Rabu, 29 Agustus 2012

Amplob Warna Coklat Susu Sekda Kalteng meminta klarifikasi kepada Walhi Kalteng


Seri II Cerita Hukum
Amplob Warna Coklat Susu
Sekda Kalteng meminta klarifikasi kepada Walhi Kalteng

Suasana kantor wahana lingukungan hidup Kalimantan Tengah tidak seperti biasanya, halaman parkir penuh sesak dengan kendaran bermotor serta mobil yang menuhi ruang halaman. Didalam kantor sendiri suara gelak tawa serta riuh diskusi menjadi pertanda bahwa kantor walhi kalteng lagi banyak tamu dengan bahan diskusi yang beragam, tentunya masih seputaran lingkungan dan rakyat.

Kondisi inipun secara tidak langsung menyeret diriku untuk terlibat dalam acara tersebut, karena selain menjadi staf kantor juga menjadi tukang bersih-bersih sebagai konsekunesi yang tinggal di kantor. Acara berjalan dengan lancar dimana pembahasan mengenai pemantauan moratorium yang ada dikalimantan tengah dengan kawan-kawan silva gama dari jakarta dan diskusi yang lain membahas tentang rencana tour gabungan ekspedisi Kalimantan dengan kawan-kawan yang lain.

Pada sore itu secara tidak sengaja saya menemukan  sebuah amplob surat warna coklat susu  dengan tulisan Skretaris Daerah Kalimantan Tengah, setelah saya baca bahwa maksud tujuan itu adalah pihak Sekda Kalteng meminta klarifikasi soal pemberitaan media cetak internasional The Jakarta Post, tanggal penerbitan 5 juli 2012 yang sumber beritanya dari Walhi Kalteng.

Surat tersebut saya serahkan kepada bang Arie Rompas selaku Direktur Walhi Kalteng, tiada tangapan yang berarti dari beliau, beliau tetap Cool. Kemungkinan besar beliau sudah meprediksi atas kejadian semacam ini terkait imformasi temuan Walhi masalah moratorium yang ada di Kalimantan Tengah. Saya mencoba menyarankan untuk mendiskusikan ini kebetulan di kantor juga ada Direktur Walhi Kalsel bang Hegar. Sambil menonton acara live tv terkait tulisan twitter Denny Indrayana selaku wakil kementrian hukum dan Ham dalam acara Indonesian Lawyer Club. Disela iklan saya coba memberanikan diri menanyakan terkait surat dari sekda tersebut kepada bang Arie apa yang sebenarnya terjadi, beliau menjelaskan bahwa Gubernur Kalimantan Tengah memberikan rekomendasi pengelolaan kawasan yang bergerak dibidang HTI (hutan tanaman industri) kepada PT.Ramang Agro Lestari disuana iklim moratorium. Moratorium secara sederhana adalah penghentian pemberian izin yang bergerak dibidang lingkungan dengan dasar Intruksi Presiden No.10 tahun 2011 dikawasan yang telah dibuatkan peta oleh pihak Kementrian Kehutanan. Berdasarkan PIPIB (Peta Inidikatif Penundaan Ijin Baru) bahwa rekomendasi yang diberikan oleh Gubernur berada dalam kawasan penundaan izin baru, secara semangat tentunya ini bertentang dengan maksud hadirnya Inpres tersebut. Walaupun secara subtansi Inpres tidak mempunyai kekuatan hukum untuk menjatuhkan sanksi hukum karena sifatnya hanya pada batas koordinasi antara Menteri Kehutanan dengan pejabat  yang ada didaerah.

Keesokan harinya pada pukul 13.30 Wib, setelah saya diajak bang Arie untuk ikut mendampingin beliau untuk menghadiri undangan dari sekda Kalimatan Tengah tentang klarifikasi pemberitaan tersebut, rapat dengar pendapat itupun dimulai. Rapat dibuka oleh Asisten III Sekda Kalimantan Tengah dengan tujuan seperti perihal undangan dan dalam pelaksaan teknis diskusi pihak Pemda Kalimantan Tengah akan menghantarkan diskusi dengan memaparkan hasil rapat yang telah dilaksanakan terkait permasalahan yang sama. Ada tiga (3) intansi yang akan memaparkan tentang posisi hukum penertiban rekomendasi yang ditanda tangani oleh Bapak Gubernur, pertama dari Biro Hukum Sekda Kalimantan Tengah, lalu dilanjutkan oleh penjelasan dari Biro Ekonomi dan yang terakhir dari Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah. Sebelum acara dilanjutkan ternyata Bapak Siun Jarias selaku Sekda Kalimantan Tengah dan juga sebagai pihak pengundang memasuki ruangan dan ikut dalam rapat tersebut. Asisten III Sekda mempersilahkan Bapak Siun untuk memberi sambutan tentang agenda rapat dan memberi masukan terkait diskusi yang ingin dilaksanakan tersebut. Pada pokoknya Bapak Siun mengharapkan agar rapat kali ini merujuk pada solusi terkait pemberitaan yang sudah beradar luas, dan bersama melakukan upaya intropeksi untuk menghambil hikmah dari kejadian ini.

Acara rapatpun dilanjutkan, pihak Biro hukum pertama kali menyampaikan pendapatnya bahwa ada dua opsi yang bisa dilakukan terkait permasalahan ini, pertama pihak Walhi Kalteng melarat pernyataan dalam berita tersebut dan yang kedua pihak Pemda mengambil Haknya yaitu berupa Hak jawab. Sedangkan Biro Ekonomi menyampaikan bahwa luasan rekomendasi telah mengalami perubahan dan terjadi pengurangan sebanyak ± 6.700 Ha, karena memang jumlah tersebut memang berada pada kawasan moratorium. Sedangkan penyampaian yang terakhir dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah selaku perwakilan pemerintah menyampaikan bahwa rekomendasi yang telah ditanda tangani oleh Gubernur Kalteng sudah melalui prosedur sesuai dengan perundang-udangan yang berlaku di Negara ini.

Pada giliranya Direktur Walhi Kalteng menyampaikan klarifikasi terkait pemberitaan tersebut, pada pokoknya bang Arie menerangkan berita yang ditulis oleh The Jakarta Post memang benar bersumber dari Walhi Kalteng. Fokus pemberitaan sebenarnya tidak hanya menyangkut rekomendasi yang ditanda oleh Bapak Gubernur namun juga pada data temun Walhi terkait ketidak patuhan pejabat daerah mengenai moratorium yang berdasarkan Inpres tersebut diantaranya, bahwa Walhi Kalimantan Tengah juga menenukan pemberian perizinan baru berupa izin lokasi yang ditanda tangani oleh Bupati Pulang Pisau. Ini satu rangkain penambahan dari bang Arie tidak hanya menyangkut rekomendasi saja namun juga terhadap yang lain. Berdasarkan pantauan Walhi Kalteng terkait rekomendasi dari Bapak Gubernur, area yang ada dalam rekomendasi itu tegakan kayunya masih bagus dan jika itu nanti akan dijadikan HTI untuk perkebunan karet maka bisa dipastikan deforestasi hutan akan terjadi. Didalam area rekomendasi juga sudah dibuka sebuah jalan yang digunakan oleh masyarakat, masyarakat juga ingin membuat surat keterangan tanah adat untuk kawasan tersebut sebagai dasar kepemilikan berdasarkan Pergub Kalimantan Tengah tentang tanah adat dan hak-hak adat diatas tanah, jika rekomendasi ini berjalan dan disetujui oleh Kementrian pasti akan menimbulkan konflik baru.

Setelah penjelasan masing-masing akhirnya diputuskan bahwa Pemda akan memakai Hak Jawab kepada pihak The Jakarta Post sesuai dengan perundang-perundangan sedangkan Walhi Kalteng akan memakai Hak Koreksinya terkait pemberitaan tersebut.

Hak Jawab dan Hak Koreksi

Tentunya jika berbicara tentang Hak maka yang ada dalam benak kita berkaitan dengan sesuatu hal yang boleh diambil atau tidak yang melekat pada diri seseorang. Berkaitan pemberitaan maka kita memusatkan perhatian kita pada Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang pers.  Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Sedangkan Hak Jawab diatur dalam pasal 1 ayat 11 “ Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya “. Pihak pers wajib menangapi hak jawab tersebut seperti tertuang dalam pasal 5 ayat 2 “Pers wajib melayani Hak Jawab”.

Sedangkan Hak koreksi diatur dalam pasal 1 ayat 12 dan 13 yaitu :
Pasal 1
Ayat 12 Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Ayat 13 Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.

Saran-Saran

Untuk cerita hukum berseri kali ini, saya ingin menyarankan kepada semua pihak bahwa propesionalitas dalam bidang pekerjaan harus dikedepankan serta bertangung jawab atas propesi masing-masing. Ruh Undang-Undang Pers adalah semangat kebebasan untuk menyampaikan kebenaran anak kandung dari masa reformasi.

Dalam dunia pers juga dikenal dengan istilah kode etik, maka seyogyanya media adalah sarana penyampaian kebenaran yang berbasis kepada fakta temuan. Namun juga perlu diingat tentang check and balance dalam pemuatan berita agar pemberitaan itu berimbang bukan karena pesanan.

Semoga kebenaran untuk keadilan menyasar kepada yang berhak, keadilan yang membela kepada Rakyat tertindas, karena kehendak Rakyat adalah kehendak Tuhan.

Selalu Berbagi Sahabatmu, Palangka Raya, Kamis 30/08/2012, 0:35 Wib.
Aryo Sang Penggoda !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar