Manajemen di Balik Pertanian Dayak Meratus
Oleh: Dr Ir Abdul Haris Mustari MSc, Dosen Fakultas
Kehutanan IPB
Banyak pengalaman berharga diperoleh Tim Ekspedisi
Khatulistiwa ketika berada di Pegunungan Meratus. Yang istimewa adalah
menyaksikan manajemen di balik sistem pertanian mereka yang tradisional.
Suku Dayak yang mendiami Pegunungan Meratus menamai
diri mereka Dayak Meratus. Bagi mereka, bercocok tanam adalah sumber
utama penghidupan. Penduduk asli Kalimantan ini menanam berbagai jenis tanaman
seperti padi, singkong, keladi, pisang, ubi dan berbagai jenis palawija yang
menunjang kehidupan sehari hari.
Padi adalah paling utama karena menjadi makanan
pokok. Padi dalam bahasa Dayak Meratus disebut banih, setiap nama padi didahului
dengan kata banih.
Bagi orang Dayak, padi bukan sekedar makanan pokok
tetapi menjadi jenis tanaman yang disakralkan. Menurut kepala adat di
Kampung Manakili, Imar, padi adalah pemberian langsung Sang Dewata atau Sang
Hyang yang sangat penting bagi mereka.
Padi diperlakukan istimewa, mulai dari
penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan, bahkan setelah dipanen
dan disimpan di lumbung, padi tetap diperlakukan istimewa.
Padi ditanam pada lahan kering dengan sistem
perladangan berpindah dengan rotasi bervariasi lima sampai 10 tahun.
Lokasi perladangan atau pahumaan, mulai dari dataran rendah sampai
lereng-lereng terjal di perbukitan dan pegunungan, bahkan sampai ke lerengan sekitar
70 derajat. Padi menguning di puncak dan lereng gunung adalah pemandangan umum
di sekitar pemukiman Dayak Meratus.
Orang Dayak sering diidentikkan dengan suku
terbelakang, penuh kehidupan mistis, hidup mengembara dan berburu, namun jangan
lupa mereka sangat maju dalam metode pertaniannya. Mereka memanfaatkan
benda-benda astronomi seperti matahari, bulan dan bintang sebagai pedoman
dalam bercocok tanaman.
Secara turun temurun ilmu membaca benda-benda
astronomi itu didapatkan dari leluhur mereka. Mengaji adalah istilah Dayak
Meratus untuk berguru, atau bertanya, betakon, kepada orang-orang tua. Ilmu
Dayak itu tidak tertulis melainkan melalui lisan.
Juli dan Agustus adalah waktu membersihkan lahan dari
tumbuhan berkayu dan semak belukar, bertepatan dengan musim kemarau.
Akhir September ketika puncak musim kemarau, dilakukan pembakaran tumbuhan dan
semak belukar, kadar air tumbuhan yang telah ditebang berada pada titik
terendah, karena itu lebih mudah dibakar.
Sisa pembakaran bahan organik itu menjadi pupuk alami
atau organik tanaman padi dan palawija, sehingga tidak diperlukan pupuk buatan
lagi.
Ketika matahari mulai bergeser ke arah selatan menjauh
dari garis khatulistiwa, pertanda harus mulai menugal, yaitu membuat
lubang tanam benih padi menggunakan tongkat kayu yang ujungnya runcing. Menugal
dilakukan secara gotong royong.
Waktu menugal harus melihat posisi munculnya bola
kuning sang mentari di waktu pagi yaitu sekitar sepuluh derajat Lintang
Selatan. Pada posisi itu, matahari memberi tanda bahwa penanaman
padi harus segera dimulai. Dan posisi matahari itu sesungguhnya tidak
sulit dibaca oleh orang Dayak, karena mereka menggunakan pedoman puncak-puncak
gunung tertentu di lingkungan mereka dimana matahari muncul, dan ini
dibaca dan diwariskan secara turun temurun.
Berbeda ketika menugal dan menanam padi yang dilakukan
secara gotong royong, panen dilakukan sendiri oleh keluarga yang
bersangkutan. Orang Dayak menggunakan kumpai (bambu kecil bulat yang
sisinya ditajamkan), dan ranggaman (anai-anai) untuk memanen padi.
Bagi Dayak Meratus, memanen padi lahan kering
harus menggunakan kedua alat tradisional itu, kecuali padi sawah.
Penggunaan sabit dan mesin perontok gabah tidak diperbolehkan, dianggap pemali
dan tabu, dan apabila pemali itu dilanggar, akan menyebabkan sakit.
Hari pertama panen harus dilakukan oleh
perempuan yang sudah berkeluarga, yaitu ibu rumah tangga dari keluarga
itu. Hari kedua dan seterusnya perempuan gadis dapat membantu.
Keterlibatan laki-laki diperbolehkan mulai hari keempat dan seterusnya sampai
panen selesai.
Agar gabah tidak diserang serangga perusak, mereka
menggunakan bahan tradisional, yaitu daun tumbuhan sungkai (Veronema canescen)
dipotong kecil-kecil kemudian dikeringkan lalu dicampurkan ke dalam gabah yang
disimpan pada lulung. Dengan campuran daun sungkai itu, gabah tahan
disimpan beberapa tahun, tidak dimakan dan dirusak serangga.
Orang Dayak memiliki persediaan padi melimpah.
Beberapa keluarga Dayak bahkan memiliki persediaan padi yang disimpan lima
sampai tujuh tahun lalu.
Padi yang baru dipanen setelah acara Mahanyari dan
telah dimakan untuk pertama kali sebagi simbol bahwa hasil panen padi tahun ini
telah dapat dinikmati, disimpan di lumbung. Sedangkan untuk dikonsumsi sehari
hari adalah padi yang dipanen beberapa tahun lalu.
Suatu pembelajaran mengenai sistem ketahanan
pangan. Dayak memiliki ketahanan pangan yang tinggi, sehingga seperti
ucap mereka: “kami tidak memiliki banyak uang, tapi sugih banih/padi” adalah
benar adanya. Dayak Meratus sangat jarang menjual beras, lebih baik
disimpan bertahun tahun, padi dianggap sakral.
Namun demikian orang Dayak sangat ramah dan suka
memberi beras, termasuk untuk peserta ekspedisi, sering diberi beras oleh
mereka ketika berada di kampung, terlebih ketika selesai menghadiri acara
Mahanyari dan Aruh, pasti rombongan dibekali beras dan lamang.
“Kapan kembali ke Jakarta, saya akan membawakan beras
Buyung, oleh-oleh dari kami” kata Rudinar dari kampung Kiyu menawarkan
kepada kami peserta eskpedisi.
Beras adalah barang berharga, dan sangat layak sebagai
oleh-oleh, apalagi beras buyung yang sangat harum dan enak rasanya, demikian
yang ada di benak Rudinar, pemuda yang telah menjadi guide kami mendaki Gunung
Halau Halau Meratus, dan selama kami menginap di Balai Adat Kampung Kiyu.
(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar