Oleh Anthony Nyahu
Mite Penciptaan
Dunia dan Manusia
Masyarakat
Dayak Ngaju Kaharingan percaya bahwa alam semesta tidak terjadi begitu saja.
Ada kekuatan mahadahsyat yang menciptakannya. Begitu pula halnya dengan
manusia. Di dalam mite penciptaan (Ukur, tt:35—38) menyatakan bahwa pada
awalnya Ranying Mahatala Langit dan Jata Balawang Bulau sepakat untuk
menciptakan dunia. Ranying mulai
dengan melemparkan lawung-nya
(sejenis ikat kepala) yang terbuat dari emas dan bertatahkan intan, lalu
jadilah sebuah pohon yang disebut batang
garing atau pohon kehidupan. Pohon ini berdaun dan berbuahkan segala macam
permata, seperti emas, intan, batu-batu mulia dan yang serupa. Lalu Jata melepaskan burung tingang (enggang—pen) dari dalam sangkar emasnya dan hinggap lalu menikmati buahnya.
Melihat kejadian itu, Ranying lalu
melemparkan keris emasnya yang kemudian menjelma menjadi burung tingang jantan yang disebut dengan tambarirang. Burung ini pun hinggap dan
menikmati buah dari pohon tersebut. Kehadiran kedua burung ini mengakibatkan
kecemburuan dan perkelahian sehingga terjadilah perang suci. Perang mahadahsyat
ini mengakibatkan hancurnya batang garing.
Kepingan akibat hancurnya batang garing ini
menjadikan ciptaan lainnya, yakni terciptanya dua anak manusia dan terjelma
juga dua buah kapal (bahtera—pen)
yang terbuat dari emas dan intan. Bahtera emas atau banama bulau yang dilayari oleh wanita pertama bernama Putir Kahukup Bungking Garing.
Bahtera kedua,
yakni banama hintan (bahtera intan)
ditumpangi oleh seorang laki-laki pertama yang bernama Manyamei Limut Garing Balua Unggom Tingang.Kedua manusia pertama
tersebut berada pada masing-masing bahtera dan mengembara di tengah laut, yang
menjadi sumber segala sesuatu yang mengalir. Akhirnya, si pria meminta kepada
si wanita agar menjadi istrinya, yang diterima oleh si wanita dengan syarat:
agar diberikan sebuah daratan untuk ditempati dan di atas tanah didirikan rumah
tempat tinggal. Permintaan tersebut dipenuhi oleh Ranying dan Jata. Lalu
keduanya menjadi pasangan suami isteri yang melahirkan berbagai macam binatang.
Setelah itu lahirlah keturunan manusia yakni (1) Maharaja Sangiang; (2) Maharaja
Sangen; dan (3) Maharaja Bunu.
Ketiga putera ini kelak kemudian memperebutkan sebuah senjata yang diciptakan
orang tua mereka, yang mematikan yaitu sanaman
leteng milik Maharaja Bunu.
Akhirnya dipisahkanlah ketiganya. Maharaja
Sangiang dikembalikan ke Dunia Atas tempat Ranying tinggal, yang menjadi asal segala Sangiang. Maharaja Sangen
tetap tinggal di suatu pulau kediaman mereka yang disebut Batu Nindan Tarung Liang Angkar Batilung Nyaring, kelak menjadi
sumber kisah kepahlawanan. Serta Maharaja
Bunu dikirim ke bumi menjadi moyang manusia yang tinggal di bumi.
Dengan demikian
menurut Ukur bahwa terdapat jelas asal-usul manusia dan Sangiang yang pada awalnya satu alam. Hubungan antara dunia manusia
dan dunia para ilah tidak pernah terputus, setiap kali manusia memohon bantuan
kepada para sanaknya (saudaranya—pen)
di Dunia Atas. Dari sini pula dapat dibangun pengertian bahwa sebutan bagi
manusia yang meninggal dunia disebut buli,
yang berarti pulang –kembali ke asal—pen.
Di dalam perspektif etnoreligi Kaharingan, konsepsi ketuhanan dapat dilihat
dari konteks pembagian kekuasaan. Schärer (1963:18) menyatakan bahwa ada dua
kekuasaan pada alam semesta dalam konsepsi ketuhanan Kaharingan. Kekuasaan
Dunia Atas (upperworld) yang
direpresentasikan sebagai Ranying
Mahatala Langit dengan simbolisasi burung enggang dan Jata Balawang Bulau sebagai penguasa Dunia Bawah (underworld) dan disimbolisasikan dengan
naga atau tambun. Kedua representasi
ini merupakan dwitunggal, sekaligus ambivalen yang merupakan satu kesatuan
divinitas. Kedua penguasa dwitunggal ini memiliki ilah-ilah perantara (lihat
Ukur, tt:30—32) yang menjaga ketertiban kosmos dalam perikehidupan manusia.
Para perantara
tersebut adalah: 1) Raja Pali,
disebut juga Nyaru atau ilah-kilat,
yang bertindak apabila terjadi pelanggaran hadat
atau hukum pali (tabu). Biasanya ia
ambil bagian dalam persidangan-persidangan adat serta memberikan keputusannya
melalui perantaraan Kepala Adat yang mengetuai pengadilan/persidangan adat. Ia
akan menurunkan wabah dan bencana baik kepada individu maupun seluruh kampung.
Ia tinggal di Dunia Atas; 2) Raja Untung atau
Raja Mandurut Bulau Batuang Hintan, Raja
Balawang Bulau, Kanarohan Bapager Hintan. Ia memberikan rejeki, kemakmuran,
dan kekayaan. Tinggal di sebuah sungai Banyahu
Bulau, Bakilat Hintan di Dunia Atas. Oleh karenanya ada ritus Balian Balaku Untung atau Ritual Memohon
Rejeki; 3) Raja Sial atau Tamang Tarai Bulan, Tambun Pantun Garantung.
Tinggal di Bukit Handut Nyahu, Kereng
Tatabat Kilat. Tugasnya mendatangkan kesialan, kekejaman, kecelakaan, dan
kerugian bahkan kematian; 4) Raja Hantuen
atau Raja Haramaung Batulang Bunu,
Balikur Talawang. Ia merupakan sumber petaka dan kerusuhan yang memperalat
manusia yang hidup sebagai keturunan hantuen,
mengganggu manusia dengan meminum darah manusia; 5) Raja Peres atau Raja Puru.
Tugasnya menyebarkan segala macam penyakit dan wabah. Kesemua ilah perantara
tersebut memiliki peran sebagai representasi kekuasaan divinitas, baik Dunia
Atas maupun Dunia Bawah.
Masyarakat
Dayak Ngaju merangkumi semua tatanan etik dan perilaku ke dalam sebuah
pandangan hidup (way of life).
Seperti dipaparkan sebelumnya, Kaharingan sebagai etnoreligi menjadi poin fokus
(focal point) dalam menjelajahi
struktur dalam atau deep structure dari kebudayaan Dayak Ngaju
itu sendiri. Kaharingan di satu pihak sebagai etnoreligi memegang peran penting
bagi terbentuknya hadat sebagai
tatanan perilaku sosial. Schärer (1963) mendefinisikan bahwa hadat sebagai berikut
“hadat rules a
whole of life and thought, and relation between man and the cosmos.It is the
guide through life, and only if a man constantly orients himself by it does he
step surely and go through life as true man who submits himself obediently to
the godhead and carries out its will, and thus receive well-being for himself
and the entire of cosmos”
Hadat tidak semata-mata mengatur hubungan perilaku
antarsesama manusia di bumi, akan tetapi merupakan upaya mempertahankan
harmonisasi dan keseimbangan alam semesta (kosmos). Hadat memiliki peran sentral sebagai aturan hukum tak tertulis dan
pandangan hidup yang merangkumi semua perikehidupan masyarakat Dayak
Ngaju--dari prosesi ritual kelahiran, perkawinan, bermasyarakat hingga
kematian. Oleh karenanya, ritus-ritus sebagai bagian dari pemenuhan hadat dan pemenuhan etnoreligi dalam
konteks harmonisasi kosmos, mutlak untuk dilakukan. Hadat tidak saja memuat tentang konsep etik, tetapi juga menyangkut
amal baik sebagai bagian dari ibadat. Konsepsi ini mempersyaratkan bahwa
apabila terjadi kelalaian pemenuhan hadat
diyakini akan terjadi disharmoni kosmos. Hal ini dapat dilihat pada terminologi
seperti manantarang hadat ‘melanggar
adat’, malawan hadat ‘menentang
adat’, dan mangarak hadat
‘menghancurkan adat’. Jika kondisi ini terjadi, upaya pemulihan harmonisasi
kosmos harus dilakukan perbaikan tatanan—restoration
of order. Apabila diabaikan maka diyakini akan munculnya bencana, wabah,
dan kutukan sebagai hukuman (punishment)
dari Sang Pencipta. Dengan kata lain, seluruh manusia Dayak Ngaju yang tahu hadat akan berperilaku sesuai apa yang
dipersyaratkan oleh hadat agar
terjadi keseimbangan hubungan sesama manusia (horizontal) dan kepada Sang
Pencipta (vertikal). Hadat juga
secara kongkret berperan sebagai regulator
dan katalisator sosial bagi masyarakat Dayak Ngaju. Dengan demikian,
semua tatanan sosial tersebut diharapkan berjalan sesuai hadat, sehingga manusia Dayak (Ngaju) dapat menjadi manusia—yang
menurut Schärer—sebagai sacred people who
lived in the sacred land and get a sacred death, which belongs to a sacred
place (lewu tatau/sorga).
Ritus Kehidupan (Kelahiran, Perkawinan, dan Sosial)
Kebudayaan
Dayak Ngaju adalah sebuah kesatuan dari seluruh rangkaian berpikir, hidup, dan
berperilaku. Masyarakat Dayak Ngaju memandang bahwa kehidupan dan kematian
merupakan anugerah dari Pencipta yang harus disyukuri. Dalam perspektif
etnoreligi Kaharingan, seluruh kesatuan perilaku, hidup, dan etik terangkum
dalam tatanan keseharian yang dikenal dengan hadat atau adat. Ada banyak ritus-ritus lain yang menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat Dayak Ngaju, tetapi hanya bagian-bagian penting yang
dipaparkan di sini.
a. Ritus Kelahiran
Kelahiran
merupakan langkah awal manusia hidup di bumi. Oleh sebab itu, pengucapan syukur
kepada Pencipta harus dilakukan. Ritual pemberian nama bayi dan pendudusan (pembaptisan) dikenal dengan nahunan. Prosesi nahunan dimulai dengan
pembacaan doa-doa oleh bidan kampung atau tetua adat dengan menjejakkan kaki si
bayi ke tanah sebagai ‘bakti bumi’. Bumi sebagai perwujudan petak sintel habalambang tambun dan memandikan bayi tersebut di sungai agar
kelak ia dapat menjaga dua hal: bumi dan air sebagai unsur yang memberikan
kelangsungan kehidupan baginya di masa datang.
b.
Ritus Perkawinan
Perkawinan
merupakan upaya pembentukan manusia baru. Agar kelak manusia baru tersebut
dapat menjadi manusia yang tahu hadat,
maka perkawinan adalah hal yang sakral bagi masyarakat Dayak Ngaju. Perkawinan
yang sakral dan agung hanya boleh dilakukan apabila kedua belah pihak
(laki-laki dan perempuan) memiliki garis keturunan yang sejajar/tidak sumbang.
Artinya, perkawinan hanya boleh dilakukan ketika pertalian hubungan darah dari
keturunan ke tiga (sepupu dua kali) atau lebih. Perkawinan yang dilarang adalah
perkawinan incest dan sala hurui, yakni perkawinan dengan
garis keturunan lebih tinggi atau lebih rendah, misalnya antara paman-keponakan,
kakek-cucu atau sebaliknya. Apabila ini terjadi maka disebut dengan manantarang hadat dengan konsekuensi
harus melakukan ritual restoration of
order dengan berbagai persayaratan berat—dari makan di dulang babi hingga
diusir dan diisolir dari kampung. Ada banyak persyaratan peminangan dan
pra-perkawinan yang harus dipenuhi, di antaranya yang bersifat material
tertuang dalam Surat Pisek dan Jalan Hadat. Kesemuanya dirangkum dalam
prosesi yang cukup melelahkan dan harus dimulai dari tahap ke tahap hingga
selesainya prosesi. Prosesi lengkap di dalam pembahasan lain.
c.
Berladang
Berladang atau mamalan-manana merupakan salah satu
ritual penting dalam kehidupan masyarakat Dayak Ngaju. Berladang dalam konsep
pemikiran dan budaya Dayak Ngaju dan Dayak pada umumnya bukan persoalan
pembalakan hutan atau peladangan berpindah seperti yang distigmakan. Berladang
dalam kebudayaan Dayak Ngaju adalah proses untuk mengembangbiakkan padi sebagai
perwujudan Dewi Sri atau Dewi Padi.
Padi awalnya sebagai makanan para Sangiang yang dicuri oleh Puteri Jampa dari Mahatala karena si Puteri iba melihat
kehidupan manusia di bumi. Oleh karenanya tidak dibenarkan menyia-nyiakan padi,
beras, atau nasi karena ia memiliki roh yang disebut gana. Gana adalah roh
penguasa atas benda-benda alam. Gana
tidak memiliki kekuasaan langsung sebagai perantara ilah-ilah atau raja-raja.
Roh yang terdapat di dalam padi disebut ganan
parei atau bawin parei.
Dengan demikian
selain bertujuan sebagai upaya untuk penyediaan bahan pangan, berladang
merupakan suatu kewajiban manusia Dayak Ngaju untuk terus mengembangbiakkan
tumbuhan surgawi itu di bumi agar tidak punah. Di dalam ritual berladang
setidaknya ada beberapa tahap yang harus dilakukan agar tidak mengalami gagal
panen (diambil dari Agama tuntang Hadat
Katingan Wajah Malan, R. Univ. Biblioteek, Leiden), antara lain: 1) Gawi
Mite Patendu atau Penentuan Musim; 2)Gawi
Mambagi Eka Malan atau Penentuan Lokasi dan ukuran; 3) Gawi Sahelu Bara Mandirik atau ritual sebelum menebas pohon perdu;
4) Gawi Mamanggul atau memohon izin
agar penguasa (gana) tanah setempat
berpindah ke tempat lain; 5) Gawi
Tamparan Dirik atau dimulainya pembukaan ladang dengan melihat petunjuk
mimpi-mimpi; 6) Gawi Maneweng atau
menebang; 7) Gawi Maentai Tana inusul atau
menunggu musim yang tepat untuk membakar agar tidak menjalar dan terjadinya
kebakaran hutan; 8) Gawi Manusul Tana atau
Membakar. Terlebih dulu membuat ‘sekat api’ atau parit-parit kecil di
sekeliling ladang agar tidak merembet ke lahan lainnya; 9) Gawi Lius Manusul atau membersihkan sisa-sisa bakaran; 10) Gawi Manugal atau musim tanam/tugal; 11)
Gawi Katika Ngidam Parei (Tihin Hatue);
dan 12) Gawi Manggetem atau musim
panen.
Ada puluhan
ritual yang menjadi prasyarat dari prosesi di atas sehingga proses berladang
atau membuat ladang bukanlah proses yang sederhana dan sembarangan. Kesemuanya
tidak dilakukan secara individual tetapi dengan konsep ‘pinjam-bayar tenaga’
atau disebut dengan handep.
Ritus Kematian
Menurut Schärer
(1963) ada dua jenis kematian di dalam masyarakat Dayak Ngaju (di dalam
Kaharingan), yang pertama adalah matei
masak (mature dead), yaitu
kematian yang sempurna dari golongan utus
gantung; dan matei manta (premature dead) yakni kematian yang tidak sempurna dari golongan utus randah ‘golongan budak’ dan uluh hantuen (keturunan pengisap darah). Orang-orang dari utus gantung termasuk orang-orang yang taat terhadap hadat. Hanya mereka inilah yang berhak
menuju lewu liau dan ditiwahkan.
Mereka dikuburkan di tempat yang selayaknya, sementara utus randah dan golongan hantuen dikuburkan di hilir kampung dan
tidak dilakukan upacara selayaknya utus
gantung.
Ritus kematian
yang pertama adalah penguburan si mati. Penguburan ini hanya mengantarkan roh
si mati atau liau menuju sebuah
tempat sementara yaitu bukit pasahan
raung. Di sanalah liau menanti
ritus kedua yakni tiwah yang mengantarkannya menuju lewu tatau. Kematian menurut perspektif Kaharingan adalah
‘keberangkatan’ menuju alam baka yang disebut lewu liau. Lewu Liau
tidak sama dengan Lewu Tatau. Lewu tatau adalah imajiner (imaginary) dari sorga sebagai tujuan
akhir kehidupan kekal. Sedangkan lewu
liau adalah bangunan imajiner atas alam baka, yang serba terbalik dan
bersifat sementara. Mahin[1][1] mendefinisikan bahwa lewu liau sebagai alam kematian secara keseluruhan, sementara lewu tatau adalah sorga. Semua orang di
dalam konsepsi ketuhanan Kaharingan masuk ke lewu liau, tetapi tidak
semua orang masuk ke dalam lewu tatau,
kecuali yang sudah ditiwahkan saja.
Konsepsi
Kaharingan telah jelas dalam memandang kehidupan, kematian, dan kehidupan kekal
setelah kematian. Pada dasarnya, kematian dalam pandangan Kaharingan hanya
proses perpindahan ‘kehidupan’. Pengharapan eskatologis di dalam Kaharingan
tentang tujuan hidup setelah kematian secara jelas terlihat dalam tiga hal
menurut Ukur (tt:42—50): a) Tanggapan tentang jiwa; b) pandangan terhadap lewu liau atau alam baka; dan c) makna
ritus kematian. Hardeland (dalam Ukur, tt:42) mempostulatkan jiwa di dalam tubuh manusia menurut
Kaharingan adalah 1) Hambaruan, yaitu daya hidup atau Lebenskraft yang
kembali kepada keilahian setelah manusia meninggal dunia. Oleh Ilah Pencipta, hambaruan ini diolah dan dicampur dengan
tujuh macam zat sehingga dapat menjadi manusia kembali; 2) Panyalumpuk Liau atau Liau Pertama setelah manusia meninggal
dunia lalu terus menuju ke Lewu Liau
(alam baka); dan 3) Liau Karahang atau disebut Liau Kedua, yang merupakan jiwa dari
tulang-tulang, rambut, dan kuku. Liau Kedua
ini tinggal berdiam di peti mati sampai diadakannya ritus kematian. Sedangkan
Zimmermann berpandangan lain yakni jiwa dalam pandangan masyarakat Dayak Ngaju
ada lima: 1) hambaruan, saat kematian ia pergi meninggalkan tubuh kepada Sang
Pencipta. Hambaruan ini kemudian
dicampur dengan tujuh macam zat yaitu: a) kapas
(kapas); b) parei (padi); c) sanaman (besi); d) salaka (perak); e) bulau (emas); f) hintan (intan); dan g) bakal-bereng
itah (bahan tubuh) untuk dapat menjadi manusia baru kelak; 2) panyalumpuk
liau, disebut sebagai liau pertama
yang tinggal di dalam peti mati. Liau ini
dapat bergerak bebas dan dapat mengganggu orang yang masih hidup; 3) Liau
Pantung Lawin Balau Silu, disebut juga liau
kedua, yang pergi ke Bukit Pasahan
Raung, tempat ia tinggal sampai diadakannya upacara kematian; 4) Liau
Karahang Tulang, yakni sebagai substansi rohaniah dari tubuh itu sendiri
dan dianggap menetap dalam tubuh mayat sampai upacara kematian diadakan. Pada
waktunya, dengan percikan danum kaharingan
ia hidup dan kembali kepada Sang Pencipta; dan 5) Liau Hampatung Mate atau
Panyalumpuk Mate. Liau ini kembali ke Mahatala dengan
diantar Tempun Telun setelah melalui
penyucian di laut api. Api penyucian ini dimaksudkan untuk menyucikan manusia
dari dosa.
Konsepsi
Kaharingan tentang jiwa dan roh sangat lengkap dan oleh karenanya, ketika
dilakukan ritus kematian terakhir yakni tiwah sebenarnya adalah proses ritual pemulangan jiwa-jiwa atau liau itu kembali kepada Sang Pencipta.
Jiwa-jiwa yang masih ‘berpencar’ tersebut dikumpulkan kembali oleh tukang hanteran dalam balian agar menempati tempat semula di
mana ia berasal untuk dikembalikan kepada Ranying
Mahatala Langit. Oleh Ranying
Mahatala Langit lalu dicampur lagi dengan tujuh macam zat untuk dihidupkan
kembali menjadi manusia baru yang akan menempati tempat terakhir yang disebut Lewu Tatau (Lewu Tatau Habaras Bulau
Habusung Hintan Hakarangan Lamiang)’Negeri Kaya Raya Berpasir Emas
Bergundukan Intan dan Berkerikilkan Manikam’
atau sorga itu.
Tiwah sebagai ritus terakhir kematian dalam etnoreligi
Kaharingan menyiratkan bahwa pada dasarnya narai je belum uras buli ‘sesuatu yang
hidup harus kembali’. Kembali atau pulang kepada Yang Memiliki, Yang
Menciptakan. Tiwah bukan hanya prosesi mengumpulkan kembali tulang-belulang si
mati lalu memindahkannya ke dalam sandung,
akan tetapi sebagai prasyarat agar si mati dapat menikmati kehidupan kekal di
dalam sorga dengan melewati sebuah prosesi panjang. Prosesi ritual ini dapat
menghabiskan waktu satu hari, tujuh hari atau sebulan penuh tanpa henti
tergantung di daerah mana Kaharingan dianut. Misalnya terdapat perbedaan
prosedur dan cara ritual pada masing-masing daerah antara Kahayan dan Katingan.
Akan tetapi hal tersebut tidak mengurangi substansi dari esensi tiwah itu
sendiri.
Sumber : http://nyahudayak.blogspot.com/2012/05/perspektif-etnoreligi-kaharingan-pada.html
*)
Anthony Nyahu, peminat Budaya Dayak dan
Bahasa Dayak Ngaju, tinggal di Palangka Raya. Email: asnyahu@yahoo.com
Referensi:
Anonim, tt. Agama tuntang Hadat
Katingan Wajah Malan. R. Univ. Biblioteek. Leiden
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian
Kebudayaan. 2006. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mahin, Marko. 2005. Tamanggong Ambo
Nikodemus Djajanegara: Menyusuri Sejarah Sunyi Seorang Temenggung Dayak.
Banjarmasin: Lembaga Studi Dayak-21
Riwut, Tjilik. 2003. Maneser Panatau
Tatu Hiang: Menyelami Kekayaan Leluhur. Palangka Raya: Pusakalima
Schärer, Hans. 1963. Ngaju Religion:
A Conception of God among A South Borneo People. The Hague: Martinus
Nijhoff
Shri-Ahimsa Putra, Heddy. 2009. Strukturalisme
Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Keppel Press
Spradley, James P. 1997. Metode
Etnografi. Terjemahan dari The Ethnographic Interview oleh Misbach Zulfa.
Yogyakarta: Tiara Wacana
Ugang,
Hermogenes. 1983. Menelusuri Jalur-jalur
Keluhuran. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Ukur, Fridolin.
tt. Tantang-Djawab Suku Dajak.
Jakarta: BPK Gunung Mulia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar