Olympe de Gouges, Rose Lacombe, dan Theorigne
de Mericourt di Perancis. Sekalipun, harus diakui, diantara mereka ini punya
metode berjuang yang berbeda. Mercy Otis Waren dan Abigail Smith Adams,
misalnya, ketika penyusuna konstitusi AS pada tahun 1776, mereka menuntut agar
kaum perempuan diberi pengakuan dan tempat di dalamnya, seperti hak mendapat
pendidikan dan terlibat dalam kekuasaan politik.
Di Perancis, gerakan
perempuan berwatak lebih radikal. Perempuan-perempuan Perancis mengambil bagian
dalam Revolusi Perancis (1789). Madame Roland, seorang perempuan kalangan atas,
yang pemikirannya banyak mempengaruhi pemimpin politik Perancis. Ia menuntut
partisipasi perempuan yang lebih luas. Kemudian ada Olympe de Gouges, mewakili
perempuan kalangan bawah, yang tulisan dan pemikirannya secara tajam menuntut
persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Bung Karno memuji Olympe de
Gouges sebagai perempuan radikal dan militan, yang berani menentang
pemerintahan teror Robespiere.
Pergerakan ini lebih banyak bertumpu pada “persamaan hak” dalam segala hal,
termasuk dalam urusan politik. Dalam ekspresi gerakannya, kata Bung Karno,
lebih banyak mempersoalkan dominasi laki-laki.
Namun, Bung Karno
menganggap gerakan ini sebagai tipe gerakan perempuan borjuis. Sebab, bagi Bung
Karno, sekalipun nantinya segala ruang itu dibuka bagi perempuan, termasuk
politik, tetap saja yang menikmati hanya perempuan klas atas dan menengah.
Sedangkan perempuan kebanyakan, yakni dari kalangan rakyat jelata, tidak bisa
berpartisipasi. Bagi Bagi Karno, selama relasi produksi tidak berubah, maka
perempuan kalangan bawah tetap saja sulit berpartisipasi penuh dalam politik.
Persamaan hak saja tidaklah cukup, jikalau perempuan masih terhisap di dalam
relasi produksi kapitalistik. Maka, lahirlah gerakan perempuan tingkat ketiga:gerakan perempuan
sosialis.
Tingkatan ketiga ini, yakni pergerakan perempuan sosialis, di mata Bung Karno,
merupakan penyempurnaan terhadap gerakan perempuan. Di sini, gerakan perempuan
tidak sebatas menuntut persamaan hak alias penghapusan patriarkhi, tetapi hendak merombak total struktur sosial
yang menindas rakyat—laki-laki dan perempuan.
Bung Karno banyak merujuk pada ahli teori Marxis, Frederick
Engels, dalam buku berjudul “Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan
Negara”. Karena itu, Bung Karno beranggapan, penindasan perempuan tidak bisa
dilepas dari relasi produksi. “Semakin penting kedudukan perempuan dalam
produksi, maka semakin penting pula kedudukannya di dalam masyarakat,” katanya.
Bung Karno juga banyak dipengaruhi oleh Clara Zetkin dan
newsletter propagandanya, Die Gleichheit.
Bung Karno memahami perlunya menyeleraskan perjuangan pembebasan perempuan dan
perjuangan untuk sosialisme. Dia berpendapat, perempuan yang bekerja, seperti
juga laki-laki yang bekerja, menderita di bawah jam kerja yang panjang dan upah
yang rendah. Karena itu, kepentingan keduanya identik, yakni menghapuskan
kapitalisme dan mendatangkan sosialisme.
Terkait partisipasi perempuan di parlemen, Bunh Karno
berusaha menarik perbedaan antara feminis liberal dan gerakan perempuan
sosialis: “kaum feminis dan suffragette itu menganggap hak perwakilan itu
sebagai tujuan akhir, sedangkan wanita sosialis menganggapnya hanya sebagai
salah satu alat semata dalam perjuangan menuju pergaulan hidup baru yang
berkesejahteraan sosial (sosialisme).” Dalam konteks Indonesia, Bung Karno menganggap
gerakan perempuan sebagai aspek penting bagi kemenangan revolusi menuju
sosialisme. Ia mengutip pendapat Lenin: “Jikalau tidak dengan mereka (wanita),
kemenangan tidak mungkin kita capai.”
Diakhir buku
Sarinah Bung Karno mengajak kaum perempuan untuk menyadari keberadaannya, dan
tidak ada yang dapat membantu perempuan jika bukan datang dari dalam diri
mereka sendiri. Kesadaran harus muncul dari dalam diri kaum perempuan sehingga
mereka sadar akan kewajiban dan hak untuk bebas. Dan dengan munculnya kesadaran
akan eksistensi perempuan dalam pembangunan dan perjuangan maka secara bahu
membahu bersama laki-laki bekerja sama dalam emwujudkan suatu persatuan
nasional guna mencapai sutau masyarakat sosialis yang utuh.
Ucapan Bung
Karno yang perlu menjadi perenungan kaum perempuan Indonesai saat ini adalah :”
Perempuan Indonesia, kewajibanmu telah
terang! Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan
nanti jika Republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun
Negara Nasional. Jangan ketinggalan didalam revolusi Nasional ini dari awal
sampai akhirnya, dan jangan ketinggalan pula nanti didalam usaha menyusun
masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial. Didalam masyarakat
keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi perempuan
yang bahagia, perempuan yang merdeka.”
Dari penjelasan
diatas maka dapat dilihat bahwa ide pokok dari penulisan buku Sarinah ini, Bung
Karno ingin mengangkat peran perempuan yang pada awalnya kurang begitu
berperan, dan ini dibuktikan dengan perkembangan sejarah dan keadaan perempuan
diberbagai negara.
Lalu maukah
perempuan menentukan/merubah nasibnya, mari kita bertanya pada diri kita
masing-masing.
Aryo Nugroho.W
Anggota Biasa Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GMNI) Cab, Kota Palangka Raya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar