Palangkaraya, Kompas - Potensi sengketa lahan
antara masyarakat dan perusahaan perkebunan di Kalimantan Tengah
tergolong tinggi. Persoalan itu harus segera diantisipasi untuk mencegah
konflik yang sebelumnya sudah terjadi di beberapa daerah.
Sekretaris Daerah Kalteng Siun Jarias di Palangkaraya, Kalteng, Jumat (10/2), mengatakan, pengakuan atas lahan di 600 desa di Kalteng belum jelas. Dampaknya, di desa-desa itu rawan terjadi sengketa lahan. Lahan-lahan tersebut umumnya berupa tanah dan hutan adat yang diturunkan sejak nenek moyang.
Pengakuan belum diperoleh setidaknya jika mengacu kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lahan yang diakui masyarakat lokal di desa-desa tersebut merupakan tanah adat yang diwariskan sejak dulu, bahkan sebelum negara Indonesia terbentuk.
”Namun, secara perundang- undangan, kepemilikan tanah belum diakui. Kalau lihat peta Badan Pertanahan Nasional Kalteng, mana wilayah yang merupakan tanah adat belum jelas,” tuturnya.
Belum adanya pengakuan itu mencakup lebih dari 50 persen dari jumlah total desa di Kalteng, sekitar 1.130 desa. Pengakuan harus diberikan agar masyarakat di desa-desa itu bisa hidup tenang. Sementara pengakuan terhadap tanah belum diperoleh, pemberian izin-izin untuk usaha terus berlangsung.
”Belum ada pengakuan resmi lalu investasi masuk. Maka, terjadi beda pendapat dan konflik. Bagaimana nanti anak cucu dan keturunan masyarakat di desa-desa itu,” ujar Siun.
Juru Bicara Front Perjuangan Rakyat-Kalteng Aryo Nugroho mengungkapkan, peristiwa di Bima dan Mesuji beberapa waktu lalu menunjukkan pemerintah gagal meredam konflik lahan. ”Kami tak menginginkan konflik agraria menelan korban di Kalteng.” ucapnya.
Tidak terlibat
Dari Kalimantan Selatan dilaporkan, warga Dayak di Pegunungan Meratus mengaku selama ini mereka tidak terlibat dengan konflik lahan di Kalimantan Selatan. Justru mereka mengaku telah dijadikan kambing hitam oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Para oknum itu mengembuskan isu bahwa warga Dayak ”turun gunung”.
Hal ini dikemukakan sejumlah tokoh adat Dayak yang tinggal di Pegunungan Meratus, saat menemui Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin, Jumat (10/2), di Banjarmasin. Sekitar 30 tokoh adat menemui Rudy guna menyampaikan aspirasi terkait konflik lahan akhir-akhir ini.
Suhadi Anang, tokoh adat Dayak dari Hantakan, mengatakan, masyarakat Dayak mencintai kedamaian, menjunjung tinggi adat. Adat tidak bisa digunakan sembarangan.
”Kalau saat aksi terkait konflik lahan ada orang-orang yang menggunakan pakaian tradisi dan membawa senjata, berteriak- teriak di jalan, itu bukan warga Dayak. Itu orang dari luar. Kami dilecehkan,” ujarnya. (BAY/WER)
sumber : http://sains.kompas.com/read/2012/02/11/04255149/Ancaman.Konflik.Lahan
Sekretaris Daerah Kalteng Siun Jarias di Palangkaraya, Kalteng, Jumat (10/2), mengatakan, pengakuan atas lahan di 600 desa di Kalteng belum jelas. Dampaknya, di desa-desa itu rawan terjadi sengketa lahan. Lahan-lahan tersebut umumnya berupa tanah dan hutan adat yang diturunkan sejak nenek moyang.
Pengakuan belum diperoleh setidaknya jika mengacu kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lahan yang diakui masyarakat lokal di desa-desa tersebut merupakan tanah adat yang diwariskan sejak dulu, bahkan sebelum negara Indonesia terbentuk.
”Namun, secara perundang- undangan, kepemilikan tanah belum diakui. Kalau lihat peta Badan Pertanahan Nasional Kalteng, mana wilayah yang merupakan tanah adat belum jelas,” tuturnya.
Belum adanya pengakuan itu mencakup lebih dari 50 persen dari jumlah total desa di Kalteng, sekitar 1.130 desa. Pengakuan harus diberikan agar masyarakat di desa-desa itu bisa hidup tenang. Sementara pengakuan terhadap tanah belum diperoleh, pemberian izin-izin untuk usaha terus berlangsung.
”Belum ada pengakuan resmi lalu investasi masuk. Maka, terjadi beda pendapat dan konflik. Bagaimana nanti anak cucu dan keturunan masyarakat di desa-desa itu,” ujar Siun.
Juru Bicara Front Perjuangan Rakyat-Kalteng Aryo Nugroho mengungkapkan, peristiwa di Bima dan Mesuji beberapa waktu lalu menunjukkan pemerintah gagal meredam konflik lahan. ”Kami tak menginginkan konflik agraria menelan korban di Kalteng.” ucapnya.
Tidak terlibat
Dari Kalimantan Selatan dilaporkan, warga Dayak di Pegunungan Meratus mengaku selama ini mereka tidak terlibat dengan konflik lahan di Kalimantan Selatan. Justru mereka mengaku telah dijadikan kambing hitam oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Para oknum itu mengembuskan isu bahwa warga Dayak ”turun gunung”.
Hal ini dikemukakan sejumlah tokoh adat Dayak yang tinggal di Pegunungan Meratus, saat menemui Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin, Jumat (10/2), di Banjarmasin. Sekitar 30 tokoh adat menemui Rudy guna menyampaikan aspirasi terkait konflik lahan akhir-akhir ini.
Suhadi Anang, tokoh adat Dayak dari Hantakan, mengatakan, masyarakat Dayak mencintai kedamaian, menjunjung tinggi adat. Adat tidak bisa digunakan sembarangan.
”Kalau saat aksi terkait konflik lahan ada orang-orang yang menggunakan pakaian tradisi dan membawa senjata, berteriak- teriak di jalan, itu bukan warga Dayak. Itu orang dari luar. Kami dilecehkan,” ujarnya. (BAY/WER)
sumber : http://sains.kompas.com/read/2012/02/11/04255149/Ancaman.Konflik.Lahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar