Rabu, 12 September 2012

Menelusuri Jejak Putri Mayang Sari di Bartim


Menelusuri Jejak Putri Mayang Sari di Bartim

Batu nisan Putri Mayang Sari, anak Raja Mata Habang atau yang dikenal dengan Sultan Suriansyah terdapat di wilayah Barito Timur. Mengapa seorang putri dari Kerajaan Banjar dimakamkan di Desa Jaar, Tamiang Layang? Berikut hasil penelusuran wartawan Tabengan.

Pada abad XIV-XV, di wilayah Barito--sekarang Kabupaten Bartim-- konon, keturunan Dayak terbagi atas Dayak Kampung Sepuluh, Benua Lima, Lawangan, dan Paju Epat. Di antara keturunan Dayak, ada garis silsilah yang disebut Uria atau orang kaya terhormat.

Garis Uria ini tidak jatuh pada keturunan Dayak Kampung Sepuluh, Lawangan, atau Paju Epat, melainkan Dayak Benua Lima. Keturunan Uria terdiri dari dua orang Dayak Benua lima yang bernama Uria Mapas Negara dan Uria Rinyam.

Keduanya hidup akur, rukun, dan damai hingga suatu hari terjadi perselisihan paham kepercayaan masalah anutan dalam adat-adat Kaharingan. Uria Rinyam kemudian bermukin di wilayah Kampung Dayak Paju Sepuluh--sekarang Desa Dayu, Kecamatan Karusen Janang--dengan membawa adat-istiadat kepercayaan walaupun ada beberapa benda pusaka yang sama dan kesamaan adat, seperti Abeh dan Batu Maruken.

Seto Lansai (76), juru kunci makam Putri Mayang Sari, Senin (10/1), menceritakan, setelah tumbuh besar di Kampung Dayu, Uria Rinyam yang memiliki wajah rupawan merantau dan bekerja di Kerajaan Banjar di Kayu Tangi--sekarang Kota Banjarmasin, Kalsel--.
Uria Rinyam kemudian dipercaya Raja Banjar Sultan Suriansyah, sebagai pembantu/pengawal kerajaan, karena pengabdian yang setia kepada Raja Banjar. Namun, kepercayaan buyar seketika setelah mengetahui istrinya memiliki hubungan khusus dengan Uria Rinyam.
Ratu Banjar takjub melihat ketampanan Uria Rinyam. Demikian halnya Uria Rinyam, tidak tahan dengan godaan istri sang raja. Kala itu, Sultan Suriansyah memang sering berpergian ke berbagai daerah di hulu Barito karena urusan kerajaan. Lantaran sering ditinggal itulah, Uria Rinyam dan Ratu Banjar mendapat kesempatan untuk berbagi kasih.

Sampai suatu hari, Uria Rinyam mendapat kabar Raja Banjar ingin pulang dari Puruk Cahu ke kerajaannya. Mendengar kepulangan sang raja, Uria Rinyam pun bertolak pulang ke Dayu, tempatnya tumbuh dan besar. Tapi sesampainya di Sungai Barito wilayah Hulu Marabahan, Uria Rinyam berpapasan dengan Sultan Suriansyah dan saling berjabat tangan.

Saat itulah Raja Banjar mulai memendam murka pada Uria Rinyam. Pasalnya, sang raja mencium bau harum minyak wangi Setambol dari tubuh Uria Rinyam yang biasa dipakai istrinya. Konon, minyak wangi yang biasa dipakai istri Raja Banjar itu bisa tercium dari kejauhan 3km.

Sultan Suriansyah hanya bisa memendam amarah. Ia belum memiliki bukti-bukti yang kuat. Setibanya di rumah, sang raja memanggil istrinya untuk bercerita jujur mengapa sampai bau minyak wangi Setambol bisa menempel di tubuh Uria Rinyam.

Kendati sempat berusaha mengelak, istri Raja Banjar akhirnya membuka rahasia. Ia mengakui memiliki hubungan khusus dengan Uria Rinyam secara diam-diam. Hal tersebut membuat Raja Banjar terbakar amarah. Istrinya kemudian diungsikan. Sedangkan Uria Rinyam menerima Patok Bekaka, sebuah patung yang memiliki lambang dengan simbol ukiran khusus sebagai pesan dari Sang Raja. Uria Rinyam diperintahkan segera datang ke Kerajaan Banjar dengan mencukur rambut, karena akan diangkat menggantikan kedudukan Raja Banjar.

Tapi, Uria rinyam memiliki firasat buruk. Sebelum berangkat, dia bertapa untuk mendapatkan kabar apa yang akan terjadi. Ternyata, kabar yang diterimanya, rencana pembunuhan oleh sang raja. Uria segera ‘melihat’ tali kehidupannya. Benar saja, tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan berumur panjang. Singkat kisah, ia tewas dipancung di Kerajaan Banjar.

Mendengar kabar adiknya tewas, Uria Mapas Negara, kakak kandung Uria Rinyam yang tinggal di sebuah kampung bernama Lubuk Kajang di Desa Jaar berniat membalas dendam. Uria Mapas lantas pergi dengan sebilah mandau bernama Langsar Tewomea yang berarti haus akan darah, lapar akan daging. Ia juga membawa sebatang halu (kayu penumbuk padi) pusaka keluarga.

Uria Mapas berlabuh mengikuti alur Sungai Tabalong tembus ke Sungai Banjar--sekarang Sungai Martapura--hanya menggunakan kumpai (rumput ilalang) yang dirakit menjadi sebuah perahu besar. Ia bertekad, di mana kumpai yang dinaikinya itu tertambat, di daerah itulah dirinya memulai perang.
Ternyata, kumpai yang dinaikinya tertambat di sebuah rawai (tempat kurungan ikan) daerah Hulu Marabahan. Di situlah Uria Mapas memulai amukannya dengan menghabisi separuh dari warga Kerajaan Bakumpai, salah satu daerah milik Kerajaan Banjar.

Mendengar hal itu, Raja Banjar mengirimkan pesan Patok Bekaka yang berisi permintaan agar Uria Mapas mau berdamai. Ajakan itu kemudian diterima oleh Uria Mapas. Dalam pesannya, Raja Banjar bersedia memberikan anaknya, Putri Mayang Sari, sebagai pengganti adik Uria Mapas yang tewas.
Sejak itulah, Uria Mapas dan adik angkatnya Putri Mayang Sari hidup di Lubuk Kajang di Desa Jaar, Tamiang Layang. Dia sangat menyayangi adik perempuannya yang cantik itu. Hingga suatu hari, Putri Mayang mandi di Sungai Lubuk Kajang dan mulai sakit-sakitan. Di tempat itulah sang putri kemudian meninggal dunia.

Putri Mayang Sari meninggal pada usia 30 tahun. Dia dilahirkan di Banjar pada Hari Arba (Rabu) tahun 1585 dan wafat pada Hari Arba pula, tahun 1615. Sekitar 13 tahun kemudian, Uria Mapas yang dilahirkan tahun 1569, kemudian wafat tahun 1628.

Dari cerita secara turun-temurun, Seto Lansai menuturkan, Putri Mayang Sari memiliki wajah cantik rupawan serta memiliki rambut nan panjang. “Jika sang putri selesai mandi dan sudah tiba kembali di rumah, rambutnya masih berada di sungai tersebut,” kisah Seto.
Pria kelahiran 31 Desember 1935 yang sudah sekian lama menjadi juru kunci makam Putri Mayang itu menuturkan, banyak peziarah yang datang sepanjang tahun. Mereka berasal dari berbagai daerah, seperti Kalsel, Kalteng, bahkan ada yang datang dari Pulau Jawa. Peziarah umumnya datang karena nazar dan cukup banyak yang niatnya terkabul menjadi kenyataan.

Makam Putri Mayang sendiri berlokasi sekitar 6km dari ibukota Kabupaten Bartim. Lokasi itu hingga sekarang menjadi salah satu salah satu objek wisata legenda dan religi karena diyakini memiliki nilai-nilai magis.

Namun sayang, kondisi makam tersebut kini memprihatinkan. Di bagian atap makam, tampak sejumlah kebocoran. Masyarakat setempat berharap Pemkab Barito Timur mulai melakukan pembenahan.
Melalui Tabengan, Seto Lansai berharap pemerintah segera melakukan perbaikan, terutama bagian atap. Soalnya kebocoran, menurut Seto, dapat menyebabkan kelapukan tiang dan kayu atap makam secara keseluruhan. habibullah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar