Latar Belakang
Seperti yang tersirat dalam kitab suci agama yang saya yakini
tentang perubahan nasib itu ditentukan oleh manusia itu sendiri bukan dari
Tuhan. "Sesungguhnya Allah tidak merubah
nasib sesuatu kaum sehingga mereka merubah nasib mereka sendiri ".(Ar
Ra’ad: 11) pedoman inilah yang ingin saya jalani dalam menapaki
kehidupan ini. Bahwa perubahan itu ditentukan oleh kesadaran manusia itu sendiri,
Tuhan telah memberi petunjuk dan tinggal kita mau menjalankan petunjuk itu atau
tidak. Kesadaran inilah yang memacu untuk membuat sebuah tulisan tentang problema
petani dimana saya dilahirkan. Kebanggakan menjadi seorang anak petani tentunya
tidak hanya diluapkan dalam bentuk ucapan namun juga dalam perbuatan.
Tulisan ini ingin
mengesampingkan pandangan tentang kemiskinan atau persoalan pokok yang dihadapi
oleh petani. Dimana padangan tentang kemiskinan adalah sebuah keniscayaan yang
tidak bisa dirubah dengan nada pasrah karena melibatkan kekuasaan Tuhan.
Kemiskinan yang didera oleh petani lahir dari sistem penghisapan nan bengis
yang dijalankan oleh manusia itu sendiri kepada manusia yang lain. Menyingung
mengenai sistem tentunya berkaitan dengan cara kerja suatu gerak dan gerak itu
bisa dirubah dengan membuat gerak baru. Namun sebelum ingin merubah sistem kita
harus mengerti secara cerah mengapa sistem yang ada harus dirubah dan untuk
mengetahui itu tentunya diperlukan suatu pegamatan lalu menganalisnya sebelum
berakhir pada kesimpulan.
Dengan
adanya gambaran secara singkat melalui pengalaman pribadi sebagai seorang anak
petani tentunya tulisan ini membawa pesan tentang peran bagaimana kita harus
bergerak mewujudkan kesejahteraan bagi petani. Kesejahteraan yang ditentukan
dengan kerja keras secara mandiri tanpa harus ada intervensi dari manapun.
Deskripsi Wilayah Desa Wargo Mulyo
Sejak
tahun 1977 warga dari pulau jawa ini mengikuti program transmigrasi di
Kalimantan Tengah, Kabupaten Kuala Kapuas, Kecamatan Kapuas Kuala. Para
transmigrasi ini terbagi menjadi 2 (dua) blok yaitu primer A-4 dan A-7,
rata-rata warganya berasal dari Jawa Timur daerah Tulung Agung, Mojokerto
sebagian kecil dari Tuban. Sudah 35 (tiga puluh lima) tahun warga trans ini
tinggal di pulau borneo berdampingan dengan warga lokal yang kebanyakan dari
daerah amuntai dan kalua Provinsi Kalimantan Selatan. Warga jawa berdampingan
dengan rukun serta damai bersama warga lokal, ditambah lagi pernikahan antara
warga yang berasal dari jawa dengan warga lokal (urang kampung) menambah keharmonisan ini terjadi.
Sistem Politik
Kebanyakan
untuk urusan politik diwarga Desa Wargo Mulyo dipegang oleh warga jawa dengan
menempati posisi dipemerintahan Desa, sedangkan untuk urusan religi (keagamaan)
maka warga lokalah yang mengambil peran ini. Ciri ini juga diperkuat dengan
kecederungan warga jawa untuk mensekolahkan anaknya kesekolah-sekolah negeri,
sedangkan warga lokal sendiri lebih condong mensekolahkan anaknya kepesantren
yang ada di Kalimantan Selatan.
Sistem Ekonomi
Mayoritas
penduduk Desa Wargo Mulyo matapecahrianya adalah dengan bertani padi sebagai
komuditas pokok walaupun sekarang ditambah lagi dengan usaha sampingan yaitu
dibidang properti (pembuatan genteng, batako dan lain-lain), sarang burung
walet dan membuat warung. Perputaran perekonomian warga berada ditangan para
tengkulak padi dimana mereka sebagian besar mempunyai modal yang banyak. Para
tengkulak membeli padi dari warga setelah itu padi yang dibeli dijadikan beras
dan dijual kepengepul yang ada di Palangkaraya, Kapuas dan sebagian lagi ke
Kalimantan Selatan.
Sistem Penghisapan Petani dan Kelemahan
Petani
Petani
wargo mulyo hanya mempunyai tanah dari hasil pembagian program transmigrasi
dengan luas tanah ± 2 ha per/orang. Walaupun sekarang ada beberapa petani yang
bisa memperlebar tanahnya dengan cara membeli yang kebanyakanya dari warga
lokal maupun dari kalangan transmigrasi itu sendiri. Persebaran pembelian tanah
menyasar kelokasi lain yaitu lokasi sekonder 3 maupun didaerah sei bakut[1].
Penjualan tanah yang terjadi tidak lepas dari hasil sistem
penghisapan-penghisapan yang dialami oleh petani tersebut. Penghisapan yang
paling dominan adalah sistem riba atau ijon, dimana mereka yang mempunyai
hutang harus membayar berserta bunganya.
Praktek
riba di Desa Wargo Mulyo hampir menyeluruh melakukan praktek ini tidak saja
warga lokal yang kaya namun juga ada dari kalangan orang jawa. Adapun praktek
penghisapan yang lain berupa riba berbentuk jaminan atau sering disebut dengan menyandai. Sistem menyandai (gadai) dimana hutang yang jatuh tempo di ganti dengan
tanah untuk digarap oleh yang memberi hutang sampai yang mempunyai hutang mampu
membayar hutang tersebut. Jika yang hutang tidak sangup untuk membayar maka
tanah tersebut tetap dapat digarap oleh yang memberi hutang.
Kelemahan
petani warga Desa Wargo Mulyo terletak pada manajamen penjualan padi dimana kelemahan
ini tentunya tidak berjalan secara alami namun oleh ada faktor-faktor yang
menyebakan ini terjadi. Salah satu faktor yaitu dengan adanya penghisapan
melalui ijon dimana perjanjian membayar hutang dengan bunga pada rentang waktu
satu tahun saat musim panen tiba. Sehingga tidak jarang bahwa pada waktu panen
tiba warga yang mempunyai hutang langsung habis hasil panennya untuk membayar
hutang sekaligus bunganya. Kebengisan lain dari para petani kaya yang menjalan kegiatan ijon yaitu
bunga dari hasil hutangan berbentuk padi, dikarenakan padi jika pada waktu
musim tanam diluar pada musim panen maka harga padi akan meningkat.
Disinilah
kelemahan petani dimana mereka tidak memyimpan hasil panennya sampai waktu
harga mahal, alih-alih untuk menyimpan untuk keperluan sehari-hari saja sudah
cukup susah kalau hanya mengandalkan dari padi saja. (bersambung......)
Sahabatmu @ASP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar