oleh : Martin Suryajaya
“Materialisme adalah konsepsi filsafat Marxis, sedang dialektika adalah metode-nya”
 sedangkan “materialisme historis adalah penerapan atau pengenaan 
materialisme dialektik ke alam sejarah manusia”—demikian tutur Njoto 
dalam kuliahnya di tahun 1961.1
 Kedua pernyataan tersebut dapat kita uraikan dalam tiga pokok 
pengertian: materialisme, dialektika dan historisitas. Melalui uraian 
atas pokok-pokok ini kita akan mengerti apa yang dimaksud sebagai 
“berpikir dengan pendekatan materialisme dialektis dan historis”.
1. Materialisme
Seperti kita ketahui secara umum, materialisme pada 
mulanya merupakan gugus pengertian bahwa materi (ikhwal indrawi) adalah 
hakikat dari realitas. Marx merubah pandangan umum ini. Baginya, 
materialisme macam itu hanya benar untuk materialisme klasik hingga abad
 ke-18. Dalam Tesis pertamanya tentang Feuerbach, Marx menunjukkan 
pengertian baru dari materialisme:
Kekeliruan mendasar dari materialisme yang ada sampai saat ini—termasuk juga Feuerbach—adalah bahwa benda [Gegenstand], realitas, keindrawian, dimengerti hanya dalam bentuk obyek [Objekt] atau kontemplasi [Anschauung], tetapi tidak sebagai aktivitas indrawi manusia, praktik, [atau dengan kata lain] tidak secara subyektif.2
Materialisme sebelum Marx hanya memahami materi sebagai obyek indrawi
 belaka. Pengertian ini tak mampu menyadari bahwa obyek-obyek material 
itu adalah juga hasil dari aktivitas subyektif manusia. Sentralitas pada
 obyek ini dibalikkan oleh Marx dengan menunjukkan peran sentral subyek,
 manusia, dalam konstitusi materialitas hal-ikhwal. Dengan pendekatan 
yang dapat disebut sebagai “materialisme subyektif” inilah Marx lantas 
dapat menunjukkan sesuatu, selain obyek material, yang konstitutif 
terhadap realitas. Sesuatu itu tak lain adalah laku, kerja, praxis.
Pengertian Marx tentang materialisme ini merupakan sesuatu yang baru 
dalam sejarah pemikiran. Pengertian ini pulalah yang, dalam tafsir 
Etienne Balibar, untuk pertama kalinya mampu melepaskan materialisme 
dari idealisme.3
 Selama materialisme hanya berhenti pada primasi pada materi sebagai 
esensi realitas, maka materialisme itu tak akan lebih dari “idealisme 
terselubung” (disguised idealism). Berdasarkan konseptualisasi Marx yang baru, kini materialisme menjadi subyektif dan terekspresikan dalam praxis konkret. Pembaharuan ini juga, bagi Balibar, menghasilkan konsepsi baru tentang subyek, yakni persamaan “subyek = praktik”.4
 Materialisme Marx adalah pengertian bahwa keseluruhan obyek yang 
menyusun realitas ini tak lain adalah efek dari aktivitas subyek. 
Dipahami dalam kerangka ini, tak ada yang sepenuhnya natural dalam 
realitas keseharian, tak ada nostalgia akan kemurnian azali. Kenaikan 
harga sembako tidaklah alami, begitu juga hutan-hutan yang jadi gundul 
di Kalimantan, pemanasan global dan matinya seorang buruh pabrik. 
Semuanya adalah efek dari konfigurasi aktivitas manusia yang tertentu. 
Sikap kritis yang menolak untuk memandang realitas secara natural dan 
mengakui adanya intervensi subyektif yang justru mengkonstitusi 
kenyataan sehari-hari inilah yang disebut Njoto sebagai konsepsi materialis.
2. Dialektika
Kita juga tahu bukan Marx yang pertama kali berbicara mengenai 
dialektika. Sejak Platon, pemikiran filosofis senantiasa dicirikan 
dengan sifat dialektis. Sokrates, junjungan Platon, sendiri berfilsafat 
dengan dialektika, dengan dialog (ingat: asal kata Yunani dari 
dialektika adalah dialegesthai yang artinya “dialog”). Namun 
dari Hegel lah Marx menimba pelajaran mengenai dialektika. Pengandaian 
dasar dialektika Hegel adalah relasionalisme internal, yakni 
pengertian bahwa keseluruhan kenyataan, dipahami sebagai 
manifestasi-diri Roh, senantiasi terhubung satu sama lain dalam jejalin 
yang tak putus. Secara logis, term A hanya bisa dimengerti sejauh ada 
juga term non-A yang darinya A ditentukan sifatnya. Secara ontologis, 
Ada dapat dimengerti sejauh ia koeksis dengan Ketiadaan: Ketiadaan 
internal dalam definisi Ada dan Ada internal dalam definisi Ketiadaan. 
Relasionalisme internal segala hal-ikhwal inilah yang memungkinkan 
terwujudnya determinasi resiprokal antar elemen dari realitas. Dengan 
berlandaskan pengertian Spinoza bahwa “omnis determinatio est negatio”
 (semua determinasi adalah negasi), bagi Hegel, relasi determinasi 
resiprokal ini adalah pula relasi negasi resiprokal: afirmasi (A), 
negasi (non-A) dan afirmasi pada tataran yang lebih tinggi atau “negasi 
atas negasi” (non-non-A yang mencakup intisari A dan non-A). Inilah yang
 biasanya kita kenal sebagai dialektika antara tesis-antitesis-sintesis.
 Dialektika inilah yang dimengerti Hegel sebagai dinamika internal dari 
realitas dan pikiran.
Lantas bagaimana posisi Marx pada fase penggarapan Kapital terhadap
 dialektika Hegel itu? Pertanyaan ini sulit dijawab. Marx sendiri hanya 
mengomentari hal ini secara eksplisit satu kali, yakni dalam Kata 
Pengantar untuk Edisi Kedua dari Das Kapital jilid satu. Konteksnya adalah tuduhan yang dilayangkan peresensi Jerman dan Russia atas buku Kapital. Dalam resensinya mereka menyebut bahwa traktat tersebut dipenuhi oleh “sofisme Hegelian”.5 Terhadap tuduhan ini, Marx menjawab:
Metode dialektis saya, pada fondasinya, tidak hanya berbeda dari kaum
 Hegelian melainkan tepatnya beroposisi dengannya. Bagi Hegel, proses 
pemikiran, yang ia transformasikan menjadi subyek independen di bawah 
nama ‘Idea’, merupakan pencipta dunia riil, dan dunia riil hanyalah 
penampakan eksternal dari idea. Dengan saya, kebalikannya menjadi benar:
 yang-ideal tidak lain dari dunia material yang direfleksikan dalam 
pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk pemikiran.6
Dari pernyataan ini, seolah Marx sepenuhnya memisahkan pengertian 
dialektikanya dari pengertian Hegel atasnya. Namun ini tidak sejelas 
yang kita kira. Dalam paragraf selanjutnya, Marx mendeklarasikan 
bahwa—berhadapan dengan fakta bahwa banyak intelektual Jerman pada 
masanya yang memperlakukan Hegel ibarat Moses Mendelssohn memperlakukan 
Spinoza sebagai “anjing mati”—ia sendiri merupakan murid dari “pemikir 
besar itu”. Namun deklarasi kesetiaan ini kembali dilanjutkan dengan 
distansiasi kritis.
Mistifikasi yang diderita dialektika di tangan Hegel 
tidak membatalkan Hegel sebagai yang pertama yang mempresentasikan 
bentuk gerakan umumnya dalam cara yang komprehensif dan sadar. Dengannya
 dialektika berjalan pada kepalanya. Ia mesti dibalik, untuk 
menyingkapkan inti rasional dalam cangkang mistis.
Dalam bentuk mistisnya, dialektika digemari di Jerman sebab ia seolah
 mentransfigurasi dan mengagung-agungkan apa yang eksis. Dalam bentuknya
 yang rasional, ia merupakan skandal dan ancaman bagi borjuasi dan para 
jurubicaranya sebab ia mengikutsertakan dalam pemahaman positifnya 
tentang apa yang eksis sebuah pengakuan secara bersamaan akan negasinya,
 akan kehancurannya yang tak terelakkan, sebab ia memandang segala 
bentuk perkembangan historis sebagai apa yang ada dalam kondisi cair, 
dalam gerakan, dan karenanya memandang aspek kesementaraannya pula, dan 
sebab ia tak membiarkan dirinya dikesankan oleh apapun,  [sehingga] pada
 esensinya bersifat kritis dan revolusioner.7
Dalam pernyataan tersebut dikatakan bahwa dialektika Marx adalah 
saripati rasional dari cangkang mistis dialektika Hegel. Bagaimana 
deskripsi metaforis ini diterangkan? Dari pernyataan itu pula dijelaskan
 bahwa ia menolak dialektika Hegel sejauh itu dipahami sebagai 
glorifikasi atas apa yang eksis, alias suatu justifikasi atas status quo.
 Dengan demikian, selama dialektika Hegel masih dipahami dalam 
pengertian bahwa segala yang riil (situasi penghisapan, sistem yang 
merepresentasi rakyat dalam parlemen borjuis) niscaya rasional dan 
dengannya menjadi sah untuk eksis dan terus eksis, maka dialektika Marx 
bukanlah dialektika Hegel. Namun, dari penjelasan Marx ini 
saja, tidak ada pengertian yang lengkap tentang relasi dialektika Marx 
dan Hegel. Para komentator Marx sendiri tak pernah memberikan jawaban 
yang seragam atas problem ini. Komentator seperti Magnis-Suseno, 
mengikuti tafsiran Jean-Yves Calvez SJ., cenderung menekankan 
kontinyuitas pemikiran Marx.8
 Implikasinya, tak ada distingsi yang ketat atau patahan dalam pemikiran
 Marx “muda” yang masih Hegelian dan Marx pada fase lanjut (termasuk 
fase penggarapan Kapital). Sebaliknya, komentator seperti Louis Althusser justru menekankan adanya patahan (coupure) radikal yang mengantarai pemikiran Marx muda yang masih Hegelian dan pemikiran Marx lanjut yang samasekali non-Hegelian.9
Oleh karena kerumitan ini, maka dalam kurikulum ini kita tidak akan 
memastikan makna yang tepat dari relasi Marx-Hegel. Biarlah problematika
 ini kita kupas bersama lewat diskusi-diskusi yang intens. Di sini cukup
 dimengerti bahwa Marx berhutang budi pada pemikiran Hegel tentang 
dialektika sebab dengannya realitas dapat dilihat sebagai sesuatu yang 
senantiasa berubah, cair dan bergerak terus menerus. Realitas, dengan 
demikian, adalah efek dari aktivitas subyektif yang, pada gilirannya, 
mendeterminasi aktivitas subyektif itu sendiri. Gerak determinasi 
resiprokal atau gerak dialektis inilah yang juga ditekankan oleh Marx. 
Dialektika, sesuai dengan pendapat Njoto, merupakan metode dari 
materialisme Marxis. Artinya, filsafat Marx yang bertumpu pada konsepsi 
materialis—bahwa yang terselubung pada jantung realitas sesungguhnya tak
 lain adalah praxis subyektif yang jadi material—hanya dapat 
diekspresikan oleh satu-satunya metode yang cocok dengan karakter 
materialis ini, yakni metode dialektika—sebuah modus di mana bendanya 
itu sendiri tidak hadir dalam stabilitas yang diam, melainkan telah 
selalu dalam gerak determinasi bolak-balik yang tak berkesudahan.
3. Historisitas
Kesejarahan merupakan tema sentral dalam diskursus Marx. Kita sering mendengar tentang ramalan Marx
 mengenai tatanan komunis dunia sebagai hasil evolusi dialektika 
sejarah. Seolah-olah Malaikat Sejarah yang bekerja dari balik layar 
realitas tengah merancang suatu Penyelenggaraan Ilahi bagi kaum proletar
 sedunia. Seolah-oleh sejarah akan berpuncak pada suatu konflagrasi 
final antara yang-Baik dan yang-Jahat, antara proletar dan borjuasi, dan
 akan berakhir dalam suatu surga dunia komunis. Pandangan inilah yang 
dikenal sebagai historisisme, atau pengertian bahwa sejarah dipimpin 
oleh suatu teleologi internal. Ada komentator yang menyatakan bahwa historisisme Marx ini merupakan ekses dari ketergantungannya pada filsafat Hegel.10
 Memang kita dapat menafsirkan filsafat sejarah Hegel sebagai konsepsi 
sejarah yang dipimpin oleh suatu teleologi internal sebab sejarah, bagi 
Hegel, pada dasarnya merupakan evolusi-diri Roh menuju pada kesadarannya
 yang paripurna. Inilah salah satu alasan mengapa Althusser bersusah 
payah membersihkan pemikiran Marx lanjut dari pengaruh Hegel. Althusser 
adalah alah seorang dari komentator kontemporer yang menekankan segi 
anti-historisis dari pemikiran Marx. Baginya tafsiran historisis atas 
Marx merupakan pembacaan yang bersifat voluntaristik, yakni pemahaman 
humanis tentang proletar sebagai “misionaris esensi manusia” (missionary of the human essence).11 Padahal, bagi Althusser, jika kita baca sungguh-sungguh Kapital dan bahkan karya-karya awal Marx, kita akan mengerti bahwa historisisme adalah problem yang asing terhadap filsafat Marx.12
Memang benar bahwa konsepsi materialis Marx yang bersifat subyektif, atau menekankan pada praxis,
 dapat mengarah pada pengertian bahwa sejarah pun merupakan hasil 
bentukan manusia dan, oleh karenanya, Marx terjatuh dalam historisisme. 
Apalagi skema Marx yang terkenal tentang infrastruktur (Unterbau) dan suprastruktur (Überbau)
 dapat menjurus pada historisisme: karena infrastruktur ekonomis 
mendeterminasi suprastruktur ideologis, maka perkembangan realitas 
ekonomi lah yang menentukan pembebasan politik dari kelas proletar yang 
terhisap. Pada akhirnya, tafsiran semacam ini akan berujung pada suatu 
iman pada “keniscayaan historis” bahwa kapitalisme akan tumbang dengan 
sendirinya karena kontradiksi internalnya seperti dianalisis Marx dan 
kelas proletar akan menjadi satu-satunya kelas sosial dunia. Namun 
pembacaan seperti ini abai terhadap relasi determinasi resiprokal yang
 menstruktur relasi antara subyek dan sejarah dunia yang melingkupinya. 
Pembacaan historisis itu berpegang pada sebaris frase kunci yang tidak 
berasal dari Marx melainkan dari Engels, yakni “determinasi pada pokok 
terakhir”.13
 Artinya, determinasi pada pokok terakhir ada pada infrastruktur 
ekonomi. Terhadap tafsiran historisis ini, Althusser juga mengajukan 
sanggahan. Ini dilancarkannya melalui elaborasi konsep overdeterminasi (surdétermination),
 yakni relasi determinasi resiprokal di mana pokok yang mendeterminasi 
ikut terdeterminasi oleh apa yang ia determinasikan sendiri.14
 Relasi overdeterminasi inilah yang bagi Althusser dimengerti Marx dalam
 konteks relasi antara infrastruktur dan suprastruktur. Itulah sebabnya 
Althusser dapat menulis: “Dari momen pertama hingga terakhir, jam sepi 
‘pokok terakhir’ tak pernah datang [the lonely hour of the ‘last instance’ never comes].”15 Dengan demikian, tak ada historisisme yang esensial dalam pemikiran Marx.
4. Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis
Setelah kita mencapai pengertian tentang materialisme, dialektika dan
 historisitas dalam pemikiran Marx, kini kita dapat beranjak menuju 
pemahaman akan materialisme dialektis dan historis—atau apa yang kerap 
disebut sebagai MDH. Kita akan mulai dengan uraian tentang asal-usul 
term.16 Tentang materialisme dialektis, term ini sendiri tidak ada dalam corpus Marx-Engels:
 Marx hanya bicara tentang “metode dialektis” sementara Engels tentang 
“dialektika materialis”. Ekspresi “materialisme dialektis” pertama kali 
dipakai oleh Joseph Dietzgen di tahun 1887, salah seorang kawan 
koresponden Marx. Lenin lah yang mempergunakan term ini secara 
sistematis—sesuatu yang, dalam Materialism and Empirio-Criticism (1908),
 ia elaborasi dari karya-karya Engels. Sesudah Lenin, wacana Marxisme 
Soviet terbagi oleh dua orientasi pemikiran: “dialektis” (Deborin) dan 
“mekanis” (Bukharin). Untuk mengatasi perdebatan yang tak kunjung 
selesai di antara kedua kubu ini, Sekretaris Jendral Partai Stalin 
mengeluarkan dekrit di tahun 1931 yang memutuskan bahwa materialisme 
dialektis adalah sama dengan Marxisme-Leninisme. Lantas, pada tahun 
1938, Stalin menjalankan kodifikasi atas ajaran tersebut secara lebih 
lanjut di dalam pamfletnya, Dialectical and Historical Materialism. Kodifikasi Stalin inilah yang dikenal sebagai sistem diamat (singkatan dari dialectical materialism)
 dan diterapkan di sebagian besar negara Komunis. Koreksi penting atas 
kodifikasi Stalin ini datang dari Mao Tse-Tung. Dalam esainya dari tahun
 1937, On Contradiction, Mao menolak ide Stalin tentang 
“hukum-hukum dialektika” dan justru memberikan penekanan pada 
kompleksitas kontradiksi. Kontradiksi, dalam pandangan Mao, tidak 
tunggal melainkan memiliki struktur ganda: di satu sisi terdapat kontradiksi pokok,
 yakni kontradiksi yang tak dapat diperdamaikan (misalnya, kontradiksi 
antara borjuis dengan proletar), dan di sisi lain terdapat kontradiksi tidak pokok yang
 dapat diselesaikan dengan negosiasi (misalnya, kontradiksi antara buruh
 dan petani). Dari penafsiran Mao atas kontradiksi inilah nantinya 
Althusser mengelaborasi konsep overdeterminasi yang tadi telah kita 
bahas secara singkat sebagai kritik atas pembacaan historisis tentang 
Marx.
