Oleh
; Sarwoto Kertodipoero
Tulisan ini
berdasarkan pada tulisan yang dibuat oleh Sarwoto Kertodipoero, BA dengan judul
bukunya Kaharingan Religi di Pehuluan Kalimantan, yang diterbitkan oleh Sumur
Bandung, tahun 1963. Secara khusus Kertodipoero menuliskan mengenai Beras pada
Bab II Ps.2 di halaman 45-49. Penulisan ini berinteraksi di masyarakat Suku
Dusun, Barito Utara.
Selamat membaca
dengan gembira.
Pada waktu itu
manusia ini masih selalu mendapatkan beras dari langit.
PADA SUATU HARI, Kilip Tamun Tau Uma Dajai Lekan Pandai-
dewa pencipta setan-setan mencari-mencari manusia dibumi ini. Setelah lama
membegawan, disuatu kampung yang bernama Neten
Pali bertemu ia dengan sekelompok manusia. Adapun pemimpin dari kelompok
manusia ini adalah Mahadji. Kilippun
segera berkenalan dan bercakap-cakap dengan pemimpin manusia ini.
Kebetulan
pada saat itu manusia sedang bersusah-hati berhubung persediaan berasnya hampir
tidak ada lagi. Hal ini disampaikan juga oleh Mahadji kepada Kilip yang
amat pandai dan suka menolong itu. Maka bertanyalah Kilip;
-
Kemana engkau mau mencari beras itu ?
-
Entah lah, jawab Mahadji,, kami masih
akan mencari-mencari saja
-
Lebih baik aku saja yang mencarikan
-
Oh, baiklah !
Demikianlah Mahadji serta seluruh rakyatnya kini
menunggu hasil usaha Kilip.
Dari Neten Pali, Kilip menuju kesebuah danau, Riong
Olo namanya. Sewaktu sedang mengail ikan didanau tersebut, dari atas pohon lunuk yang tumbuh ditepi danau tersebut
terdengar olehnya suara gemerisik serta kemudian suara seorang perempuan.
-
Hei anak-anakku mengapakan engkau
selalu ribut saja? Tidak tahukah kalian bahwa manusia-manusia akan mati
kelaparan?.
Seketika itu juga keadaan
sunyi senyap. Tapi kemudian terdengar pula suara menyahut;
-
Apa kata ibu tadi ?
-
Saya tidak mau mengulangi lagi, nanti
terdengar orang sahut perempuan tadi.
Ternyata pohon lunuk
ditepi danau itu penuh didiami oleh kujang,
yaitu mahluk-mahluk halus perempuan yang terdiri dari seorang ibu (Indu Kujang)
dengan anak-anaknya.
Mendengar ujar indu
kujang tadi, Kilippun bangkit dan menarik parangnya yang bernama Odak Kilip Ebang Turu-Utek Danan Walo Bane
lalu diancamnya indu kujang;
- Kalau kamu tak mau menerangkan apa
yang telah kamu katakan tadi, tentu akan kutebang pohon ini sampai rebah.
-
Jangan Kilip! Cegah indu kujang saya
katakan tadi, bahwa manusia akan mati kelaparan.
Kilippun bertanya;
-
Bagaimana cara menolong mereka?
-
Mudah saja. Segeralah temui Tamparo Nondo Embo-Lalunganing Singkar
Ongko
Bagaimana cara
menemuinya
- Bawalah ancak kecil-kecil serta
seberkas bambu 7 potong tanpa ruas yang sedang-sedang dan taruhlah semua itu
ditempat Keriring Usang-Tebelak Ola”.
Kilippun segera
menyiapkan ancak-ancak serta benda-benda seperti yang diajarkan tadi dan
membawanya ketempat Keriring
Usang-Tebelak Ola. Disitu mendengar ia suara :
Mengapa kamu kemari
Kilip
menjawab
:
-
Saya perlu menjanjikan makanan untuk
nenek, dan selain itu mananyakan kabar”. Seterusnya iapun menceritakan tentang
Mahadji serta rakyatnya yang sedang kelaparan karena kekurangan beras.
Maka kata suara ghaib
tadi :
-
Baiklah, kalau kamu ingin tahu
bagaimana caranya menolong manusia, datanglah saja kepada Tamparo Nondo Embo-Lalunganing Singkor Olo”.
Kilip
segera pergi ketempat yang ditunjukkan itu. Disitu terdengar olehnya suatu Tamparo:
- Aku tahu maksudmu yaitu menolong
manusia untuk memperoleh beras. Untuk itu datang sajalah kepada Samarikung Mulung di Bawo Langit. Disana pulalah tinggal Luing Ajang, yaitu anak Samarikung
Mulung dan dewi yang menguasai segala macam padi. Uruslah segala sesuatunya
dengan mereka.
Kilippun segera pergi
keBawo Langit. Sampai di Bawo langit bertemulah dengan Samarikung Mulung. Beberapa saat setelah kedua mahluk ghaib ini
berunding, tercapailah kata sepakat Samarikung
Mulung akan membagi-bagikan berasnya kepada manusia di bumi dan manusia
akan menukarnya dengan barang-barang Guci, Gong, piring dsb. Bila manusia
memberikan sebuah guci, maka beras yang diperolehnya adalah sebanyak isi guci
tersebut. Bila ia memberikan gong, sebanyak isi gong itu pula beras yang
diterimanya.
Tukar menukarpun
mulai berjalan.
Dalam waktu singkat,
oleh tukar-menukar itu, Samarikung
Mulung telah menjadi kaya raya, hingga orangpun menyebutnya Soong
Tatau Samarikung Mulung. Tukar menukar berjalan terus, sampai pada saat Mahadji serta rakyatnya kehabisan
barang-barangnya. Maka timbul persoalan lagi : bagaimana mendapatkan beras
selanjutnya ?
Kilip,
demi mendengar manusia mendapat kesukaran lagi segera turun kembali kedunia.
Seperti semula, ia segera pergi kedanau Riong
Olo mengail ikan. Seperti semula pula, disitu ia mendengar suara indu
kujang mententramkan kegaduhan anak-anaknya :
Jangan kalian
bersuka-sukaan. Tak tahukan kalian bahwa Mahadji
sedang terancam kelaparan karena barang-barangnya telah habis?.
Mendengar bisik-bisik
itu Kilip bangkit dan diancamnya
pohon lunuk tempat tinggal kujang itu akan dirobohkan bila indu kujang tidak
menceritakan apa yang telah dibisik-bisikan tadi. Kuatir kalau pohon tempat
tinggalnya ditebang, indu kujang segera
menceritakan segala apa yang telah dikatakan kepada anak-anaknyatadi.
Dikatakannya pula bahwa yang dapat mengatasi kesulitan yang sedang dialami
manusia itu hanyalah Kilip saja.
Kilippun bertanya bagaimana ia dapat mengatasi kesulitan-kesulitan itu. Atas
pertanyaan ini indu kujang menyuruh Kilip
pergi ketempat Keriring Usang Tebelak
Ola.
Kilip
mengikuti petunjuk itu.
Di tempat Keriring ia
mendengar suara ghaib lagi yang menyuruh agar ia mengajukan persoalanya
langsung kepada Tamparo.
Kilip menuruti pula.
Sampai di tempat yang
ditunjukan oleh suara tadi Kilip
mendengar suara Tamparo. Dikatakan Tamparo, jalan satu-satunya untuk
mengatasi bahaya kelaparan yang menimpa manusia dibumi adalah segera menebas,
menebang serta membersihkan tanah didaerah Lingo.
Dan selanjutnya Kilip harus
mengundang seorang algojo yang paling kejam dan ganas yaitu Soong Putes Tamhun Djues-Tokoh Tamun Tohong
turun kebumi yang kemudian disuruh menunggu diladang yang telah ditebas itu.
Selama menunggu hendaknya disembunyikan ia di bawah daun-daun samber. Kemudian, kata Tamparo selanjutnya, Kilip harus mengajak Luing Ajang turun kebumi. Nanti,
sesampai di Lingo, segeralah Putes Tamun Djues membunuhnya di
tengah-tengah ladang dan darah Luing
Ajang tentu akan berubah menjadi beras, yang untuk selanjutnya dan
selama-lamanya dapat diusahakan dibumi sendiri dengan jalan berladang.
Selesai Tamparo memberi petunjuk-petunjuk
tersebut, kembalilah Kilip ke Neten
Pali. Disuruhnya Mahadji berserta rakyatnya segera menebas dan menebang
pohon-pohon membuat sebuah ladang. Sesudah itu ia pun meninggalkan bumi lagi
menuju kelangit. Di Lensanga Walo
(Simpang delapan, sebuah tempat dilangit) ditemuinya Putes Tamun Djues-Tokoh Tamun Tohong, dan segeralah yang terakhir
ini dengan membawa parangnya turun kebumi menunju Lingo. Kilip meneruskan perjalanannya kebawo langit. Disini ketemu
ia dengan Samarikung Mulung. Kepada
Samarikung Mulung ia sampaikan khabar bahwa dibumi beberapa orang ingin bermaksud menghormati Luing Ajang. Selanjutnya Kilip minta izin, agar di perbolehkan
membawa Luing Ajang turun kebumi. Samarikung Mulung serta Diang Serunai,
isterinya, tidak keberatan akan maksud tersebut. Demikian pula hanya dengan
Luing Ajang sendiri.
Demikianlah dewi padi
Luing Ajang dan kilip lalu bersiap dan Kilip lalu bersiap-bersiap untuk turun
kebumi. Tapi sewaktu bangkit dari duduknya dengan sangat terkejut Luing Ajang
mendengar ibu-bapaknya bersin beberapa kali. Dengan cemas iapun duduk kembali. Kepada kilip
dinyatakannya bahwa itu adalah suatu alamat yang tidak baik. Tapi Kilip
mengabaikan kekhawatiran itu dan mengajak segera berangkat. Sesampai mereka
diluar kamar, bersin pula beberapa ekor kucing serta anjing yang ada. Dengan
kejadian yang ganjil ini bertambah yakinlah Luing Ajang bahwa dirinya akan
ditimpa bahaya. Belum cukup tanda-tanda itu, karena sesampai mereka diluar
rumah, hujan rintik-rintik sekonyong-sekonyong turun. Luing Ajang mengeluh :
“Aduh Kilip, menurut
firasat-firasat yang ada, dalam perjalanan ini aku tidak akan selamat. Mungkin
sesuatu bahaya akan menimpaku”.
“Jangan engkau merasa
khawatir”, sahut Kilip, pulang dan pergi tetap dalam jaminanku”.
Sesudah itu, naiklah
Luing Ajang diiringi Kilip kedalam sebuah langkar bulau[1] an
kendaraan itu turunlah kebumi. Tidak beberapa lama antaranya sampailah mereka
ke Lingo. Dengan sangat gembira dan hormat orang-orang menyambut kedatangan
dewi padi itu. Oleh Klip, Luing Ajang dipersilahkan untuk beristirahat
disensulen yang tersedia ditengah-tengah ladang. Luing Ajang berjalan
ketengah-tengah ladang dan beristirahat didalam sensulen yang telah ditunjukan
tadi. Tapi.............sedang ia duduk-duduk melepaskan lelah, bangkitlah Soong
Putes Tamun Djues dari tempat persembunyiannya dan menimpaskan parangnya, tepat
mengenai dirinya. Seketika itu juga ia menjerit dan kemudian ia berkata :
“Perhatikanlah hai
seluruh manusia didunia; sebelum berangkat telah jumpai perbagai baja-baja[2] yang
menyatakan aku akan mendapat bahaya. Inilah suatu pelajaran bagimu, agar
selanjutnya kamu sekalian selalu memperhatikan semua baja-baja”.
Darah Luing Ajang
berhamburan diladang. Bermacam-macam warnanya berbareng dengan itu hujan lebat,
guntur serta angin ribut menimpa bumi. Gelap-gulita meliputi seluruh alam.
Sesaat kemudian, hujan serta nampaklah kini bertebaran segala jenis padi; padi,
ketan, gandum dsb. Sangat banyak. Kilip segera memerintahkan agar Mahadji
mengumpulkan seluruh rakyatnya. Tapi diluar dugaan, beberapa orang diantara
anank-anak Mahadji tidak nampak hadir. Lama dicari disekeliling ladang tidak
juga berjumpa. Sambil berteriak-teriak memangil-mangil nama mereka. Orangpun
terus mencari.
Akhirnya setelah lama orang mencari, dari dalam sebuah hutan
terdengarlah suara-suara, yang kemudian ternyata suara anak-anak Mahadji :
“Kami telah
kelaparan. Jadi kami telah masuk kedalam hutan-hutan mencari makanan. Tapi
sekarang tak dapat lagi kami kembali, karena diri kami telah berubah menjadi
pohon-pohon. Tapi ketahuilah, bahwa pohon-pohon yang berasal dari diri kami
semua akan sangat berguna bagi kamu sekalian. Selanjutnya dan untuk
selama-lamanya, bilamana malapetaka mengancam kamu semua, kumpulkanlah, kami
dan bentuk kami menjadi sapatung[3]. Kami
akan menggantikan kamu menghadapi malapetaka itu[4]”.
Pohon-pohon yang
berbicara tersebut antara lain adalah pohon-pohon Tiwak, deranja, samaneo, puai
teraran, tewok dan lepotung.[5]
Bersamaan dengan
redanya hujan dan angin ribut tadi diatas ladang terdengar suara. Suara itu
mengawang-mengawang :
“Sampai disinilah
bantuanku. Saat ini adalah titik penghabisan aku memiliki semua beras.
Selanjutnya menjadi kewajiban kekal dari kamu sekalian sendirilah untuk mencari
beras; tapi, bilamana kamu ingin mendapat yang lebih banyak, kembalilah kamu
menghormati aku. Kini aku akan kembali kebawo langit.....aku adalah Luing yang
menetap dibawo langit; tetapi aku yang bersama kamu adalah beras ! dan
hendaklah dimaklumi, bahwa hanya dengan perantaraan Beraslah manusia didunia
ini dapat berhubungan dengan alam ghaib, karena Beras adalah aku.........”.
Pada bagian
sebelumnya Kertodipoero di halaman 31 dalam bukunya ini menuliskan tentang
fungsi beras. Pada rakyat dipehuluan Kalimantan beras mempunyai fungsi yang
agak lain dari pada rakyat di kota-kota. Dan kalau orang bertanya, benda apakah
yang sangat penting artinya dalam ritus Kaharingan-lebih penting dari pada
guci, lebih penting dari gong keramat ataupun darah binatang- maka kita dapat
menjawabnya : Beras ! dalam setiap selalu kita dapati orang batatabur (menabur-naburkan beras
putih, kuning dan merah keatas). Dengan itu dimaksudkan memberitahu, meminta
izin atau mengundang para Dewa serta makhluk halus yang lain dialam ghaib.
Untuk maksud itu digunakan beras, karena orang menganggap bahwa beras itu
bernyawa, berjiwa, bermeru’e. Dan meru’e ini pulalah yang mereka harapkan dapat
menghubungkan mereka dengan alam ghaib. Dengarkanlah kata-kata balian dalam
upacara perkawinan ini :
,, Ehem behas !
Nangdangku bitim kilau mangandung batu dju-djung kerapurum. Nyahu angku namuasi
ambun baragantung”.
Ini bahasa Dewa-Dewa
(bahasa sangiang), yang kurang lebih dapat diterjemahkan sebagai berikut :
,, Wahai beras !
Kuutus mengantarkan jiwamu untuk merantau keatas langit lapisan awan “.
[1] Sejenis
kursi atau tandu dari pada emas
[2] Firasat,
alamat, tanda-tanda yang berkenaan dengan suatu hal yang akan terjadi.
[3] Patung
[4] Mythe
ini terang erat hubunganya dengan kepercayaan yang sekarang ada tentang
patung-patung seradiri (patung penganti diri untuk menjadi korban).
[5] Sampai
sekarang kayu-kayu ini pula yang lazim dipergunakan dalam membuat patung-patung
seradiri.