Seri II Cerita Hukum
Amplob Warna
Coklat Susu
Sekda Kalteng meminta klarifikasi kepada Walhi
Kalteng
Suasana kantor wahana lingukungan hidup Kalimantan
Tengah tidak seperti biasanya, halaman parkir penuh sesak dengan kendaran
bermotor serta mobil yang menuhi ruang halaman. Didalam kantor sendiri suara
gelak tawa serta riuh diskusi menjadi pertanda bahwa kantor walhi kalteng lagi
banyak tamu dengan bahan diskusi yang beragam, tentunya masih seputaran
lingkungan dan rakyat.
Kondisi inipun secara tidak langsung menyeret
diriku untuk terlibat dalam acara tersebut, karena selain menjadi staf kantor
juga menjadi tukang bersih-bersih sebagai konsekunesi yang tinggal di kantor.
Acara berjalan dengan lancar dimana pembahasan mengenai pemantauan moratorium
yang ada dikalimantan tengah dengan kawan-kawan silva gama dari jakarta dan diskusi
yang lain membahas tentang rencana tour gabungan ekspedisi Kalimantan dengan
kawan-kawan yang lain.
Pada sore itu secara tidak sengaja saya menemukan sebuah amplob surat warna coklat susu dengan tulisan Skretaris Daerah Kalimantan
Tengah, setelah saya baca bahwa maksud tujuan itu adalah pihak Sekda Kalteng
meminta klarifikasi soal pemberitaan media cetak internasional The Jakarta Post, tanggal penerbitan 5
juli 2012 yang sumber beritanya dari Walhi Kalteng.
Surat tersebut saya serahkan kepada bang Arie Rompas selaku Direktur
Walhi Kalteng, tiada tangapan yang berarti dari beliau, beliau tetap Cool. Kemungkinan besar beliau sudah
meprediksi atas kejadian semacam ini terkait imformasi temuan Walhi masalah
moratorium yang ada di Kalimantan Tengah. Saya mencoba menyarankan untuk
mendiskusikan ini kebetulan di kantor juga ada Direktur Walhi Kalsel bang Hegar.
Sambil menonton acara live tv terkait tulisan twitter Denny Indrayana selaku
wakil kementrian hukum dan Ham dalam acara Indonesian
Lawyer Club. Disela iklan saya coba memberanikan diri menanyakan terkait surat
dari sekda tersebut kepada bang Arie apa yang sebenarnya terjadi, beliau
menjelaskan bahwa Gubernur Kalimantan Tengah memberikan rekomendasi pengelolaan
kawasan yang bergerak dibidang HTI (hutan tanaman industri) kepada PT.Ramang
Agro Lestari disuana iklim moratorium. Moratorium secara sederhana adalah
penghentian pemberian izin yang bergerak dibidang lingkungan dengan dasar
Intruksi Presiden No.10 tahun 2011 dikawasan yang telah dibuatkan peta oleh
pihak Kementrian Kehutanan. Berdasarkan PIPIB (Peta
Inidikatif Penundaan Ijin Baru) bahwa rekomendasi yang diberikan oleh Gubernur
berada dalam kawasan penundaan izin baru, secara semangat tentunya ini bertentang
dengan maksud hadirnya Inpres tersebut. Walaupun secara subtansi Inpres tidak
mempunyai kekuatan hukum untuk menjatuhkan sanksi hukum karena sifatnya hanya
pada batas koordinasi antara Menteri Kehutanan dengan pejabat yang ada didaerah.
Keesokan harinya pada pukul 13.30 Wib, setelah saya diajak bang Arie
untuk ikut mendampingin beliau untuk menghadiri undangan dari sekda Kalimatan
Tengah tentang klarifikasi pemberitaan tersebut, rapat dengar pendapat itupun
dimulai. Rapat dibuka oleh Asisten III Sekda Kalimantan Tengah dengan tujuan
seperti perihal undangan dan dalam pelaksaan teknis diskusi pihak Pemda
Kalimantan Tengah akan menghantarkan diskusi dengan memaparkan hasil rapat yang
telah dilaksanakan terkait permasalahan yang sama. Ada tiga (3) intansi yang
akan memaparkan tentang posisi hukum penertiban rekomendasi yang ditanda
tangani oleh Bapak Gubernur, pertama dari Biro Hukum Sekda Kalimantan Tengah,
lalu dilanjutkan oleh penjelasan dari Biro Ekonomi dan yang terakhir dari Dinas
Kehutanan Kalimantan Tengah. Sebelum acara dilanjutkan ternyata Bapak Siun
Jarias selaku Sekda Kalimantan Tengah dan juga sebagai pihak pengundang
memasuki ruangan dan ikut dalam rapat tersebut. Asisten III Sekda
mempersilahkan Bapak Siun untuk memberi sambutan tentang agenda rapat dan
memberi masukan terkait diskusi yang ingin dilaksanakan tersebut. Pada pokoknya
Bapak Siun mengharapkan agar rapat kali ini merujuk pada solusi terkait
pemberitaan yang sudah beradar luas, dan bersama melakukan upaya intropeksi
untuk menghambil hikmah dari kejadian ini.
Acara rapatpun dilanjutkan, pihak Biro hukum pertama kali menyampaikan
pendapatnya bahwa ada dua opsi yang bisa dilakukan terkait permasalahan ini,
pertama pihak Walhi Kalteng melarat pernyataan dalam berita tersebut dan yang
kedua pihak Pemda mengambil Haknya yaitu berupa Hak jawab. Sedangkan Biro
Ekonomi menyampaikan bahwa luasan rekomendasi telah mengalami perubahan dan
terjadi pengurangan sebanyak ± 6.700 Ha, karena memang jumlah tersebut memang
berada pada kawasan moratorium. Sedangkan penyampaian yang terakhir dari Dinas
Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah selaku perwakilan pemerintah menyampaikan
bahwa rekomendasi yang telah ditanda tangani oleh Gubernur Kalteng sudah
melalui prosedur sesuai dengan perundang-udangan yang berlaku di Negara ini.
Pada giliranya Direktur Walhi Kalteng menyampaikan klarifikasi terkait
pemberitaan tersebut, pada pokoknya bang Arie menerangkan berita yang ditulis
oleh The Jakarta Post memang benar
bersumber dari Walhi Kalteng. Fokus pemberitaan sebenarnya tidak hanya
menyangkut rekomendasi yang ditanda oleh Bapak Gubernur namun juga pada data
temun Walhi terkait ketidak patuhan pejabat daerah mengenai moratorium yang
berdasarkan Inpres tersebut diantaranya, bahwa Walhi Kalimantan Tengah juga menenukan
pemberian perizinan baru berupa izin lokasi yang ditanda tangani oleh Bupati
Pulang Pisau. Ini satu rangkain penambahan dari bang Arie tidak hanya
menyangkut rekomendasi saja namun juga terhadap yang lain. Berdasarkan pantauan
Walhi Kalteng terkait rekomendasi dari Bapak Gubernur, area yang ada dalam rekomendasi
itu tegakan kayunya masih bagus dan jika itu nanti akan dijadikan HTI untuk
perkebunan karet maka bisa dipastikan deforestasi hutan akan terjadi. Didalam
area rekomendasi juga sudah dibuka sebuah jalan yang digunakan oleh masyarakat,
masyarakat juga ingin membuat surat keterangan tanah adat untuk kawasan
tersebut sebagai dasar kepemilikan berdasarkan Pergub Kalimantan Tengah tentang
tanah adat dan hak-hak adat diatas tanah, jika rekomendasi ini berjalan dan
disetujui oleh Kementrian pasti akan menimbulkan konflik baru.
Setelah penjelasan masing-masing akhirnya diputuskan bahwa Pemda akan
memakai Hak Jawab kepada pihak The
Jakarta Post sesuai dengan perundang-perundangan sedangkan Walhi Kalteng
akan memakai Hak Koreksinya terkait pemberitaan tersebut.
Hak Jawab dan Hak Koreksi
Tentunya jika berbicara tentang Hak maka yang ada
dalam benak kita berkaitan dengan sesuatu hal yang boleh diambil atau tidak
yang melekat pada diri seseorang. Berkaitan pemberitaan maka kita memusatkan
perhatian kita pada Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang pers. Pers adalah lembaga sosial dan wahana
komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik
dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik
maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik,
dan segala jenis saluran yang tersedia.
Sedangkan Hak Jawab diatur dalam pasal 1 ayat 11 “ Hak
Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau
sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya “.
Pihak pers wajib menangapi hak jawab tersebut seperti tertuang dalam pasal 5
ayat 2 “Pers wajib melayani Hak Jawab”.
Sedangkan Hak koreksi diatur dalam pasal 1 ayat 12
dan 13 yaitu :
Pasal 1
Ayat 12 Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk
mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers,
baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Ayat 13 Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan
koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar
yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
Saran-Saran
Untuk cerita hukum berseri kali ini, saya ingin
menyarankan kepada semua pihak bahwa propesionalitas dalam bidang pekerjaan
harus dikedepankan serta bertangung jawab atas propesi masing-masing. Ruh
Undang-Undang Pers adalah semangat kebebasan untuk menyampaikan kebenaran anak
kandung dari masa reformasi.
Dalam dunia pers juga dikenal dengan istilah kode
etik, maka seyogyanya media adalah sarana penyampaian kebenaran yang berbasis
kepada fakta temuan. Namun juga perlu diingat tentang check and balance dalam pemuatan berita agar pemberitaan itu
berimbang bukan karena pesanan.
Semoga kebenaran untuk keadilan menyasar kepada
yang berhak, keadilan yang membela kepada Rakyat tertindas, karena kehendak Rakyat
adalah kehendak Tuhan.
Selalu Berbagi
Sahabatmu, Palangka Raya, Kamis 30/08/2012, 0:35 Wib.
Aryo Sang
Penggoda !