Apapun penafsiran para komentator tentang materialisme dialektis dan 
historis, ada satu yang tetap, yakni bahwa semuanya mengakui bahwa 
materialisme dialektis dan materialisme historis merupakan ajaran yang 
internal dalam pemikiran Marx sendiri walaupun Marx tak pernah 
menggunakan term-term tersebut secara sistematis. Oleh karena pembahasan
 mengenai materialisme dialektis dan historis ini mengandaikan 
rekonstruksi atas keseluruhan teks Marx, maka kami di sini hanya akan 
membatasi pada pengertian tentang kedua term tersebut berangkat dari 
klarifikasi yang telah kita lakukan atas term materialisme, dialektika 
dan historisitas. Materialisme dialektis merupakan cara berpikir Marx 
tentang realitas, yakni pengertian bahwa realitas tersusun oleh materi 
yang memiliki relasi langsung dengan subyektivitas dan relasi ini pun 
bergerak dalam untaian determinasi resiprokal. Dalam pengertian yang 
lebih sederhana, realitas adalah efek dari mekanisme perjuangan kelas. 
Jika, mengikuti Njoto, materialisme historis merupakan penerapan 
materialisme dialektis kepada kenyataan yang menyejarah, maka 
materialisme historis dapat kita mengerti sebagai gugus pemahaman 
tentang sejarah sebagai ikhwal yang tersusun oleh determinasi resiprokal
 antar subyek dan antara subyek dengan materi obyektif. Atau dalam arti 
yang dipermudah, sejarah adalah efek perjuangan kelas—sebuah efek yang 
bergerak dalam arah ganda, kepada sejarah dan kepada kelas itu sendiri.
1 Njoto, Marxisme: Ilmu dan Amalnya (Jakarta: Penerbit Harian  Rajat), 1962, hlm. 18 & 27.
2 Karl Marx, Theses On  Feuerbach dalam Karl Marx dan  Frederick Engels, Selected Works: Vol  II (Moscow: Foreign Languages  Publishing House), 1958, hlm. 403
3 Lih. Etienne Balibar, The  Philosophy of Marx diterjemahkan oleh  Chris Turner (London: Verso), 2007, hlm. 24.
4 “[T]he subject is nothing other than practice which  has always already begun and continues indefinitely.” Ibid.,  hlm. 25.
5 Karl Marx, Capital:  Volume I diterjemahkan oleh Ben Fowkes  (Middlesex: Penguin Books), 1979, hlm. 100.
6 Ibid., hlm. 102.
7 Ibid., hlm. 103.
8 Franz Magnis-Suseno, Pemikiran  Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia), 1999, hlm. 8.
9
 Althusser menggambarkan transisi ini dalam  beberapa fase: “there is 
the transition from neo-Hegelian  rationalist idealism […] to, 
initially, the humanist materialism  of Feuerbach (1842), then the 
historicist empiricism of The  German Ideology (1845-1846), and  finally, in 1857-1867, when Marx wrote the works that were to  culminate in Capital,  a radically new philosophy (what we call dialectical materialism).  Louis Althusser, The Humanist  Controversy and Other Essays diterjemahkan  oleh GM Goshgarian (London: Verso), 2003, hlm. 231.
10 Andrew Levine, A Future for Marxism? Althusser, The Analytical  Turn and The Revival of Socialist Theory (London:Pluto Press),  2003, hlm. 66.
11 Lih. Louis Althusser dan Etienne Balibar, Reading  Capital diterjemahkan oleh Ben  Brewster (London: Verso), 1979, hlm. 140-141.
12 Lih. Ibid.,  hlm. 143.
13 Engels sendiri sebetulnya tidak menuliskan  seperti itu. Ia menulis: “elemen determinatif dalam sejarah  adalah, pada pokok terakhir,  produksi dan reproduksi kehidupan riil”. Seperti dikutip dari  Etienne Balibar, The Philosophy of  Marx, Op.Cit., hlm. 93.
14 Lih. Louis Althusser, For  Marx diterjemahkan oleh Ben Brewster  (London: Verso), 1997, hlm. 111.
15 Ibid., hlm. 113.
16 Uraian berikut kami dasarkan pada Etienne  Balibar, The Philosophy of Marx,  Op.Cit., hlm. 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar