Kamis, 17 November 2016

Urang Banjar



Urang Banjar
Oleh*Aryo Nugroho Waluyo

Beberapa hari yang lalu saya menuliskan ulang mengenai sejarah perkembangan masyarakat di Kalimantan Tengah dengan mengunakan dua buku sebagai referensi. Walaupun dalam tulisan tersebut saya menyebutkan tentang sebuah puzzle yang harus dilengkapi. Artinya walaupun judulnya sejarah perkembangan masyarakat Kalimantan Tengah namun sejatinya belum bisa mengambarkan Kalimantan Tengah secara utuh. Sehingga tulisan tersebut suatu saat harus dikembang lagi.

Kali ini penulis ingin mengali sejarah mengenai perkembangan masyarakat yang ada di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Perbedaan pandangan mengenai asal usul urang banjar tidak mungkin dihindarkan. Mengingat menulusuri sejarah, bak mencari jarum dalam jerami. Bagaimana manusia mampu kembali kemasa lampau ribuan tahun yang lalu, pasti tidak mudah dan pasti menciptakan bebagai macam pandangan terkait masa lalu tersebut. Sehingga perbedaan adalah pupuk untuk memperkaya sejarah itu sendiri. Putaran perdebatan bisa digaris bawahi dengan sebuah pertanyaan, apakah urang banjar berasal dari suku Dayak. Hal ini bertalian dengan  semua litelatur yang saya baca, menuliskan dan bisa disimpulkan bahwa penduduk asli Kalimantan adalah suku Dayak. Disisi lain urang banjar tidak bisa dilepaskan dari sejarah Banjarmasin, khususnya mengenai massa Kesultanan Banjarmasin. Sehingga sekelumit pengantar diatas memompa penulis untuk menuliskan sejarah perkembangan masyarakat banjar atau disebut urang banjar.

Dalam menuliskan ulang urang bajar, penulis masih mengunakan metodelogi nukilan. Sehingga tidak hanya mengambil satu paragraf namun secara kesuluruhan bahasan mengenai urang banjar serta sejarah perkembangannya. Ada tiga referensi yang penulis gunakan dalam menulis urang banjar, Pertama dari sebuah Tesis Sulandjari, mahasiswa pasca sarjana Universitas Indonesia dengan judul Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin (1747-1787). Kedua dari sebuah Disertasi, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syaraif Hidayatullah, Jakarta yang dibukukan dan ditulis oleh  Ita Syamtasiyah Ahyat, buku tersebut berjudul Kesultanan Banjarmasin Pada Abad Ke-19, Ekspansi Pemerintah Hindia-Belanda di Kalimantan. Ketiga dari Makalah Seminar Nasional Menelusuri Sejarah Penanggalan Nusantara, dalam rangka menyambut Dies Natalis ke-62 Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta, yang ditulis oleh Saifudin Ahmad Husen dengan judul Konsep Waktu dan Penaggalan dalam Budaya Banjar.

Sulandjari : Politik dan Perdagangan Lada Di Kesultanan Banjarmasin (1747-1787), Tesis Universitas Indonesia,  Program Pascasarjana, Jakarta, 1991. (Hlm 31-35)

Sekitar abad 14 sampai 18 orang-orang melayu dari pulau Sumatra datang menetap di sepanjang pantai dan sungai di Kalimantan dan di daerah kepulauan “Indonesia “ lainnya. Mereka pada umumnya memainkan peranan yang aktif dalam perdagangan rempah-rempah dan penyebaran agama islam. Orang melayu yang menetap didaerah tertentu, menyesuaikan diri dengan keadaan setempat, sehingga mereka bukan saja hanya berdagang tetapi menjadi petani dan nelayan.

Pada tahun 1747, jabatan penghulu di istana Martapura dipegang oleh orang melayu bernama Kyai Sakalat. Dalam perkembangan orang melayu ini mengadakan hubungan perkawinan dengan orang Padju Epat (penduduk inti banjarmasin), yaitu penduduk yang sudah sejak abad 14 tinggal di Desa Padju Epat di tepi sungai Tabalong daerah Amuntai. Karena perkawinan ini orang Padju Epat menyesuaikan diri dengan bahasa dan agama orang Melayu.

Bahasa yang dipergunakan oleh orang Banjar adalah campuran bahasa Melayu, Jawa serta salah satu bahasa yang berasal dari keluarga bahasa Barito. Diduga orang Banjar merupakan percampuran orang-orang Melayu, Jawa dan Padju Epat. Pengaruh kebudayaan Jawa terlihat pada adat istiadat di istana, bahasa dan gelar jabatan dalam pemerintah serta gelar keturunan. Ini dapat di mengerti mengingat sejak abad 15 Banjarmasin yang waktu masih bernama Negara Daha menjadi daerah yang berada di bawah pengaruh kekuasaan Majapahit. Ketika abad 16 pusat pemerintahan pindah ke Demak dan kemudian berpindah lagi ke Mataram abad 17, status Banjarmasin secara bergiliran tetap berada di bawah pengaruh kekuasaan kedua kerajaan itu.

Di daerah pantai orang Banjar tinggal di rumah-rumah yang didirikan diatas tongak bambu atau kayu, dan biasanya didirikan di tepi sungai. Mereka kemudian menyebar sampai ke hulu sungai. Selain bermata pencahrian sebagai pedagang, mereka juga bercocok tanam dan mencari ikan. Kesatuan sosial masyarakat Banjar berdasarkan ikatan keluarga (Hubangan darah) yang disebut sebagai bubuhan. Bentuk kesatuan sosial yang demikian juga disebut sebagai saomah, saomben dan sakwatan. Pada umumnya bubuhan tinggal bersama dalam satu kampung. Seorang kepala kampung berasal dari salah seorang kepala bubuhan (tetua bubuhan) yang diangkat oleh warganya sendiri dan disyah sultan. Sering terjadi bahwa seorang yang dianggap berjasa kepada sultan langsung diangkat oleh sultan sebagai kepala kampung.

Antara orang Banjar dengan orang Dayak terjadi hubungan perdangangan dengan sistem barter, baik secara langsung maupun melalui perantara orang cina yang sering berlayar sampai kehulu sungai. Sering terjadi bahwa orang Dayak datang sendiri ke pasar-pasar yang terletak di tepi sungai, untuk menukar barang yang dibawanya seperti emas dan hasil hutan, dengan barang yang diperlukan seperti garam dan tembakau. Dalam struktur pemerintahan hubungan yang terjadi diantara dua kelompok etnis itu pada umumnya menunjukan bahwa orang Banjar sebagai mayoritas pemegang kekuasaan yang memerintah atas orang Dayak.

Pelapisan sosial di dalam masyarakat Banjar terdiri dari golongan penguasa yang terdiri dari sudut jumlahnya merupakan minoritas dan biasanya berasal dari keturunan bangsawan, serta rakyat yang disebut “orang Jaba”. “orang Jaba” terdiri atas petani, pedagang dan nelayan wajib memberi tribut kepada penguasa baik berupa barang kebutuhan hidup sehari-hari maupun barang dagangan termasuk juga sebagai golongan “orang jaba” adalah orang-orang pendatang yang menetap dibeberapa daerah Banjarmasin. Mereka mendapatkan kebebasan untuk mencari matapencahrian dengan ketentuan bahwa mereka harus memberikan tribut dan menyatakan kesetiaanya kepada sultan.

“Orang Jaba” ini masih dapat dibagi lagi menjadi “orang mardika” dan budak (pandeling). Yang termasuk “orang mardika” adalah orang yang tidak memiliki hutang kepada orang lain sehingga mereka lebih leluasa mencari dan menikmati keuntungan untuk hidupnya. Kewajiban mereka hanyalah memberi tribut kepada sultan.

Abdi menunjuk kepada orang-orang yang semula berasal dari “orang mardika” tetapi oleh karena hutang yang tidak dapat dibayarnya, maka orang itu terpaksa harus bekerja untuk kepentingan orang yang memberi utang kepadanya sampai hutangnya dapat dilunasi. Apabila tidak dapat mekunasi hutangnya maka orang itu tetap akan menjadi abdi selama hidupnya, bahkan anak keturunannya harus tetap melanjutkan menjadi abdi sampai hutangnya dapat dilunasi.

Lain halnya dengan seorang yang menjadi abdi karena hutang maka seseorang bisa menjadi budak karena ditawan oleh bajak laut yang berlayar di sepanjang pantai Jawa, Madura dan Bali. Pada sekitar abad 17 tawanan semacam itu dijualbelikan sebagai budak di Tanah Bumbu dan Kutai, dari tempat ini selanjutnya dijual lagi ke Banjarmasin. Seorang budak bisa di perdagangkan dan selama hidupnya tetap menjadi budak.
Perbedaan penting antara abdi dengan budak adalah bahwa seseorang abdi bisa merubah nasibnya kembali menjadi “orang mardika” apabila bisa melunasi hutangnya. Sebaliknya bagi seorang budak selama hidupnya tidak pernah bisa merubah nasibnya kembali menjadi “orang mardika”, kecuali atas kemauan tuanya. Dengan demikian bisa di katakan bahwa kedudukan seorang abdi lebih tinggi daripada seorang budak.

Ita Syamtasiyah Ahyat : Kesultanan Banjarmasin Pada Abad Ke-19 Ekspansi Pemerintah Hindia-Belanda di Kalimantan, Serat Alam Media, 2012. (hlm 22-27)

Mengenai asal usul suku Banjar, diduga mereka berasal dari suku Melayu yang datang dari Sumatra dan sekitarnya, mengingat persamaan bahasa yang digunakan suku Banjar dan Melayu. Imigrasi besar-besaran dari suku Melayu ini kemungkinan sekali tidak terjadi satu gelombang sekaligus. Barangkali suku Dayak Bukit yang mendiami Pengununggan Meratus, adalah sisa-sisa dari imigran Melayu gelombang yang pertama. Bahasa mereka dapat diidentifikasikan sebagai bahasa Banjar yang agak kuno, dan mereka tidak punya tradisi mengayau, seperti yang dimiliki oleh suku Dayak lainnya. Mungkin sekali mereka itu pada mulanya mendiami wilayah yang jauh lebih kehilir, tetapi terdesak oleh kelompok yang datang belakangan dan juga dalam proses selanjutnya kelompok-kelompok Banjar mereka pula sehingga akhirnya berada lebih jauh di Pengununggan Meratus.

Kaum imigran Melayu yang datang belakangan inilah barangkali yang menjadi inti dan kemudian, setelah berlalu waktu dan banyak kelompok-kelompok Bukit dan Manyan, dan belakangan kelompok Ngaju, melebur kedalamnya, berkembang menjadi suku Banjar dan membentuk kelompok subsuku. Nama “Banjar”diperoleh ketika pusat kekuasaan berada di Banjarmasin, dan sesuai denganya, maka kesultanan yang memerintah dinamakan Kesultanan Barjarmasin atau kadang disingkat dengan Banjar saja oleh peniliti yang lain. Suku Banjar menjadi warga Kesultanan Banjarmasin. Bahkan, dengan dihapuskannya Kesultanan Banjarmasin pada 1860 oleh Pemerintah Hindia-Belanda, orang Banjar tetap sebagai warga Kesultanan Banjarmasin dan tinggal di Banjarmasin.

Menurut manuskrip Melayu yang disalin oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada 24 Mei 1848 nomor 705, pada abad ke-14 ada koloni orang Hindu datang ke sungai Barito melalui Marabahan dan terus ke sungai Negara. Pimpinan mereka adalah saudagar Ampu Jatmika, yang kemudian membangun kerajaan dengan menaklukan orang Dayak. Kemudian, ia beserta keluarganya menjadi penduduk daerah tersebut dan membangun  wilayah kekuasaannya. Dari sana raja mengambil kata “Banjar Klingtol”. Lama kelamaan, kata itu berubah menjadi “Banjarmasin” atau disingkat Banjar.

Selain itu, menurut penduduk setempat, pada waktu terang bulan, air laut bagian selatan naik ke sungai dan pantai atau disebut “banyu pasang”. Karena banyu pasang itu airnya asin, maka disebut “masin”. Cerita lain mengatakan bahwa istilah itu berasal dari kata “bandarmassi”, yakni nama seorang patih (patih masih) yang berkuasa di daerah sekitar Kuin (Cerucuk). Daerah ini pada abad Ke-16 merupakan pusat pertahanan dan pemukiman saudagar-saudagar Melayu. Ia juga menduduki satu badan pemerintahan di Kerajaan Negara Daha.

Orang Banjar menggunakan bahasa campuran Melayu, Jawa, serta salah satu bahasa yang berasal dari keluarga bahasa Barito. Diduga, orang Banjar merupakan hasil percampuran orang-orang Melayu, Jawa dan Dayak. Orang-orang Banjar tinggal didaerah pantai orang Banjar tinggal di rumah-rumah yang didirikan diatas tongak bambu atau kayu, dan biasanya didirikan di tepi sungai. Mereka kemudian menyebar sampai ke hulu sungai. Selain bermata pencahrian sebagai pedagang, mereka juga bercocok tanam dan mencari ikan. Kesatuan sosial masyarakat Banjar berdasarkan ikatan keluarga (Hubangan darah) yang disebut sebagai bubuhan. Bentuk kesatuan sosial yang demikian juga disebut sebagai saomah, saomben dan sakwatan. Pada umumnya bubuhan tinggal bersama dalam satu kampung. Seorang kepala kampung berasal dari salah seorang kepala bubuhan (tetua bubuhan) yang diangkat oleh warganya sendiri dan disyah sultan. Sering terjadi bahwa seorang yang dianggap berjasa kepada sultan langsung diangkat oleh sultan sebagai kepala kampung.

Dengan potensi kerajaan yang begitu banyak dan beragam tentunya memerlukan pendukung, yaitu penduduk yang tinggal diwilayah Kesultanan Banjarmasin. Pada abad Ke-18, penduduk Kesultanan Banjarmasin berjumlah sekitar 120.000 jiwa, dimana 4/5-nya beragama Islam. Sebagian besar berdiam di sepanjang sungai Martapura, sungai Barito, Sungai Batu Api, dan Karang Intan. Hanya sedikit yang berdiam di daerah cabang-cabang sungai yang jauh di pedalaman, di kampung-kampung dalam gubuk yang kecil. Mereka terdiri atas berbagai macam suku bangsa, yaitu suku Dayak, Melayu, Arab, China dan Jawa yang bercampur baur. Meski mengunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, bahasa komunikasi ini bercampur baur dengan dialek asalnya.

Pada pertengahan abad Ke-19, penduduk Kesultanan Banjarmasin bertambah menjadi sekitar 161.000 jiwa. Di antara berbagai suku bangsa yang datang ke Banjarmasin, yang paling berpengaruh adalah suku Jawa, yang datang sebelum Kesultanan Banjarmasin terbentuk. Pengaruh Jawa terjadi dengan munculnya orang-orang Jawa pada abad Ke-14, yang di pimpin seorang pedagang bernama Ampu Jatmika. Jalur lain yang menjadi titik masuk pengaruh Jawa adalah lewat perkawinan antara Putri Junjung Buih (dari Negara Dipa) dan Pangeran Suryanata (Raden Putra) dari kerajaan Majapahit. Ampu Jatmika adalah pendiri Kerajaan Negara Dipa, juga Candi Agung di dekat Amuntai.

Penduduk asli Kesultanan Banjarmasin ada yang di pantai dan ada yang dipedalaman, di pantai, tinggal suku Bajau, yang pada abad ke-17 pernah hidup sebagai bajak laut. Kemudian, pada abad ke-19, setelah Belanda dapat mengatasi bajak laut tersebut, mereka selanjutnya menjadi nelayan. Selain suku Bajau, terdapat juga suku Melayu. Suku Melayu itu masuk pedalaman bercampur dengan penduduk asli Kalimantan. Juga, menyusul datangnya Pangeran Suryanata, maka mulai masuk unsur Jawa, walaupun tidak sekuat abad ke-17. Suku-suku Melayu ini bermigrasi ke Kalimantan, antara lain, ke Kalimantan Selatan, tepatnya ke Kesultanan Barjarmasin. Suku Melayu tersebut, antara lain, orang Jawa, orang Johor, orang Malaka, orang Palembang dan orang Makasar. Orang Melayu juga terjadi percampuran antara orang Dayak (penduduk asli Kalimantan) dan orang Melayu pendatang. Misalnya, dari Semenanjung Malaka.

Karena perbedaan agama, orang Dayak yang telah menikah dengan orang Melayu tidak lagi disebut orang Dayak, melainkan orang Melayu. Karena orang Melayu tersebut tinggal dalam wilayah Kesultanan Banjarmasin, maka mereka disebut orang Banjar. Sementara, orang Dayak yang beragama Kristen dan Kaharingan tetap menyebut dirinya orang Dayak. Hal ini terjadi diseluruh Kalimantan. Orang Dayak, penduduk asli Kalimantan yang tinggal di pantai wilayah Kesultanan Banjarmasin, lalu terdesak ke pedalaman akibat kehadiran penduduk pendatang.

Hal ini turut juga menyumbang pada meningkatnya jumlah penduduk kota Banjarmasin adalah perdagangan lada. Di samping berperan sangat penting dalam kehidupan perekonomian Kesultanan Banjarmasin, perdangangan lada tentunya melibatkan berbagai kelompok etnis. Mayoritas penduduknya terdiri atas dua kelompok etnis, yaitu orang Banjar, yang tinggal di daerah pantai dan memeluk agama Islam, serta orang Dayak, yang pada umumnya tinggal di pedalaman, menganut kepercayaan kepada roh nenek moyang yang disebut kaharingan.

Orang Banjar menempati status sosial ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang Dayak. Orang Banjar memegang jabatan tinggi dalam struktur pemerintahan di Kesultanan Banjarmasin, seperti sultan dan mantri atau kepala Daerah. Sementara orang Dayak biasanya menempati jabatan rendah di tingkat lokal seperti pembekal atau kepala kampung yang bertugas, antara lain, mengawasi pelaksanaan pengelolaan kebun lada milik sultan dan penyerahan wajib ke istana. Ada syarat mutlak bagi orang Dayak untuk bisa menjabat sebagai pembekal, yakni bersedia memeluk agama Islam. Dengan demikian, agama Islam memegang peranan penting bagi orang Dayak untuk mencapai jenjang yang lebih tinggi dalam struktur sosial masyarakat di Kesultanan Banjarmasin.

Orang Bugis dan China juga mempunyai kedudukan yang cukup pening di Kesultanan Banjarmasin. Pernanan mereka dalam perdangangan mulai terjadi sejak abad ke-17, tetapi tidak terikat secara ketat. Orang Bugis dengan armada perahunya berperan sebagai kekuatan militer yang sering membantu kepentingan Mantri sehinga relatif bebas dari kekuasaan sultan. Hal ini agak berbeda dibandingkan dengan orang China yang peranannya lebih terbatas pada perdangangan saja.

Orang Bugis (dan Makasar) tinggal di pantai-pantai seperti juga orang Jawa. Mereka menempati pesisir Tanah Bumbu dan Pulau Laut. Meski begitu, mungkin juga ada pedagang atau pelaut Bugis yang menetap di kota-kota pelabuhan. Pada sekitar pertengahan abad ke-18, tepatnya 1750, seorang imgran Bugis meminjam tanah di wilayah Tanah Bumbu, yang masih termasuk wilayah Kesultanan Banjarmasin, dan mendirikan Kerajaan Pagatan. Mulai saat itu daerah Pagatan dan daerah lainnya di Tanah Bumbu mulai di pengaruhi oleh budaya Bugis dan mulai terpisah dari wilayah Kesultanan Banjarmasin. Orang-orang Bugis yang telah menetap sejak abad ke-18 atau sebelumnya sudah melebur ke dalam masyarakat Banjar, sedangkan di Pagatan orang-orang Bugis masih mempertahankan adat istiadatnya. Kedati demikian, berkenaan dengan bahasa, baik bahasa Banjar maupun bahasa Bugis dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari. Memang terjadi arus imigrasi perseorangan atau keluarga, tetapi tidak lama kemudian mereka melebur kedalam masyarakat sekitarnya sehingga sukar membedakan dengan orang Banjar “Asli”.

Saifudin Ahmad Husen : Konsep Waktu dan Penanggalan Budaya Banjar (Hlm 120-125)

Etnis Banjar

Orang Banjar menyebut diri mereka sebagai Urang Banjar yang dikenal sangat memiki identitas Islam. Secara genealogis etnis Banjar merupakan percampuran antara orang Melayu sebagai unsur paling dominan dalam kelompok ini, orang Dayak Bukit, orang Dayak Ngaju dan Dayak Manyan. Bagaimana orang Banjar memperoleh identitas mereka dan bagaimana kelompok etnik lain melebur menjadi orang Banjar, dapat diketahui dari sejarah terbentuknya orang Banjar.

Sejarah terbentuk Etnis Banjar

Secara etimologis kata Banjar bisa berasal dari kata banjar yang berasal dari bahasa Melayu, dan atau/ berasal dari kata bandar. Kata banjar dalam konteks ini memiliki dua arti. Pertama, Banjar berarti kampung . Kedua, Banjar berarti berderet-deret seperti layaknya deretan rumah yang terdapat di sepanjang tepi sungai. Dalam perkembanganya kemudian kata Banjar digunakan untuk menyebut kampung yang dihuni oleh orang Melayu, yang sekarang dikenal sebagai kelurahan Kuin. Orang Dayak Ngaju yang tinggal di sekitarnya; di Belitung, Balandean, dan Anjir Sarapat, menyebut tempat pemukiman orang Melayu di sepanjang tepi sungai sebagai Banjar Masih, yang berarti Kampung orang Melayu. Sedangkan penduduknya disebut Oloh Masih. Karena letaknya yang sangat strategis, Banjar Masih menjadi tempat perdangangan yang di kenal dengan Bandar Masih yang berarti Bandarnya orang Melayu. Adalah Bandar ini yang kemudian dijadikan Ibu Kota kerajaan Banjar Islam, dan selanjutnya menjadi Kota Banjarmasin.

Orang Banjar terbentuk dalam tiga periode yang berhubungan dengan perkembangan kerajaan-kerajaan di Kalimantan Selatan.

Periode pertama terjadi pada masa kerajaan tertua di Kalimantan Selatan yaitu Tanjungpura, yang keberadaanya diduga di Kota Tanjung, Ibu Kota Tabalong sekarang. Kerajaan ini diperkirakan ada pada abad ke-7. Pada masa itu terdapat migrasi orang Melayu dari kerajaan Sriwijaya Sumatra, ke pulau Kalimantan, khususnya bagian tenggara. Pada mulanya para pendatang Melayu ini hanya daerah pesisir dan tepi sungai, tetapi akhirnya mereka masuk kepedalaman dan kemudian mendesak penduduk asli, Orang Dayak, untuk pindah lebih jauh kepedalaman. Masuknya orang Melayu dari Sriwijaya membawa pula pengaruh Budha yang pada waktu menjadi agama di sana.

Periode kedua terjadi pada masa Negara Dipa yang muncul abad ke-13 di Amuntai. Pada periode kedua ini berkembang Mitologi tentang Puteri Junjung Buih yang sampai sekarang masih dituturkan oleh Generasi Tua Banjar. Pada masa ini datanglah orang-orang dari daerah Kediri, Jawa Timur yang juga membawa pengaruh Budha. Kedatangan orang-orang Kediri di pimpin oleh Empu Jatmika yang kemudian menaklukan Amuntai Tabalong, Balangan, Petak, Alai, dan Amandit. Empu Jatmika kemudian membangun candi yang disebut Candi Agung di Amuntai. Empu Jatmika menyebut dirinya sebagai Maharaja Candi, mempunyai dua orang putra, yang sulung bernama Empu Mandastana dan si bungsu bernama Lembu Mangkurat yang kemudian di sebut dan di kenal sebagai Lambung Mangkurat. Empu Jatmika bukan seorang keterunan raja, karena itu ia mengatakan pada kedua putranya supaya mereka jangan berharap untuk menjadi raja, tetapi mereka justru harus mencari raja yang sebenarnya dengan jalan bertapa. Seorang putra bertapa di dalam gua dan putra yang lain bertapa didekat pusaran air yang cukup dalam. Tiba-tiba di dekat pusaran air muncul seorang puteri yang kemudian di beri nama Junjung Buih yang mengaku dirinya sebagai calon raja atau ratu Negara Dipa. Puteri itu tidak mau keluar dari pusaran air apabila tidak diberi kain untuk menutupi tubuhnya dan tidak diberi sebuah istana dari batung batulis dan berprada (bambu yang bertulis dan berlapis emas). Puteri itu akhirnya mau keluar setelah permintaannya dipenuhi dan ia minta disebut Puteri Junjung Buih. Puteri Junjung Buih juga disebut sebagai Putri Ratna Jenggala Kediri atau Putri Ciptasari.

Lambung Mangkurat kemudian menjadi pejabat Mangkubumi, berusaha mencarikan  suami bagi Junjung Buih. Dalam mimpi ia berhasil menemukan putra Majahpahit yang bernama Putra Suryanata dan kemudai ia lah yang dijadikan suami Junjung Buih.

Perkawinan antara Junjung Buih dengan Pangeran Suryanata merukan dualisme kosmologis yang terdapat dalam kepercayaan orang Manyan dan Ngaju. Dari perlambangan ini terlihat bahwa terjadi perbaduan antara unsur pendatang dengan unsur Dayak. Kedatangan Empu Jatmika dan Raden Suryanata ke tanah Banjar berarti masuk pula unsur Hindu.

Kemudian muncul Negara Daha setelah Negara Dipa lenyap. Menurut JJ.Ras beralihnya pemerintahan dari Negara Dipa ke Negara Daha disebabkan terjadinya perkawinan incets yang tidak terduga. Putri Kalungsu yang menjadi ratu Negara Dipa menikah dengan anaknya. Anak laki-laki Putri Kalungsu konon dimarahi oleh ibunya dan melarikan diri ke Jawa. Anak yang hilang bernama Raden Sekar Sunsang inilah kembali ketanah Banjar dan menikahi ibunya. Ia kemudian memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negara ke Muara Hulak. Bandar kerajaan juga dipindahkan dari hulu sungai Muara Bahan, supaya lebih dekat ke muara sungai. Dengan demikian dalam masa kerajaan Daha ini masuk pula unsur Majahpahit yang tampak dari adanya gamelan, wayang dan keris serta nama-nama bangsawan seperti halnya di Jawa yaitu Tumenggung, Adipati dan Patih.

Periode ketiga yang membentuk orang Banjar berhubungan dengan berdirinya Kerajaan Banjar yang sudah menganut agama Islam. Kerajaan Banjar Islam didirikan oleh Pangeran Samudra dan terbentuk dari latar belakang pertentangan antara Pangeran Samudra dengan Pangeran Tumenggung di Kerajaan Daha. Pangeran Samudra melarikan diri kemuara sungai Barito di daerah mana telah berdiri perkampungan orang Melayu Bandar atau Banjarmasih (sekarang Banjarmasin) dan perkampungan orang Ngaju.

Penduduk kedua perkampungan ini tunduk dan membayar upeti Negara  Daha. Pada perkembangannya pemuka dan tokoh kedua kampung tersebut sepakat menjadikan Pangeran Samudra menjadi Raja mereka, karena ia seorang keturunan raja dan karena mereka tidak mau lagi membayar upeti kepusat kerajaan yang terletak jauh di hulu sungai. Akhirnya Banjarmasih menjadi Bandar baru. Bandar yang terletak di muara sungai Barito ini lebih disukai para pedagang asing karena letaknya lebih dekat dengan laut. Dengan pindahnya pusat perdagangan ke Bandar yang baru, bandar lama yang terletak di Muara Bahan pun menjadi sepi. Hal ini yang memicu peperangan antara Kerajaan Daha dan Banjar.

Dalam peperangan beberapa kali akhirnya Pangeran Samudra meminta bantuan ke beberapa pihak, termasuk Kerajaan Demak di Pulau Jawa yang telah menjadi pusat Kerajaan Islam. Kerajaan Demak bersedia membantu dengan syarat Raja dan seluruh rakyat Banjar bersedia memeluk agama Islam. Peperangan pun akhirnya dimenangkan oleh Pangeran Samudra dari Kerajaan Banjar. Setelah itu rakyat Daha dipindahkan ke Banjarmasih. Dengan kekalahan Kerajaan Daha yang penganut Hindu, berarti mulai penduduk Kalimantan Selatan termasuk orang Banjar.

Setelah masuk Islam Pangeran Samudra menganti namanya menjadi Sultan Suriansyah dan menjadikan Islam sebagai agama kerajaan. Disamping mengirim tentara kerajaan Demak juga mengirim beberapa juru dakwah untuk mengislamkan orang Banjar. Akan tetapi pengaruh sangat besar dalam mengembangkan agama Islam berasal dari Putra Banjar sendiri, yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710-1812).

Pada periode ketiga ini terjadi pengislaman rakyat Banjar dengan sangat Intensif dan esktensif, sehingga menjadi orang Banjar berarti menjadi orang Islam, dan orang Dayak yang beragama Islam pun mengaku dan diakui sebagai orang Banjar. Pada masa ini pula terjadi proses “Pembajaran” orang Dayak Ngaju, Maanyan, dan Bukit di Kalimantan Selatan. Orang dayak yang mempertahankan kepercayaan lama mereka, Kaharingan, makin terdesak ke pedalaman dan sejak penjajahan Belanda banyak dari mereka yang menjadi penganut Kristen.

Dengan demikian terbentuknya etnis Banjar dipengaruhi oleh beberapa unsur agama dan budaya. Sekalipun mayoritas orang Banjar adalah penganut Islam, tetapi pratek keberagaman Islam mereka sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya setempat yang berakar dari budaya-budaya dan agama-agama atau kepercayaan yang pernah dianut nenek moyang orang Banjar sebelumnya: Budha, Hindu, Kaharingan. Pada periode pertama unsur lokal dan Budha sangat mewarnai budaya Banjar, sedangkan pada periode kedua pengaruh Budha mulai digantikan oleh Hindu, dan akhirnya pada periode ketiga Islam `mem-banjar-kan` mayoritas penduduk Kalimantan Selatan. Berdasarkan teori pembelajaran ini maka etnis Banjar dimulai keberadaannya sejak berdirinya kerajaan atau kesultanan Islam Banjar. Sebelumnya istilah Banjar beleum merujuk kepada kesatuan identitas suku atau agama, namun merupakan identitas yang merujuk pada kawasan atau teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal. Proses pengislaman orang Banjar atau pem-banjar-an penduduk Kalimantan Selatan merupaka konsekwensi politis dari bantuan militer yang diberikan oleh Kerajaan Demak Islam kepada Pangeran Samudra dari Banjarmasin. Proses ini menyebabkan pengaruh Jawa semakin kuat budaya dan bahasa Banjar dan akhirnya terbentuklah masyarakat atau etnis Banjar saat ini. Dengan demikian etnis Banjar bukanlah sesuatu yang sudah begitu saja tetapi terjadi dan menjadi setelah melalui proses sosial, ekonomi, budaya, dan keagamaan tertentu. Kesimpulan yang sama juga diungkapkan oleh Hawkin (2000:34)  bahwa “many Banjar are not born but made”.

Berdasarkan daerah asal dan unsur etnis campurannya orang Banjar dapat dibagi menjadi subsuku; Banjar Pahuluan, Banjar Batang Banyu,  dan Banjar Kuala. Subsuku Banjar Pahuluan adalah orang yang berasal dari daerah sepanjang  aliran sungai Tabalong, sungai Balangan dan sekitarnya dimana Dayak Bukit merupakan unsur campurannya. Banjar Batang Banyu adalah orang yang berasal dari daerah sepanjang aliran sungai Nagara dan cabang-cabangnya yang mana Dayak Maanyan merupakan unsur campurannya. Sedangkan Banjar Kuala adalah penduduk asli yang mendiami daerah sekitaran aliran sungai Martapura dan Daerah Tanah Laut dimana terjadi pencampuran dengan unsur Dayak Ngaju (Daud, 1974:42-45).

Tetapi dari segi dialek bahasanya bahasa Banjar dibedakan menjadi Banjar Hulu dan Banjar Kuala. Saat ini pembagian subsuku Banjar cenderung mengikuti pembagian dialek ini,  sehingga penduduk asli Kalimantan Selatan yang berasal dari enam Kabupaten (Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan dan Tabalong) yang disebut Banua Anam, menyebut diri mereka sebagai urang pahuluan. Sedangkan orang Banjar yang mendiami Kabupaten Banjar, Tanah Laut, dan Banjarmasin disebut urang Banjar Kuala.

Catatan Penulis

Dari masing-masing refrensi yang membahas tentang sejarah urang banjar, penulis berpendapat bahwa tiga tulisan ini bisa menjadi saling melengkapi. Dari ketiga referensi tersebut masing-masing menyebutkan tentang adanya migrasi suku Melayu ke Kalimantan khsususnya di selatan dengan periode waktu yang  berbeda-beda. Lebih detail tentang periode tersebut diulas oleh referensi yang ketiga, walaupun sejarah mengenai Kerajaan Tanjung Pura pada abad ke-7 perlu dicari ulang referensinya. Dari semua refrensi yang ada menyatakan bahwa suku Banjar yang sekarang berada di Banjarmasin merupakan percampuran dari berbagai macam suku, setidaknya ada tiga suku yaitu Melayu, Dayak dan Jawa. Jika kembali kepada pokok perdebatan apakah suku Banjar merupakan bagian dari suku Dayak maka jawabanya tidak satu. Secara genealogis merupakan percampuran antara Melayu dan Dayak serta Jawa sedangkan secara etimologis banjar berasal dari bahasa Melayu.

Teori tentang Gold, Gospel dan Glory juga merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan dalam pembentukan etnis Banjar. Melalui merantau untuk berdagang dan sampai akhirnya membentuk sebuah kerajaan. Kemenangan, emas dan penyebaran agama menjadi satu kesatuan yang lekat di sejarah pembentukan etnis banjar. Struktur sosial masyarakatnya pun berbeda-beda dari golongan bangsawan sampai kalangan budak. Masa-masa bercirikan feoadalisme sampai kolonialisme tergambar dengan jelas dari seluruh rangkaian cerita. Bahwa tanah, ekonomi dan budaya semua untuk raja. Masyarakat kecil hanya dijadikan alat untuk memperkuat kepentingan raja. Secara tidak langsung sistem tanam paksa juga berlangsung dimana tanaman telah ditentukan dengan komuditas tertentu.

Namun ada sisi lain yang menarik walau tidak digambarkan dalam ketiga refrensi diatas tentang hubungan masyarakat Dayak yang tinggal di pengunungan Meratus dengan Masyarakat Banjar dengan mitologi Ba-dingsanak (be-keluarga). Walaupun kata dingsanak tidak serta merta mengikat kepada nilai suadara kandung. Seperti sebuah pertanyaan dingsanak/saudara dari mana, mau kemana ?. Namun mitologi urang bukit penyebutan masyarakat Dayak yang berada di atas pegunungan Meratus mempercayai tentang Dayu Ayuh dan Datu Bambang Siwara. Datu Ayuh dipercayai urang Maratus sebagai cikal bakal Dayak Meratus dan adiknya Bambang Siwara merupakan cikal bakal urang Banjar. Secara tempat tinggal urang Banjar banyak berada didataran rendah dan didataran tinggi didiami Dayak Meratus. Jika membaca gambaran dari ketiga refrensi diatas bahwa memang ada satu masa dimana Suku Melayu yang migrasi dari Sumatra masuk kepedalaman dan masyarakat Dayak semakin ke pedalaman lagi. Sehingga mengenai pesebaran penduduk antara urang Banjar dan suku Dayak bisa diidentifikasi. Sedangkan mengenai mitologi Datu Ayuh dan Datu Bambang Siwara, keyakinan penulis ini digunakan sebagai sarana untuk mendefinisikan sebuah hubungan antar masyarakat yang berbeda adat istiadatnya. Konteks ini ingin menandaskan bahwa masing-masing dari adat istiadat yang berbeda bisa hidup secara bersama-sama tanpa harus memaksakan kepercayaan/keyakinan yang telah dianut kepada yang lain. 

Hal yang menarik terkait unsur Jawa, jika merujuk kepada nama Bambang maka sependek pengetahuan penulis merupakan nama seseorang yang banyak digunakan oleh orang Jawa. Sehingga gambaran mengenai pengaruh Sriwijaya, Majah Pahit, Demak yang merupakan kerajaan-kerajaan imprium pada masa itu sangat kental melebur dalam pembentukan urang Banjar.

Dengan demikian saya ingin mengatakan bahwa mengulas ulang mengenai sejarah harus terus ditemukan. Dimana penemuan itu tidak terbatas pada satu pendekatan. Jika melihat dari ketiga referensi diatas pendekatan melalui bahasa (adanya kesamaan bahasa) bisa menjadi bahan pintu masuk. Begitupula dengan pendekatan yang lain lewat adat budayanya, sistem kepercayaan, cara dalam mengelola alam atau untuk bertahan hidup semua bisa dipelajari. Begitu pula tentang mengartikan ulang tentang dibalik makna tentang cara hidup, seperti kepercayaan mengenai Datu Ayuh dan Datu Bambang Siwara tidak bisa ditemukan maknanya kalau tidak dilihat secara luas dari sistem politik, ekonomi dan budaya. 

Misteri yang belum terjawab dalam ketiga referensi ini adalah sosok tentang Lambung Mangkurat ?. Apakah sosok ini dari suku Dayak dimana seperti yang di percayaai oleh Masyarakat Dayak Lawangan, Maanyan dan Dusun sebagai Dambung Mangkurap, atau seperti yang tertulis dalam refernsi ketiga dimana menyebutkan sosok Lambung Mangkurat merupakan seorang anak dari Empu Jatmika yaitu Lembu Mangkurat yang dimana berasal dari suku Jawa.

Teringat seorang teman bertanya tentang penanggalan, mengapa berbeda dengan penanggalan pada umumnya di komunitas pada bulan lalu. Komunitas tidak bisa memberikan tahu alasanya. Dalam benak saya, bahwa yang bisa mengartikan itu harus dari luar, mengapa mengunakan metode tersebut dengan melihatnya secara luas tidak berhenti hanya pada tanggal. Tulisan dari iteraksi hari ini penting, namun kalau tidak melacak hal lain maka kita akan buta di tengah cahaya yang sangat terang benerang. Dalam hal ini saya ingin mengatakan tentang Dialektik Historis. 

Referensi Tambahan

Saydjali, Ahmad, dkk, Badingsanak Banjar Dayak, Identitas Agama dan Ekonomi Etnisitas di Kalimantan Selatan, Riset Kolaborasi Program Knowledge Based Pluralism CRCS Universitas Gadjah Mada.

Soehada, Mitos Datu Ayuh dalam Religi Aruh; ajaran lisan tentang Persaudaran Banjar Muslim dengan Orang Dayak Loksado di Perbukitan Meratus Kalimantan Selatan, 2010.

Rabu, 09 November 2016

Sejarah Perkembangan Masyarakat Kalimantan Tengah



Sejarah Perkembangan Masyarakat Kalimantan Tengah
Merupakan Puzzle Yang Harus Dilengkapi.
Oleh * Aryo Nugroho Waluyo

Membaca dan menuliskan ulang tentang sejarah Kalimantan Tengah merupakan suatu hal yang sangat menyenangkan. Menelusuri kembali masa lampau dan masuk kedalam alam pikiran sang penulis merupakan bagian dari kenikmatan sendiri. Dorongan akan Jas Merah (jangan lupakan sejarah) ungkapan api dari Bung Karno selalu menjadi penyulut. Disisi lain bahwa sejarah akan membawa informasi tentang penentuan kondisi masa sekarang, sehingga memposisikan sejarah pada tempatnya itu hal yang penting. Saya yakin sangat banyak tulisan mengenai sejarah Kalimantan Tengah walaupun tulisan-tulisan tersebut sangat sulit untuk didapatkan. Dari pengalaman dan bukan seorang pembaca buku yang baik, bahwa membaca dan menuliskan ulang sejarah Kalimantan Tengah bagai menyusun puzzle. Mengapa demikian karena dari masing-masing wilayah yang ada di Kalimantan Tengah mempunyai sejarahnya tersendiri. Dari berbagai macam literatur yang coba dikumpulkan kebanyakan mengulas hanya satu suku saja dan tidak bisa mengambarkan secara keseluruhan.

Iteraksi saya beberapa tahun ini juga membuat saya selalu ingin belajar. Dimana pada kenyataanya berbicara khususnya perkembangan masyarakat di Kalimantan Tengah tidak saja membahas satu pulau ini. Seperti iteraksi saya dengan masyarakat yang ada di Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, bahwa berdasarkan penuturan masyarakat, sejarah mereka tidak lepas daripada hadirnya seorang Patih dari wilayah Sumatera yaitu Patih Nan Sebantang dari Kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Sisi lain dorongan untuk menulis melihat metodelogi-metodelogi apa yang diterapkan oleh penulis lainya (baca: penelitian yang terdahulu). Metodelogi secara sederhana saya memahaminya sebagai pendekatan untuk menuliskan sesuatu. Seperti yang saya akan tuliskan ulang, mengenai sejarah di Kalimantan Tengah dengan mengcopy paste (dalam istilah Victor T.King dalam Bukunya Kalimantan Tempo Doeloe, Nukilan) dari sumber dua buku. Buku Pertama tulisan seorang Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM Mubyarto beserta tim dengan judul bukunya Desa-Desa Kalimantan: Studi Bina Desa Pendalaman Kalimantan Tengah. Buku Kedua Masih (Kah) Indonesia, Editor Budi Susanto, S.J yang ditulis oleh beberapa orang Peneliti salah satunya Kisno Hadi.

Terkait dengan konteks sejarah perkembangan masyarakat Kalimantan Tengah kedua buku ini mengunakan pendekatan Budaya lisan. Budaya lisan ini begitu kuat terjaga sampai sekarang walaupun pernyataan ini perlu diuji lebih lanjut. Budaya Lisan merupakan sebuah metedologi yang bisa digunakan untuk memotret masa lalu. Begitu pula di Kalimantan Tengah Seperti yang di tulis oleh Mihing dalam Mubyarto menyebutkan budaya yang berkembang dalam masyarakat Dayak adalah budaya lisan. Masyarakat Dayak tidak memiliki budaya tulis menulis. Oleh karena itu mereka tidak memiliki susunan abjad dan peninggalan tertulis mengenai masa lampau (Mihing dkk, 1980:1). Lebih lanjut Kisno Hadi bagian penulis Buku Masih (Kah) Indonesia menyebutkan tentang Kajian postkolonial yang memberikan ruang bagi pemanfaatan tradisi lisan untuk menulis sejarah. Metode penilitian tersebut adalah oral history, berupa sejarah lisan yang memang menjadi cara atau metode bagi masyarakat Dayak untuk menyejarahkan sejarahnya. Metode ini digunakan untuk melengkapi studi literatur hasil penelitian terdahulu maupun penelitian atau tulisan-tulisan lainnya yang memiliki korelasi. Lebih lanjut Kisno Hadi juga memfokuskan pada metode mikrohsitory yang deterministik, yang akan menggambarkan suara-suara lain kaum minoritas (subaltern studies) dari pedalaman, lain seperti suara pemerintah yang sangat elitis.

Kedua Buku ini secara garis besar berbeda objek potretnya, dimana tulisan Mubyarto lebih memotret terkait dengan transformasi masyarakat dengan adanya politik Desa sedangkan Kisno Hadi memotret tentang transformasi kelembagaan adat. Mubyarto mengambil lokasi penelitian ditiga Kabupaten di Kalimantan Tengah yaitu Barito Utara, Kapuas dan Kotawaringin Barat. Sedangkan Kisno Hadi meneliti di tiga wilayah Kedamangan, yaitu Kedamangan Dusun Selatan, Kedamangan Paku Karau dan Kedamangan Padju Sepuluh. Ketiganya merupakan refrentasi dari Komunitas masyarakat adat Dayak yang berada di wilayah Barito Selatan dan Timur yaitu masyarakat adat Dayak Dusun: Kedamangan Dusun Selatan, masyarakat adat Dayak Lawangan: Kedamangan Paku Karau, dan masyarakat adat Ma`anyan: Kedamangan Padju Sepuluh.

Penulisan ulang ini akan dibatasi pada dua pembahasan yaitu :

  1. Buku Pertama mengambil tentang sejarah Persebaran Suku Dayak
  2. Buku Kedua mengambil tentang Pasak Adat : Embrio Indonesia pendalaman Kalimantan Kepala Adat dan Pengembaraan di Rimba Barito.


Semoga tulisan singkat ini menjadi pembuka untuk kita semua dalam menemukan puzzle-puzzle mengenai sejarah perkembangan masyarakat adat Dayak yang ada di Kalimantan Tengah. Sehingga kita bisa melihatnya secara utuh.

Persebaran Suku Dayak

Penduduk “Asli” Kalimantan Tengah adalah suku Dayak, yang nenek moyangnya berasal dari daratan Asia. Mereka telah tinggal di pulau Kalimantan selama beberapa ribu tahun sebelumnya masehi. Ketika datang di Kalimantan mereka tidak lagi hidup dalam zaman batu, tetapi telah mengenal alat yang terbuat tanah maupun besi.

Salah satu faktor yang menyebabkan suku Dayak menyebar ke seluruh Kalimantan adalah timbulnya peperangan di kalangan suku Dayak sendiri. Oleh sebab itu mereka mencari tempat-tempat yang aman dari serangan-serangan musuh dan mengisolasikan diri dari pergaulan dengan  suku-suku lain. Akibatnya lahirlah belasan bahkan puluhan subkultur Dayak. Tjilik Riwut dalam bukunya Kalimantan Membangun membedakan Suku Dayak kedalam 7 sub suku, yaitu Ngaju, Apu Kayan, Iban, Klemantan, Murut, Punan dan Ot Danum. Ketujuh sub suku tersebut terbagi menjadi lagi dalam 18 sub suku yang lebih kecil (anak suku), dan sub suku yang lebih kecil terbagi lagi dalam 405 sub suku kecil-kecil (Riwut, 1979:214-232). Implikasi terbatasnya mobilitasnya sub suku kecil-kecil tersebut adalah, wawasan mereka menjadi “sempit” atau “spasial”, yakni hanya terbatas pada “kampung halaman”mereka saja.

Dilihat dari tempat tinggalnya, suku Dayak di Kalimantan Tengah tersebar disepanjang sungai-sungai besar seperti Dayak Ngaju tinggal di sepanjang sungai Kapuas, Kahayan, Manuhin, Barito dan Katingan. Tempat kediaman suku Dayak Ot-Danum di sepanjang hulu sungai Kahayan, Rungan, Barito dan Kapuas, dan di hulu sungai-sungai di Kalimantan Barat seperti sungai Melawi (anak sungai kapuas dari Kalimantan Barat). Sedangkan Dayak Ma`anyan dan Lawangan tersebar di berbagai bagian dari Kabupaten Barito Selatan yaitu di tepi timur Sungai Barito, terutama di antara anak-anak sungainya seperti Patai, Telang, Karau dan Dayu (Koentjaraningrat, 1980:199).

Ketika jumlah penduduk semakin bertambah dan orang Dayak mulai mendiami daerah pesisir atau muara sungai, mulailah mereka melepaskan diri dan hidup bersama dalam rumah panjang betang. Rumah-rumah keluarga banyak didirikan dan kontak dengan dunia luar semakin meningkat.

Secara genelogis orang Dayak umumnya menganut garis keturunan ayah dan ibu (ambilineal). Namun dalam hal ini tempat tinggal setelah menikah, seorang wanita yang telah kawin akan tetap tinggal bersama orang tuanya, sedangkan seorang laki-laki yang sudah kawin akan mengikuti istrinya sehingga harus keluar dari keanggotaan rumah panjang (betang). Kenyataan ini menimbulkan adanya keluarga-keluarga besar (jalaban) dengan solidaritas yang semakin luas. Baboban menunjuk pada kelompok keluarga dengan penekanan pada asal (klen atau marga) sedangkan istilah ungkup merujuk pada kesatuan menunjuk pada kesatuan yang lebih besar lagi, seperti kesamaan suku, daerah, atau agama (Depdikbud, 1979:60).

Pasak Adat : Embrio Indonesia di Pedalaman Kalimantan
Kepala Adat dan Pengembaraan di Rimba Barito

Ada beberapa versi yang diutarakan oleh para  responden yang ditemui di lapangan dalam menuturkan keberadaan masyarakat adat Dayak, baik secara komunal maupun para kepala adatnya , dalam hal ini, versi Dayak Dusun, Dayak Ma`Anyan dan Dayak Lawangan dirangkum menjadi satu, sehingga bisa terpaparkan seperti dalam hasil penelitian ini. Di sini perkembangan kepala adat dayak sebagai pasak adat tidak bisa dilepas dari sejarah perkembangan masyarakat adat Dayak itu sendiri, begitu sebaliknya. Kepada Adat, yang dulunya merupakan bagian dalam struktur pemimpin tertinggi dalam struktur komunitas adat. Istilah damang dalam kamus bahasa Indonesia tidak dikenal, yang hanya ada demang, yaitu kepala distrik atau wedana pada masa pemerintahan kolonial belanda. Gelar damang mulai digunakan sebagai kepala adat mulai tahun 1938, yakni saat pemerintahan kolonial belanda mengeluarkan sebuah kebijkan untuk mengatur keberadaan komunitas-komunitas adat Dayak di pedalaman, dan gelar para kepala adat pun secara keseluruhan diseragamkan, yaitu damang. Sebelum kemunculan gelar damang sebagai kepala adat, komunitas adat bergelar dambung. Dambung selain sebagai pemimpin pemerintahan adat sehari-sehari, ia juga sebagai pelaksana hukum adat dan hakim pengadilan adat  untuk menyelesaikan segala sengketa kehidupan masyarakat. Jabatannya dipegang berdasarkan hierarki. Setelah diganti dengan damang oleh pemerintah kolonial belanda, perlahan, perannya mulai meredup. Ia dibatasi mengurusi adat istiadat semata, damang juga mulai langsung dipilih langsung oleh masyarakat.

Dalam sejarah lisannya, terdapat sembilan tahap perpindahan tempat kehidupan orang Dayak di Kalimantan (Tengah) sehingga sampai ditempat seperti sekarang. Yang Pertama : merupakan asal Allahtala mula Allah di tane tipak sulau, langit rakun kabus, gumpal riwut mula, ranu gunung madu rahu, lumut turu tumeng, piyuyan turu tingkat, lisat lende niuy jongkong, paken tueng kola jaro, yakni tempat terjadinya manusia (Dayak) pertama seorang laki-laki bernama Datu Mula Manta Maharaja Mula Ulun, dari Datu ini kemudian di ambil oleh Allahtala Mula Allah satu tulang rusuknya, lalu dibuat seorang perempuan bernama Dara Mula Lapik Saribu Hengkang Ulun. Kedua : adalah di tumpuk lalung kuwung. Ketiga : ditumpuk pupur matung. Keempat : di tumpuk sida matung. Kelima : di mereka berpisah menjadi suku Dusun, Ma`anyan, Lawangan, Bijaju dan Siang (Ot Danum) dan ketujuh : di tumpuk gunung rumung gumi ipah bawai. Kedelapan : di tumpuk patai, dan Kesembilan : adalah tumpuk-tumpuk seperti sekarang, seperti padju epat, padju sapuluh, dayu dan banua lima.

Sejarah lisan yang juga merupakan sumber ajaran lisan dalam Teologi Kaharingan di DAS Barito ini, yang diketahui tempatnya hanya mulai dari keenam, yakni di Tumpuk Sani Sarunai, saat ini bekasnya ada di Tamak Sapala (Danau Panggang), Kabupaten Barito Kuala, daerah muara sungai Barito, Kalimantan Selatan. Di Tumpuk Sani Sarunai ini, yang oleh Charles Hose disebut-sebut sebagai tempat pendaratan pertama orang Dayak (Kahayan) di Kalimantan Tengah (dan sebagian Selatan) dari dataran Irawadi, Burma, yang memiliki kebudayaan unik berupa budaya rumah panggung memanjang, yang biasanya dibangun ditepi-tepi sungai: dipimpin oleh Datu Nini Punyut Maharaja Etuh Mula. Tamak Sapala sendiri menurut Raden Kutar Suta Uno (71 tahun) merupakan makam Nini Puyut yang berada persis ditengah danau panggang, dan membentuk pulau kecil ditengah danau itu. Setelah Nini Punyut meninggal lalu dimakamkan, masyarakat Sani Sarunai gempar karena mendapat serangan (yang pertama) dari kerajaan Majahpahit.

Setelah Sarunai hancur, maka masyarakat Sani Sarunai yang hanya berjumlah seratus orang itu pergi menyusuri sungai Nagara, anak sungai Barito, guna mencari tempat baru. Pilihan kemudian jatuh pada sebuah dataran pegunungan di tepi sungai Nagara, sekitar lereng pegunungan Meratus saat ini. Di tempat baru ini mereka yang kemudian dikenal dengan sebutan masyarakat adat pangunraun jatuh di Negeri Gunung Rumung Gumi Ipah Bawai, membangun dan mengembangkan kebudayaannya. Yang diyakini sebagai tonggak awal sejarah perkembangan keberadaan dan perkembangan adat, kebudayaan dan tradisi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah dan sebagian selatan masa kini. Saat mencapai puncak kejayaannya, datang lagi serangan (yang kedua) dari kerjaan Majahpahit yang dipimpin Patih Gadjah Mada dan memaksa pembauran antara peraturan adat istiadat yang mereka miliki dengan ajaran Hindu, yaitu :


  1. Masyarakat adat Pangunraun Jatuh masih berhak mengatur tata kehidupan mereka.
  2. Masyarakat adat Pangunraun Jatuh diharuskan membayar upeti setiap tahun ke negeri seberang.
  3. Agama Hindu harus diperkenankan berbaur dengan pengaturan adat.
  4. Ajaran agama Hindu di  bidang tata kenegaraan harus diterima oleh masyarakat adat.
  5. Pangunraun Jauh.
  6. Pengaturan kehidupan berbentuk Kerajaan, tapi di bawah kerajaan negeri seberang, pengaturan dibagi tiga, yaitu di bidang agama dan adat istiadat sehari-hari diatur dan dipimpin oleh dambung, pertanahan dan keamanan diatur dan dipimpin oleh tamanggung, serta bidang sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan hidup serta lain-lain dipimpin patinggi.

Sejak serangan Majahpahit yang kedua ini masyarakat adat (Dayak) memiliki pola kepemimpinan semacam itu dan dijabat oleh keturunannya masing-masing, serta juga mengenal kehidupan berkasta, yakni adanya Putak Amau (golongan tinggi: bangsawan, petapa, pendeta, pemangku adat, guru), Putak Manrama`an atau Maratawan (golongan menengah: pedagang, petani) dan Putak Walah (Golongan Rendah: Buruh, budak/kuli, pesuruh, tahanan perang). Karena peraturan tersebut tidak sesuai dengan peraturan masyarakat adat, seperti diinjaknya hak azasi  budak golongan budak oleh bangsawan, dipaksanya ajaran agama Hindu ke dalam peraturan adat istiadat, maka lama kelamaan masyarakat adat tersebut pergi ke daerah pedalaman sehingga akhirnya negeri masyarakat  adat itu tidak berpenghuni sama sekali.

Adapun dambung, tamanggung dan patinggi yang berakhir memegang pimpinan dalam masyarakat adat Pangunraun Jatuh adalah Dambung Mangkurap, Tamanggung Jaya Sungkat dan Patinggi Tambing Baya Raya. Setelah membubarkan diri, masayarakat negeri Pangunraun Jatuh ini lebih memilih menjadi rakyat biasa, yakni membangun Desa-Desa di pedalaman yang hanya di Pimpin oleh kepala adat, yaitu dambung. Dambung Mangkurap sendiri pergi ke Martapura, memilih bergabung dengan Kerajaan Daha Dipa, yang merupakan cikal bakal Kesultanan Banjar. Dia kemudian sebagai orang Dayak pertama yang masuk Islam dan menjadi raja Kerajaan Banjar yang kesohor sebelum Pangeran Antasari, kini namanya diabadikan menjadi nama sebuah Universitas negeri di Banjarmasin, yang dalam lekison Melayu disebut Lambung Mangkurat. Sementara gugusan pegunungan Pangunraun Jatuh, yang dalam lekison Melayu disebut pengunungan Meratus, di masa-masa perang dengan suku lain terutama wilayah timur digunakan sebagai pembatas agar musuh tidak dapat masuk kedalam wilayah adat mereka, sedangkan pembatas di wilayah barat adalah hutan rimba antara sungai Barito dan Sungai Kapuas dengan puncak tapal batas sungai Barito yang lebarnya mencapai 300 meter dan panjanganya 300 km dari laut Jawa sebelah selatan (hilir) sampai gugusan pegunungan Muller di sebelah utara (hulu).

Kepala Adat dan Organisasi Keadatan

Menurut seorang narasumber yang merupakan keturunan langsung seorang tamanggung (Layani 78 tahun,  cicit Tamanggung Jay Dauk), sebelum terkooptasi oleh kebijakan Majahpahit mereka sudah mengenal hadat sebagai pengelola kehidupan, yakni dinamakan karakatan hadat, pipakatan hadat atau juga karapatan hadat yang didalamnya terdapat 3 bidang yang dikelola oleh 3 orang sebagai pemangku jabatannya, ketiga pejabat formal itu adalah penanggungjawab di bidangnya masing-masing. Saat satu kampung terpecah dan membentuk beberapa kampung baru, maka masing-masing pemimpin tersebut bisa jadi sekaligus sebagai pemimpin atau penguasa dalam komunitas adatnya masing-masing, mereka adalah :

1
Patinggi/Patih
:
Pemimpin pemerintahan adat (unsur eksekutif) atau Datu.
Pemimpin tertinggi Karakatan atau Pipakatan Hadat
2
Dambung
:
Pemimpin Pengadilan Adat (unsur yudikatif).
Pelaksana penuh Hukum Hadat Karakatan disini Dambung di bantu oleh sebuah dewan untuk bersama-sama berunding mengenaikehidupan Karakatan, Dewan itu disebut Dewan Mantir
3
Patis/Pamakal
:
Pemilih atau perwakilan adat (unsur legislatif). Pengurus kesejahteraan dan ketentraman masyarakat, merupakan wakil masyarakat untuk menyampaikan aspirasi kepada Patinggi dan Dambung, berkenaan dengan pengelolaan kehidupan karakatan tersebut.

Karena dalam satu rumah terdiri atas beberapa kepala keluarga, maka satu rumah dipimpin oleh satu orang patis, sementara dambung dan patinggi atau patih menjadi pemimpin dalam satu komunitas adat yang lazim disebut karakatan hadat tersebut, bukan membentuk hubungan hierarki, melainkan sejajar, kesemuanya berdiri sendiri dan bekerja diwilayah domestik masing-masing dengan tetap dikoordinatori patinggi sebagai koordinator atau pimpinan karakatan hadat. Tujuanya adalah untuk mencapai harmoni kehidupan, yakni menyelaraskan kehidupan antar manusia itu sendiri, manusia dengan alam sekitar (flora dan fauna) serta manusia dengan Roh-roh nenek moyang mereka. Dua jabatan paling atas meruapakan hasil pemilihan dalam sebuah musyawarah adat oleh para patis sebagai wakil masyarakat adat.

Sementara patis sendiri dipilih langsung oleh masyarakat adat untuk mewakili masyarakat adat karena keahliannya mengatur kesejahteraan dan ketentraman masyarakat. Patis ini merupakan ketua rumah panjang (lewu hante) yang dihuni oleh puluhan keluarga, karena dalam satu komunitas adat terdiri atas beberapa rumah besar, maka seberapa banyak jumlah rumah dalam komunitas adat tersebut, sebanyak itu pula jumlah patisnya.

Setelah mengalami beberapa kali perubahan, akhirnya di masa-masa pemerintahan kolonial Belanda berlangsung pada paruh abad 19, dalam satu komunitas adat yang sekarang lazim disebut kedamangan, sebelum dikooptasi oleh peraturan pemerintah kolonial Belanda, dipimpin oleh dambung. Ia di bantu oleh para penasehat ahli yang memberikan masukan dan pandagan, tatkala dambung hendak memutuskan suatu keputusan adat berkenaan dengan pelaksanaan hukum adat, dalam hal ini para penasehat akan memberikan pandangannya yang berhubungan dengan keahlian dan fungsinya masing-masing, atas beberapa orang yang khusus bertugas di setiap tumpuk atau Desa dalam satu kedamangan untuk mewakili dambung sebagai pelaksana hukum adat di tingkat Desa. Para mantir ini terdiri dari : (1).Pangulu adat, yaitu pemimpin tata laksana hukum adat ditingkat tumpuk atau Desa, (2). Wakil Pangulu Adat, merupakan wakil atau pembantu pangulu adat, (3).Juru Kamung, yaitu sejenis notulen yang merangkum dan atau merekam jalannya suatu sidang adat untuk kemudian di laporkan kepada damang, (4).Panata Hukum Tumpuk, merupakan wakil atau pembantu pekerjaan kamung, (5). Pangirak, yaitu sejenis pemungut pajak/cukai dari masyarakat adat, yang hasilnya untuk membiayai pengelolaan dan pelaksanaan hukum adat : seperti beras, lauk-pauk, buah-buahan dan sebagainya, yang nantinya akan dikonsumsi saat melaksanakan Sidang Adat yang biasanya memakan waktu beberapa hari, (6). Kepala Padang, yaitu petugas atau pengawas pemakaian tanah adat serta pemberi arahan kepada masyarakat adat agar pemakaian tanah adat tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum adat, dan (7). Alim-Ulama, yaitu mantir yang mewakili agama atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat adat bisa dimasukkan perwakilannya sebanyak 3 orang untuk mengakomodir kepentingan dan kebutuhan agamanya.

Seberapa banyak jumlah Desa dalam satu Komunitas adat, maka sebanyak 7 orang atau lebih pula mantir adatnya. Umumnya setiap komunitas adat yang memiliki minimal 50 jiwa, komunitas itu wajib memiliki dambung sebagai kepala adat, dan juga semua tokoh-tokoh adat yang berpengaruh diwilayah adat tersebut, seperti tamanggung, patih, patinggi wajib tergabung dalam let adat sebagai penasehat ahli, lalu juga wajib memiliki mantir adat sebagai staffnya. Kemudian apabila dalam suatu Desa terdapat paling tidak 20 orang atau lebih yang bukan dari suku Dayak, maka warga tersebut wajib memiliki pangulu adat yang akan mengakomodir kepentingan serta kebutuhan mereka, dengan tetap berkoordinasi dengan pangulu adat dari suku Dayak, serta masuk dalam kepengurusan mantir adat.

Mantir adat melakukan sidang peradilan hadat pada tingkat pertama ditingkat Desa, bila suatu kasus pelanggaran hukum adat tidak diselesaikan, maka sipelanggar diajukan oleh mantir adat ketingkat komunitas adat, disini kasusnya diserahkan kepada dambung. Dambung berhak memutuskan suatu keputusan setelah mendengar nasehat-nasehat dan masukan-masukan dari let adat, termasuk juga pandangan-pandangan dari mantir adat. Ditingkat komunitas adat, asosiasi para mantir adat atau gabungan dari para mantir data dari seluruh Desa dalam komunitas adat tersebut membentuk sebuah dewan, yang lazim dinamakan dewan mantir, mereka melakukan sidang adat manakala terjadi permasalahan dalam kehidupan keseharian di wilayah adat tersebut yang tidak bisa diselesaikan oleh dambung seorang diri, termasuk sidang adat saat dambung memutuskan suatu keputusan yang berkenaan dengan pelanggaran hukum adat, yang kemudian disampaikan kepada dambung sebagai bahan masukan.
Pada prinsipnya peran dan fungsi seorang dambung sebagai kepala adat adalah pengkoordinir tugas-tugas para mantir adat dalam satu komunitas adat, yang khusus mengelola dan mengatur hukum adat, entah hukum adat yang mengatur kehidupan (manusia hidup dan lingkungan hidup), maupun hukum adat yang mengatur kematian (yang berhubungan dengan penghormatan kepada leluhur).

Selain para pemangku adat formal itu, dalam tataran non formal juga ada pemangku adat penting lainya, yaitu wadian (laki-laki dan perempuan), Dewa (perempuan), Deder (perempuan), Panutui kanen Diau (perempuan) dan Penyampir (laki-laki dan perempuan), mereka tergolong kedalam wadian hadat yakni sebagai ahli ajaran Kaharingan yang memberi masukan dan pandangan pada saat pemimpin formal menemui kendala dalam menuntaskan suatu permasalahan, yang berkenaan dengan hukum adat. Pejabat non formal ini selain bertugas sebagai ahli ajaran Kaharingan, entah upacara kehidupan maupun kematian. Bersama mantir adat (bila ditingkat desa), para pemangku adat non formal ini bahu membahu menuntun masyarakat agar menjalani kehidupan sesuai adat istiadat yang berlaku serta yang telah diatur dalam hukum adat. Dikatakan sebagai pemangku adat non formal, karena keberadaan mereka tidak termasuk dalam unsur kepala adat yang meliliki kekuasaan “Resmi”, baik tataran komunitas adat maupun pada tataran tumpuk atau Desa. Mereka hanya berkuasa terbatas pada tataran religius Kaharingan, terutama sebagai pemimpin ritual-ritual ajaran Kaharingan.

Sejak tahun 1938, oleh pemerintah kolonial Belanda jumlah kepala adat dalam satu komunitas adat hanya berjumlah 1 orang, dan diberi gelar damang, kemudian nama komunitas adat dinamakan kedamangan. Awalnya, untuk mengatur dan menyeragamkan nama damang dan kedamangan diwilayah pesisir selatan, pada tanggal 28 oktober 1938 dibuat sebuah peraturan, yaitu Besluit Residen Kalimantan Selatan dan Timur, nomor :349/C.7-1. Tentang penunjukan (Aanwijzing) dari kedamangan-kedamangan (damang schapen), yaitu Dayak Hilir (Beneden Dayak), Dayak Hulu (Boven Dayak) dan Sampit. Beberapa bulan kemudian, untuk mengatur dan menyeragamkan pemilihan damang diwilayah pedalaman, pada tanggal 15 Februari 1939 ditetapkan Besluit Residen Der Zuider en Oosterafdeeling van Borneo Nomor : 53/C.7-1 tentang Pemilihan, Pemecatan dan Kedudukan Para Damang Daerah Kapuas dan Barito.

Sejak tahun 1983 pula, kepala adat tidak ada lagi mempunyai let adat sebagai penasehat ahli dan khusus memberikan nasehat atau juga arahan saat kepala adat hendak mengambil suatu keputusan hukum adat, karena let adat yang terdiri dari para bangsawan yang ahli dibidangnya masing-masing dalam tataran komunitas adat telah dihapus oleh pemerintah kolonial. Meskipun di beberapa komunitas adat, let adat masih ada, namun mereka bukanlah orang-orang yang memiliki spesifikasi keahlian, melainkan orang-orang atau warga kebanyakan yang diangkat oleh kepala adat: nasehat merekapun belum tentu didengar, karena umumnya mereka tidak memliki “Pengaruh” dalam komunitas adat.

Dalam perkembangan berikutnya, dalam struktur kedamangan oleh pemerintah kolinial Belanda, selain jabatan damang sebagai kepala adat, juga ada jabatan formal baru, yaitu pamakal. Pamakal berperan dan berfungsi menjadi pemimpin resmi pemerintah Desa, yang dibilih langsung oleh masyarakat adat di desa atau ditumpuk bersangkutan. Hanya saja, kalau damang sebagai kepala adat berperan dan berfungsi untuk mengelola adat istiadat dalam satu komunitas adat, maka pamakal berperan dan berfungsi menjadi pemimpin pemerintahan resmi di tingkat Desa dalam wilayah komunitas adat tersebut. Dengan demikian di tingkat desa ini, pamakal bermitra dengan mantir adat, yang merupakan wakil damang di tingkat desa.

Bila menyangkut urusan pemerintahan sehari-hari seperti bergotong royong membangun jalan desa maka masyarakat desa di pimpin oleh pamakal, sementara bila menyangkut permasalahan adat istiadat berarti di pimpin oleh mantir adat di desa bersangkutan. Pada titik ini, oleh pemerintah kolonial, pamakal atau kepala desa masuk dalam struktur mantir adat, dan menjadi bagian dalam mantir adat sebagai pembantu damang ditingkat desa. Menurut Sikoer Patus, pemerintahan desa merupakan wilayah administratif pemerintah kolonial baik secara vertikal atau juga secara desentralisasi otonomi, dan berada langsung di bawah pengawasan demang atau wedana sebagai kepala distrik. Bersama seorang wakilnya, pamakal atau kepala desa juga menjadi “bendaharawan” desa untuk mengurus sarana dan prasarana pembangungnan di setiap desa.

Pada tanggal 30 Maret 1953 sampai 1 April 1953, di Kuala Kapuas selama 2 hari para kepala adat bergelar damang berkumpul untuk mengadakan musyawarah hadat mengenai tanah adat dan batas-batas wilayah adat terutama yang ada diwilayah pesisir selatan kemudian sampai ke pedalaman Barito, Kapuas dan Kotawaringin yang saat itu masih menjadi bagian dalam Karesidenan Kalimantan Selatan. Sebelumnya masalah tanah adat dan batas-batas wilayah adat memang pernah di musyawarahkan di Kuala Kapuas oleh para kepala adat seluruh Kapuas, Kahayan, Rungan dan Manuhing pada tanggal 3 September 1928 bersama Pemerintah Hindia Belanda, namun karena dalam keputusannya intervensi pemerintah kolonial dinilai sangat kental, dan keputusan itu hanya menyangkut wilayah adat di Daerah Kapuas, Kahayan, Rungan  dan Manuhing saja, maka setelah Indonesia merdeka, kembali para kepala adat berkumpul dan bermusyawarah di Kuala Kapuas.

Dalam musyawarah tersebut, para damang memutuskan hutan sebagai :

  1. Sampaking : yaitu tanda yang dibuat untuk menyatakan maksud membuka hutan untuk berladang, kemudian hak sampaking menjadi hilang setelah satu tahun tanda yang dikapling dengan sampaking itu tidak digarap.
  2. Belukar: diperoleh karena membuka hutan dan bila hanya ditanami beberapa pohon buah-buahan atau tidak merupakan kebun atau ladang, dan akan hilang hak kepemilikanya setelah lima tahun tidak dikerjakan.
  3. Pali : merupakan hutan atau belukar yang dilarang oleh (hukum) adat untuk digarap, pali menjadi berakhir setelah dilaksanakan upacara adat untuk membebaskannya dari larangan itu.
  4. Rintisan : merupakan tanda perhelatan atau persambitan satu tanah dengan tanah lain yang ada di kanan kiri-depan belakang, apabila satu tahun lokasi tanah yang dirintis itu tidak dikerjakan dengan membuat ladang atau kebun maka hak seseorang atas rintisan itu dinyatakan hilang.
  5. Tatah: merupakan parit yang digali mengelilingi tanah yang dimiliki, boleh juga parit ini, bagi yang dalam, dijadikan tempat berternak ikan, dan hak tatah menjadi hilang apabila setelah lima tahun tidak digarap atau dipelihara.
  6. Sungai dan Danau : merupakan suatu lokasi perairan lengkap beserta kekayaanya, yang boleh dimiliki seseorang secara individu berdasarkan jasanya terhadap komunitas adat dan masyarakat adat, dalam hal ini orang-orang tertentu terutama para pemangku adat baik dalam tataran formal maupun non formal berpeluang besar untuk mendapatkan penguasaan sebuah sungai atau danau beserta kekayaannya. Hak penguasaannya akan hilang selama enam bulan tidak dipelihara sebagaimana mestinya, dan apabila ada anggota masyarakat yang lain hendak memungut kekayaan danau atau sungai itu, maka 10 persen dari hasilnya menjadi bagian orang punya, dan
  7. Andel: merupakan parit induk yang digali keliling ladang atau sawah yang baru digarap, penggaliannya di lakukan di perbatasan kana kiri-depan belakang tanah tersebut dengan tanah yang dimiliki pihak lain atau orang lain. Hak penguasaan andel akan hilang setelah tiga tahun tidak dipelihara atau dibersihkan.

Selain 7 keputusan tersebut, musyawarah hadat itu juga memutuskan hak ulayat, yakni seukuran 5 km (sepukang bunyi gong) dari pinggir kiri-kanan sungai tempat pemukiman penduduk untuk dijadikan tempat masyarakat berusaha, atau dengan kata lain, minimal sejauh 5 km (sepukang bunyi gong) dari pemukiman penduduk, suatu tempat atau tanah baru bisa dijadikan tempat berladang, berkebun atau kegiatan usaha lainya. Hak ulayat disini meliputi : Hak tanggeran (hak memiliki sebatang pohon di tengah hutan yang menjadi sarang lebah), hak rotan pantung (hak memiliki pohon ditengah hutan: sejenis pohon karet yang menghasilkan getah kayu), hak beje (hak membuat kolam untuk berternak ikan di sebidang tanah yang belum dimiliki orang lain), hak sapinang (mencirikan suatu tempat dengan sebuah piring, bahwa tempat tersebut akan digarap menjadi ladang atau kebun lainnya), hak sapukang (hak memukul gong disuatu tempat bahwa tempat tersebut telah ada penghuninya), hak bahu talien (hak memiliki kayu ulin untuk membuat rumah), hak bahuma (hak berladang), hak petak rotan (hak kepemilikan tanah tempat menanam rotan) dan hak pahewan (hak memiliki suatu tempat yang dikeramatkan oleh orang bersangkutan). Secara berturut-turut hak-hak tersebut akan hilang kalau 3-5 tahun tidak digarap serius atau bila tidak dipelihara.

Catatan Penulis

Para pembaca yang budiman bahwa mengulas sejarah terkadang akan membawa perdebatan tersendiri, apalagi diperkuat dengan data-data serta fakta. Begitu pula dengan metodelogi apa yang digunakan. Salah satu perdebatan yang tidak pernah usai di negara tercinta kita ini adalah peristiwa G 30 September 1965. Biarpun demikian seperti yang telah saya tulis diatas bahwa sejarah harus diposisikan dengan tepat. Sejarah tidak muncul begitu saja, bim sala bim muncul secara gaib dihadapan kita. Bahwa khususnya mengenai sejarah hukum adat harus ditenemukan, hal ini seperti yang disampaikan oleh C.Van Vollenhoven, bahwa walaupun hukum adat bangsa Indonesia itu sendiri telah berumur panjang, namun adanya hukum tersebut dan nilainya merupakan hal baru saja disadari. Walau aneh kedengarannya, akan tetapi hukum adat tersebut harus ditemukan, dan penemuanya memerlukan waktu dan upaya (C.van Vollenhoven, 1987:1).

Tulisan hasil copy paste dua buku inipun akan dirasakan sangat minim informasi bagi pembacanya. Karena Puzzle inipun terfokus pada persebaran suku Dayak dan Kelembagaan Adat. Namun seminimalnya tulisan ini saya angkat untuk mengambarkan sebuah proses. Proses perubahaan baik dari tataran internal mau eksternal. Kalau dikontekskan dengan hari ini maka pesebaran suku Dayak sudah semakin rumit untuk menulusurinya. Bahwa tempo hari yang lalu setelah saya mengupload sebuah foto tentang peta persebaran suku Dayak, lalu mendapatkan komentar bahwa peta tersebut telah tidak relevan di karenakan semakin banyak konsesi-konsesi perusahaan mengepung pulau Borneo ini. Bertalian erat dengan proses kelembagaan adat, dimana setiap rezim mentrasformasikan eksistensi dari masyarakat hukum adat itu sendiri. Jika hari ini ada sebuah pertanyaan dimana wilayah adat masyarakat hukum adat secara ekplisit, maka akan kesusahan untuk menjawabnya.

Sebuah interaksi singkat juga menginformasikan apa yang menjadi topik dua tulisan ini terutama mengenai kata dambung. Interaksi pertama dengan masyarakat adat di Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau bahwa konsep kepimpinan adat mereka di pimpin oleh dambung. Begitupula hasil interaksi saya dengan seorang teman yang merupakan keturunan dari Kesultanan Kutaringin, yaitu Gusti Samudera yang kini mendiami Astana Al-nusari di Kecamatan Kutaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat. Bahwa menurut beliau sejarah Kesultanan Kutaringin tidak lepas dengan adanya peran dambung.

Mengenai hasil musyawarah hadat di Kuala Kapuas, hal ini juga sering dijumpai istilah-istilah adat yang masih dapat di konfirmasi sampai sekarang. Jika pembaca berkunjung atau berinteraksi dengan masyarakat yang ada di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas maka istilah seperti andel, dan hak-hak ulayat itu masih mudah ditemukan penyebutanya. Walaupun kini yang menjadi soal dimana letak hutan adat bagi masyarakat adat bisa dikatakan tidak ada. Tahun 2005 masyarakat adat di Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau mendeklarasikan Hutan Adat Kalawa. Tetapi Hutan Adat inipun berganti menjadi Hutan Desa dikarenakan pengakuan yang diberikan oleh pemerintah tidak memberikan pelaksana teknisnya pada saat itu. Pilihan Hutan Desa merupakan pilihan yang paling realistis pada waktu itu untuk membendung ekspansi perkebunan besar kelapa sawit yang kian membabi buta.

Memposisikan sejarah pada tempatnya juga sangat penting, walau pada dasarnya setiap tulisan ilmiah harus sangat terbuka dengan kritik. Menyangkut sejarah masyarakat adat khususnya di Kalimantan Tengah ini merupakan sebuah jalan untuk memahami tentang identitas diri. Maka jika tidak ditempatkan pada posisinya akan menyebabkan luka secara perasaan bagi sang pemilik indentitas.

Akhirnya sampai pada tulisan terakhir, bahwa dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Adat istiadat merupakan sebuah identitas yang harus dihormati. Menuliskan sejarah masyarakat Kalimantan Tengah merupakan menuliskan sebuah identitas dimana puzzle-puzzle ini harus di lengkapi. Rezim/Pemerintah hari ini harus menyusun Puzzle tersebut sebelum membuat program bagi masyarakat adat di Kalimantan Tengah.

Rekomendasi Rujukan

Mubyarto, dkk,  1993,” Desa-Desa Kalimantan Studi Bina Desa Pedalaman Kalimantan”, Aditya Media, Yogyakarta.

............2007, Masihkah (Kah) Indonesia, Kanisius, Editor Budi Susanto, S.J, Yogyakarta.

Vollenhoven, 1987, Penemuan Hukum Adat, Karangan Terjemahan Koninklijk Istituut Voor Taal-,Land-en Volkendunde (KITLV) Bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Djambatan, Jakarta.

Riwut, Tjilik, 1979, Kalimantan Membangun, Palangka Raya.

Mihing, Teras, dkk 1980/1981, sejarah pendidikan Daerah Kalimantan Tengah, proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Koentjaraningrat, 1980, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta.

King, Victor.T, 2013, Kalimantan Tempo Doeloe, The Best Of Borneo Travwl (New York:Oxford University Prees), Komunitas Bambu, Jakarta.