Sabtu, 06 Oktober 2012

Seri IV Cerita Hukum Helaan Napasku Ada Asap Kebakaran Lahan (Refleksi Kebakaran Lahan dan Hutan di Kalimantan Tengah)




Hampir satu (1) bulan terakhir ini asap menyelimuti Kota cantik Palangka Raya, wajahnya yang cantik kini telah tertutup gumpalan kabut putih dengan senyawa racun yang ada didalamya. Secara keseluruhan aktivitas masyarakat Kota Palangka Raya masih relatif berjalan normal dan sebagian warganya saat menjalankan aktivitas harus mengunakan masker penutup hidup untuk menghambat masuknya asap kedalam tubuh warga.

Walaupun hujan buatan sudah sering terjadi namun asap dari hasil pembakaran lahan ini tidak kunjung pergi, malah semakin tebal. Sampai saat ini saya bertanya apa yang dimaksud dengan hujan buatan, apakah hujan buatan itu dimana pesawat membawa sejumlah air lalu membuang kebumi lewat udara. Ternyata hujan buatan adalah suatu tekhnik yang digunakan untuk mempercepat terjadi proses hujan. Hujan buatan dibuat dengan cara menyemai awan dengan menggunakan bahan yang bersifat higroskopik (menyerap air) sehingga proses pertumbuhan butir-butir hujan di dalam awan akan meningkat dan selanjutnya akan mempercepat terjadinya hujan. Awan yang digunakan untuk membuat hujan buatan adalah jenis awan Cumulus (Cu) yang bentuknya seperti bunga kol. Setelah lokasi awan diketahui, pesawat terbang yang membawa bubuk khusus untuk menurunkan hujan diterbangkan menuju awan. Bubuk khusus tersebut terdiri dari glasiogenik berupa Perak Iodida. Zat itu berfungsi untuk membentuk es. Pesawat juga membawa bubuk untuk “menggabungkan” butir-butir air di awan yang bersifat higroskopis seperti garam dapur atau Natrium Chlorida (NaCl), atau CaCl2 dan Urea. Untuk bisa membentuk hujan deras, biasanya dibutuhkan bubuk khusus sebanyak 3 ton yang disemai ke awan Cumulus selama 30 hari [1]

Untuk membuat hujan buatan tentunya tidak gratis namun harus mengeluarkan uang banyak dan Provinsi Kalimantan tengah telah banyak menghabiskan dana untuk membuat hujan buatan ini dengan tujuan berhentinya api dilahan yang terbakar. Operasi pembasahan (hujan buatan) di Kalimantan Tengah merupakan yang paling banyak menyedot anggaran Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB). Totalnya mencapai Rp.9, 18 milyar untuk membuat wilayah hutan menjadi basah dan tidak menimbulkan api [2]. Namun apa upaya pemerintah Kalimantan Tengah ini belum bisa menjinakan sijago merah ini untuk berhenti. Akibat dari kebakaran lahan yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah pengidap penyakit ISPA semakin meningkat. Menurunnya kualitas udara akibat asap mengakibatkan penderita infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) meningkat. Menurut data dari Puskesmas Kurun Hulu, pada bulan Agustus sampai September 2012, kasus ISPA sudah mulai ada peningkatan. Bahkan, dalam dua bulan terakhir berjumlah 277 penderita dan didominasi oleh anak-anak. Kepala Puskesmas Kurun Hulu Rina Sari melalui staf poli umum Yosef Rizal mengatakan, peningkatan ISPA dilihat dari banyaknya kunjungan pasien pada bulan Agustus yang terdata sebanyak 116 dan terdeteksi ISPA, namun pada bulan September meningkat menjadi 161. "Saat ini ISPA sudah mulai ada peningkatan dari bulan sebelumnya karena menurunnya kualitas udara. Berdasarkan data yang ada pada Puskesmas Kurun Hulu mulai peningkatan dari bulan Agustus, dan terus meningkat sampai bulan September. Kunjungan penderita ISPA setiap hari berkisar antara 4-6 orang," [3].

Dengan permasalahan yang sangat urgensi ini malah pemerintah dareah khususnya Walikota Palangka Raya dengan Kabupaten Tentangganya saling lempar tangung jawab, dengan adanya istilah bahwa asap yang ada dikota Palangka Raya akibat kiriman dari Kabupaten sebelah. Bukanya menegak peraturan yang sudah ada sebelumnya tentang permasalahan kebakaran hutan dan lahan. Padahal baru saja tahun kemaren Gubernur Kalteng, A Teras Narang SH, kembali mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Pusat. Penghargaan kali ini, terkait kepedulian dan upaya mencegah kebakaran hutan dan lahan, yang diberikan oleh Kementerian Kehutanan RI. Penyerahan penghargaan tersebut dijadwalkan pada tanggal 18 Juli mendatang bersamaan dengan Rakornis Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) di Jakarta.    “Penghargaan tersebut diberikan Pemerintah Pusat atas kepedulian Gubernur Kalteng mencegah terjadinya kebakaran hutan, lahan dan pekarangan di daerah ini,” jelas Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng, Ir Sipet Hermanto di Palangka Raya, Jumat (15/7). Sebagaimana kita ketahui, jelasnya, bentuk kepedulian Gubernur Kalteng tersebut adalah dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) yaitu Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Kemudian diterbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 52 Tahun 2008 sebagai Petunjuk Teknis, yang diperbaharui dengan Pergub Nomor 15 Tahun 2010 [4].

Tentunya ini menjadi paradoksal dan menjadi tamparan tersendiri bagi Gubernur Kalimantan Tengah dimana beliau mendapat penghargaan namun sekarang seakan-akan penghargaan itu sudah tidak berarti lagi. Sedangkan mengenai penegakan hukum sampai sekarang pihak penegak hukum belum menangkap mereka yang telah secara tidak bertagung jawab membakar lahan dengan sengaja tanpa unsur kelalaian dan juga sudah menimbulkan kerugian. Kapolresta Palangkaraya AKBP Nyoman Artana keterangan terkait penindakan terhadap pelaku pembakar lahan yang ada di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Senin (1/10) mengaku, hingga saat ini pihaknya belum melakukan penindakan terhadap pembakar lahan [5].

    Jika sudah seperti ini fitnah untuk masyarakat secara umum khususnya masyarakat asli Kalimantan Tengah yaitu suku Dayak menyasar kepada mereka. Pola pikir yang harus diluruskan bahwa paradigma mengenai sistem perladangan masyarakat Dayak adalah dengan cara membakar lahan itu menjadi penyebab dari permasalahan kebakaran lahan ini. Menengok kembali kemasa silam dimana pada tahun 1997 kebakaran besar tejadi dilahan gambut  yang ada di Kalimantan Tengah. Kasus kebakaran hutan dan lahan gambut pada tahun 1997 menunjukkan bahwa sekitar 80% dari luas lahan Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) 1,4 juta hektar di Kalimantan Tengah diliputi oleh titik titik panas (hot spots), yang sebarannya semakin banyak ke arah saluran pengatusan (drainase) yang telah dibangun (Jaya et al., 2000; Page et al., 2000). Ancaman itu memang akhirnya terjadi bahwa sekitar 500.000 ha kawasan PPLG di Kalimantan Tengah telah terbakar selama kebakaran tahun 1997 (Page et al., 2000; Siegert et al., 2002) [6]. Bukan karena budaya suku Dayak yang menjadi kebakaran besar dilahan gambut itu terjadi namun karena pembukaan lahan gambut untuk dijadikan lahan pengembangan pertanian dengan cara membabat hutan dan membuat kanal air.

Pembukaan lahan berskala kecil dengan cara membakar di masyarakatKalimantan dan Sumatra telah tumbuh sekitar 200 tahun yang lalu (Lawrence and Schlesinger, 2001; UNDP, 1998). perladangan dilakukan secara berpindah-pindah (shifting cultivation ) dan sistem tabas bakar (slash and burn) yang biasa disebut “swidden agriculture”. Pembakaran terkontrol menurut kearifan lokal masyarakat Dayak adalah menyangkut alat, sumberdaya manusia, dan cara-cara membakar. Jika lahan untuk berladang sudah mengalami penebasan dan kering, maka pembakaran pun dimulai.

Sebelum melakukan pembakaran, masing-masing anggota kelompok membersihkan tatas (sekat bakar) yang telah dibuat sebelumnya dengan menggunakan alat tebas berupa parang dan sebatang kayu untuk mengumpulkan bahan bahan bakar pada tatas (sekat bakar) dipindahkan ke tengah areal ladang yang akan dibakar. Bahan bakar lainnya berupa vegetasi semak dan pohon kecil didalam ladang ditebas hingga rebah. Selanjutnya dikeringkan selama beberapa minggu. Setelah sekat dianggap aman maka salah satu anggota kelompok memulai membakar menggunakan alat korek api, obor bambu, atau obor yang dibuat dari ikatan rumput-rumputan yang sudah kering. Pembakaran dilakukan berlawanan dengan arah angin” Kegiatan pembakaran terkendali tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan bertani.

Terdapat sedikit perbedaan cara penggunaan api di lima desa terpilih walaupun benang merahnya sama yaitu dilakukan secara terkendali (prescribed burning ) dan menghasilkan ladang bersih dari bahan bakar. Persamaan yang lain diantara kelima desa tersebut adalah setiap mengerjakan pembukaan lahan di lakukan secara bersama-sama (bergotong royong) yang disebut “handep” dan “panganrau”. Handep adalah bahasa Dayak Kapuas, sedangkan panganrau bahasa Dayak Maanyan. Khusus Dayak di Lawang Kajang, setelah mendirik dan meneweng sering melakukan acara sesajen yang disebut “mengeriau” dengan maksud meminta ijin kepada leluhur penunggu areal tersebut. Setelah itu baru dilakukan pengeringan hasil tebasan. Kegiatan lain sebagai kelanjutan dari menugal adalah “membawaw” atau “membawan” yang berarti merumput atau menyiangi gulma.Berbarengan dengan kegiatan tersebut dilakukan juga kegiatan “meneseng” atau “itumoang” yang berarti menyulam tanaman mati. Kegiatan lain yang masih berhubungan dengan perladangan adalah “galang binyi” yang berarti menyimpan benih ditempat khusus Distribusi tenaga manusia, jika yang bekerjasama sebanyak 10 orang, adalah sebagai berikut : 3 orang menjaga api loncat/menyebrang di bagian utara atau selatan ladang, 3 orang menjaga api loncat di sebelah timur ladang, 3 orang menjaga api liar di sebelah Barat ladang, 1 orang bertugas menyulut api dari areal berlawanan arah angin.

Sedangkan metode pembakaran yang umum dilakukan adalah sebagaimana disajikan pada Untuk tepi ladang yang berbatasan dengan sungai atau saluran handil, biasanya tidak dijaga karena dianggap aman. Penanganan api yang terlanjur besar dan luas tidak ditemukan dalam tradisi masyarakat Dayak di 5 desa penelitian. Demikian juga tindakan bakar balas (reburn ) dalam suatu kebakaran tidak pernah dilakukan penduduk lokal. Peralatan yang digunakan saat pembakaran terkendali masih tradisional yaitu menggunakan geretan minyak tanah, korek api, parang, ember berair, ikatan rumput ilalang, tongkat kayu, dan cabang/ranting pohon yang diikat sebagai alat pemukul api loncat. Untuk mendukung kegiatan pembakaran terkendali di desa dan pemadaman dini, sebaiknya peralatan yang perlu disediakan di setiap RPK, idealnya mengikuti pengalaman dari Unit PengelolaKonsesi Hutan dapat dilihat dalamTabel 7 ( Nicolas, 1999; Arisman, 1997,Temmes, 1992) [7].

Maka jelaslah kebakaran lahan dan hutan yang terjadi selama ini bukan dari budaya masyarakat Dayak namun mereka adalah oknum masyarakat yang tidak bertangung jawab bdan bahkan telah  melanggarkan ketentuan budaya itu sendiri. Harapan terakhir penulis adalah segera jalan peraturan yang sudah ada mengenai penangulan dan antisipasi kebakaran lahan dan hutan, saat pemerintah daerah tidak saling menyalahkan namun belajar dari praktek/pengalaman yang ada.
Fiat justitia Ruat Coellum (tegakan Keadilan walau langit akan runtuh).
Sahabatmu @Aryo Sang Penggoda !
22:37, Sabtu, 06/10/2012


[2] Radat Sampit, Rabu 12 September 2012, Hlm 1
[6] Kebakaran Hutan Dan Lahan Gambut: Karakteristik Dan Penanganannya, Ahmad Kurnain, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat Jl. Jend. A. Yani Km 36 Banjarbaru 70714  E-Mail: Akurnain@Unlam.Ac.Id

[7] Lihat STUDI KEARIFAN LOKAL PENGGUNAAN API PERSIAPAN LAHAN: Studi Kasus di Hutan Mawas, Kalimantan Tengah (Study of Local Wisdom in Using Fire for Site Preparation : A Case Study at Mawas Forest Area, Central Kalimantan) Oleh/By : Acep Akbar Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Jl. Ahmad Yani Km. 28,7 Landasan ulin Banjarbaru e-mail : acep_akbar@yahoo.com

1 komentar: